Sayap Mimpi

By putuderiska

1.4K 78 6

"Dreams are conceived long before they are achieved. The period of time between the birth of a dream and its... More

Prolog
Menatap Lurus
Someday
Pahat
Yang Tersembunyi
Keluarga
Semakin Dekat
Kue Pasir
Kelas Pertama
Berbagi
Merangkai Mimpi
Dukungan
Menetapkan Hati
Membuang Pura-Pura
Pengakuan Lain
Farewell
Pergi pada Mimpi
Tetap Bertahan

Hati yang Tergerak

57 3 0
By putuderiska

Ritha memejamkan mata. Ia kembali terbawa pada bayang-bayang masa lalunya. Puzzel bergambar binatang yang baru saja dibuat, sejenak tidak mendapatkan perhatiannya.

Sejak membahas cita-cita bersama dengan siswa kelas lima tadi pagi, Ritha teringat semua yang sempat ia alami dalam masa kanak-kanaknya.

Masa lalu, yang secara tidak langsung telah membuatnya menjadi seperti saat ini.

"Besok kamu ngajar lagi?"

Pertanyaan Helma berhasil membuatnya tersentak. Sebelumnya dia mengira Helma telah kembali ke rumah Pak Ketut untuk beristirahat.

Biasanya, Helma akan segera meninggalkan posko setiap tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya. Ritha mendongakkan kepala agar dapat melihat Helma.

Ritha mengangkat kedua ujung bibir begitu melihat dua gelas white coffee yang dibawa Helma dalam sebuah nampan.

"Selama masih ada waktu buat ngajar, kenapa harus bolos?"

"Kamu nggak capek, bukannya seharian ini kamu penuh ngajar? Pagi di sekolah, siang sampe sore di klinik?" Helma meletakkan kopi itu tepat di depan Ritha.

Ritha kembali tersenyum. Ia hanya sedikit tidak percaya bahwa rekannya itu bisa melakukan hal seperti ini. Berada di lokasi KKN sepertinya berhasil memudarkan sifat manja Helma. Sejak awal, Ritha bisa melihat bahwa Helma bisa merubah sikapnya.

"Kamu sendiri nggak capek? Kamu belum pulang ke rumah Pak Ketut setelah ke sekolah tadi pagi, kan? Kamu juga ikut mendampingi anak-anak di klinik?" Ritha mengambil kesimpulan setelah melihat Helma belum mengganti kemeja.

"Bahkan kamu sekarang merangkap sebagai waitress warung di depan?" goda Ritha, berhasil membuat Helma tersenyum tawar.

"Sorry. Saya cuma bercanda. Sebenarnya, kalau kamu menikmati apa yang kamu kerjakan, kamu nggak bakalan capek. Bagi saya, anak-anak itu sumber energi. Saya justru merasa tidak bersemangat, kalau tidak melihat mereka."

Helma hanya mengangguk kecil, kemudian memilih untuk diam. Ia meniup kopi yang ada dalam genggamannya, kemudian menyerumputnya perlahan.

"Saya kira kamu sudah balik duluan ke rumah Pak Ketut."

Helma sebenarnya sempat risih karena hingga pukul tujuh malam ini, dia belum juga mendapat kesempatan untuk mengguyur tubuh dengan air. Tidak biasanya dia bisa menahan keringat dan debu yang menempel di kulitnya.

Sandy yang didaulat oleh Ritha untuk menjadi tukang ojek pribadi Helma, sudah sempat mengajaknya pulang mendahului. Tapi, dia merasa ada yang mengganjal di hatinya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan Ritha.

"Temen-temen belum mau pulang kalau kamu masih di posko. Mereka lagi nongrong di warung depan." jawab Helma.

Dia tidak berbohong. Mereka memang sedang menunggu Ritha. Dan Helma beruntung, karena sikap teman-temannya tersebut bisa digunakan sebagai tameng agar bisa mengulur waktu untuk menyampaikan kegundahannya. Masih ada gengsi, meskipun tidak sebesar sebelumnya.

