LOOKING FOR MOONLIGHT

By Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... More

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
4. Rasa Bernama Kesepian
5. Mencari Sebuah Perhatian
6. Teman
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
9. Ingin Bertemu
10. Jarak
11. Perasaan
12. Antara Kita
13. Memahami
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

3. Dia Memang Aneh

191 15 4
By Authorable_ID

Satu bulan berlalu.

Satu bulan yang terasa menyebalkan bagi Jia dengan Alden sebagai pengganggu di sebelahnya.

Gadis itu sulit fokus pada pelajaran karena setiap waktu Alden akan berceletuk. Lalu menimbulkan suara berisik yang membuat mata guru akan memandang ke arah meja mereka. Dan tak hanya itu saja, Alden juga terkadang akan menghalangi jalan Jia di pintu kelas. Memandanginya intens lalu tertawa setelah berhasil membuat ia kesal ataupun malu.

Jia mengunyah keripik kentangnya tanpa ampun. Meluapkan rasa kesal. Sekai yang tengah makan roti di depannya heran.

"Kenapa, Zee? Kamu kayaknya kesel banget."

Saat ini keduanya berada di kantin. Jam istirahat pertama.

"Alden?" tebak Sekai. Melihat reaksi wajah Jia yang semakin cemberut, sudah menunjukkan bahwa tebakannya benar. Cowok itu tertawa pelan.

"Dia ganggu kamu gimana sih?"

Jia tak menjawab. Dengan geram ia melahap keripik kentangnya. Sekai tertawa lagi. Beginilah kalau Jia sedang kesal tapi tak bisa meluapkannya. Ia hanya akan makan sesuatu yang ada di depannya dengan lahap.

"Kesel yah kesel, tapi perhatiin cara makan kamu dong." Sekai menyeka remah kentang di dagu Jia.

Gadis itu tersentak. Matanya melirik ke arah lain. Sialnya ia malah bertemu pandang dengan Alden yang baru saja membeli banyak makanan ringan. Cowok itu mengawasinya. Jia melotot kaget. Sekai ikut menoleh ke sana. Lalu tersenyum kecil, bermaksud ramah pada Alden. Namun Alden hanya berlalu, mengabaikan keduanya.

Jia mendecak. "Lihat, ganggu kan dia?"

Sekai menjauh, lalu mengangkat gelas minumannya. "Dia mungkin suka sama kamu."

Jia kaget lagi. Ia tak senang mendengar dugaan Sekai. Siapa yang mau disukai cowok seperti Alden. Dia cuma cowok pengganggu.

Sekai meneguk minumannya. Ekor matanya menangkap sosok Kinal yang melintas dengan air mineral yang baru dibelinya. Lalu Sekai terus memperhatikan sampai Kinal menghilang di pintu ke luar.

"Sekai? Hei!" Jia membuyarkan. Cowok itu menoleh, lalu terlihat bingung melihat muka cemberut sahabatnya.

"Kenapa?"

Jia tambah kesal. "Dari tadi aku bicara sama kamu loh."

Sekai tertawa aneh. "Sori, Zee. Kamu bisa cerita lagi sekarang."

Jia sudah tidak mood. Sekai tak memaksa. Pasalnya ia sendiri punya sesuatu yang dipikirkan dalam kepalanya. Tentang Kinal, dengan sikap dinginnya.

***

"Jadi untuk tugas makalah sejarah, Ibu akan bagi kalian menjadi delapan kelompok. Perkelompok lima orang." Bu Ardini, guru Sejarah yang beberapa menit lalu memberikan penjelasan tentang materi tentang penjajahan Jepang, melihat daftar absen. Kemudian beliau mencoret-coret di atas kertasnya, sepertinya tengah membuat daftar kelompok.

Jia cemas. Ia berharap dirinya satu kelompok dengan Sekai, sebab itu akan memudahkannya mengerjakan tugas. Dan ia sangat berharap Alden tidak satu kelompok dengannya. Jia sibuk merapalkan harap dalam benaknya.

