My Mina ✓

By SkiaLingga

3.9M 288K 13.6K

Chara memiliki mate, tapi karena kesalahpahaman, mereka berpisah. Jadi, Chara memutuskan pergi untuk menyelam... More

My Mina
Prolog
Tou Mina (1)
Tou Mina (2)
Tou Mina (3)
Tou Mina (4)
Tou Mina (5)
Tou Mina (6)
Tou Mina (7)
Tou Mina (8)
Tou Mina (9)
Tou Mina (10)
Tou Mina (11)
Tou Mina (12)
Tou Mina (13)
Tou Mina (14)
Tou Mina (15)
Tou Mina (16)
Tou Mina (17)
Tou Mina (18)
Tou Mina (19)
Tou Mina (20)
Tou Mina (21)
Tou Mina (22)
Tou Mina (23)
Tou Mina (24)
Tou Mina (25)
Tou Mina (26)
Tou Mina (27)
Tou Mina (28)
EPILOG
Q and A

Tou Mina (29)

120K 8.2K 639
By SkiaLingga

"Biarkan dunia berhenti berputar. Biarkan matahari berhenti bersinar. Biarkan orang-orang menyuruhku berhenti mencintaimu.
Jika semua itu telah tercerai-berai, aku akan tahu dalam hatiku, satu-satunya mimpiku telah menjadi kenyataan ... dalam hidup ini aku dicintai olehmu."

_Bette Midler

_________________________________________

Aradi's POV

Suatu hari di masa lalu, aku pernah duduk termenung sendirian. Mencoba untuk menelaah apa yang telah terjadi dalam hidupku. Apa yang telah kulakukan, sehingga akhirnya aku berakhir seperti ini.

Moon Goddess ...

Aku menyedihkan. Aku tahu itu. Lebih tahu dari siapa pun.

Bulan di langit malam itu sungguh benderang. Purnama yang sangat indah, sehingga mengingatkanku akan dirinya. Dirinya yang telah kubuang, yang telah kulepaskan tanpa mencoba untuk menggenggamnya barang sejenak.

Charlize Anjana ...

Adalah nama dari seorang perempuan yang telah aku sia-siakan kehadirannya. Telah kuhancurkan perasaannya, dan telah kubunuh harapannya untuk dapat meneguk rasa bahagia.

Chara ...

Begitu orang-orang biasanya menyebut namanya. Gadis yang selama beberapa tahun keberadaannya selalu aku ingkari. Menolak dan menentang kala hatiku sendiri yang mengatakan jika aku mencintainya.

Tidak, aku tak pernah mencintainya. Aku membencinya. Dia yang telah menghancurkan keluargaku. Dia adalah perusak. Dan seharusnya dia pergi jauh dari kehidupanku!

Itu adalah kalimat dan keyakinan yang selama ini aku coba tanam dalam diri dan pikiranku. Yang nyatanya, semua fakta yang aku ketahui secara terlambat di kemudian hari sungguh berbanding terbalik. Menghempaskanku ke dalam jurang penyesalan tak berdasar.

Dan itu semua, kembali menyakitiku terlalu dalam.

Nyatanya, wanita yang aku lindungi selama ini, wanita yang aku anggap satu-satunya orang yang tulus padaku, ibuku sendiri, adalah penyebab semua kesalahpahaman yang berujung hancurnya kehidupanku.

Aku telah menyakiti dirinya yang padahal sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Aku menyalahkannya, yang padahal kesalahan itu sendiri tidak pernah ada padanya.

Bulan purnama, aku kembali memandang ke arah langit. Kukira aneh sekali langit malam yang cerah itu menurunkan hujan, sampai membasahi wajahku. Sampai kemudian aku sadar, jika itu adalah air mataku sendiri.

Aku lelaki bodoh dengan sejuta penyesalan.

Yang hanya mampu menatap bulan ketika rasa rindu itu kembali melanda. Menyedihkan, ya, memang.

Dan kini, aku melihatnya di masa depan. Aku melihatnya menangis untukku, dan aku bahagia untuk itu.

Charlize Anjana ...

Apakah gadis ini akan tahu, jika di masa lalu aku pernah berjanji akan melakukan apa pun untuk mendapatkan maafnya? Apa gadis ini akan tahu jika di masa lalu aku pernah mencarinya? Berjuang untuk kembali bersamanya, walau sebenarnya semua itu berakhir dengan sia-sia.

Apakah dia akan tahu?

Karena kini, di saat ini, aku tak punya kesempatan untuk menceritakan itu semua kepadanya. Waktuku tak cukup, karena sepertinya kebersamaanku dengannya ini adalah akhir dari segalanya.

Dulu ... aku juga pernah memohon kepada Moon Goddess, jika memang aku tak dapat bersatu dengannya, maka berikanlah aku kesempatan untuk dapat melihat wajahnya sekali lagi sebelum aku mati.

Dan ternyata, Moon Goddess sungguh baik sekali. Karena ia memberikan lebih dari yang aku pinta.

