Another Way to Destroy The Wo...

By aulizas

50.8K 6.5K 1K

[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia... More

Prolog
1. Iova dan Kotanya
2. Akai dan Koleganya
3. Iova dan Penyelinapannya
4. Iova dan Misinya
5. Iova dan Pria Botak
6. Dae dan Sumpahnya
7. Eunah dan Pertemuannya
8. Dae dan Fobianya
9. Eunah dan Sebuah Kisah
10. Iova dan Teman Barunya
11. Akai dan Perasaannya
13. Eunah dan Pelariannya
14. Iova dan Pantulannya
15. Akai dan Masa Lalunya
16. Eunah dan Gua Ali Baba
17. Dae dan Sang Doa
18. Akai dan Penampungan
19. Iova dan Si Kacamata
20. Eunah dan Perjalanannya
21. Dae dan Tiga Pilihan
22. Iova dan Permintaan Bangsawan
23. Iova dan Mata Super
24. Akai dan Tawaran Riri
25. Eunah dan Tetangga Baru
26. Akai dan Para Monster
27. Akai dan Pengalaman Mereka
28. Iova dan Pertemuan Bangsawan
29. Akai dan Pelayan Xanx
30. Iova dan Salam Perpisahan
31. Eunah dan Sebuah Rahasia
32. Eunah dan Pelariannya (Lagi)
33. Eunah dan Ayahnya yang Super
34. Dae dan Masa Depan
35. Dae dan Cameron serta Tuan Kincaid

12. Dae dan Dugaan Langit

1K 161 20
By aulizas

Kelopak mata Dae seperti direkatkan lem, sulit untuk terbuka sekalipun ia tidak berkeinginan untuk kembali tidur. Padahal, Dae sudah bangun sejak kira-kira lima menit yang lalu. Akan tetapi, yang mampu ia lakukan hanya mendengar dan bernapas. Kulit Dae mati rasa, seolah di sekelilingnya hanya ada udara.

Apa aku sudah mati? Dae mulai bertanya-tanya dalam hati, mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Namun, saat suara sekelompok wanita mulai terdengar, Dae mencoba untuk menyimak.

Wanita-wanita itu berbicara dalam bahasa asing. Dae sangat yakin kalau bahasa itu bukanlah salah satu dari lima bahasa yang selamat dari bencana besar. Lagi pula, di sekolah Dae ada ekstrakurikuler bahasa. Akhirnya, mau tidak mau Dae menguasai keempat bahasa lain walau secara pasif.

Apa ini bahasa yang telah punah? Bagaimana mereka bisa tahu bahasa itu? Jangan-jangan mereka orang-orang yang selamat dari musim dingin dengan cara lain?

Kepala Dae dipenuhi terlalu banyak pertanyaan dan pertimbangan. Dia penasaran, tetapi terlalu takut untuk bertindak. Matanya mulai gatal ketika cahaya yang menerpa kelopak matanya semakin banyak seiring dengan mendekatnya para wanita itu. Dae benar-benar ingin membuka mata. Sayang imajinasi menguasainya kembali.

Bagaimana kalau wanita-wanita itu monster buruk rupa? Tentu tidak menutup kemungkinan. Lagi pula, Dae tidak pernah merasa akan menemukan sesuatu yang indah ketika sudah melanggar ketentuan. Aturan tidak tertulis lebih tepatnya, yang konsekuensinya bisa jadi jauh lebih besar daripada aturan tertulis.

Kota Yuza pasti punya hukuman tersendiri bagi para pelanggar. Seperti orang-orang yang tidak kembali atau mereka yang terkena amnesia karena pergi di saat jam malam. Bagaimana cara Dae kembali ke rumah? Benarkah ia tak akan bertemu ibu dan kakak perempuannya lagi? Apa ia bernasib sama dengan ayahnya?

Sekarang ibunya sendirian di rumah. Tak ada lagi anggota keluarga di sebelahnya. Bisa saja sekarang para tetangga sedang berkumpul di kediaman keluarga Kincaid untuk berkabung. Pemakaman tanpa jenazah pun mungkin sudah dilakukan. Sekarang, Dae punya nisan bertuliskan namanya di umur 15 tahun. Menyedihkan.

Perut Dae bergetar ketika hidungnya mencium aroma kayu manis. Dae menyukai bau itu, mengingatkan pada sang ibu yang senantiasa membuatkan dia keik dengan campuran bubuk kayu manis. Hebatnya, nafsu untuk makan itu memberi Dae sedikit harapan.