"Kamu berdoa supaya kita nggak satu kelompok ya?" tahu-tahu Alden berceletuk.

Jia tersentak. Sikapnya yang ketara tampaknya terbaca Alden dengan mudah. Gadis itu menoleh. Alden tersenyum sengit. Sekarang apa lagi maunya cowok ini. Kadang wajahnya bisa begitu manis dengan senyuman yang ramah—walau Jia lebih merasa ngeri melihatnya begitu. Lalu suatu waktu wajahnya akan berubah seram, dengan sorot mata tajam. Kadang dia juga akan diam seperti memendam sesuatu, kemudian akan berubah lagi ketika teman-temannya dari kelas lain datang.

Jia tak perlu menjawab pertanyaan Alden. Tanpa menjawabnya, harusnya Alden pun tahu apa yang ada dalam pikiran Jia.

Namun sayangnya dewi keberuntungan tak berpihak sepenuhnya pada Jia. Ia memang satu kelompok dengan Sekai, lalu dengan Tobi dan Alin, tapi mengapa Alden tetap harus termasuk? Dan sekarang cowok itu sedang tertawa, tepatnya menertawakannya.

Jia melirik sebal.

"Haha, aku liat gimana muka kamu pas Bu Ardini bilang kamu satu kelompok sama Sekai. Kamu seneng banget ya."

Bukan urusan kamu!

"Kamu suka sama dia ya?"

Mata Jia terbelalak. Apakah sikapnya sebegitu kentara di mata Alden sampai ia bisa menyimpulkannya secepat itu?

"Di...dia itu sahabatku. Wajar aku senang kami satu kelompok."

Alden manggut-manggut, sok mengerti.

"Kamu bahkan nggak jawab pake kata 'ya' atau 'enggak'. Ah, kamu emang suka dia." Alden menyimpulkan lagi.

Jia sungguh tidak menyukainya. Rasanya ingin menendang Alden kalau saja ia mampu dan berani melakukannya.

Alden tertawa aneh. "Pasti kamu kecewa berat ya, aku satu kelompok sama kamu."

Bagus kalo kamu sadar!

"Tapi aku nggak akan ganggu kok," ucap Alden kemudian, namun Jia malah merasa sangsi. Ia justru berpikir Alden malah berniat mengacaukan.

Alden beranjak dari kursinya. Pelajaran Sejarah sudah berakhir dengan berbunyinya bel. Bu Ardini lekas ke luar kelas.

"Menurutku, kamu sama Sekai nggak cocok," ucap Alden sebelum dia berjalan ke pintu. Di sana beberapa temannya menunggu untuk mengajaknya makan di kantin, seperti hari-hari sebelumnya.

Alden tak punya teman akrab di kelasnya sendiri. Tapi ia punya cukup banyak teman dari kelas lain. Mungkin teman-temannya saat kelas sepuluh dulu.

Jia memandang tak suka ke arah Alden. Cowok itu hanya sok tahu!

Sekai mendatangi meja Jia. Mengajaknya ke luar sambil membicarakan tugas makalah. Tobi dan Alin turut bergabung. Sementara Kinal ke luar dari kelas ketika salah satu dari teman sekelompoknya akan mengajak bicara tentang tugas. Sekai sempat melihat, lalu kembali fokus pada kelompoknya sendiri.

"Alden ke mana? Kenapa kamu nggak tahan dia sebentar, Zee? Kita kan harus diskusi dulu," tanya Sekai, yang baru sadar rupanya Alden pergi. Dikiranya Alden hanya berdiri di pintu kelas seperti biasa.

"Nggak tahu."

"Ya udah kita dulu aja yang diskusi, nanti kalo udah klop baru kasih tahu ke Alden," ucap Alin, memberikan solusi. Tobi melirik lalu mencibir pelan.

"Tumben lo pinter."

"Jangan mulai ya." Alin menggeram.