Tidak hanya sekedar dapat melihat wajahnya, kini aku bahkan dipeluk dengan begitu erat olehnya. Sangat menyenangkan, dan begitu nyaman, bahkan saat air mata gadis itu menyentuh wajahku, aku merasa ... hangat.

"Aradi ... "

Suaranya bahkan terdengar seperti nyanyian pengantar tidur di telingaku. Begitu merdu, lembut, dan juga menenangkan.

Andai aku dapat mendengarnya untuk waktu yang lama. Andai aku memiliki kesempatan untuk dapat mendengarnya lebih sering lagi memanggilku, hanya namaku.

"Aradi ... "

Ah, kau sungguh baik sekali Chara. Kau kembali menyebut namaku bahkan tanpa aku minta. Apakah kau mendengar apa yang aku katakan barusan?

Mata indah itu memerah, penuh linangan bening yang tampak begitu teduh dan menyejukkan bagiku. Aku senang. Aku bahagia ditatap dengan pandangan seperti itu olehnya.

Karena bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Karena bagiku, kata-kata cinta darinya kini sudah tak penting lagi selama aku sendiri masih mampu mencintainya.

Aku bersyukur, karena di saat seharusnya seluruh indera pada tubuhku telah berhenti berfungsi akibat racun itu, Moon Goddess  memberiku kesempatan. Untuk dapat mendengar suaranya dengan jelas, dapat melihat wajahnya dengan penuh, dan juga merasakan hangat kulitnya yang menyentuhku.

Kulihat ada begitu banyak wajah di sana. Menatap penuh kekhawatiran padaku. Aku rasanya ingin tertawa, mempertanyakan mengapa mereka semua harus melihatku seperti itu. Padahal nyatanya, aku sendiri kini tengah bahagia.

Sampai kemudian kurasakan batas itu semakin mendekat. Berbisik pelan, dan mengatakan jika sekaranglah waktunya, saat di mana aku harus pergi. Meninggalkan dunia, meninggalkan dia yang aku cintai.

'Aro ... kau bahagia?'  Tanyaku untuk terakhir kalinya.

'Tidak pernah merasa lebih baik dari ini.'  Jawabnya lemah.

'Baguslah. Karena dengan begitu ... aku tidak lagi berhutang padamu.'  Ujarku senang.

Aku tiba-tiba teringat akan kata-kata Chara saat memelukku tadinya, dia berbisik pelan di telingaku.

'Karena hatiku akan mati jika bukan Lucian yang memilikinya. Bukan aku Aradi, bukan aku yang memilihnya. Melainkan hati ini, dialah yang menentukan. Dan dia ... memilih Lucian sebagai pemiliknya, menguasi seluruh bagiannya.'

Aku tersenyum kala mengingat ucapannya itu. Chara mengucapkannya begitu tulus, tanpa berusaha untuk menyakiti perasaanku. Lalu, memangnya apa yang harus kulakukan jika dia sendiri telah mengatakan itu?

Aku ... telah kalah.

Jadi, apakah aku punya alasan lagi untuk kembali merenggut kebahagiaannya?

Tidak-tidak! Aku bukanlah orang jahat. Cukup sekali aku melakukan itu. Karena kini, aku sendirilah yang akan menghantarkan kebahagiaan itu ke hadapannya.

Dan Lucian ... adalah kebahagiaan Chara.

Aku menggenggam tangannya erat, menatap tepat ke arah matanya, ketika akhirnya kata-kata perpisahan paling tepat yang telah aku pikirkan sedari tadi dapat terucap.

"Aku mencintaimu ... Luna." Bisikku pelan.

Dapat kulihat Lucian juga menatap sendu ke arahku. Kasihan, rasa terima kasih, sedih? Entahlah. Aku tak dapat menilai tatapan mana yang diberikannya untuknya itu.

Aku balas menatapnya, menyampaikan pesan terakhirku walau bukan dengan kata-kata. Dan aku tahu, lelaki itu akan mengerti. Karena aku juga tahu, dia mencintai Chara setulus diriku.

Aku memberikannya padamu, Lucian. Jaga dia ... jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang pernah kuperbuat dulu. Karena itu, kalian ... tetaplah bersama.

Aku titip Chara. Aku percayakan dia yang paling berharga kepadamu, tolong jaga dia, karena dia ... adalah Luna-ku.

Mataku melirik ke arah Chara sekali lagi. Kulihat perempuan itu menangis untukku. Dan itu sudah cukup, untuk membuatku merasa bahagia dan lega. Karena itu artinya, dia memiliki perasaan yang sama denganku. Sekalipun itu di masa lalu.

Chara ... ini adalah akhir dari pertemuan kita dalam kehidupan ini. Jika memang benar manusia itu akan dilahirkan kembali, maka aku akan memohon pada Tuhan, jika di kehidupanku yang selanjutnya, aku ingin diberi kesempatan untuk dapat mencintaimu lagi.

