Sayap Mimpi

By putuderiska

1.4K 78 6

"Dreams are conceived long before they are achieved. The period of time between the birth of a dream and its... More

Prolog
Menatap Lurus
Pahat
Yang Tersembunyi
Keluarga
Semakin Dekat
Kue Pasir
Kelas Pertama
Berbagi
Merangkai Mimpi
Hati yang Tergerak
Dukungan
Menetapkan Hati
Membuang Pura-Pura
Pengakuan Lain
Farewell
Pergi pada Mimpi
Tetap Bertahan

Someday

99 3 0
By putuderiska

Berulang kali Ritha melihat kembali tampilan jam digital di layar handphone-nya, tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Setelah diadakan pelepasan mahasiswa dari pihak kampus kepada bupati setempat, seluruh mahasiswa harus terjun ke lokasi hari ini. Ritha sendiri telah menghubung perbekel dan menyampaikan bahwa mereka akan tiba pada pukul sembilan pagi.

Ritha semakin cemas, terlebih saat mengingat jika pihak aparat desa telah menyiapkan acara kecil-kecilan untuk menyambut mereka. Jekas terlihat dari spanduk berukuran sedang yang di ruang pertemuan, serta susunan meja dan kursi yang rapi. Beberapa kelian dinas bahkan telah hadir. Malu kalau sampai acara terlambat hanya karena satu orang mahasiswa, Putu Helma Adelina.

"Seharusnya kamu suruh dia berangkat bareng rombongan, apa pun alasannya." Dera yang juga gelisah dengan mudah menyalahkan Ritha karena telah mengizinkan Helma dihantar keluarganya. Dera kembali melirik jam tangan kemudian berjalan mendekati gerbang. "Kenapa kesannya dia jadi kayak orang penting yang harus selalu ditungguin sih?"

Ritha tidak menggubris. Dia berusaha tampak tenang, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dia juga kesal atas keterlambatan ini. Jangan sampai Helma lari dari tanggung jawab. "Dia bilang nggak bakalan telat dateng."

"Buktinya?"

"Mungkin lagi ada masalah di jalan. Kita kan nggak tau," bela Sandy, mencoba menghentikan protes Dera. Tubuhnya yang jangkung berhasil membuat Dera yang tingginya tidak lebih dari 160 sentimeter itu harus mengangkat wajah untuk melihat Sandy.

"Sayu manggil kamu. Kayaknya dia kesulitan ngurus barang-barang yang belum kamu angkut ke balai desa!"
Sandy tidak suka dengan tingkah Dera yang terlalu ikut campur urusan orang. Urusannya sendiri saja tidak bisa ditanganinya dengan baik. Barang-barangnya masih tergeletak begitu saja di balai desa, belum dipindahkan ke tempat yang telah disediakan.

Merasa dipojokkan, Dera segera melangkahkan kaki, menjauh dari teras kantor dengan wajah memberengut.

"Sudah kamu hubungi dia?"
Ritha hanya mengangguk kecil menanggapi pertanyaan Sandy. Dari sekian banyak panggilan yang dilakukan melalui telepon, Helma hanya meresponnya dua kali. Dan jawaban yang didapatkannya tetap sama. "Dia bilang lagi on the way, tapi nggak mau bilang tepatnya dimana."

"Kalau memang lagi ada masalah jalan, kita nggak bisa maksa dia buat cepet-cepet nyampe. Kalau akhirnya ngebut, trus terjadi apa-apa justru kamu bisa ngadepin masalah yang lebih besar lagi." Sandy memutar badan, memandang Ritha. Dalam hati, ada perasaan bersalah yang singgah karena membebankan tanggung jawab kordes padanya. Dia merasa tengah menjadi seorang pengecut.

"Kenapa waktu itu kamu nggak mau jadi kordes? Karena memang kamu tau bahwa hal-hal kayak gini bakalan sering terjadi?"

Pertanyaan Ritha yang tepat sasaran itu berhasil membuat Sandy membentangkan senyum lebar. Matanya kemudian menyipit. "Kamu ternyata lebih cerdas dari yang kupikirkan." Sandy menepuk pundak Ritha berulang kali.

Ritha memutar bahu.

"Ups, maaf!" Sandy menarik kembali tangannya. Dia juga tidak mengerti mengapa dengan cepat bisa merasa dekat dengan Ritha. Dia bahkan berani menepuk pundak Ritha seolah mereka adalah teman akrab. Padahal, hari ini adalah pertemuan ketiga mereka. Pertama, saat pembekalan KKN, dan kedua saat rapat persiapan keberangkatan.