Sepulang sekolah, mereka sepakat membahas tugas makalah di sebuah café yang tak jauh dari letak sekolah. Café itu bernama Marrone. Pemiliknya seorang perempuan berusia 27 tahun yang terlihat ceria bila melihat pelanggan masuk ke dalam café sederhananya. Namun walaupun tampak sederhana dengan dekorasi minimalis, café ini lumayan diminati pengunjung. Terlebih remaja yang hang-out sepulang sekolah.

"Alden mana?" tanya Alin, yang baru saja membawa nampan berisi empat gelas minuman ke meja mereka. Sementara Tobi baru kembali dengan nampan berisi kue-kue.

"Tadi dia udah dikasih tahu nggak sih?" Tobi bertanya.

Sekai melihat ke arah Jia, tadi gadis itulah yang mereka suruh untuk memberitahu Alden tentang diskusi ini.

"Aku udah kasih tahu!" sahut Jia cepat. Ia memang sudah memberitahukan pada Alden kalau sepulang sekolah mereka berkumpul di Marrone untuk membahas tugas makalah. Tapi Alden tak mengiyakan ucapan itu. Ia hanya berlalu begitu saja.

"Ah, kayak yang dibilang anak-anak lain, si Alden itu emang trouble-maker!" ucap Tobi, lalu menyeruput ice-blended caramel-nya.

"Hei, lo jangan nyebarin rumor nggak bener," pungkas Alin. Gadis ini paling tidak suka dengan sifat sok tahu Tobi. Alin tahu kalau Tobi punya pergaulan yang luas. Ia sangat ramah dan mudah mengakrabkan diri dengan orang lain. Termasuk kakak kelas. Tetapi sifat sok tahu-nya ini sangat mengganggu. Tobi terlihat seperti biang gosip di sekolah. Ia tahu semuanya.

"Itu bukan cuma rumor, Lin. Gue kenal sama orang yang kenal Alden. Dia taunya cuma bikin ribut. Pas kelas sepuluh, nggak kehitung berapa kali dipanggil ke ruang BP. Dia sering bolos pelajaran, berantem sama anak kelas lain, terus jahilin orang."

"Masa sih?" Alin malah jadi tertarik.

"Iya! Ke mana aja sih lo. Ceritanya udah menyebar lagi pas kelas sepuluh, dia berantem sama temen sekelas gue, sampe bonyok. Terakhir Alden kena skors. Belum lagi dapat tuntutan dari orangtua temen gue itu. Bokapnya pasti ngamuk setelah dipanggil ke sekolah."

Jia tertegun. Melihat bagaimana sikap Alden dalam satu bulan ini, sepertinya apa yang dikatakan Tobi bukanlah kebohongan. Alden memang bukan orang baik. Dia pembuat onar.

"Jadi ceritanya, kita mau belajar atau enggak?" tanya Sekai.

Tobi dan Alin yang bergosip, kemudian menoleh hampir bersamaan. Tobi menyengir ringan.

"Sori, sori, gue keasikan ngobrolnya. Ya udah ayo dimulai."

***

Sekai menghampiri Alden yang baru saja meletakkan tasnya ke atas meja. Sementara Jia berjalan di belakang Sekai. Sedikit takut. Selaku ketua kelompok, Sekai-lah yang bertanggungjawab mengurus anggotanya. Dan ia tak mau orang seperti Alden menyusahkan anggota lain. Jia tampak khawatir jika kedua cowok ini akan terlibat pertengkaran hanya karena hal ini.

"Kenapa kemarin lo nggak datang?"

"Apa?" Alden balas bertanya. Ia melihat Jia yang seolah bersembunyi di belakang tubuh tinggi Sekai.

"Untuk tugas sejarah, kemarin kita sepakat diskusi di Marrone. Zee udah kasih tau kan?"

"Zee?" Alden malah melontarkan pertanyaan yang terdengar tak penting.

"Jia!" ucap Sekai, agak emosi.

"Oh, jadi kamu manggil dia Zee? Lucu juga ya pake nama panggilan gitu." Alden tertawa aneh, kemudian duduk di kursi.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, kenapa kemarin nggak datang?"

"Dia nggak kasih tahu."

Jia melotot. Tak setuju. Jelas-jelas kemarin ia sudah memberitahu Alden.