Dan aku berharap ... selayaknya namamu yang selalu kusebut dalam ingatanku, juga ada namaku yang selalu kau ucap kala kau merindu.

Ya, itu yang terakhir. Karena kini aku mulai tak merasakan apa-apa lagi. Aku tak mendengar apa-apa lagi. Semuanya mulai menggelap, dan aku tahu itu akhir waktu bagiku.

Dan ketika rasa lelah itu semakin berat, aku senang karena pada akhirnya aku menutup mata di dalam pelukanmu.

__________



Author's POV

Satu-persatu orang-orang itu mulai melangkah menjauh. Menyisakan beberapa orang yang tertinggal masih berdiri di sana. Menatap ke arah satu objek, yaitu sebuah nama yang tertulis sederhana di atas tumpukan gundukan tanah makam.

Aradi Paradima ...

Miranti duduk bersimpuh di antara makam suami dan anaknya. Wanita itu begitu terguncang dalam kesedihan, namun ia dapat menahannya. Sanggup menghadapi kenyataan di mana anaknya kini sudah meninggalkannya, tak berselang lama setelah kepergian suaminya.

Hari itu, gerimis turun sejak pagi hingga sore. Dan Chara ingat ketika akhirnya rintik hujan itu berhenti, ia melihat pelangi di kejauhan.

"Apa yang kau lamunkan?" Tanya sebuah suara di samping Chara, membuyarkan lamunannya tentang kejadian dua minggu lalu.

Chara menoleh, dan menggeleng ke arah Lucian yang saat ini tengah memeluknya dari samping. "Hanya masih mengingat beberapa hal." Jawabnya sambil mencoba tersenyum.

Lucian tahu jika istrinya itu masih dirundung kesedihan, karena itu sebisanya lelaki itu berusaha untuk tidak membiarkan Chara sendirian dalam waktu yang lama. Karena saat ini, mereka berdua sedang saling sangat membutuhkan.

"Jangan bersedih lagi." Ujar lelaki itu. "Karena jika kau seperti ini, akulah yang paling merasa bersalah. Karena dia, mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan aku."

Chara berbalik, mengusap wajah Lucian dengan pelan. "Aku sedih karena menyesali kita yang harus berpisah dengan Aradi melalui cara seperti itu. Bukan karena dia lebih memilih mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu. Aku bahkan rela berlutut di kakinya untuk mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan dirimu jika saja saat ini dia tidak ... dia tidak ... " Chara tak mampu melanjutkan ucapannya.

"Sthhh ... " Lucian mengusap setetes air mata Chara yang lolos dari pelupuknya. "Aku paham apa yang ingin kau katakan. Maaf karena telah membuatmu harus mengingatnya lagi." Lucian meraih Chara ke dalam pelukannya, kemudian mencium keningnya.

"Aku mencintaimu." Bisik Chara yang membuat Lucian semakin mengeratkan pelukannya. "Aku bersyukur kau selamat saat itu." Ujarnya sambil tersenyum bahagia.

"Sudah, jangan diingat lagi. Sekarang, kita hanya perlu melihat ke depan. Karena masalah tidak hanya ada di masa lalu. Akan ada banyak hal yang menyambut kita di masa depan Chara, bahkan mungkin saja lebih besar dari ini." Ujar Lucian yang diangguki Chara. "Sekarang, tersenyumlah. Acaranya akan segera dimulai."

Chara mengusap wajahnya, kemudian tersenyum ke arah Lucian yang kini tengah mengulurkan tangan ke arahnya. Disambutnya uluran itu, membiarkan Lucian menuntunnya ke depan, ke arah tempat yang sudah disediakan untuk mereka.

Seorang lelaki yang Chara ketahui bernama Adrian tengah berbicara di atas podium. Menyampaikan segala sesuatu yang memang harus diketahui semua orang, dan juga mengumumkan keputusan yang sudah diambil oleh para tetua.

"Kami harapkan kepada Alpha Adam Ethandra untuk dapat naik ke atas podium." Suara itu berujar.

Adam yang sebelumnya duduk bersama Amanda di satu meja dengan Chara dan Lucian lantas bangkit berdiri. Dan berjalan ke arah panggung di depan sana dengan langkah tegas dan yakin.

Seorang lelaki yang menjadi salah satu tetua di pack ini melangkah ke arah Adam sambil membawa sebuah belati emas yang bertahtakan batu-batu permata.

Lelaki itu menyerahkan belati tersebut ke arah Adam, kemudian mengintruksikan beberapa hal kepadanya. Adam sama sekali tidak bereaksi, saat belati itu mengiris telapak tangannya, dan mengarahkan darah yang mengalir keluar itu ke atas sebuah batu perak berbentuk bulan yang ada di dalam peti kayu berukir indah dan mewah yang kini tengah dipegang oleh seorang tetua lainnya.

"Ucapkan sumpahmu." Perintah tetua pertama.