Berada dalam naungan universitas yang sama dengan perbedaan jurusan dan lokasi membuat mereka tidak pernah bertemu. Sandy tercatat sebagai mahasiswa pendidikan geografi.

Suara mobil yang berhenti tepat di kantor desa berhasil mengalihkan perhatian keduanya. Ritha segera berlari kecil mendekati gerbang agar bisa melihat siapa yang datang. Ia hanya ingin memastikan bahwa benar itu adalah Helma.

Sandy turut mengikuti langkah panjang Ritha dari belakang. Mereka berdua tidak sabar menantikan seseorang muncul dari dalam mobil.

Keduanya bernafas lega saat melihat Helma turun. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan terurai, dan itu berhasil membuat tulisan KKN di bagian belakang kaos berkerah yang digunakannya tertutupi. Sebuah sunglasses menahan poninya yang panjang agar tidak sampai menutupi bulu matanya yang tebal karena polesan maskara. Tas Aigner Sandang yang awalnya ditentengnya dengan tanan kanan, kini disampirkan di lengan kiri.

"Dia kayak lagi mau liburan," komentar Sandy singkat. Ritha tidak peduli. Cukup baginya melihat Helma tidak kabur.

Tidak lama setelah Helma, seorang pria dengan setelan T-Shirt dan jeans selutut ikut turun. Ritha cukup terkejut melihat sosok yang dikenalnya itu datang bersama dengan Helma.

"Pak Jimmy," Ritha berkata pelan, tapi sepertinya Sandy bisa mendengarkannya.

"Jimmy? Dia pacar Helma?"

"Nggak tau," sahut Ritha singkat. Dia tidak mengetahui apa pun soal Helma, kecuali tentang sikap manja dan egoisnya yang terlihat dari sikap dan cara bicaranya. Hanya saja, Ritha mengetahui sesuatu tentang pria yang datang bersama dengan Helma. Sebuah rahasia yang mungkin tidak diketahui oleh Helma.

Sementara itu, setelah sedikit membenahi rambut, Helma bergegas menghampiri Jimmy. Dia menoleh sejenak ke arah Ritha, memberikan tanda kepada kekasihnya. "Sayang, itu kordesku yang dari tadi neror kita."

Jimmy segera melempar pandang ke arah mahasiswi dengan seragam yang sama persis dengan yang dipakai Helma. Awalnya, Jimmy juga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, tapi kemudian dia mengembangkan senyum. "Jadi itu kordesmu? Sepertinya aku nggak perlu terlalu khawatir."

"Maksudmu?" Helma tidak mengerti. Bukannya memberikan penjelasan, Jimmy justru melangkah mendekati Ritha dan Sandy. Helma hanya mengikuti dari belakang dengan rasa penasaran yang begitu besar.

"Jadi kamu dan Helma satu lokasi KKN? Kebetulan sekali. Awalnya, saat dia cerita tentang kordesnya yang bernama Ritha, saya sempat berpikir itu kamu. Dan ternyata memang benar."

"Saya juga tidak menyangka...," Ritha menahan suaranya, melirik Helma yang kepribadiannya bertolak belakang dengan Jimmy, "kalau Hema tenyata pacar Bapak," katanya ragu.

Jimmy kembali hanya tersenyum. Ia kemudian membenahi posisi kacamata minusnya. Ada rasa tidak nyaman yang membuatnya menjadi salah tingkah. Jimmy adalah bos di tempat Ritha bekerja. Setelah mendapat gelar sarjana setahun yang lalu, Jimmy mengelola sebuah lembaga bimbingan belajar di Singaraja yang telah lama dirintis oleh kedua orangtuanya.

"Iya, dia pacar saya. Dia tidak pernah mau main ke tempat bimbel. Jadi tidak pernah ada kesempatan untuk ngenalin dia ke kamu," jelasnya.

Beberapa kali, Ritha bisa menangkap dengan jelas bahwa bola mata Jimmy bergerak tak tentu.

"Oh, jadi Ritha ini pegawaimu?" Helma yang akhirnya menyadari hubungan diantara keduanya hanya mengangguk pelan. Helma pikir, mungkin lebih baik dia mengetahui ini lebih awal sehingga ia tidak perlu terlalu mengikuti semua kemauan Ritha. Selama Ritha adalah bawahan Jimmy, dia memiliki hak lebih untuk menolak setiap aturan Ritha yang dianggapnya tidak penting.