"Aku bilang kok." Jia menarik ujung lengan kemeja pendek Sekai. Menandakan ia khawatir.

"Aku nggak ngerasa kamu bilang sesuatu sama aku. Kapan kamu bilangnya, kok aku nggak tahu?" Pagi ini, cara bicara Alden sedikit berbeda dari hari biasanya. Ia terasa dua kali lebih menyebalkan. Walau sikapnya saat ini tampak santai.

Sekai menoleh ke arah Jia karena merasakan gadis itu menarik lengan kemejanya agak kuat.

"Aku beneran udah kasih tahu dia, Kai," ucap Jia pelan. Kini rasa khawatir Jia berubah jadi takut.

Sekai pikir, Jia menjadi seperti ini karena pembicaraan Tobi kemarin tentang sifat Alden. Tentu saja Jia berpikir kalau ia pun bisa dalam masalah karena satu bangku dengan Alden. Mengingat Jia juga sering diganggunya.

"Ya udah, kita anggap lo cuma lupa. Jadi nanti pulang sekolah, kita kumpul dan pergi ke rumah gue untuk diskusi bareng," putus Sekai tegas. Ia melihat Jia yang masih takut. Ia menurunkan tas Jia ke atas bangku lalu menuntunnya ke luar. Ia yakin Jia tak akan mau bertahan di kelas untuk saat ini.

"Hei, aku bukan pelupa!" protes Alden kesal. Namun Sekai mengabaikannya.

***

Untuk 'memulihkan' nama baiknya, Alden akhirnya ikut pergi ke rumah Sekai. Cowok itu melirik Jia yang masih menyembunyikan diri di dekat Sekai. Ia ingat betul bagaimana sikap Jia di kelas hari ini. Ia terlihat tegang. Tak sedikitpun menoleh ke arah Alden. Entah mengapa sikapnya menjadi aneh begitu? Apa gadis itu takut padanya? Memangnya apa yang sudah ia lakukan? Alden tak pernah berlebihan mengganggunya. Selama ini ia hanya mengajak gadis itu mengobrol karena ia bosan.

Sekai menghela napas. Sejak tadi ia membuka kenop pintu rumahnya dan tak berhasil. Salah satu kebiasaan ibunya saat sedang pergi adalah, tidak meninggalkan kunci di bawah pot bunga.

"Terkunci." Sekai kemudian melihat ke arah Jia. Gadis itu tentu tahu hal ini sering terjadi. Jika sudah begini biasanya Sekai akan menunggu di rumah Jia sembari makan siang dan mengerjakan tugas sekolah.

"Jadi gimana? Kita ke Marrone lagi? Jauh ah," ucap Alin, gadis itu sudah tampak lelah.

"Di... rumah aku aja gimana?," ucap tanya Jia pelan, agak ragu.

Mereka berempat menoleh.

Sekai tampak tersenyum, ia senang karena Jia mengambil inisiatif seperti itu. Seperti yang ia tahu, Jia bukanlah gadis yang mudah menawarkan orang lain untuk masuk ke rumahnya. Namun tampaknya Jia sudah bisa sedikit berubah.

"Rumah kamu di mana? Jauh dari sini nggak?" tanya Alin.

Jia menunjuk ke arah rumah yang letaknya sedikit meninggi dari keberadaan mereka.

"Di atas sana?"

Jia mengangguk.

Alden melihat ke arah sana, lalu mengamati wajah Jia. Entah apa yang sedang ia pikirkan dalam diamnya.

Rumah Jia lebih besar dari yang terlihat. Dengan pagar besi setinggi satu setengah meter yang melindunginya. Jia baru saja membuka pagar itu dan menyilakan mereka masuk.

Tobi mendecak kagum. Ia sama sekali tidak menyangka Jia punya rumah yang bagus. Ia menyukai warna dinding bagian depan yang dicat warna biru muda. Lalu di halaman rumah yang tidak luas terdapat tanaman hijau. Beberapa bunga menyembul lewat celah-celah daun.