Aku masih hidup! Dae bersorak dalam benaknya. Akan tetapi, dengan cara apa agar bisa lolos dari situasi ini? Kembali pikiran Dae dikuasai pertimbangan. Mana tahu tubuhnya memang tengah melayang sehingga ia tidak dapat merasakan apa-apa pada kulitnya. Itu berarti dia tak akan bisa bergerak.

Ada terlalu banyak kemungkinan. Dia dibuat bingung oleh nalarnya. Dae khawatir saat ia berhasil membuka mata ternyata salah satu dari sekian ratus khayalannya benar-benar terjadi. Toh, Dae paranoid untuk memikirkan hal-hal baik. Padahal Eunah selalu bilang bahwa perkataan adalah doa. Ah, andai Eunah ada di sini. Dia pasti telah melakukan sesuatu sedari tadi.

Dae merindukan Eunah, tetapi bagaimana cara untuk bertemu lagi dengannya?

Sekian menit berkutat dengan isi kepalanya, Dae akhirnya menyerah. Dia pasrah. Bila ini memang ajalnya, setidaknya dia tidak ingin berdebat dengan dirinya sendiri. Jadi, Dae memasang telinga guna mempertajam pendengaran. Siapa tahu dia mendapat keajaiban dari otak kecilnya.

Tiba-tiba, sesuatu terasa membelai dagunya dan naik hingga ke kening. Tidak tersentuh secara langsung, tetapi Dae merasakan udara di sekitar wajahnya bergejolak dan membuat matanya terbuka dengan sendirinya.

Dae terkejut. Dia bersumpah tidak punya kemauan untuk melakukan itu. Lagi pula, Dae tidak punya cukup keberanian untuk menghadapi kematiannya sendiri. Kecuali kematiannya memang akan di akhiri oleh sesuatu yang indah. Mungkin banyak orang yang akan berpikir dua kali.

Kini, di hadapan Dae berdiri tujuh wanita jelita dengan selendang yang melayang ke atas. Paras mereka cerah, lebih cerah dari model iklan pemutih wajah. Mereka berdiri memperhatikan Dae sambil tersenyum lembut. Semuanya mengenakan pakaian tanpa lengan dengan bawahan ketat yang menutupi sampai ujung kaki. Mata mereka berkilat bagai permata, sedangkan rambut mereka terlihat lebih halus dari kain sutera. Pada leher mereka bergantung kalung berhiaskan batu mulia yang mempunyai warna sama dengan mata mereka.

Yang paling dekat dengan Dae berkalung jingga. Rambut hijau panjangnya bergerak-gerak seolah ia tengah menyelam di dalam air. Kedua tangannya seperti baru menyentuh sesuatu, mungkin dia yang mengusap wajah Dae. Ada cahaya jingga redup yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Suaranya ketika berbicara sangat rendah, tetapi tidak memberi kesan bahwa ia orang yang pemalu.

"....," kata si wanita jingga yang disambut anggukan oleh wanita dengan kalung merah dan berambut oranye gelap.

Sang wanita merah mengangkat tangan tanpa suara. Kelima wanita lain pun membungkuk sopan, kemudian perlahan mereka melangkah mundur. Pintu setinggi empat meter di depan berdebum tertutup. Tersisa wanita merah dan jingga di ruangan serba putih itu.

Senyum di bibir wanita merah memudar tatkala ia melirik si wanita jingga yang kini berdiri di sebelahnya. Mereka berbisik-bisik. Ada perdebatan kecil sebelum si wanita jingga menghela napas. Si wanita jingga menyisir rambutnya ke belakang telinga sambil berbicara, sementara si wanita merah menyilangkan tangan dengan dagu terangkat. Pada akhirnya si wanita merah terlihat tidak memedulikan kata-kata si wanita jingga ketika berjalan ke arah Dae yang masih bingung dengan segala hal.

"Salam," kata si wanita merah sambil menyatukan kedua tangan. Suaranya rendah dan berat. Ada ketegasan tersirat di sana. "Tak pernah aku menyangka seseorang sepertimu berani keluyuran setelah matahari terbenam." Dia menurunkan tangan dan berhenti beberapa kaki dari Dae.

Dae mencoba menjawab, tetapi lehernya tercekat. Seakan-akan ada tali yang mengikatnya kuat-kuat.

"Percuma. Kami sudah mengunci pita suaramu untuk beberapa saat."

Kami? Dae bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya mereka bertujuh? Dahinya berkerut heran.

"Lebih kurang." Si wanita merah menjawab pikiran Dae. Cowok itu ternganga dibuatnya. "Tak perlu terkejut. Manusia langit dengan kemampuan tinggi memang mampu membaca pikiran."

Manusia langit?