Sekilas, Ritha melirik jam dinding, jarum pendeknya telah melewati angka tujuh. "Jadi sejak tadi kalian belum pulang? Belum mandi? Belum makan?"

Helma mengangguk ringan.

"Memangnya kamu sudah?"

Ritha kembali hanya menjawab dengan tawa kecil.

"Oya, aku boleh tanya sesuatu?"

Ritha urung meneguk kopinya. Dia kembali meletakkan gelas di atas meja. Helma terlihat tidak biasa hari ini.

"Boleh?" Helma kembali mengulang pertanyaannya, setelah beberapa saat Ritha hanya diam.

"Oh, sure."

"Kenapa kamu bisa menikmati kegiatanmu sebagai guru?"

Ritha menyipitkan mata, menyelidik wajah Helma yang begitu serius menanti responnya.

Ritha merasa ada yang aneh. Seharusnya, Helma menanyakan ini jauh sebelum dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas yang notabene mencetak guru.

"Memangnya kamu nggak menikmatinya? Bukankah kita kuliah di tempat yang sama? Lulus dapet gelar S.Pd., dan mungkin akan benar-benar jadi guru. Bukannya gitu?"

Helma tidak langsung menjawab. Dia menggenggam kuat gelas dengan kedua tangan. Dia bisa merasakan kehangatan dari gelas tersebut, tapi entah mengapa, seperti ada yang membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena udara yang dingin.

Beberapa saat setelahnya, ia seperti mengalihkan perhatian dengan mengambil lembaran kertas bergambar yang tergeletak di meja.

Sejak kecil, kedua orangtuanya selalu memanjakannya. Dia memang pergi ke sekolah, tapi tidak pernah sungguh-sungguh belajar. Prestasinya tidak terlalu baik, namun dia selalu bisa naik kelas dengan mudah. Baginya, pendidikan adalah bagian dari siklus kehidupan yang harus dilalui, sebuah formalitas agar keluarganya bangga karena gelar sarjana yang diraihnya.

"Aku cuma ngikutin apa yang papa dan mamaku mau. Mungkin mereka mau setelah lulus nanti aku bisa ngurus sekolah. Mungkin juga mereka nyuruh aku kuliah di Singaraja karena mereka nggak mau aku jauh dari mereka. Entahlah," jelasnya jujur.

Ritha mengangguk mengerti. Tidak ada alasan bagi Helma untuk khawatir akan masa depan. Kalau pun dia tidak serius menjalani kuliah, dia tetap dapat hidup dengan nyaman. Yayasan yang dimiliki kedua orangtuanya cukup menjanjikan. Sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan tersebut tidak akan menolak kedatangan Helma hanya karena IP-nya kurang dari tiga.

"Kalau memang tidak berminat menjadi guru, lalu sebenarnya kamu mau jadi apa?"

"Aku nggak bilang kalau nggak pengen jadi guru. Aku cuma nggak tau sebenernya mauku apa. Aku nggak pernah punya cita-cita kayak anak-anak itu."

Helma teringat bagaimana antusias para siswa ketika membicarakan cita-cita. "Meskipun sederhana, setidaknya ada sesuatu yang ingin mereka lakukan," ungkap Helma lirih.

Ritha mengernyit. Dia tidak pernah bertemu dengan orang seperti Helma, yang sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukannya di masa mendatang.

"Apa benar nggak ada yang kamu suka?"

Helma berpikir keras. Dia kembali menyelidiki hati dan pikirannya. Dia berharap benar-benar ada hal istimewa yang dia inginkan, yang berguna bagi orang lain. Semakin memikirkannya, semakin dia merasa bukan apa-apa. Selama ini, dia hanya mengikuti skenario yang ditulis orangtuanya.