"Ritha salah satu guru favorit. Murid-murid biasanya sampai request biar diajarin sama Miss Ritha. Nah sekarang, Ritha cuti, anak-anak juga pada minta libur. Jadi sepertinya aku bisa tenang, setidaknya, kordesmu adalah salah satu orang kepercayaanku."

Helma masih belum berkomentar banyak. Jimmy menoleh sejenak ke arah Ritha. "Saya titip Helma, ya! Kalau ada apa-apa, tolong kabarin saya."

"Saya di sini akan menjalankan tugas sebagai kordes, Pak!" sahut Ritha sekaligus mengingatkan Helma bahwa keberadaan Jimmy tidak akan berpengaruh banyak pada apa yang telah menjadi ketetapan mereka. "Semoga dia bisa mengikuti semua peraturan yang sudah kami sepakati."

Jimmy mengangguk tanda mengerti. Dia pun menghargai aturan main yang berlaku. "Oke, perlakukan dia sama dengan yang lain."

"Bapak tidak perlu khawatir."

Jimmy kembali hanya bisa menganggukkan kepala, kemudian menoleh Helma. "Kamu jaga sikap, ya! Ini desa orang."

Helma menanggapi dengan diam.

Sandy yang sejak tadi luput dari perhatian, hanya bisa mendengarkan apa yang dibicarakan oleh ketiga orang itu. Ya, setidaknya dia bisa menarik kesimpulan dari percakapan tersebut. Sandy mendapati bahwa Jimmy adalah kekasih Helma sekaligus bos dari Ritha. Dan, Ritha, rupanya selain mengikuti perkuliahan, dia juga bekerja paruh waktu sebagai guru Bahasa Inggris.

***

Perbekel tiba-tiba tidak bisa menghadiri acara penerimaan mahasiswa karena sakit. Setelah mendapatkan pengarahan umum dari Sekretaris Desa, perkenalan dengan aparat desa dan beberapa kelian dinas yang berkesempatan hadir, enam belas orang mahasiswa itu akhirnya bisa resmi menjalankan program-programnya selama satu bulan ke depan.

"Kita cuma punya waktu satu bulan, kalian sudah denger sendiri kan, masalah yang ada di desa ini? Mulai besok, kita observasi, trus omongin lagi program mana saja yang dijalankan." Ritha kembali mencermati apa yang tertulis di dalam catatannya. Setiap pesan dari Perbekel dan beberapa aparat desa telah tertulis rapi di sana.

"Saat ini, yang paling urgent adalah soal penginapan. Mau tidak mau, kita harus dipecah jadi dua kelompok."

"Apa nggak bisa nego lagi supaya kita bisa tinggal sama-sama?"

"Iya, kalau bisa, biar kita tinggal bareng-bareng di posko," ungkap Lina mengiyakan usulan Tirta. Mereka memang diperbolehkan memakai kantor desa dan balai desa yang letaknya bersebelahan.

Ritha sebelumnya telah membicarakannya dengan pihak desa. Jika mereka bisa tinggal satu atap, selain kordinasi yang menjadi lebih mudah, mereka tentu bisa saling mengakrabkan diri. Tapi memang kondisinya tidak memungkinkan. Kalau tetap dipaksakan mungkin saja akan ada yang merasa tidak nyaman.
Satu-satunya ruangan yang kosong di kantor desa hanyalah ruang pertemuan. Luasnya pun tidak seberapa. Belum lagi, ruangan ini digunakan untuk menyimpan sekian ton beras bulog untuk masyarakat kurang mampu yang tersebar di tiga belas Banjar Dinas.

"Kalau memang mau tinggal di sini, kita hanya bisa meminjam balai desa. Itu berarti, kita akan tinggal di ruangan terbuka selama satu bulan," terang Ritha, memberikan kesempatan kepada teman-temannya untuk mempertimbangkannya.

Suasana berubah gaduh, mereka mulai mendiskusikan dengan teman di sebelah kanan dan kiri. Belum ada yang berani mengambil keputusan.

