Papa Mengapa Aku Lahir ?

By erwingss_

611K 4.5K 369

Cerita di-private secara acak... So kalau mau baca harus follow aku dulu (Biar followers ku nambah...hihihi) ... More

Nol : Pesta ulang tahun
Dua : Berdamai dengan Dad
Pengumuman
Promosi
1
Innovel
1
2
3
My Palestinian Wife

Satu : Studio the L Magazine

22.1K 1.4K 128
By erwingss_

***

Malam hari saat pesta ulang tahunnya berlangsung, Victoria sendirian. Gadis itu telah terkurung dalam kamarnya sendiri. Victoria yang tertekan mendekati telepon rumah yang ada di nakas. Ia tengah menangis penuh kebencian.

Victoria ingin menelepon seseorang. Kebahagiaan yang selama ini dirasakan seolah sirna begitu saja. Kasih sayang yang dulu diberikan Ayahnya tak ada artinya lagi. Pelecehan emosional telah dialami gadis malang itu membuatnya takut luar biasa. Dalam keadaan terisak, dia menekan beberapa angka dan menunggu--sampai suara wanita mengangkat panggilannya.

"Halo."

"Mom-"panggil Victoria. Isakan tangis, deraian air mata membasahi pipinya yang putih. Bicara terasa sangat sulit karena perasaan sedihnya. Tuhan menciptakannya dengan banyak derita. Victoria tak tahu harus ke mana lagi--berbagi kesedihan dengan siapa lagi. Ibu, hanya dia yang sekarang menjadi tumpuan harapannya. Berharap seberkas perhatian didapatkan dari wanita sibuk itu.

"Ada apa Victoria? Kenapa menangis?" Wanita itu terdengar khawatir. Victoria mengusap air matanya sambil menggigit bibir bagian bawahnya--melampiaskan kebencian yang tercipta karena tindakan Ayahnya malam ini.

"Dad, Mom! Dad memukulku, Dad tidak menyayangiku."

"Tenang Victoria. Dengarkan, Mom. Dad melakukan hal itu karena kau nakal. Sekarang cepat minta maaf kepada Dadmu. Mom sibuk, besok akan menelepon lagi." Bukannya mendapat pembelaan, bukannya mendapat perhatian. Victoria justru mendapat pengabaian-penyiksaan batiniah dari orang tuanya. Tidak ibu, tidak Ayah, semuanya sama saja.

"Tapi, Mom-"

"-"

Panggilan dimatikan oleh Ibunya. Victoria sangat sedih, bahkan Ibu kandungnya sendiri masih mengabaikannya. Dia sendirian. Anak sekecil itu harus menderita. Air mata adalah cara mengungkapkan perasaannya. Dia dikunci di dalam kamarnya sendiri.

Victotia melangkah menuju kamar mandi. Kamar kecil nan jorok itu adalah tempat persembunyian terbaik. Ayahnya akan menemukannya besok jika dia tidur di atas ranjang. Dia takut akan pukulan Ayahnya. Sudah cukup ia menderita tanpa kasih sayang, dia tak menginginkan kekerasan lagi.

Dia bersandar pada tembok kamar mandi sambil memeluk dirinya. Tak ada orang yang peduli padanya, Ayahnya telah berubah sejak pemukulan terhadap dirinya. Dengan rasa sakit dan kebencian, dia pun memejamkan mata. Berharap mimpi indah akan datang menyapanya.

Sementara di taman rumah itu, Givanno tampak cemas. Ada rasa penyesalan yang muncul dalam dirinya. Dia berbolak-balik di taman itu membuat istri dan juga anaknya bertanya-tanya. "Ada apa, Vanno? Kau tampak gelisah. Sudah empat kali kau mondar-mandir tanpa tujuan. Apa sesuatu yang buruk sedang terjadi?" tanya Taylor. Dia, cukup mengenal suaminya. Perilaku tak biasa yang dilakukan suaminya menimbulkan pertanyaan. Givanno memandangi istrinya, bohong pun tak bisa dilakukan.