"Neng Jia udah pulang?" Bi Arisa, menyambut lalu terlihat heran melihat Jia tak datang sendirian.

"Oh, ada teman-temannya juga. Mau bibi buatin minum, Neng?"

Jia hanya mengangguk, lalu menuntun teman-temannya menuju ruang tengah.

Alin dan Tobi menaruh tas mereka di atas sofa dengan mata yang masih memerhatikan bagian dalam rumah. Konsep minimalis begitu mendominasi ruangan ini. Dengan satu set sofa berwarna krem, meja persegi panjang berwarna hitam dan di depannya terdapat LED TV dan home theater. Sementara di dinding terdapat figura foto Jia saat masih kecil dan beberapa lukisan abstrak.

"Waaah, Jia imut ya, waktu kecil." Tobi sedang memperhatikan satu di antara beberapa foto di dinding.

Jia hanya tersenyum kecil kemudian melirik Sekai. Cowok itu sibuk mengeluarkan buku. Di sisi lain Alden hanya duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Mukanya cemberut. Jia lekas memalingkan wajah. Tak mau berurusan dengan cowok satu itu.

"Oke, sekarang aku bagi tugasnya ya." Sekai tampaknya sudah mempersiapkan apa saja yang akan mereka bahas dalam makalah. Semuanya merapat untuk melihat, kecuali Alden yang tetap bergeming. Cowok itu memperhatikan foto-foto di dinding. Lalu menemukan sebuah kejanggalan. Tidak ada foto keluarga.

"Kamu sama Tobi kerjain bagian yang ini ya, gue fokus sama bagian tengah sama revisi, Jia ngerjain bagian kesimpulan sama Alden, nanti aku bantu juga." Sekai teringat Alden yang belum bergabung.

"Alden!"

Cowok yang dipanggil kaget. Ia menoleh. "Apa?"

Apa? Sekai tersenyum kesal. "Kita lagi bagi tugas, lo gabung dong."

"Oh, oke." Alden menurut. Ia mendekat. Duduk di sebelah Jia. Ia bisa merasakan keterkejutan serta rasa tak nyaman dari gadis itu. Tapi Alden memilih tak peduli. Ia mendengarkan ulang penjelasan dari Sekai lalu mengangguk paham. Gadis ini pasti gusar karena Sekai menyuruh mereka mengerjakan tugas yang sama.

Kini masing-masing dari mereka mengerjakan tugas. Tobi dan Alin seperti biasa sedikit berisik di depan laptop dan buku referensi. Sekai mencoret-coret selembar kertas sembari membaca buku sejarah di tangannya. Sementara Alden tampak mengawasi Jia yang membaca materi lewat situs edukasi. Gadis itu semakin merasa tak nyaman. Kepalanya menunduk tiap kali merasakan Alden mengamatinya.

Bi Arisa datang dengan nampan berisi minuman dingin dan kue kering. Sejenak ada jeda bagi Jia dari tatapan Alden. Namun cowok itu hanya melirik sebentar ke arah Bi Arisa. Justru Tobi dan Alin-lah yang paling heboh saat minuman mereka datang.

"Makasih yah, Bi..." ucap Tobi senang. Bi Arisa cuma tersenyum kemudian kembali ke belakang. Melanjutkan pekerjaannya untuk menyiapkan makan malam.

Tobi bersandar di sofa. Ia meneguk minumannya, lalu menyadari satu hal.

"Jia," panggilnya. Jia menoleh. Alden ikut menoleh.

"Nyokap lo nggak di rumah ya?"

Jia terkejut. Ia sama sekali tak berpikir kalau Tobi akan bertanya seperti itu. Sebenarnya itu pertanyaan yang wajar. Tetapi bagi Jia pertanyaan seperti itu paling mengganggunya, sebab ia tak punya jawaban yang tepat untuk menjelaskan kondisinya.

"Nyokap lo kerja juga?" tanya Tobi lagi.

Sekai yang semula sibuk dengan kertas-kertasnya, mengalihkan perhatian. Ia melirik Jia. Tentu memahami bagaimana perasaan gadis itu sekarang.