"Kamu ingin jadi model? Desainer?" tebak Ritha mengingat kebiasaan Helma yang tidak jauh-jauh dengan kedua hal tersebut.

Helma berharap tebakan Ritha sesuai dengan keinginannya, tapi dia kembali bisu. Dia memang menyukainya, tapi dia tidak pernah ingin menjadi seperti itu.

"Jujur, sebelumnya aku nggak pernah mikirin ini. Aku nggak pernah pusing, nggak peduli tentang apa yang akan aku lakuin nanti. Aku selalu ngerasa udah punya semua. Tapi, setelah dari kelas tadi, aku jadi kepikiran terus."

Sedikit demi sedikit, Ritha mulai menemukan alasan mengapa Helma sampai tidak pernah memiliki mimpi. Lingkungan memang berpengaruh banyak. "Belum terlambat untuk mempunyai impian. Kamu mulai bisa mikirin. Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan. Santai saja!" Ritha berusaha membangkitkan semangat Helma.

"Kamu jalani aja dulu. Biasanya mimpi itu sendiri yang akan memberikan tanda kepada kita. Kalau kamu merasa bahagia tanpa alasan saat menjalani sesuatu, bisa jadi itu mimpimu."

Meskipun belum yakin, Helma tampak berusaha menghapus keraguannya. "I will try, Miss!" Helma mempertemukan jari telunjuk dan ibu jarinya, membentuk sebuah lingkaran.

Ritha berusaha memperlakukan Helma sewajarnya, menyembunyikan rasa bahagianya melihat perubahan Helma.

"Ngomong-ngomong, kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu sampai yakin dengan cita-citamu?"

Ritha diam sejenak. Mengambil waktu untuk membereskan tumpukan kertas yang masih berantakan di atas meja. Untuk saat ini, dia memilih untuk menghapus setiap tanya yang ada di hati Helma. Dia bisa melakukan persiapan mengajar setelahnya di rumah Pak Ketut.

"Saya pernah terancam nggak bisa sekolah."

Helma membenahi posisi duduk. Dia terlihat sangat antusias ingin mendengarkan cerita dari Ritha.

"Maksudmu?"

"Saya ini anak panti asuhan. Kedua orangtua sudah meninggal saat saya masih TK. Nggak cuma saya, tapi teman-teman lain di sana juga merasakan hal yang sama. Kami selalu ngeri tiap kali pengurus meributkan soal keuangan. Kami selalu takut kalau tiba-tiba tidak lagi ada sponsor yang membiayai kami, lalu kami tidak akan pernah bisa melanjutkan sekolah."

"Sorry, aku bener-bener nggak tau."

"It's ok. Ini bukan sebuah aib. Saya tidak malu kalau orang-orang tahu bahwa sebenarnya saya adalah anak panti asuhan. Kadang, saya justru ingin menunjukkan pada mereka, bahwa anak panti asuhan juga bisa meraih mimpi mereka."

"Dan akhirnya kamu bisa sampai kuliah, itu pasti sesuatu yang luar biasa."

"Iya, ini anugerah terindah dalam hidup saya. Sebenarnya, setelah lulus SD, ada yang mengangkat saya sebagai anak. Saya hidup bersama dengan keluarga itu. Awalnya, semua baik-baik saja. Sampai akhirnya, ayah angkat saya meninggal. Penghasilan ibu tidak seberapa. Waktu SMA, saat pulang sekolah, saya harus bekerja di toko. Untuk biaya kuliah ini, saya mendapatkan beasiswa penuh."

Helma sedikit terkejut ketika tahu bahwa Ritha tumbuh bersama dengan seorang ibu tiri.

"Ibumu bagaimana?" Helma bertanya pelan. Ada perasaan takut menggerayangi hatinya karena mengajukan pertanyaan itu, tapi dia sungguh merasa penasaran. Beberapa kali, dia mendengar kisah tentang seorang ibu tiri. Kebanyakan dari kisah itu membuatnya tidak pernah ingin memiliki ibu, selain dari ibu kandungnya.