"Iya, Dad. Apa yang terjadi? Apa pestaku tidak menyenangkan hati, Dad?" Olivia tampak muram. Givanno langsung mengukir senyum--memeluk Olivia dan menegaskan jika tidak ada sesuatu yang terjadi. "Jangan berpikir seperti itu, Sayang. Dad sangat menyukai pestamu. Dad hanya memikirkan pekerjaan. Maaf membuatmu sedih ya, Sayang." hibur Givanno. Olivia kembali tersenyum, dia merasa tenang karena ucapan Ayahnya.

Sebaliknya August memandangi sekelilingnya dan menyadari jika keanehan sedang terjadi. Victoria tidak ada.

"Di mana Victoria, Dad?"

"Dia sudah tidur, Sayang." Givanno menjawabnya sedikit gugup. Taylor mengamati suaminya. Gelagat aneh membuatnya curiga. Namun kedatangan saudara lelakinya meleburkan kecurigaan itu. "Apa yang kalian lakukan di sini? Bukankah ini sebuah pesta? Seharusnya kalian menyapa tamu kalian." seru Chase, adik kandung Taylor. Givanno dan istrinya menyambut lelaki itu. Benar kata pria itu, tidak sepatutnya mereka berdiam seolah menelantarkan tamu.

Mereka melupakan Victoria dan melanjutkan menikmati pesta. Olivia mendapatkan makna pesta ulang tahun sedangkan Victoria tidak. Gadis malang itu malah menyadari jika kehadirannya tidaklah penting. Semua orang berbahagia kecuali dirinya.

***

Givanno tak bisa tidur sejak insiden kekerasan yang dilakukan pada gadis kecilnya kemarin malam. Bahkan Taylor tak mengetahui hal itu sama sekali. Karena jika Taylor tahu, maka perceraian adalah cara untuk menebus kesalahannya itu. Dengan tangan yang bergetar, Givanno membuka pintu kamar Anaknya. Dia adalah orang pertama yang ingin menemui gadis kecilnya.

Saat pintu terbuka lebar, kamar putrinya masih tampak rapi. Seprei pink dengan gambar Tinkerbelle itu menyilaukan matanya. Di sana, tidak ada orang.

Givanno tak percaya. Dia tak menemukan Victoria di atas ranjang. Kekhawatiran mulai melanda lelaki itu. Seketika matanya tertuju ke kamar mandi. "Victoria! Kamu di mana, Nak?"

Givanno mengetuk pintu kamar mandi, namun tak ada pergerakan. Dua kali, tiga kali, sampai sepuluh kali lelaki itu memanggil putrinya namun tak ada jawaban. Givanno tak punya pilihan selain mendobrak pintu itu, alhasil sekarang ia melihat Victoria yang menangis sambil menutup mulutnya. Victoria ketakutan.

"Kenapa, Nak? Ada apa?"

"Tidak, Jangan mendekatiku!" teriak Victoria disertai dengan gelengan kepala. Bukan jawaban yang diberikan melainkan teriakan histeris. Dia mengusir Ayahnya dengan melempar apa pun yang ada di dekatnya mulai dari sabun, sikat, dan sampai tak ada lagi yang bisa dijangkaunya.

Tetapi sang Ayah tak menyerah sama sekali. Lelaki itu tetap mendekatinya--menyalurkan rasa sayang yang sudah tak diinginkan Victoria. "Maafkan Dad, Victoria!" Givanno memelas. Dia tahu jika dirinya memang salah. Anak sekecil Victoria tak pantas diperlakukan dengan kekerasan.

Victoria menggeleng lalu berlari keluar kamar mandi--menerobos Ayahnya yang mendekatinya. Semalam Ayahnya berhasil membuatnya tertekan, Victoria tak akan lupa kejadian itu. Saat di mana seorang Ayah tak lagi menyayanginya. Gadis kecil itu naik di atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Givanno mendekatinya dan memeluknya. "Maafkan Dad, Nak!" Giivanno mengelus rambut putrinya. Hanya kata maaf yang bisa keluar dari mulutnya.