Adam memejamkan matanya sejenak, sebelum kemudian lelaki itu menghela napasnya dan mulai mengucapkan sumpahnya, yang membuat semua orang terdiam.

"Saya, Adam Ethandra, menerima kepercayaan besar yang dibebankan Moon Goddess untuk memimpin Silver Stone Moon Pack  sebagai seorang Alpha. Dan dengan darah ini, itu artinya saya berjanji akan melindungi dan membawa Silver Stone Moon Pack dalam ketentraman dan kejayaan. Dan dengan darah ini, pack ini selanjutnya akan menjadi tanggung jawab saya beserta keturunan saya di masa depan." Ucapnya tegas dan tanpa gugup.

Selanjutnya, yang terdengar adalah suara riuh tepuk tangan dan teriakan penuh semangat dari para tamu yang hadir. Karena kini, Silver Stone Moon Pack akhirnya mendapatkan alpha yang baru setelah kedudukan itu kosong selama hampir dua minggu akibat kejadian tak terduga yang menimpa Aradi.

Amanda yang sempat khawatir akhirnya dapat menarik napas lega ketika Adam dapat melewati saat-saat menegangkan itu dengan baik. Ia yang awalnya keberatan jika Adam diangkat menjadi alpha akhirnya mau tidak mau harus setuju, karena itu adalah keputusan para tetua.

Ya, Adam diangkat menjadi alpha atas keputusan para tetua dan juga kesepakatan para anggota pack yang lainnya.

Dalam suatu pack, yang terkuat dalam garis keturunan alpha akan menjadi pemimpin. Namun berhubung garis keturunan alpha yang sebelumnya terputus hanya sampai Aradi, maka mereka diharuskan mencari alpha yang baru. Dan saat ini, yang terkuat di antara mereka adalah Adam. Karena itu, setelah musyawarah panjang dan berbagai perdebatan, akhirnya diputuskan jika Adamlah yang pantas untuk menggantikan Aradi.

Mengenai penobatan yang terbilang jauh berbeda dari biasanya itu, adalah karena perpindahan kedudukan alpha kepada orang lain yang tidak dalam garis keturunan. Itu artinya, yang selanjutnya berhak untuk menjadi alpha di pack ini hanyalah keturunan dari Ethandra, bukan lagi Paradima atau pun yang lainnya.

"Selamat, kini kau adalah seorang alpha, Adam." Ucap Lucian sambil menyalami Adam yang kini sudah kembali berbaur bersama tamu yang lain.

"Aku merasa ini sungguh janggal, Lucian." Jawab Adam sambil memaksakan senyumnya. Karena sebenarnya, lelaki itu juga sempat menolak keputusan di mana dirinya diangkat menjadi alpha. Namun, pertimbangan mengenai sebuah pack yang tidak boleh tidak memiliki alpha membuat Adam kembali berpikir. Pack ini bisa saja diserang oleh para rogue. Dan dia tidak mungkin membiarkan pack sahabatnya ini hancur karena ketidakmauan dirinya.

"Kau hanya belum terbiasa, Adam." Chara berujar yang diangguki setuju oleh Lucian. "Bukan begitu, Luna Amanda?"

"Berhenti memanggilku seperti itu Chara. Aku benar-benar tidak nyaman." Amanda mendengus sambil menyerahkan Levan ke arah Adam. "Sudah cukup aku harus mendengar orang-orang ini menyebutku seperti itu, aku akan sangat berterima kasih jika kau mau memanggilku seperti biasa saja."

Chara tertawa kecil, tahu karena Amanda sangat kesal saat ada yang memanggilnya Luna. Karena baginya, sebutan itu artinya adalah penjara. "Baiklah, jangan marah lagi." Goda Chara.

"Aku tidak marah. Aku hanya kesal!" Jawab Amanda.

"Astaga, istrimu ini sensitif sekali Adam. Jangan-jangan dia hamil lagi." Ujar Lucian sambil menatap Adam serius.

Lelaki itu tertawa, "Aku tidak tahu. Kau tanyakan saja padanya."

"Aku sedang tidak hamil!" Amanda melotot ke arah Lucian. "Yang sedang hamil itu—"

"Ya ampun, sepertinya Kaleela membuat ulah lagi." Chara menyela ucapan Amanda sambil menunjuk ke arah sisi lain ruangan. Amanda mendengus, dan Chara melotot ke arahnya.

"Kali ini apa lagi yang dilakukannya?" Tanya Lucian sambil menggelengkan kepala.

Chara hanya mengangkat bahu tak tahu. Pemandangan Kaleela yang dikerumungi para lelaki di depan sana memang cukup menarik, terutama saat Keenan datang dan langsung mengangkatnya seperti karung, menjauh dari para lelaki itu.

Keempatnya tertawa, melihat Kaleela dan mate-nya memang sangat menghibur. "Sampaikan terima kasihku kepada Kaleela karena telah membuat acara yang membosankan ini jadi lebih baik." Ujar Adam kepada Lucian.

"Aku setuju." Sahut Amanda.

