Langit Gemini

Von Sienna-bachir18

624K 7.5K 232

Setelah putus dengan Jesper, cowok yang selama dua tahun ini menjadi pacarnya, Gemini memilih -jika tidak mau... Mehr

Bab 2 - Melangkah Dengan Pasti-

Bab 1 - Aku bukanlah satu-satunya.

63.3K 4.1K 167
Von Sienna-bachir18

cerita yang satu ini saya buat.. karena Rahasia Mikaila udah mau tamat.... jadi saya start postingin bab pertama... semoga kalian suka... jangan lypa voment yeyy.. heheheh tq gamsahamnida...

Perempuan itu menurunkan kacamata hitamnya sebentar untuk melirik objek yang mereka intai sejak tadi pagi. Ia memicingkan matanya untuk memastikan bahwa pria yang baru saja masuk ke rumah bercat hijau itu memang benar adalah pacarnya.

"Brengsek cap kadal nggak tahu diuntung." Suara tercekik itu tidak mirip dengan suara yang biasa keluar dari mulutnya. Tapi itu memang suaranya.

"Nggak heran sih." ucap satu suara di sebelahnya. Emi melirik sekilas kepada sahabatnya. Harga dirinya yang tinggi membuatnya menolak untuk menangis histeris. Sebaliknya dia justru ingin mencekik leher Hopi karena temannya itu bersikap sangat santai.

"Mestinya lo udah curiga, mereka kelihatan dekat banget." tambahnya.

Emi menurunkan kembali kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung. Saat-saat seperti ini kacamata hitam memang penting untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca. Tapi tetap saja, dia menolak untuk menangis.

"Jesper itu selingkuh, di depan mata lo."

Emi menutup mata di balik kacamata hitamnya. Ya, dia tahu kalau dirinya memang tolol. Jesper memang selingkuh di depan matanya. Dia bukannya tidak sadar, tapi pria itu selalu berhasil meyakinkannya kalau hubungannya dengan penyanyi pendatang baru itu hanya hubungan bisnis semata. Nggak lebih.

"Lo lihat aja interaksi mereka di panggung, pecicilan kayak abege jatuh cinta."

Dia tahu benar bagian mana yang dimaksud Hopi. Interaksi yang disaksikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi nasional.

"Tapi Jesper bilang itu memang setting-an, biar rating acaranya bagus." Dan bodohnya ia masih membela Jesper, pria yang menjadi pacarnya selama dua tahun ini.

Mereka terdiam di dalam mobil. Emi tahu, Hopi lebih memilih diam daripada membalas dan terus menyalakan dirinya. Lama-lama bisa berantam kalau dilanjutin. Buang-buang waktu dan tenaga kalau hanya untuk memperdebatkan seorang cowok yang memang pantas untuk dibuang ke laut.

Saat itu sudah sore, langit di ufuk barat sudah berwarna jingga kemerahan. Jam digital di dasbor mobil menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit.

"Lihat."

Emi tidak perlu perintah untuk melihat kejadian itu. Jesper merangkul pinggang wanita itu saat keluar dari rumah. Mereka tertawa dan tersenyum satu sama lain. Entah apa yang sedang mereka bicarakan hingga bereaksi sebahagia itu.

"Mereka pasti lagi ngomongin gue kan?" Emi mencengkram setir mobil dengan kencang. Suaranya tadi terdengar mengerikan. Hingga akhirnya ia gagal mempertahankan kendali diri ketika melihat Jesper melumat bibir perempuan itu.

Emi menyentak pintu mobilnya dengan kasar. Dia berjalan dengan langka-langka besar. Tumit high heels-nya yang runcing terdengar seperti akan membela Bumi. Bibir merahnya yang dilapisi lipstik seharga beberatus ribu tersungging sinis.

"Oh, jadi begini?!" tanyanya dengan suara keras. Emi membuka kacamata hitamnya dan menyelipkan benda itu di atas kepalanya dengan dramatis ketika pasangan di depannya saling melepaskan diri karena terkejut.

"Sayang..." Wajah Jesper memucat. Pria yang masih belum pulih dari keterkejutannya itu mencoba mendekatinya.

Untung bagi Emi karena wanita bertubuh pendek dan sok cantik itu menarik Jesper. Jadi, dia tidak perlu mengotori tangannya untuk sekedar menghentak tangan yang berusaha meraihnya.