Sekilas, Ritha melirik Satya yang lebih banyak diam. Dia tidak seaktif teman-teman yang lain. Kemarin, Ritha sempat mendapat telepon dari orangtua Satya. Satya menderita infeksi paru-paru. Dia tidak bisa bekerja berat, juga tidak tahan udara dingin. Ritha tidak mungkin membiarkannya tidur sebulan penuh di balai desa.

"Tha, aku mau ngomong."
Ritha mempersilakan Agra menyampaikan pendapat. Dari empat orang pria yang berada dalam kelompok, selain Sandy, Agra banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan KKN.

"Sepertinya kita memang harus tinggal di tempat itu. Lebih aman. Kita nggak bisa jamin juga kalau semua tahan sama udara dingin. Lagian, ini cara lain buat menghargai niat baik penduduk."

"Aku juga setuju. Lagian kalau kita tinggal di rumah warga, kita jadi lebih tau gimana keseharian penduduk. Kalau memang mau bareng, siangnya bisa ngumpul di posko. Malam balik ke tempat nginap," tambah Sandy.

Ritha mengganguk setuju. Dia juga memikirkan hal yang sama.
"Ada pendapat lain?"

"Oke, aku setuju," Sayu yang sejak tadi menjadi juru bicara teman-teman wanita akhirnya mendeklarasikan keputusan setelah sebelumnya sibuk mempertimbangkan banyak hal. "Tapi masalahnya, pembagiannya gimana? Ada dua rumah. Yang satu tiga kamar, yang satu lagi dua kamar."

"Aku udah bagi. Temen-temen cewek, selain aku, Hema, Mia, dan Kikan tinggal di rumah Pak Kuma. Rumahnya kan tidak terlalu jauh dari posko. Dera akan jadi koordinator di sana. Biar kami berempat tinggal di Pak Ketut."

"Bareng cowok-cowok?" Sayu kembali melemparkan pertanyaan.

"Di sana ada dua kamar. Cowok-cowok satu kamar, kami satu kamar. Aku sudah mempertimbangkannya. Jadi kalian nggak perlu khawatir." Satu per satu Ritha berusaha mengamati tiap ekspresi yang diciptakan rekan-rekannya. "Atau, ada yang ingin mengusulkan cara lain?"

Semua diam.

"Berarti semua setuju dengan keputusan ini," katanya menarik kesimpulan.

***

Helma tidak banyak bicara. Dia tahu bahwa Ritha kembali menyelamatkannya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus tinggal bersama dengan Dera yang selalu terlihat ingin memusnahkannya tanpa alasan yang jelas. Diam-diam, Helma merasa berhutang budi pada Ritha, tapi gengsi membuatnya tidak dapat mengucapkan 'terima kasih' secara langsung.

Awalnya, dia memang sempat sedikit kecewa karena tidak dijinkan untuk menyewa kamar sendiri di rumah warga. Dia paling tidak bisa berbagi tempat tidur dengan orang yang tidak terlalu dikenalnya. Dia selalu merasa risih. Tapi lagi-lagi Jimmy memintanya untuk bertahan dari kondisi ini. Kalau saja ini bukan karena Jimmy, dia pasti sudah memberontak.

Di satu sisi, entah kenapa keberadaan Ritha membuatnya yakin bahwa dia akan baik-baik saja. Helma duduk di kursi panjang di teras. Mia dan Kikan sedang menyiapkan makan malam di dapur. Sandy, Satya, Agra dan Devan asyik mengobrol dengan Pak Ketut, Kelian Dinas, yang rumahnya menjadi tempat tinggal mereka. Mereka seperti punya banyak topik pembicaraan.

Sedangkan Ritha nampak begitu sabar mendengarkan ocehan Wayan Ina, Kadek Yeni dan Komang Dika.

Helma belum habis pikir mengapa Ritha betah duduk menemani anak-anak itu. Padahal menurutnya, apa yang terlontar dari bibir mungil mereka sama sekali tidak penting.

Anak-anak itu adalah keponakan Pak Ketut. Baru beberapa jam mereka mengenal Ritha, tapi mereka sudah begitu akrab. Helma belum mengerti orang seperti apa sebenarnya Ritha. Dia dengan mudah bisa berapdatasi dengan lingkungan yang baru.

"Aku pikir mereka akan terus-terusan di sini," komentar Helma begitu anak-anak itu berlari riang meninggalkan teras. Helma membenahi posisi duduk, memangku boneka lumba-lumba bewarna biru, satu-satunya teman setianya sejak menginjakkan kaki di rumah Pak Ketut.