"Ibu angkat saya?" Ritha justru balik bertanya membuat Helma mengangguk kecil.

"Dia baik," sahut Ritha sedikit berbohong. Meskipun terkadang merasa tertekan, ia merasa bahwa sesungguhnya ibu angkatnya adalah orang yang baik. Hanya saja, keadaan yang memaksanya seperti itu.

Setelah sekian lama gengsi mengakui kekagumannya pada Ritha, Helma akhirnya tidak punya alasan untuk tidak memuji Ritha. Di tengah kehidupan yang tidak mudah, Ritha masih berusaha melakukan hal yang bemakna bagi orang lain. "Kamu emang orang hebat!"

"Saya masih bukan apa-apa. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Kadang kita tidak boleh menyesal dengan pengalaman pahit yang terjadi dalam hidup kita. Kadang, itu yang membuat kita menjadi lebih dewasa."

Ritha kembali mengulas senyum. Dia sadar betul bahwa ada banyak hal yang telah dia pelajari dalam setiap permasalahan yang dialaminya. Kalau bukan karena ibu angkatnya, mungkin sampai sekarang dia tidak akan bisa bersikap dewasa.

Sekilas, Ritha bisa melirik Helma yang seperti tengah memikirkan sesuatu. Ritha tiba-tiba teringat dengan keponakan Pak Ketut. "Oya, apa kamu ingat waktu Komang Dika kasi permen ke kakaknya itu?"

"Iya, aku ingat. Kenapa?"

"Apa kamu nggak ngerasa ada yang istimewa darinya?"

Helma menyendengkan kepala. Matanya bergerak-gerak mengingat bagaimana Komang berlari menghampiri kakaknya dengan penuh semangat. Barisan giginya yang ompong bahkan bisa terlihat dari tempat Helma berdiri saat itu.

"Dia selalu terlihat ceria?"

"Itu salah satunya. Sebenarnya, saya banyak belajar dari dia. Kamu tahu, saya membelikan dua bungkus permen itu khusus buat dia. Tapi, dia ternyata berinisiatif untuk nyimpen permen itu, lalu kasi satu ke kakaknya. Padahal kalau dia mau, dia bisa aja ngabisin permen itu sendiri. He is amazing. "

"Berbagi?"

"That's it! Ada banyak yang bisa kita bagikan saat kita menjadi guru. Setelah melihat Komang, saya semakin ingin menjadi seorang guru. Secara finansial, saya mungkin tidak punya apa-apa. Tapi saya tetap bisa merasa berguna karena bisa membagi pengetahuan kepada mereka."

Helma kembali tertegun. Dia tidak pernah menyadari semua itu sebelumnya. "Aku boleh minta tolong ke kamu?"

Ritha mengerutkan dahi. "Apa? Kalau bisa, saya akan berusaha bantu."

"Anggap aku temenmu, jadi jangan pake 'saya' kalau ngobrol. Kesannya formal banget. Meskipun aku pacar atasanmu, jangan jadiin itu alasan," jelas Helma jujur. "Masih ada banyak hal yang pengen aku obrolin ke kamu."

"Hanya itu?"

Helma mengangguk penuh harap.

"Aku seneng bisa jadi temenmu."

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 17.4K 3
*Wattys 2018 Winner / Hidden Gems* CREATE YOUR OWN MR. RIGHT Weeks before Valentine's, seventeen-year-old Kate Lapuz goes through her first ever br...
3.7M 294K 96
RANKED #1 CUTE #1 COMEDY-ROMANCE #2 YOUNG ADULT #2 BOLLYWOOD #2 LOVE AT FIRST SIGHT #3 PASSION #7 COMEDY-DRAMA #9 LOVE P.S - Do let me know if you...
1.8M 127K 45
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
448 61 5
A romantic and adventure story about a boy named ZJ James and how he lives in the beautiful city of Atlanta with his family which he described as we...