"Kamu lebih suka sama dia dari pada aku?!"

Wanita yang diketahui Emi bernama Sophia itu bertanya galak pada Jesper. Emi sendiri lebih memilih menunggu, bukannya dia masih berharap pada pria busuk itu. Tapi dia sangat ingin tahu alasan Jesper memilih wanita bermake-up tebal ini.

"Modal oplas doang, menjijikkan." Emi menyuarakan isi pikirannya dengan lantang. Dia tidak takut! "Apa? Nggak usah melotot gitu!"

Sophia tampak terkejut dan sakit hati, perempuan sok kemayu itu meraih lengan Jesper kemudian bersembunyi di belakang.

"Udah kamu!" bentak Jesper pada Emi.

Kali ini Emi yang melotot pada Jesper. Selama dua tahun pacaran, tidak pernah sekalipun pria itu membentaknya dengan nada tinggi seperti itu. Yang membuat Emi makin emosi, Sophia mendengus dan menertawakannya di belakang sana.

"Disantet kamu? ngebelain dia sampai segininya?! Hah?!" Emi mengepalkan tangan hingga kuku-kukunya yang rapi menusuk kulit.

Jesper baru saja membuka mulut ketika Sophia memotong dan memberikan jawaban yang membuat Emi ingin membunuh wanita itu. Oh, dia juga sangat ingin membunuh Jesper. Sudah pasti.

Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat, Emi mendekat sebelum Jesper bisa menghalanginya untuk menarik rambut wanita jalang itu. Tapi Emi salah menilai Sophia, wanita sialan itu balas mencakarnya kemudian berhasil menampar pipinya dengan cukup keras. Emi yang terlalu shock gagal menghindar ketika Sophia mendorongnya hingga jatuh.

Telapak tangannya terasa perih karena tergores aspal. Jesper mencoba membantunya berdiri tapi dia menolaknya. Ketika dia berhasil bangkit, dia melemparkan tatapan tajam penuh amarah pada kedua manusia itu. Jesper tampak bersalah sementara Sophia mencibir dan memandangnya rendah.

"Kita putus!" bentak Emi dengan sisa harga diri, kalau dia masih memilikinya. Dia membalikkan badannya dan melihat Hopi sedang menunggunya di samping mobil.

Emi mengambil tempat di bangku penumpang dan membiarkan sahabatnya yang mengemudi. Pada akhirnya dia menangis tersedu-sedu. Hopi tidak mengganggunya, membiarkannya menangis di sepanjang perjalanan mereka ke apartemen yang mereka sewa bersama.

"Wanita sialan!" teriak Emi histeris. "Lo tahu dia bilang apa tadi?!" tanyanya retoris. "Dia bilang, dia bisa ngasih semua yang nggak bisa gue kasih ke Jesper sambil mandang gue dengan tatapan menghina. Emang B*bi bangsat!" Emi hampir tidak pernah berkata kotor, tapi ada saat-saat dia tidak dapat menahan diri.

Ia kembali menangis, kali ini sedikit histeris. Benar-benar membuang tenaga dan air mata jika saja dia bereaksi seperti ini hanya untuk seorang pria yang tidak pantas diperjuangkan. Sayangnya, sebenarnya Emi menangis histeris karena alasan lain.

"Udah ah, nggak biasanya juga lo nangis sampai kayak gini gara-gara cowok."

Emi berhenti sejenak. Mengatur napas sementara meraih tissue lalu mengeluarkan ingusnya dengan suara menjijikkan. Dia merapikan rambut hitam panjangnya yang basah karena air mata.

"Gue nggak akan nangis histeris hanya gara-gara Jesper selingkuh." Emi mengambil cermin kecil dari tas C&K berwarna hitam miliknya. Dia berdecak ketika pemandangan mengerikan terpampang di depannya dari balik cermin.

"Harga diri, Hop. Harga diri." Emi menutup cerminnya dengan kesal. Wajahnya mengerikan. "Gue nyesal udah bersikap bar-bar kayak tadi. Bikin malu diri sendiri. Iya kalau menang," Emi menghela napas. "Udah digampar, jatuh lagi. Gue tuh mestinya bisa lebih anggun tadi." Emi yakin sekali dia akan berdecak kesal setiap kali mengingat kejadian memalukan tadi seumur hidupnya.