Victoria meronta, meminta untuk dilepaskan tapi Givanno tak peduli. Bagaimana pun juga Victoria merupakan Anaknya. Dia berhak menyayangi gadis itu, memeluk gadis itu sesuka hatinya. Givanno tak peduli dengan pukulan yang dilayangkan Victoria padanya. Anak itu berhak marah padanya.

Tiba-tiba suara wanita terdengar di telinga Givanno. "Tuan, ini sarapan untuk Victoria!" seru Rose, pembantu di rumah Givanno. Wanita tua itu meletakkan sepiring macaroni dan segelas susu putih di atas nakas.

Victoria menggigit tangan Ayahnya hingga pelukan yang menyatukan mereka terlepas. Victoria berlari menuju Rose dan memeluk wanita itu. "Selamatkan aku, Rose."

Givanno sekarang menyadari kesalahannya semalam. Kini putri bungsunya membencinya.
"Beri dia sarapan dan Biarkan dia tidur, Rose. Jangan lupa telepon gurunya. Katakan Victoria sakit. Aku akan ke studio." Givanno sedih. Pria itu berjalan melewati putri dan pembantunya. Gadis kecilnya telah memberikan jarak yang jauh. Sekarang bukan waktu yang tepat bertemu putri kecilnya itu. Perlu waktu yang lama menanamkan kasih sayang pada gadis itu. Pada akhirnya sesuatu yang buruk akan berakhir dengan buruk juga.

Di ruang makan sudah ada istri dan ketiga anaknya. Givanno tidak bisa menyembunyikan jika sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Victoria. Kini sang istri menatapnya dengan begitu intens. Ada pertanyaan besar dibalik mata hazel itu. "Mana, Victoria? Apa dia tidak ikut sarapan bersama kita?" Taylor selalu memberikan perhatian lebih pada Anak tirinya. Dia sadar jika kelahiran Victoria bukanlah sebuah kesalahan.

Anak terlahir tanpa dosa. Adanya Victoria tak menimbulkan rasa benci di hatinya. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa kenyataan suaminya pernah berselingkuh membuat hatinya tersayat.

"Dia sakit, kita sarapan saja dulu. Rose sudah membawakan sarapan untuknya." Givanno menjelaskan dengan muram. Untuk sesaat suasana hening. Olivia menggunakan kesempatan itu.

"Dad, aku ingin disuap!" Olivia merengek manja.
Givanno tersenyum. Anak keduanya itu tidak suka jika kedua orang tuanya membahas Victoria. Baginya Victoria adalah bagian lain dalam keluarga itu.

"Duduk di sebelah Dad!" perintah Givanno. Lelaki itu memerhatikan langkah putrinya yang manja lalu duduk di sampingnya disertai sumringah.

Givanno menyuapi Anaknya roti isi daging. Olivia sangat senang--senyum bahagia terukir di wajah mungil gadis itu. "Enak?" tanya Givanno dibalas anggukan oleh Olivia. August mengamati tingkah manja kakaknya sambil mengunyah roti miliknya.

"Mom, aku ada pertandingan sepak bola nanti sore." Mendadak Érique mengumumkan. Ya, dia juga berharap Ayah juga datang. Tapi, gengsinya melarangnya menyapa Ayahnya. Alhasil dia meminta secara khusus kepada Ibunya. Érique adalah Anak Givanno yang paling terpukul saat mengetahui Ayahnya selingkuh. Saat itu dia masih kecil, dan itu sangat berat, ketika di depan matanya Ibunya menangis dan mengeluarkan kesedihannya. Sebuah tregedi yang nyaris menghancurkan keluarga mereka.

"Oke, Sayang. Mom dan Dad akan menyaksikannya."

Givanno lebih memilih fokus pada Olivia. Karena dia tahu Anak sulungnya membencinya. Setelah apa yang pernah dilakukannya, putra sulungnya sangat sulit menerimanya. Meskipun itu terjadi sebelum Victoria lahir. Saat di mana konflik dalam keluarganya sedang memanas. Sekarang memang baik-baik saja. Tapi dengan lahirnya Victoria. Érique membenci putri kecil Ayahnya itu.

"Habiskan sarapan kalian, Dad tunggu di dalam mobil."Givanno menegaskan. August dan Olivia mengangguk. Givanno berjalan keluar rumah.