"Dia akan semakin besar kepala jika aku mengatakannya." Jawab Lucian. "Bisa-bisa dia akan melakukan hal yang lebih dari ini nantinya." Ujarnya yang membuat mereka semua kembali tertawa.

Chara diam-diam mengulum senyum, kau rasakan sekarang bagaimana repotnya menjadi aku Kaleela, ujarnya puas dalam hati.

"Ah iya, bagaimana dengan Luna Miranti, Adam?" Chara tiba-tiba teringat akan wanita itu.

"Beliau sudah diantarkan tadi pagi Chara. Beliau memang sengaja pindah lebih cepat, karena sepertinya semua hal yang ada di sini terlalu menyedihkan jika dikenang untuknya." Jawab Adam. "Luna Miranti meminta maaf karena tak sempat berpamitan secara langsung."

Chara mengangguk mengerti. "Semoga saja beliau baik-baik saja." Ujar Chara. "Ah iya, jangan lupa jika besok pagi kami juga akan kembali ke Yunani. Kalian jangan sampai tidak datang."

"Tidak bisakah kalian tinggal lebih lama di sini?" Tanya Amanda berubah sendu. "Tidak akan ada lagi yang bisa aku ajak menjadi teman di sini, sementara mereka semua memanggil 'luna'."  Sungutnya, masih kesal dengan gelar baru itu.

"Tidak bisa Amanda. Kami sudah hampir sebulan di sini. Pack sudah terlalu lama ditinggalkan. Dan Lucian juga memiliki pekerjaan yang sudah menantinya di sana." Jawab Chara yang mengerti perasaan Amanda. "Kau tenang saja, aku akan sering-sering menghubungimu." Katanya lagi yang akhirnya diangguki Amanda walau masih tetap sedih dan tidak rela.

"Baiklah, aku mengerti. Karena kini aku tahu bagaimana tidak menyenangkannya menjadi seorang luna." Ujar Amanda yang membuat mereka semua kembali tertawa.

_______



"Maaf kami terlambat." Suara Kaleela terdengar menghela napas. Terlihat di belakangnya Keenan tampak baru sampai menyusul.

Lucian berdecak. "Jika saja kami menggunakan penerbangan umum, kami sudah ketinggalan pesawat sejak tiga puluh menit yang lalu." Lelaki itu menatap kesal ke arah Kaleela.

"Salahkan saja lelaki ini!" Kaleela menatap ke arah Keenan yang memasang wajah santai di sampingnya. "Dia mengurungku di dalam kamar!"

"Wow, tidak perlu membicarakan hal pribadimu seperti itu kepada kami semua." Ucap Chara cepat-cepat. "Ada Levan yang masih sangat kecil di sini."

Kaleela mengerang kesal. "Yang kumaksudkan, dia benar-benar mengurungku di dalam kamar. Bukan seperti apa yang kalian pikirkan." Gadis itu menghentakkan tangannya. "Dia mengikatku di kepala ranjang!"

"Ya ampun!" Amanda memekik sambil menjauh dari Kaleela yang berdiri di sampingnya. Dia tidak ingin anaknya mendengar hal yang tidak baik, walau sebenarnya Levan belum mengerti apa-apa.

"Astaga, gadis ini benar-benar!" Lucian menggelengkan kepalanya dramatis. "Otakmu ini sepertinya sudah mulai rusak karena terkena iklim tropis." Katanya lagi dengan nada mencela.

Kaleela mendelik penuh emosi ke arah Keenan, merutuki lelaki yang kini diam-diam tengah menertawakannya itu. "Aku berkata jujur. Kenapa kalian malah salah paham?!" Tanyanya kesal karena dikira berbicara hal vulgar. Kaleela frsutasi, "Jangan dekat-dekat!" Pekiknya saat Keenan hendak mendekatinya.

Chara mengernyit. "Sudah-sudah, jangan bertengkar lagi." Ujarnya menengahi. "Kita sudah terlambat Lucian."

Lucian mengangguk dan mulai berpamitan pada Adam dan Keenan. Sementara Chara kini sibuk menenangkan Amanda yang mulai menangis. Sampai kemudian tiba saatnya dia berpamitan dengan Kaleela.

Gadis itu menekuk wajahnya, tidak mau ditinggal. Tapi dia tidak dapat pergi karena kini sudah mendapatkan mate. Keenan berjanji jika mereka akan mengunjungi orangtua Kaleela di Yunani akhir tahun nanti, dan Kaleela mau tidak mau harus setuju. Walau sebenarnya terpaksa.

"Jangan membuat ulah oke?" Kata Chara yang kini tengah memeluk Kaleela.

Gadis itu mencebik. "Jangan berkata seperti itu Chara. Aku jadi merasa seperti anak-anak saja." Ujarnya.

Sejenak Kaleela mengernyit ketika dirinya merasakan sesuatu, buru-buru gadis itu melepaskan pelukannya dan menatap dalam ke arah Chara. Kaleela menegang ketika telapak tangannya menyentuh perut Chara, gadis itu hendak berseru ketika Chara buru-buru membungkam mulutnya.