Hopi tersedak tawanya sendiri. Memang kurang ajar temannya satu ini. Bukannya menghibur, justru menertawakannya.

"Makanya, Emosi dijaga. Jangan sampai nyesal."

"Gampang ngomong kayak gitu, Hopi." Emi meletakkan telapak tangannya yang masih perih di dada. "Dua tahun itu bukannya dua detik, meskipun dulu gue nerima Jesper dalam keadaan nggak punya perasaan ke dia, tapi tetep aja." Emi menyandarkan kepalanya dan menutup mata. "Waktu dua tahun sanggup bikin gue sayang sama dia." Untung baru tahap sayang, belum tahap cinta mati batin Emi. Jadi dia nggak perlu sedih-sedih banget.

Mereka terdiam. Hopi menyadari perkataan Emi memang benar adanya.

"Hop," panggil Emi pelan.

"Hm."

"Temenin gue ke klinik, di sini kerasa perih." Emi menunjuk pipi sebelah kanannya. Kepalanya juga sakit.

"Bukannya hati lo?" sindir Hopi.

"Itu juga." jawab Emi masam.

***

Dia kira malam itu adalah malam terburuknya. Tapi Emi salah, keesokan harinya berita tentang Jesper yang resmi menjalin hubungan dengan Sophia tersebar di mana-mana seperti kebakaran hutan. Dia melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar menandakan chat masuk dengan malas. Tahu betul apa yang membuatnya tiba-tiba mendapat banyak chat.

Emi meraih roti beroles butter tipis di piringnya kemudian melahapnya tanpa selera. Hopi sudah berangkat kerja pagi-pagi tadi. Katanya ada rapat dengan kliennya yang terkenal resek, jadi dia harus mempersiapkan semuanya agar rapat berjalan lancar. Akhirnya, tinggallah dia seorang diri di apartemen ini. Pipinya semakin terasa aneh, kata dokter klinik kemungkinan besar pipinya akan membiru.

"Wanita sialan, makan apa dia sampai punya tenaga kayak kingkong gini?" Emi meringis ketika menatap bayangan dirinya di cermin westafel. Dia memutar kepalanya kekiri agar dapat melihat pipi kanannya dengan jelas. Pipinya sedikit bengkak. Bilur-bilur berwarna biru tua mulai membentuk di sana. Brengsek! Menurut Hopi, seharusnya dia melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, tapi Emi urung melakukannya. Dia punya alasan.

"Pertama karena lo baik, bukan karena dia pantes dimaafin. Ke dua, lo nggak rela lihat dia jadi makin terkenal gara-gara kasus ginian. Ke tiga, mau ditaroh dimana muka lo. Belum lagi pas orang-orang mandang lo dengan tatapan kasihan." Emi berdecak kesal sementara berbicara sendiri dengan dirinya.

Setelah puas berkaca, ia kembali ke ruangan depan dan menghempaskam dirinya di atas sofabed berwarna coklat. Ponselnya kembali bergetar, tapi kali ini bukan chat masuk, melainkan telepon masuk. Emi menggeser layar di ponselnya dan menempelkan benda itu ke telinga kemudian memutuskan untuk tidak menyahut terlebih dahulu.

"Em?" sapa suara yang sudah dia kenal selama dua puluh empat tahun hidupnya di dunia ini.

"Selamat pagi menjelang siang Kakak ganteng." balas Emi berlebihan hingga terdengar suara muntah di seberang sana.

"Cukup ya, nggak usah berlebihan." Di saat kondisinya yang seperti ini, Emi masih bisa tertawa. Tapi kemudian dia harus meringis karena pipinya sakit.

"Kenapa nih? Tumben Kakak Leo yang ganteng nelpon adik bungsunya?" tanya Emi dengan nada manja sambil cekikitan lalu kembali meringis. Dia lupa kalau pipinya sakit.

"Bener kamu sudah putus sama Jesper?" tanya Leo dari seberang sana. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Emi tahu dengan jelas kakaknya itu sedang sangat serius. Dia tidak akan bertanya Kakaknya ini tahu dari mana.

Emi menghela napas sambil menaikkan salah satu kakinya ke atas sofa. Ia duduk persis seperti bapak-bapak yang sedang main catur di pangkalan ojek.