"Uhm...mamaku..."

"Iya, orangtuanya Jia emang gila kerja. Papanya sibuk di luar kota, jarang di rumah. Kalau mamanya, emang wanita karir." Sekai membantu menjawab.

Tobi manggut-manggut lalu kaget. "Lo kayaknya kenal banget sama Jia ya."

Sekai tersenyum dan mengiyakan. "Kita udah temenan dari SMP. Gue sering ke sini."

"Berarti kalian deket banget ya," sambung Alin, yang ikut tertarik.

"Iya. Dari dulu kami selalu bareng."

Jia diam-diam tersenyum. Ia merasa lega karena Sekai membantunya menjawab pertanyaan Tobi. Kini topik pembicaraan sudah beralih.

Jia kembali menunduk untuk membaca. Sesaat ia berhenti begitu sadar kalau Alden masih memperhatikannya. Kali ini ada ekspresi berbeda di wajah cowok itu. Jia tak mengerti apa sebenarnya maksud Alden terus mengamatinya seperti itu.

Pukul lima sore, tugas makalah pun akhirnya selesai. Tobi dan Alin pamit pulang karena keduanya searah. Sekai pun harus segera pulang karena barusan ibunya menelepon kalau sudah tiba di rumah. Setiap sore Sekai akan membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara Alden masih bergeming di depan rumah Jia. Sekai baru saja berjalan menuju rumahnya. Meninggalkan mereka berdua.

"Kamu...nggak pulang?" tanya Jia, melihat tak ada tanda-tanda kalau Alden akan segera pulang seperti yang lain.

Alden menoleh. Dalam diamnya, ia hanya memandang Jia. Membuat gadis itu merasa tak nyaman sekaligus bertanya-tanya kenapa cowok ini terus memperhatikannya dengan cara yang mencurigakan.

"Mama kamu ke mana?"

Jia tersentak. Kenapa Alden memberikan pertanyaan seperti itu padanya? Untuk apa ia bertanya begitu?

"Ma..mama kerja."

Alden tidak percaya. Sejak Sekai yang menjawab pertanyaan Tobi tadi, ia sudah merasakan kalau ada yang disembunyikan tentang ibu Jia. Alden ingin tahu.

"Aku nggak yakin kalo jawaban Sekai tadi bener. Keliatan banget dia ngelindungi sesuatu."

Jia bungkam. Ia hanya tak mengerti kenapa Alden ingin tahu. Apa ini urusan yang perlu ia campuri?

"Itu bukan—"

"Apa kamu juga...udah nggak punya mama lagi?" tanya Alden kemudian, memotong ucapan Jia. Gadis itu kian bungkam. Ada perasaan sakit yang menyerang ke dadanya. Rasa kosong itu, yang sudah lama dipendam dan ia tahan, seolah mencuat pelan-pelan ke permukaan.

Alden melihat Jia sekali lagi. Sepertinya ia tak akan mendapatkan jawaban. Ia tak akan memaksa. Walau ia begitu ingin tahu. Lalu tanpa pamit cowok itu melangkah pergi.

Ia masih bergeming. Kedua tangannya mengepal. Menahan perasaannya. Ini salah satu bagian yang tidak ia sukai ketika bertemu orang lain, ketika mencoba berteman dengan orang lain. Mereka akan bertanya tentang keluarganya. Orangtuanya. Mama-nya.

"Apa kamu juga...udah nggak punya mama lagi?"

Air matanya jatuh setetes. Ia punya. Ia memiliki ibu, tetapi...

Jia mengangkat kepalanya. Melihat ke arah Alden pergi. Cowok itu sudah jauh di ujung sana. Sekali lagi air mata gadis itu jatuh.

Ia memiliki ibu, tetapi ia tak pernah merasa bahwa ia memilikinya. Karena ia belum pernah bertemu ibunya, sampai sekarang tak pernah memanggilnya dengan sebutan 'Mama.'

***

Continue Reading

You'll Also Like

249K 23.6K 30
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
908K 13K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
565K 21.8K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.1M 219K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...