Like A Cinderella's Shoes ✔

Da RinaKartomisastro

4.4K 542 31

[COMPLETED] (BEBERAPA PART DIPRIVAT, KHUSUS FOLLOWER TERCINTAH) Siapa tidak tahu sepatu kaca? Benda itulah ya... Altro

Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
EPILOG

Chapter 1

861 42 4
Da RinaKartomisastro

Seorang gadis berusia sekitar dua puluhan duduk manis di salah satu meja restoran. Di atas meja terdapat dua piring sirloin steak, dua gelas minuman dingin berhias buah-buahan tropis segar serta lilin-lilin merah yang menyala.

Gadis itu tampil cantik dengan gaun panjang berwarna peach dan bertali spaghetti. Rambut ikal yang dibiarkan tergerai melewati bahu, membuat penampilannya sangat memesona malam ini.

Kalin namanya. Kalinda Shabilla. Sejak pertama menginjak restoran yang menawarkan suasana romantis itu, senyum seakan enggan meninggalkan wajahnya. Seperti saat ini, ia tersenyum manis sekali dengan seorang pria yang sekilas terlihat sedikit lebih tua beberapa tahun darinya.

Pria itu duduk tepat di seberang tempat duduk Kalin. Penampilannya tak kalah rapi dengan kemeja biru muda yang menempel ketat di tubuh atletisnya. Rambut hitam tebal sengaja ditata berbelah tengah. Sepasang mata dengan bola mata hitam, dibingkai bulu mata yang lentik. Senyumnya yang hangat membuat sudut matanya berkerut sedikit. Namun siapapun yang melihat pasti akan terpesona dengan keteduhan yang memancar.

Saat ini pria bernama Athan itu juga tengah memandang Kalin. Semua yang melihat, pasti tahu. Dua insan muda, tengah dimabuk cinta.

Sejenak Kalin menunduk. Ia seperti tersipu. Wajahnya memerah mendapati Athan yang menatap tanpa berkedip.

Athan lantas menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. Tetapi arah tatapannya tak berubah. Sangat sulit rasanya, berpaling dari Kalin. Sikap Kalin selalu membuatnya gemas setengah mati.

Kalin berdeham, memecah kesunyian. Ia seolah mulai bisa menguasai diri. Kini gadis itu mengangkat kepala. Dengan sekali gerakan, ia balas menatap Athan. Meski jantungnya masih saja berdebar kencang, ketika menelusuri dalamnya mata lelaki itu.

"Kenapa mengajakku ke tempat seperti ini?" katanya kemudian. "Aku nggak sedang ulang tahun, kan? Ini pasti tempat mahal, Beib..." Kalin mulai mengedarkan pandangannya menyapu sekitar restoran yang bercahaya remang-remang.

Athan kembali tersenyum, "Minggu lalu hari jadi kita yang ketiga, kan?"

"Itu sudah lewat. Kita juga sudah merayakannya meskipun hanya makan di Warung Padang."

Kalin mengamati sekitar seolah takut ada orang yang menguping pembicaraan mereka. Ia menurunkan volume suara, "Makan masakan Padang jauh lebih kenyang daripada di sini."

Athan segera tergelak mendengarnya. Ini juga satu hal yang menggemaskan dari diri Kalin. Itulah mengapa Athan sangat menyayangi gadis itu. Tak lama, tawanya berhenti. Kembali, ia memandang Kalin. Namun sebelum Kalin dibuat salah tingkah lagi, raut wajah Athan berubah. Rahangnya mengeras bersamaan dengan bibirnya yang terkatup. Lelaki itu mulai merogoh saku celana, mencari sesuatu.

"Eh Beib, aku sudah boleh makan be─" seru Kalin yang kemudian menggantungkan kalimatnya ketika melihat sesuatu yang dikeluarkan Athan dari saku. Kotak kecil berselimutkan beludru berwarna biru dongker.

Athan mengulurkannya ke depan meja Kalin.

Mata Kalin membulat. Ia menatap Athan untuk mencari jawaban. Namun yang dipandang justru memutar bola mata hitamnya. Dari sikapnya, lelaki itu terlihat seperti sedang mengumpulkan segenap keberanian. Seolah hal yang hendak dikatakan adalah kalimat yang tidak mudah.