"He eh." balasnya singkat.

"Kamu nggak nangis?" Pertanyaan kakaknya membuat Emi memutar bola matanya.

"Plis Kak. Kakak pikir adik bungsu Kakak ini perempuan selemah itu?" sindir Emi. Kakaknya sepertinya tidak percaya karena tidak ada balasan dari seberang sana.

"Kamu nggak ngomong kayak gini buat bikin Kakak percaya kalau kamu baik-baik saja kan?"

"Kak." Emi bangkit berdiri dan berjalan ke dekat jendela. "Kakak bisa datang ke sini deh buat lihat langsung." tantang Emi. Dia hanya mengertak sambal, lagipula dia memang tidak apa-apa. Rasa sakit hatinya akan sembuh nanti. Yang dia tidak inginkan adalah keluarganya melihat pipinya yang lebam. Bisa diulek nanti Jesper sama Kakak sulungnya ini. Belum lagi kalau sampai Inus tahu.

"Nggak perlu. Kamu pulang aja langsung ke Batam. Biar Kakak lihat langsung." Mati! Dalam waktu sedetik Emi berubah mirip cacing kepanasan.

"Hah? Nggak bisa dong Kak!" semburnya defensif. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan itu.

"Loh kenapa? Pasti ada apa-apa kan?" suara Leo meninggi dan Emi tahu dia hampir kalah.

"Gimana sama cita-cita Emi?" tanyanya lantang.

Leo mendengus sebelum berkata dengan kejam. "Em, kamu itu nggak cocok jadi penyanyi. Suara kamu itu lebih mirip suara kaleng. Berisik."

"Kok Kakak bilang gitu!" bentak Emi sambil berkacak pinggang, dia tidak terima! Suaranya emang nggak bagus-bagus amat, tapi ya jangan disamakan dengan kaleng, sakit hati ini. "Jesper aja bilang kalau Emi bisa, lagian yang produser itu kan Jesper bukan Kakak!"

"Em." tegur Leo dengan nada khasnya. "Satu-satunya hal yang bikin Jesper ngomong seperti itu, karena dia naksir sama kamu. Sekarang kalian sudah putus. Apalagi yang kamu harapin? Lagian dia udah dapat penyanyi yang cocok buat album dia."

Emi jelas tidak dapat membantah perkataan Kakak sulungnya yang menusuk, sakit, melebihi tusukan pisau dapur. Rasanya nyelekit, tapi Emi tahu kata-kata kakaknya benar.

"Kamu itu sarjana ekonomi, mendingan pulang ke sini bantuin Kakak."

"Ish, Kakak nggak pengertian banget. Kalau Inus pasti ngerti!" rengek Emi manja.

"Gue di sini. Lo mending pulang aja deh."

Emi menatap ponselnya tidak percaya. Inus sialan! Jadi dari tadi pembesar suaranya dibuka? Terus si Inus dengerin dari tadi?

"Ihhh, Ingusss jelek! Nyebelin! Belain gue aja kenapa sih?!" rajuknya.

"Pulang ya Dek, Mami sama Papi khawatir. Lagian, emangnya Lo nggak kangen sama gue?" Suara menggoda Inus membuatnya ingin muntah.

"Jijik Ngus, Jijik!" Emi langsung memutuskan panggilan dengan kesal. Dia tahu itu tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi. Dia sudah terbiasa hidup manja, secara dia anak perempuan satu-satunya. Anak bungsu pula. Lagipula dia tahu, dia sudah kalah sejak awal. Setuju atau tidak setuju, dia akan dipaksa untuk pulang.

Emi langsung menjawab panggilan yang masuk ketika ponselnya berbunyi lagi. Tahu jelas dari mana sambungan itu berasal tanpa melirik layar ponselnya.

"Apalagi?!" bentaknya kasar.

"Emi?" Suara ini jelas bukan suara kedua kakak laki-lakinya.

"Ngapain telepon ke sini? Nggak takut dijambak sama nenek lampir lo?" Seandainya Emi sedang tidak naik darah karena percakapan sebelumnya, dia tidak akan menjawab dengan sekasar dan sesinis itu.

"Gemini, aku minta maaf." Emi mendelik kesal pada ponselnya. Sudah beberapa kali ponselnya yang tidak bersalah mendapat tatapan maut darinya.