"Sudah malam, saya suruh mereka belajar," jawab Ritha enteng. Dia bergegas, mengenakan sandal jepit hendak menyusul Mia dan Kikan.
Tatanan bangunan di sini unik. Dalam satu pekarangan, ada beberapa rumah yang ditinggali oleh keluarga yang berbeda. Dapur yang mereka miliki letaknya terpisah dengan bangunan utama. Sebagian besar warga masih memasak dengan kayu bakar.

"Kamu nggak mau ikut ke dapur? Kamu belum ketemu sama istrinya Pak Ketut, kan?"

Helma sebenarnya tidak ingin diam sendirian di kamar, tapi dia juga tidak mungkin ikut ke dapur. Keluarga ini adalah salah satu yang masih memasak dengan cara tradisional, dengan tungku. Bahkan dari tempatnya sekarang, Helma bisa melihat asap yang mengepul dari dapur.

Surprise yang didapatnya sejam yang lalu juga belum masuk di akalnya. Helma belum siap untuk kejutan berikutnya. Ia hampir jatuh pingsan saat secara tidak sengaja melihat seekor ikan mujair kecil berenang bebas di bak mandi. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan kalau sampai air itu mengguyur kulitnya.

Teman-temannya sempat tertawa geli saat mendengar cerita Helma. Itu bukan ikan ajaib yang sengaja dipelihara karena mampu menyiapkan sarapan pagi seperti yang tertulis cerita rakyat. Ikan itu hidup di sana untuk memakan jentik nyamuk.

Ritha yang memaklumi sikap Helma, akhirnya menugaskan Sandy untuk mengantarkannya ke rumah Sekretaris Desa. Di sana ia bisa mendapatkan fasilitas kamar mandi yang sesuai dengan standarnya. Itu juga adalah cara lain Ritha untuk membuat Helma tutup mulut. Mereka pasti akan merasa tidak enak jika sampai ia mengajukan protes langsung tentang hal tersebut kepada Pak Ketut. Tidak etis rasanya jika mereka terlalu banyak menuntut setelah diberikan tempat untuk menginap.

"Asap?" selidik Ritha begitu melihat tidak ada pergerakan yang dilakukan Hema meskipun ia telah kembali mengulang ajakannya.

Helma tidak menjawab. Dia memainkan ujung ekor bonekanya, mengelus-elusnya dengan lembut. Secara tidak langsung, sikapnya cukup membuat Ritha bisa mengambil kesimpulan atas pertanyaannya sendiri. "Ya udah, tunggu di sini saja dulu."

"Sendiri?"

"Trus?" pancing Ritha. Dalam hati, dia berharap Helma akan mengiyakan ajakannya. Dengan demikian, Helma memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan keluarga di tempat ini. Seharian ini, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Merebahkan tubuh sambil membolak-balik novel remaja yang sengaja dibawa untuk mengusir bosan.

"Di sana, alas dapurnya masih tanah?" Helma sudah sempat melihat kondisi dapur saat ke kamar mandi tadi. Dia sengaja bertanya untuk mengulur-ulur waktu.

"Iya. Masih tradisional. Kamu akan susah lihat yang seperti ini di kota."

Helma terdiam. Memikirkan untung dan ruginya jika dia mau mengiyakan ajakan Ritha. Jimmy sempat menghubunginya dan memintanya untuk bersosialisasi dengan banyak orang. Namun sayang, semua itu tidak ditanggapi serius. Seperti angin lalu. Padahal, Jimmy benar-benar berharap KKN ini sedikitnya bisa mengubah sikap Helma.

"Gimana?" Ritha kembali mengajukan tanya setelah beberapa saat Helma membisu.

"Aku nggak papa di sini sendiri."

Ritha mengangkat kedua bahu bersamaan. Keajaiban jika Helma mau berubah secepat ini. Semua perlu proses, dan Ritha yakin bahwa Helma bisa berubah.

Someday!

**

Catatan
Perbekel: Kepala Desa
Banjar Dinas: Dusun
Kelian Dinas: Kepala Dusun

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 422 13
sebuah kisah perjalanan cinta dari seorang janda beranak dua dengan seorang jejaka. Bagaimanakah kisah perjuangan sang jejaka yang mati-matian mendap...
1.4M 35.5K 47
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...
4.1M 170K 63
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
4.7M 301K 108
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...