Melihat itu, Kalin memiringkan kelapa dengan raut bingung. Gadis itu mencoba mencari jawaban dari sikap Athan yang agak tidak biasa. Tetapi ia tidak mau mengira-ngira sendiri.

Athan menelan ludah, hingga jakunnya naik turun. Dengan tangan gemetar, lelaki itu membukanya. Dan terlihatlah sebuah cincin manis bertengger di sana.

Belum juga Kalin terkejut, ia harus dikagetkan lagi dengan pertanyaan Athan...

"Will you marry me?"

Waktu seolah terhenti. Tidak ada aktifitas lain di sekitar mereka, selain tatapan keduanya. Tidak ada suara yang terdengar, selain isi pikiran yang menggema. Berebut untuk berada di dalam satu tempat yang bernama otak.

Ada wajah harap-harap cemas menunggu jawaban. Athan meremas tangannya sendiri. Ia terus saja menggigit bibir.

Ada mimik terperanjat. Kalin seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Sulit rasanya menganggap ini nyata.

Athan yang workaholic mengajaknya makan romantis begini saja, sudah sebuah kejutan. Sekarang, justru ditambah satu kejutan lagi.

"K─kamu serius, Beib?" Akhirnya Kalin membuka suara, setelah diam sekian lama.

"Kalau cincin ini bukan mainan, semestinya aku nggak main-main," jawab Athan. Dengan mantap. Sekuat tenaga ia menguatkan hatinya sendiri.

Melihat itu, Kalin jadi semakin salah tingkah dibuatnya.

"Maafin aku hanya bisa memperlakukanmu seperti ini. Aku nggak bisa melamar seperti seorang pangeran yang melamar Cinderella. Tokoh favoritmu itu."

Kalin sedikit mendelik sambil memajukan bibirnya, "Aku juga tidak perlu diperlakukan seperti itu. Aku Kalinda, bukan Cinderella. Lagipula ini malah agak berlebihan beib.."

"So?"

Athan menegaskan Kalin untuk kembali ke inti pembicaraan.

Sedikit keraguan terlihat dari wajah Kalin. Hal itu membuat Athan gelisah, hingga tanpa sadar ia menggerak-gerakkan kakinya.

"Tapi... aku belum mau menikah. Setidaknya sampai aku diwisuda nanti..."

"Apa sulitnya menunggumu sampai wisuda? Selama ini aku setia disampingmu jauh lebih lama dari itu..."

Kalin terlihat kehilangan kata-kata. Matanya kembali menelusuri mata Athan. Ada sebuah tekad dan keseriusan di sana. Hal yang mungkin tidak mudah ditemukan pada pria lain. Sepertinya, tidak ada alasan yang membuatnya harus menolak tawaran itu. Sedetik kemudian, gadis itu menyerah.

Ia mengangguk dengan sebuah senyuman menyertai, "Yes, I do, Beib..."

***

"Mau kemana lagi kita? Kenapa nggak pulang aja?"

Athan agak kesulitan menjajari langkah Kalin. Gadis itu melangkah begitu bersemangat. Ia bertingkah seperti anak kecil yang tengah bahagia karena diajak berpiknik dengan orang tuanya.

Di tengah langkahnya, sesekali ia melompat-lompat kecil. Begitulah salah satu keunikan Kalinda. Meskipun gadis itu sudah berumur 21 tahun dan sedang mengerjakan skripsi untuk meraih gelar S-1-nya yang mungkin akan rampung beberapa bulan lagi, namun sikap Kalin kerap kali terlihat seperti anak kecil. Ceria. Sederhana. Namun karena sikapnya, ia sanggup menularkan semacam perasaan bahagia pada orang disekitarnya. Tak terkecuali Athan.

Sejak awal, rasa-rasanya sulit dipercaya. Kalin berpacaran dengan Athan. Mereka seperti bumi dan langit. Seperti hitam dan putih. Benar-benar berbeda. Athan cenderung konservatif, Kalin lebih modern. Athan sangat serius, Kalin senang bercanda. Berada diantara tumpukan berkas-berkas, adalah kesukaan Athan. Sementara, duduk di belakang meja sebentar saja, Kalin sudah tak betah. Tak ada yang mengira, hubungan mereka bisa sampai di titik ini...