"Udah deh Jes. Lo tuh nggak berarti apa-apa. Gue nggak sakit hati sama sekali sama kelakuan lo. Yang bikin gue kesel cuma satu hal. Gue udah nyianyian waktu gue yang berharga sama lo."sembur Emi tanpa jeda.

Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Sebenarnya gue nggak minta maaf soal itu, tapi soal Sophia yang nampar lo. Gue harap lo nggak bawa masalah ini ke rana hukum."

Kurang ajar banget pria brengsek satu ini. Andai saja si Jesper brengsek lagi di dekat sini, nggak akan segan-segan dia kuliti. Biar mati sekalian. Berani sekali dia mempermalukan Emi dengan kata-kata itu.

"Oh, lo nggak usah khawatir. Saking jijiknya gue sama lo, jangankan buat laporin nenek lampir lo ke polisi, tinggal sekota sama kalian aja bikin kulit gue gatel-gatel."

"Bagus kalau begitu, biar gue tebak? Perempuan manja kayak lo pasti balik ke keluarga sambil nangis kejer." ejek Jesper dengan sinis.

Emi melotot dan berdiri kaku di tempatnya. Kalau Jesper pikir dia menang dengan kata-kata itu. Maka dia salah, Emi sudah belajar banyak dari kejadian ini. Dia memang buta karena selama ini tidak menyadari pria yang dia pacari selama dua tahun ini sama sekali bukan pria sejati.

"Emang kenapa? Nggak ada urusannya kan sama lo?"

"Ema-" Emi memilih memutuskan panggilan tersebut. Senyuman manis tersungging di bibirnya. Dia tahu Jesper akan marah-marah di seberang sana karena panggilannya diputus secara sepihak.

Ponselnya kembali berdering, kali ini Emi memastikan siapa yang menelpon.

"Hm." sahutnya dingin.

"Tiketnya sudah gue kirim ke whatsapp lo."

"Hm."

"Besok gue yang jemput."

"Hm."

"Kenapa? Tiba-tiba sariawan?"

"Lo resek, ya udah. Sampai jumpa besok. Gue mau kemas-kemas."

"Eh, tunggu dulu."

"Apalagi Delphinus? Mau nanya soal Hopi? Lo belum bisa move on? Dia udah punya gandengan, mending lo nyerah aja deh. Oke? Sekarang gue tutup teleponnya ya. Bye."

Tidak ada tanggapan dari kakak keduanya, jadi dia benar-benar memutuskan sambungan.

Sebenarnya Hopi belum punya gandengan, dia sedang ingin mengerjai Inus saja. Emi sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan Inus dan Hopi. Yang Emi tahu mereka sempat pacaran ketika Emi dan Hopi duduk di kelas sepuluh sementara Inus adalah kakak kelas tingkat terakhir di sekolah mereka. Mereka sempat pacaran beberapa tahun hingga Hopi kuliah di tahun pertamanya. Lalu suatu malam Emi menemukan Hopi menangis tersedu-sedu di kamar apartermen mereka. Dia sempat bertanya, tapi tak seorangpun di antara kedua orang itu yang mau menjelaskan apapun kepadanya.

***

Guys,
Dukung aku di Karya Karsa ya...
Bisa baca lebih cepat dari pada dari wattpad🥰
User id @SiennaBachir
I love youu

Promo Paket all in semua karya Sienna Bachir akses selaamaanya hanya Rp 99.900,- di Karya Karsa

Oke, saya datang membawa seorang heroine yang manja dan ngeselin. Karakternya nggak sempurna dan bikin gondok... hehehe...

Ya udah sih... gitu aja...

Nanti saya akan kasih penampakan karakter Heronya... jangan bosan nunggu ya... jangan bosan baca juga...wkwkwk...

Salam XOXO

S.B

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

545K 20.2K 31
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
LION [END] Von jeremy

Aktuelle Literatur

578K 25K 68
aish, perempuan yang kini berusia 15 tahun harus hidup terpisah dari abangnya, bara. karena abangnya hendak menempuh pendidikan di luar negeri. akhi...
SCH2 Von xwayyyy

Aktuelle Literatur

52.2K 9.6K 31
hanya fiksi! baca aja kalo mau
568K 53.1K 43
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...