"Sthh ... jangan berisik." Chara memperingatkan, yang diangguki oleh Kaleela.

"Sejak kapan?" Balas Kaleela berbisik pelan, dia menduga jika sepertinya belum ada yang tahu mengenai hal ini.

"Aku juga baru tahu, tapi menurut Amanda sudah lebih dari empat minggu, mungkin lima." Jawab Chara.

Kaleela nyaris kembali memekik jika tidak segera dipelototi Chara, keduanya terkekeh aneh saat Lucian menoleh ke arah mereka dengan tatapan curiga.

"Apakah baik-baik saja? Kau sempat menelan devil's helmet." Kaleela mulai khawatir.

"Amanda bilang tidak ada masalah, mungkin karena racun itu belum sampai ke pencernaan ketika tertelan olehku. Aku juga sedikit bingung, tapi Amanda bilang dia kuat." Jelas Chara sambil tersenyum.

Kaleela mengangguk dengan khidmat, "Dia sangat kuat, aku dapat merasakannya." Gadis itu berujar, "Kau tidak akan percaya jika kukatakan dialah yang membuatmu menjadi lebih kuat selama ini."

"Aku percaya." Chara tersenyum. "Tentu saja aku tahu dialah yang membuatku lebih kuat selama ini."

"Tapi, bagaimana mungkin kita tidak menyadarinya selama ini? Maksudku, bukankah seharusnya kau sudah tahu lebih dulu? Kau seorang vasselica."

Chara menggeleng. "Itulah yang kubingungkan sejak pertama sekali aku mengetahuinya. Bagaimana mungkin aku barus sadar setelah lima minggu." Chara menyetujui ucapan Kaleela. "Tapi itu tidak penting sekarang, karena yang terpenting, dia ada, dan juga sehat."

Kaleela mengangguk, dan matanya berkaca-kaca. Gadis itu memeluk Chara dengan erat sekali lagi, dan baru melepaskannya setelah Lucian menarik bagian belakang bajunya.

"Sampai kapan kau akan menahan kami?" Tanyanya.

Kaleela berdecak, dan tanpa menjawab dia berbalik untuk dapat memeluk Lucian dengan erat. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Kaleela mendorong tubuh Lucian dan mendekat ke arah Zenas.

Beta Lucian itu mendadak bingung saat dipeluk sangat erat dan lama oleh Kaleela. Dia menatap semua orang bergantian, kemudian terkekeh tak enak hati ke arah Keenan yang kini wajahnya sudah tampak seperti ingin menguliti Kaleela.

"Kaleela, Zenas bisa mati karena kehabisan napas jika kau peluk terlalu erat seperti itu." Lucian tahu benar bagaimana perasaan Keenan, karena itu dia mencoba menghentikan aksi gila adiknya.

"Hati-hati ya." Kaleela mendongak ke arah Zenas, kemudian mengecup pipi lelaki itu yang membuat semuanya terkejut. "Selamat jalan."

Sementara Zenas masih terpaku akibat perbuatan tiba-tiba Kaleela, Lucian kini tengah diseret oleh Chara untuk menjauh. "Kau bahkan tidak mengatakan apa pun kepadaku." Ujar Lucian. "Tapi kenapa kau mencium pipi Zenas? Dasar adik kurang ajar!"

"Sampai jumpa lagi semuanya!" Chara melambaikan tangannya sambil berusaha mendiamkan Lucian yang masih mengomel ke arah Kaleela. "Diamlah, Lucian!" Ujarnya sambil memukul lengan Lucian dan menariknya lebih kuat.

Amanda hanya menggelengkan kepalanya tak percaya, "Tidakkah kau merasa deja-vu, Adam?" Tanyanya.

Adam yang mengerti apa maksud Amanda lantas tertawa, dan melambai ke arah Kaleela yang kini gilirannya diseret oleh Keenan. "Tapi bedanya, dia pergi dengan senyuman tulus dan bahagia kali ini." Jawabnya.

Amanda menghela napasnya, "Ya, kau benar. Setidaknya perbedaan mencolok itu membuat semuanya terasa jauh lebih baik." Wanita itu tersenyum sambil menatap ke arah di mana Chara barusan menghilang. "Ayo, kita juga harus segera pulang." Ajaknya dan berjalan lebih dulu sambil menggendong Levan.

Adam mengangguk, lelaki itu melempar senyum sekali lagi sebelum mengikuti langkah istrinya.

Kali ini, kau mengucapkan 'sampai jumpa lagi' Chara, ujarnya dalam hati. Itu artinya, ini bukanlah pertemuan terakhir kita. Adam tersenyum lebar.

Kalau begitu, 'sampai jumpa lagi' juga untukmu.