Athan menghentikan langkah ketika Kalin berhenti, "Beib, ada batagor! Gimana kalau kita beli? Aku masih lapar..." katanya sambil mengelus perut sendiri. Kalin merajuk pada Athan yang bergeming. Digoyangkannya lengan kemeja Athan perlahan, sambil menunjukkan ekspresi memelas.

Athan menghela napas. Lantas mengangguk paksa, "Iya... iya... kamu beli aja."

"Kamu juga?"

"Nggak, aku udah kenyang," kata Athan sambil sedikit menepuk perutnya. Memberi isyarat bahwa perutnya sudah terisi penuh.

Sebagai perempuan, tentu porsi makan Kalin lebih sedikit daripada Athan. Saat Kalin lapar, semestinya Athan lebih lapar dari itu. Apalagi jelas-jelas Kalin melihat Athan tidak menghabiskan makanannya. Wajar, Athan tidak begitu suka makanan kebarat-baratan.

Kalin tahu, Athan mengajaknya ke tempat seperti tadi, hanya karena Kalin yang menyukainya.

Mereka duduk di kursi plastik yang disediakan, sementara menunggu pesanan siap. Kalin kemudian bergidik. Angin malam yang berhembus, dengan mudah menembus kulitnya yang hanya mengenakan cardi tipis di balik gaun.

Athan membuka sweater tebal yang biasa ia kenakan setiap naik motor. Lalu dengan gentle, menyelimutkannya pada tubuh Kalin.

"Sudah kubilang kamu akan kedinginan kalau nggak bawa jaket tebal."

Kalin tersenyum nakal, "Sengaja. Kalau nggak begitu, aku nggak akan bisa pakai jaket kamu."

Athan menggeleng dengan bibir yang mengembang. Diacaknya rambut Kalin karena tak tahan lagi. Sudah kesekian kali dalam hari ini ia merasa gemas pada kekasihnya itu.

Tak lama sepiring batagor sudah berada di tangan Kalin. "Hmm... yummy! Mau coba?"

"Nggak usah, kamu makan aja," Athan mengedarkan pandangan menyapu jalan raya. Melihat lalu lalang kendaraan yang melewati jalanan malam itu.

Namun tiba-tiba ia terkejut. Belum juga tersadar, tahu-tahu sebuah suapan memasuki mulutnya.

Kalin terlihat puas. Ia berhasil membuat Athan ikut memakan batagor bersamanya.

"Gimana rasanya?" tanya Kalin.

"Lumayan.."

"Mau pesan? Aku yang bayar.."

"Nggak usah, kamu makan aja."

Kalinpun melanjutkan makannya. Ia tak mau memaksa Athan saat ini. Hanya, sesekali disuapinya Athan. Meski menolak, toh lelaki itu tetap saja membuka mulut saat Kalin hendak menyuapi. Kalin lantas mengamati Athan sejenak. Sorot matanya menunjukkan kecemasan. Namun ia tak bisa mengungkapkannya lebih jauh.

Jadi, gadis itu hanya menyodorkan piringnya.

"Nih, aku udah kenyang. Sayang kalau nggak dihabisin."

Sebenarnya Kalin agak ragu, ketika lelaki itu meraih piringnya. Dimakan atau tidak. Tetapi Athan segera melahapnya. Beberapa suap, makanan di piring sudah habis tak bersisa. Ternyata dugaan Kalin tidak salah. Kalin melengkungkan senyumnya. Beberapa tahun ini, cukup untuk mengenal Athan, calon suaminya.

Karena terlalu lahap, butir kacang dari bumbu batagor menghiasi bibir Athan. Dengan penuh kasih, Kalin membersihkan dengan bahu tangannya. Matanya sama sekali tak berpaling dari wajah teduh lelaki itu.