"Apa Dad marah?" bisik August pada kakaknya Olivia. Anak itu merasa Ayahnya sedang marah. Tidak biasanya Ayahnya seperti itu. August merasa sesuatu terjadi pada Ayahnya sejak semalam.

"Kurasa tidak. Mungkin Dad banyak kerjaan." Olivia tetap cuek.

"Hei, Berhenti berbisik dan segera habiskan sarapan kalian." Taylor menegur putra dan putrinya.

"Aku sudah selesai Mom." Olivia berseru.

August meminum susu yang ada di depannya lalu ikut berteriak. "Aku juga!"

"Kalau begitu cepat ke mobil. Dad sudah menunggu kalian. "Oke." balas Olivia dan August bersamaan.

Keduanya berlari menuju pintu untuk menyusul Ayahnya. Taylor beralih pada Anak sulungnya. "Bagaimana denganmu?" Érique memutar bola matanya. "Oke, Aku pergi!" katanya lalu berjalan dengan malas keluar dari rumah. Taylor hanya bisa menggeleng melihat tingkah Anak-anaknya. Ketiga Anaknya benar-benar menggemaskan.

"Rose!" panggil Taylor ketika ketiga Anaknya melangkah keluar rumah. Sebagai seorang Ibu, dia punya tanggung jawab kepada Anak tirinya, Victoria. Dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan Anak itu. Apakah sudah sarapan atau belum. Pagi ini, dia berencana menemui dokter kandungan untuk mengecek kandungannya.

"Ya" Rose berlari menuju nyonya besarnya meninggalkan Victoria di dalam kamar.

"Victoria sudah sarapan?"

"Sudah, Nyonya."

"Baguslah, hari ini aku akan ke Dokter. Tolong jaga dia ya!"

"Baik, Nyonya."

"Ya sudah, kembali ke kamar Victoria."

Taylor mengembuskan napas lega. Victoria baik-baik saja jadi dia bisa pergi ke dokter kandungan tanpa ada beban. Wanita itu bangkit dari duduknya lalu melangkah masuk ke kamarnya. Dia ingin mengganti pakaiannya sebelum pergi konsultasi ke dokter. Bahagia rasanya memiliki keluarga kecil bersama Givanno. Dia harus siap memperbaiki keretakan rumah tangganya. Perlahan kedamaian akan kembali menyelimuti kehidupan keluarga mereka.

Sementara di dalam mobil Givanno mengamati Anak-anaknya yang masuk ke dalam Bentley-nya. "Kita akan berangkat!" seru Givanno saat ketiga Anaknya masuk ke dalam mobil. Olivia yang duduk di samping Ayahnya masih menyempatkan diri untuk bermanja. Dia menciumi wajah Ayahnya berkali-kali. "Duduk dengan benar Olivia, Sayang. Jangan lupa pakai sabuk pengamannya." Givanno mengingatkan. August terkikih melihat tingkah kakaknya.

"Olive manja!" ledek August dari belakang.
Seketika Olivia berbalik. Ia mencebik, "Adik jelek!"

"Berhenti, Sayang. Diam dan duduk dengan baik!" Givanno mengingatkan untuk kedua kali. August yang penurut seketika terdiam. Olivia menjulurkan lidahnya kepada Adiknya lalu mengalihkan pandangan ke depan. Mobil pun dikemudikan oleh Givanno untuk mengantar ketiga anaknya. Dalam perjalanan dia terus memikirkan Victoria. Dia sangat gelisah meninggalkan putrinya. Givanno hanya berharap Tuhan melindunginya.

***

Victoria sejak tadi masih saja menangis. "Jangan menangis lagi, Victoria. Sarapanlah! Aku sudah berusaha berbohong demi kamu. Kamu bisa sakit jika tidak memakan apa pun." Rose memiliki empati yang tinggi. Malam itu Victoria menceritakan kejadian pestanya. Saat Ayahnya membawanya ke kamar. Victoria mengungkapkan jika dia adalah Anak yang tak diinginkan Ayahnya. Rose berusaha menghiburnya tetapi Anak itu punya pemikiran lain. Tidak bisa dibohongi.