________



"Aku tidak habis pikir dengan gadis itu." Lucian menggelengkan kepalanya, masih mengomel mengenai kelakuan Kaleela. "Jika kau yang berbuat seperti itu, aku pasti akan langsung mengiris pipi Zenas saat itu juga." Matanya melirik tajam penuh peringatan ke arah Zenas yang duduk di bagian sisi lain pesawat.

Zenas yang ditatap dengan penuh permusuhan seperti itu berpura-pura tidak mendengarnya, lelaki itu sibuk membolak-balikkan majalah yang ditemukannya di atas meja.

"Sudahlah Lucian, jangan marah-marah lagi." Chara mulai pusing, dia menatap malas ke arah Lucian yang duduk di kursi tepat di hadapannya.

Lucian menarik napasnya kesal, kemudian kembali berujar. "Karena semua masalah ini, kita bahkan tidak ingat untuk membawakan oleh-oleh untuk mom dan dad." Ujarnya tiba-tiba. Wajah lelaki itu berubah sendu, ingatan akan apa yang terjadi di antara mereka semua kembali melintas di dalam benaknya. Lucian masih teringat akan kejadian terakhir yang menimpa dirinya dan Aradi.

Dan Chara, tidak suka melihat Lucian seperti itu. "Sebenarnya ... aku sudah menyiapkan oleh-oleh  untuk mereka." Katanya yang membuat Lucian mengernyit.

Lelaki itu hanya bercanda mengenai oleh-oleh, itu hanya sekedar diucapkan untuk menutupi kesedihannya akan kejadian yang lalu. Tapi, mau tidak mau dia penasaran juga akan perkataan Chara.

"Memangnya kau membawa apa untuk mereka?"

"Kau ingin tahu?" Tanya Chara yang diangguki Lucian. "Kemari." Jari Chara bergerak memberi isyarat agar Lucian mendekat.

"Apa?" Tanya Lucian penasaran saat Chara mendekat ke arahnya, dan berbisik.

"Ambilkan dulu minuman untukku. Setelahnya, baru akan kuberi tahu." Chara terkekeh saat melihat wajah kesal Lucian karena merasa dikerjai olehnya.

"Alec bilang kau menyebalkan." Ucap Lucian pada Chara yang kini tengah menahan tawanya.

'Aku juga mencintaimu Alec.'  Ucap Chara lewat mindlink yang pasti dapat didengar oleh Lucian dan Alec.

Chara dapat merasakan jika Alec mendelik kesal di dalam sana, tapi tak urung serigala itu membalas ucapan Chara. 'Aku lebih mencintaimu.'  Ucapnya.

"Ayolah, ambilkan aku minum." Pinta Chara kembali. "Kau tidak kasihan padaku? Aku dan anakmu kehausan."

"Iya, baiklah." Lucian mengalah, dan bangkit dari hadapan Chara, lelaki itu berjalan ke arah kabin hendak mengambil minuman sebelum sesuatu itu menyentak kesadarannya. Dengan cepat dia berbalik. "Kau ... bilang apa tadi? Anak? Apa maksud—" Lucian tidak jadi melanjutkan ucapannya saat matanya menangkap gerakan tangan Chara yang mengelus perutnya dengan perlahan.

Lelaki itu kembali mendekat, langkahnya terlihat bergetar saat menuju ke arah Chara yang kini tengah tersenyum ke arahnya. Zenas yang barusan juga mendengar apa yang diucapkan luna-nya itu turut menoleh, merasa penasaran.

"Chara ... apa maksudmu, kau ..." Lucian meneguk ludahnya gugup. "Kau sedang ... hamil?" Tanyanya hati-hati.

"Lima minggu." Chara mengarahkan lima jarinya ke hadapan Lucian, senyuman tak luntur dari wajahnya.

Mata Lucian membelalak, dan sedetik kemudian Chara sudah berada dalam pelukannya. Lelaki itu berseru bahagia sambil memutar tubuh Chara, membuat tiga orang pramugari yang mendampingi penerbangan mereka merasa penasaran sampai mengintip dari pintu kabin.

"Aku akan menjadi seorang ayah!" Pekik Lucian dengan senang. 'Kau dengar itu Alec, aku akan jadi seorang ayah!'

'Tidak ibunya, tidak anaknya, kau selalu mengatakan jika mereka hanya milikmu saja. Perlu kuingatkan padamu Tuan Luciano Chrysander, mereka juga milikku!'  Teriak Alec kesal.

Lucian berdecak, tak mempedulikan makian yang kini tengah dilontarkan Alec kepadanya.

'Teganya kau Jade, kau pun ikut merahasiakan ini dariku!'  Ujar Alec masih kesal walau sebenarnya dia ingin berteriak bahagia.

'Katakan itu pada Chara. Dia yang menyuruhku tutup mulut.'  Jawab Jade santai, tidak mau ambil pusing atas pertikaian itu. 'Ngomong-ngomong, selamat ya, kau akan jadi orangtua.' Ucapnya pada Alec.