"Mungkin kau pernah mendengar kisah Penghuni Bumi yang menantang kaum kami, setelah meluluhlantakkan Manusia Bumi."

Dae mengerjap-ngerjap bingung. Dia tak mengerti sedikit pun dari yang sedang dibicarakan wanita merah. Kisah apa itu? Legenda kapan?

Melihat reaksi Dae, si wanita merah bergumam panjang. "Sepertinya untuk menjaga reputasi."

Tepat ketika wanita jingga hendak membuka mulutnya, pintu besar di belakang mereka terbuka keras. Seorang pria dengan kalung emas masuk dengan raut garang. Dia tak mengenakan pakaian atas, menampakkan otot-otot perutnya yang kotak-kotak. Celana selututnya berwarna cokelat tua dengan garis emas di ujungnya. Rambutnya yang juga berwarna cokelat terikat membentuk konde di atas kepala.

Seperti ketujuh wanita lain, pria kekar itu menggunakan selendang yang juga berwarna emas. Dilihat dari cara benda itu melayang mengelilingi si pria, tidak memperlihatkan bahwa selendang itu terbuat dari kain yang tebal dan berat. Sekalipun tak beralas kaki, langkahnya yang lebar berderap membuat perut Dae mencelus.

Pria itu membentak dalam bahasa asing, tetapi wanita merah tidak menoleh sedikit pun. Dia hanya menatap Dae lurus. Sementara itu, si wanita jingga mencoba menenangkan pria emas.

Mungkin kesal karena tak juga mendapat respons, pria emas menatap Dae penuh amarah. Alis tebalnya saling bertaut tak suka. Akan tetapi, air mukanya berubah kala berbicara dalam bahasa Dae. "Apakah engkau yang disebut itu?" tanyanya.

Yakin bahwa ia yang ditanyai, Dae menggeleng. Sebenarnya dia bermaksud berkata bahwa ia tidak mengerti, tetapi pria emas ini sepertinya tidak punya kemampuan yang sama seperti wanita merah sebab ia berucap, "Matamu memang seperti dia-yang-disebutkan."

Dae mencoba menggerakkan tangan, tetapi tangannya tetap diam di tempat. Padahal dia ingin sekali menutupi wajah dan menyembunyikan mata belangnya yang berwarna hazel dan amber. Dae memang sensitif bila sudah berbicara soal warna mata. Terkadang menderita heterochromia bisa jadi keren serta memalukan di waktu yang sama.

"...," ujar wanita merah mengalihkan perhatian Dae yang dibalas kalimat dengan nada tak peduli oleh pria emas.

Wanita merah melangkah menjauh dan diikuti oleh pria emas. Kepergian mereka dibalas dengan tatapan sendu oleh wanita jingga.

Setelah pintu tertutup, wanita jingga menoleh pada Dae. "Kami tengah dipusingkan dengan Dugaan Langit," ucapnya lembut disertai cahaya jingga yang menyelimuti dirinya saat ia menjentikkan jari. Rambutnya kembali bergerak-gerak.

Leher Dae yang kini terasa lega membuat ia berani untuk membuka mulut. "Apa maksudmu?"

"Kaummu menyebutnya sebagai ramalan," jawab si wanita kala membentuk gerakan huruf "o" besar dengan kedua tangannya. Tubuh Dae pun melayang turun.

Cowok itu berjengit. Jadi, sejak tadi aku memang melayang? Dia merinding saat mengetahui salah satu dugaannya tadi benar-benar terjadi.

Cahaya jingga memudar dari tubuh wanita itu. "Ada sebuah ramalan bahwa bencana besar akan melanda bumi untuk ke sekian kalinya," lanjut si wanita saat kakinya menapak ke sisi lain ruangan serba putih tanpa jendela ini. "Dan mungkin ini akan lebih dahsyat daripada yang sebelumnya."

"Bencana besar? Maksudmu musim dingin panjang?" Bulu kuduk Dae berdiri.

Wanita jingga mengangguk. Dia berhenti di depan sebuah lemari setinggi dua meter. Saat membuka pintu gandanya, dia berujar, "Apabila Dugaan Langit belum sampai pada dewa-dewi ramalan, kami dapat menyebutnya sebagai kesalahan. Sayangnya, kami telah mendengar beberapa dewa dari mitologi berbeda telah mendapatkan berita ini."

Dae menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sungguh dia tak paham dengan apa yang sedang wanita itu bicarakan. Dewa, ramalan, mitologi, manusia langit? Ada apa dengan hari ini? Alih-alih tewas karena melanggar jam malam, kenapa ia malah dihadapkan oleh hal-hal aneh? Terlebih lagi, ini di luar imajinasinya. Dae merasa ada kejanggalan dalam dadanya.