"Dad kejam, Rose! Dad jahat!"

"Tidak, Victoria. Dadmu masih mencintaimu, Sayang." bisik Rose pelan. Namun gelengan kepala diberikan Victoria. Anak itu terlanjur benci apalagi Ayahnya sudah menamparnya. Rose tanpa henti menyodorkan piring macaroni namun gadis itu selalu menolak. Sampai Rose lelah, wanita itu memeluk Victoria dan mengelus rambut pirangnya. "Gadis yang malang!" ujar Rose diselah elusan tangannya.

"Rose, bantu aku! Aku ingin menemui Mom." Victoria mengumumkan. Rose melepas dekapannya, memandangi mata hazel gadis itu-mata yang menyinarkan kesedihan yang begitu dalam.

"Mom Taylor?"

"Bukan. Aku ingin bertemu Mom Miranda. Aku ingin bertemu Momku." jelasnya. Rose merasa bimbang. Menurut yang diketahuinya, ilIbu kandung Victoria itu kejam. Bahkan lebih kejam dari Givanno. Rose tak mau gadis kecil itu semakin tertekan. "Apa yang harus kulakukan untukmu?"

"Bisakah kau menelepon taksu untukku?" Permintaan itu membuat Rose semakin ragu.

"Bagaimana jika-" Perkataan Rose terpotong.

"Tolong, kumohon.. katakan saja bahwa Mom Miranda menjemputku. Aku tidak mau tinggal bersama Dad." Victoria memelas. Gadis itu bersujud memegangi kaki pembantunya. Dia benar-benar ingin menjauhi Ayahnya. Awalnya Rose menolak tetapi gadis kecil itu terus memohon hingga membuat Rose tak bisa menolaknya lagi. Saat Taylor pergi saat itu juga Rose menelepon taksi untuk mengantar gadis kecil, Victoria ke rumah Ibunya. Arau setidaknya studio di mana Miranda bekerja. Tidak cukup lama menunggu, taksi pun tiba di depan rumah. Victoria pun pergi.

"Selamat tinggal, Rose." Victoria mengatakannya sambil melambaikan tangan. Rose tersenyum dengan gadis itu. Rasanya ingin menangis melihat kepergian gadis malang itu.

"Mau ke mana, Nona kecil?"

"Studio the L Magazine" jawabnya dengan suara khasnya. Ya, Ibunya memang seorang model. Jadi sering kali ia akan muncul dalam majalah ternama. Sang sopir menyernyit lalu kemudian memberikan pertanyaan.

"Cari siapa di sana. Nona kecil?"

"Miranda lohan. Dia adalah Momku, Momku cantik 'kan?" Victoria berusaha untuk tidak bersedih lagi. Sebentar lagi dia bertemu Ibunya-dan segala kesedihannya akan berakhir.

"Tentu, Mom-mu memang cantik. Kau yakin dia Mom-mu?" Sopir taksi itu menatapnya curiga. "Tentusaja." kata Victoria. Sang sopir tertawa pelan antara percaya dan tidak.

Selama perjalanan, hanya keheningan yang menghiasinya. Sepanjang mereka melewati Atlantic Ave sepanjang itulah tidak ada percakapan. Sopir taksi mendapati ketika mata Victoria mengeluarkan cairan bening. Sopir taksi itu terus menanyakan keadaannya tapi Victoria memilih untuk bergeming dan meneteskan cairan kesedihannya. Sang sopir pun merasa iba dengan Anak kecil di belakangnya. Beberapa kalimat penghibur untuk gadis kecil itu diberikan tapi semuanya sia-sia karena gadis itu terlanjur menangis.

"Kita sampai, Nona! Semoga kau bisa bahagia bertemu Mom-mu"

"Berapa yang harus kubayar, Pak?"

"Tidak usah, Nona kecil."