'Apa aku juga perlu mengingatkannya padamu? Jika kau juga akan menjadi orangtua?'  Alec tak habis pikir dengan pola pikir Jade.

'Dasar tidak peka! Aku mengatakan seperti itu agar kau juga mengucapkan selamat kepadaku!' Jade mulai emosi.

'Aku baru tahu jika ternyata kehamilan juga membuat serigala menjadi sensitif.'  Alec berujar polos, semakin memancing emosi Jade.

'Kau!'  Geramnya. 'Chara, ayo berganti shift. Keluar kau Alec! Akan kuhabisi kau saat ini juga!'  Pekiknya.

Mengabaikan perang mulut yang tengah terjadi di antara Alec dan Jade, Lucian akhirnya menurunkan Chara kembali ke tempat duduknya setelah istrinya itu mengeluh pusing karena tubuhnya di putar dengan kuat.

"Kau baik-baik saja? Kau mual? Kau merasa pusing? Bagian mana yang tidak nyaman?" Lucian merengkuh wajah Chara. "Jika kau merasa tak enak badan, bagaimana jika kita mendarat darurat saja di bandara terdekat? Kita bisa kembali ke Yunani besok atau-"

"Lucian, hentikan! Kau membuatku semakin pusing." Chara menyela ucapan Lucian. "Aku pusing karena kau yang memutar tubuhku terlalu kencang, aku tidak apa-apa."

"Kau yakin?"

"Ya." Jawab Chara gemas karena Lucian masih menatap cemas ke arahnya.

"Oke." Lucian akhirnya mengangguk, kemudian berdiri. Tak lama berselang terdengar suara seruan lagi darinya, kali ini lelaki itu bahkan melompat sambil meneriakkan 'aku akan menjadi seorang ayah'  atau 'aku akan punya bayi'  berulang kali dengan ekspresi yang sangat konyol.

'Kau memalukan, Lucian.'  Cibir Jade dan Alec secara bersamaan yang tidak ditanggapi oleh Lucian.

"Zenas, aku akan menjadi seorang ayah!" Teriaknya yang membuat Chara menggelengkan kepala.

Zenas yang saat itu sudah berdiri di hadapannya ikut tersenyum bahagia. "Ya, selamat Alpha. Pack kita akan memiliki seorang calon alpha sebentar lagi." Ujarnya sambil mengulurkan tangan ke arah Lucian, hendak memberikan selamat.

Lucian mengabaikan uluran tangan itu, dia lebih memilih memeluk Zenas dan menepuk punggungnya dengan kuat. Membuat lelaki itu meringis sekaligus terkejut karena Lucian tidak pernah berlaku seperti itu padanya. Lucian melepaskan pelukannya dan kembali ke arah Chara, berlutut di depan perempuan itu.

"Aku akan menjadi seorang ayah." Ujarnya, kali ini dengan suara pelan dan matanya tampak berkaca-kaca.

Chara yang melihat itu menganggukkan kepalanya, "Ya, kau akan menjadi seorang ayah. Kau senang?" Tanyanya.

Lucian menggelengkan kepalanya, "Aku bahagia!" Tekannya sambil tersenyum. Kemudian kembali merengkuh Chara ke dalam pelukannya. "Terima kasih, Chara." Ucapnya kemudian sambil menciumi wajah Chara. "Aku mencintaimu."

Chara tersenyum, membiarkan Lucian mengangkat tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar yang ada di sana, mengatakan jika Chara butuh istirahat dan tidak boleh duduk terlalu lama.

Chara merapatkan tubuhnya ke arah Lucian, mengusap sebelah wajah lelaki itu dengan sayang. Kemudian mencium bibirnya pelan dan lembut, membuat Lucian menghentikan gerakannya yang hendak membaringkan Chara di atas tempat tidur.

"Aku juga mencintaimu." Ucap Chara yang disambut Lucian dengan senyuman bahagia.

Ya, karena memang begitulah seharusnya.

Jika seseorang itu bersabar untuk menunggu badai reda, maka dia akan dapat melihat pelangi setelahnya.

__o..END..o__


By
Skia

(29 July 2016)



Continue Reading

You'll Also Like

4.8K 2.6K 95
Versi Bahasa Inggrisnya sudah terbit dan bisa dibaca secara GRATIS di Amazon Kindle dan Kobo. https://books2read.com/BowlWorld --- Daftar Pendek (Nom...
2K 470 39
[ WINNER OF ATP (Akhir Tahun Produktif) WITH FORWISTREE ] 2100, kala dunia dalam keadaan berbahaya, kiamat datang di saat semua orang tidak menyadari...
4.1K 648 18
| Cerita yang enak dibaca sebelum tidur | Genre : Fluffy, Slice Of Life Story about Miss Venus and Mister Saturn, partner penyiar radio dan partner r...
2.5K 779 42
"Kita akan melihat cahaya matahari, besok." Hanya itulah janji yang bisa diberikan kepada Celine oleh Cyril, lelaki yang seolah sudah menjadi cahaya...