Lelaki yang terlalu sering mengalah padanya. Lelaki yang lebih memilih diam daripada membagi beban bersamanya. Lelaki yang mungkin sudah menguras gaji bulan ini, hanya untuk menyenangkan dirinya dalam satu hari. Lelaki yang sudah membuatnya merasa seolah putri raja, tanpa harus menjadi pangeran yang sebenarnya. Lalu, bagaimana bisa ia tidak mencintai lelaki seperti itu?

***

Athan membonceng Kalin dengan motor bebeknya. Kalin naik ke motor dengan sedikit kesulitan. Gaun panjang yang dikenakan, membuatnya tak leluasa bergerak. Athan merasa tak enak hati. Semestinya ia mengajak gadis itu untuk naik taksi. Tetapi cukup ia tahu sifat Kalin. Gadis itu pasti akan menolak. Lebih dari itu, sisa uangnya tak cukup untuk membayar ongkos taksi.

Kalin turun perlahan setelah Athan menghentikan motor. Tepat di depan rumah berpagar cokelat tua.

Athan yang masih duduk di kemudi, menoleh ke belakang. Tangannya terulur membantu Kalin turun.

"Semestinya saat seperti ini aku membawamu dengan mobil, sayangnya aku nggak punya.."

Lelaki itu tersenyum kecil. Ada nada penyesalan di dalamnya.

Kalin bersikap seolah tidak mendengar. Ia hanya menunggu Athan turun dari motor, dan berdiri di hadapannya.

"Kelak kamu nggak usah memberikanku yang macam-macam lagi. Aku udah bahagia banget bisa sama kamu sampai sekarang..." Kalin lantas meraih kedua tangan Athan. Dengan tangannya, ia mengayun-ayunkan tangan besar lelaki itu.

Athan tersenyum, "Paling nggak, sesekali aku ingin manjain kamu. Memperlakukan kamu seperti putri raja.."

"Dasar bodoh!" seru Kalin. "Aku emang suka Cinderella, tapi bukan berarti aku terobsesi menjadi seperti dia, Beib..."

Setelah mengatakan itu, Kalin terkekeh. Kadang pemikiran Athan membuatnya kesal sekaligus semakin sayang. Namun tawa itu terhenti ketika Athan menatap wajahnya lekat-lekat. Raut wajahnya sulit terdefinisikan.

Dengan ragu, Kalin balas menatap Athan.

Athan lantas sedikit menunduk mendekati wajah Kalin agar mereka sejajar. Semakin lama, wajahnya semakin mendekati wajah Kalin.

Kini, bibir mereka hanya berjarak tiga centi saja. Tidak lebih, tidak kurang. Kalin refleks menutup matanya. Seolah pasrah akan apapun yang hendak dilakukan Athan selanjutnya.

Menyadari itu, Athan tak kuasa menahan senyum. Ia kembali menegakkan badan seperti semula. Ditariknya kepala Kalin untuk mendekat. Lalu dengan lembut, ia mengecup kening gadis itu. Sedetik. Dua detik. Tiga detik...

Kalin membuka mata. Ia merasa geli. Bisa-bisanya berpikir yang tidak-tidak. Namun kemudian bibirnya mengembang, tepat ketika Athan mengakhiri kecupannya. Disaat-saat seperti ini, Kalin benar-benar merasa beruntung. Ia memiliki seorang laki-laki yang menyayanginya dengan tulus.

***

Yuhuu... gimana chapter satunya? Kasih komentar dong. Kalo respon cerita ini bagus, saya cepetin updatenya. Kalo nggak begitu bagus, ya nunggu sampe bagus, baru diupdate! Hahaha maksa. Makanya komen please, jangan jadi silent reader. Biar semangat nulisnya gitu loo... hihihi.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

5.2M 281K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
756K 43.9K 27
#therevengeseries1 Mature Content! 21+ 7 tahun yang lalu Yasmin dan Raven pernah terikat dalam hubungan pernikahan. Pernikahan yang hanya berlangsung...
65.8K 5.7K 29
Perjalanan seorang Ayunda setelah berpisah dari Abimanyu.
Conglomerate's Love Da jovey

Narrativa generale

16.6K 1.1K 42
THE LOVE SERIES #2 17+ Zae Ambroise, gambaran gadis sempurna dambaan umat manusia. Paras cantik, kekayaan tak hingga, dan otak cerdas sebanding denga...