"Terima kasih,!" Victoria keluar dari mobil lalu berlari masuk ke dalam gedung L Magazine studio. Victoria kecil bertanya pada resepsionis namun dia malah diacuhkan. Hingga ide konyol menerobos masuk pun muncul. Resepsionis jadi kesal dan mengejar Victoria. Gadis kecil itu tidak tahu harus kemana. Dia masuk lift dan menekan tombol lantai 4. Setelah sampai dilantai empat, dia kebingungan harus bersembunyi di mana. Gadis itu melirik rungan di sebelah kanannya. Jika dia bersembunyi di sana, sang Resepsionis atau pun satpam tidak akan menemukannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang tak ia ketahui itu. Sampai matanya bisa melihat sosok ibunya mencium seorang pria.

"Mom.." panggil Victoria. Seketika Ibunya berbalik dan melepas ciumannya.

"Holy crab! Apa yang kaulakukan di sini, Victoria?" Miranda bertanya penuh penekanan. Victoria berlari ke arah Ibunya dan memeluknya. "Aku merindukanmu, Mom." katanya sambil menangis.

"Aku menunggumu di kamarku, Miranda!" Pria di dekat ibunya berseru lalu meninggalkan mereka. Victoria merasakan kehangatan berada dalam dekapan Ibunya. Ini adalah pemandangan yang langkah dan jarang terjadi. "Oh god. Pulang sekarang, Victoria!" tegas Miranda. Harapan Victoria pupus, langit terasa runtuh. Angan-angan untuk bahagia tak didapatkan gadis itu.

Victoria menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa, Mom. Dad akan memukulku lagi. Aku takut, aku tidak mau pulang." ucap Victoria sedih. Gadis itu melihat ekspresi kesal Ibunya. Membuatnya takut dan menunduk. Miranda mengambil ponselnya lalu menelepon Givanno. Wanita itu sangat marah karena Givanno telah ceroboh. Bagaimana bisa Victoria dibiarkan datang ke studio tempatnya bekerja.

"Halo!"

"Apa saja yang kaulakukan, heh? Jemput Victoria di studio L Magazine sekarang juga. Aku ini bekerja, Vanno! Kau mendapat hak asuh Victoria. Jadi jangan merepotkanku lagi!" kesal Miranda.

"Victoria ada di sana? Bagaimana bisa?" Givanno heran. Miranda terkekeh.

"Tidak usah pura-pura. Cepat ke sini, Aku sedang sibuk. Tanyakan nanti padanya." Miranda mengatakannya ketus lalu mematikan telepon. Wanita itu memegangi kepalanya yang terasa pening. Victoria memainkan jarinya tak tahu harus berbuat apa. Matanya kembali mengenang--menyaksikan penolakan terang-terangan dari Ibunya.

Miranda menarik tangan Anaknya. Membawanya ke lantai dasar gedung. Dia menitipkan Victoria di resepsionis bagaikan sedang menitipkan barang. Dia sama sekali tak peduli pada gadis kecil itu. "Dad-nya sebentar lagi menjemputnya. Kamu bisa jaga dia 'kan?" 

"Ya; Nyonya" balas si Resepsionis. Semua karyawan majalah menghormatinya karena ia menjalin kasih dengan CEO majalah itu.

"Mom, jangan tinggalkan aku!"

Miranda tak peduli teriakan putrinya. Dia memilih masuk kembali ke studio. Di dalam ada kekasihnya yang menunggunya. Victoria berteriak keras namun Ibunya seolah tuli. Resepsionis di dekat Victoria merasa pusing. Ia pun mengancam agar Victoria diam. Terpaksa gadis itu menangis tanpa suara. Ibu dan Ayahnya sama saja. Keduanya sama-sama menyakitinya. Mengapa dia harus lahir? Victoria sangat sedih.

See u next time!

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 81 4
Aku anak kedua dari tiga bersaudara, Dan mengapa, sifat, hobby dan pendapatku beda dari saudaraku yang lain. Aku selalu berpikir dua kali untuk mel...
1M 115K 52
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
9.4K 816 20
Bocil kematian yang kepincut babang tamvan "geli kali aku loh kak" "tapi sayang kan"
44.6K 791 8
Pagi pun datang menyinari dunia.Tampak seorang gadis perempuan berpakaian seragam sekolah SMP sedang berjalan kaki. Dengan senyuman yang indah ia pun...