"Kau tak harus memahami ini." Wanita jingga memutar tubuh, menyodorkan pakaian berwarna biru nyaris putih. "Yang terpenting sekarang, kahyangan tidak akan menerimamu bila tetap berpakaian seperti itu."

***

Dae tak bisa membedakan mimpi dan kenyataan. Apa mungkin ia tengah terjebak dalam lucid dream? Namun, Dae tidak mengendalikan ini semua. Sepertinya dia memang sedang berada di dunia lain. Toh, seseorang seperti Dae tidak akan mencoba hal-hal berbahaya. Contohnya seperti sekarang, Dae sedang terbang tanpa alat pengaman.

Dia terus menerus bergetar. Rasa-rasanya ingin buang air, tetapi Dae tahu kalau dia tak boleh melakukan itu bagaimana pun keadaannya. Bukan hanya karena dia sudah besar atau pakaian yang ia kenakan bukanlah miliknya, hanya saja dia mafhum kalau itu tidak etis. Wanita ini juga sangat cantik. Sekalipun dia lebih tinggi dan terlihat beberapa tahun lebih tua darinya.

"Kebanyakan mitologi lain telah menutup mata. Mereka enggan mengurusi Manusia Bumi sekalipun keberadaan mereka memang bergantung pada kepercayaan kaummu." Wanita jingga mulai mengoceh sendiri dan Dae berusaha untuk mendengarkan. Sekalipun cowok itu masih awas-awas dengan sekelilingnya.

Sejak keluar dari ruangan serba putih tadi, tak sekalipun Dae diizinkan untuk menginjak sesuatu yang keras. Dia terus terbang mengikuti gerakan tangan si wanita. Sekeliling Dae adalah pulau-pulau yang melayang di antara udara. Gedung-gedung dengan tiang-tiang batu pualam berdiri tegak di atasnya. Sinar matahari muncul dari segala arah. Hangat dan menentramkan, tetapi tidak setenang jiwa Dae sekarang.

Sesekali ada saja yang lewat. Entah orang dengan selendang atau hewan-hewan dengan bentuk aneh. Wanita jingga berkata bahwa mereka adalah penghuni kahyangan seperti mereka. Akan tetapi, otak Dae tidak mampu menerima informasi di luar nalar lebih banyak lagi. Dia bahkan masih ragu tentang keamanan dirinya. Jangan menilai sesuatu dari luarnya saja. Bukankah ada peribahasa seperti itu? Tidak menutup kemungkinan Dae akan dimakan setelah mereka berdua tiba di tempat tujuan.

"Kita sampai," kata si wanita jingga.

Napas Dae tercekat tegang.

Cowok itu mengangkat pandangan. Tertangkap oleh matanya sebuah pulau yang melayang di antara awan-awan seputih kapas. Seperti gedung-gedung lain yang berhiaskan tiang batu pualam, gedung ini pun kurang lebih sama. Ada lambang bulan yang bergantung di tengah. Warnanya kuning cerah, tetapi memancarkan aura menyeramkan. Dae bergidik dibuatnya.

"Pijakkan kakimu dengan hati-hati," ujar wanita jingga. Tangannya bergerak gemulai, memerintahkan apa pun yang membuat Dae melayang mendekat ke pulau.

Dae mencoba berani, tetapi rasa girang yang membuncah dalam dadanya karena dapat menggunakan kaki lagi membuat Dae terlalu bersemangat. Dae kehilangan keseimbangan pada detik terakhir. Dia terjatuh dengan dagu yang mendarat terlebih dahulu. Untungnya Dae tidak merasakan sedikit pun rasa sakit. Wanita jingga juga tidak tertawa. Padahal, Dae sudah percaya kalau dia akan ditertawai karena melakukan hal konyol.

Tentu saja wanita itu mendarat dengan amat mulus. Kakinya yang tak beralas menapak anggun di atas tanah cokelat muda yang membentuk jalan setapak ke arah bangunan. Dae menepuk-nepuk pakaian pinjamannya, walau tentu saja tak ada debu yang keluar dari sana.

Seorang pria tua dengan jenggot panjang datang kepada mereka. Dia berjalan dengan bertumpu pada sebilah tongkat berkerut sepanjang dua kali tingginya. Pria itu lebih pendek sepuluh sentimeter dari Dae, membuat Dae agaknya merasa lega karena tak perlu mendongak. Sebab orang-orang yang ia temui sejak tadi rata-rata lebih tinggi dari dia. Kecuali beberapa hewan aneh tentu saja.

Wanita jingga menyatukan kedua tangannya. "Salam, sesepuh," sapanya.

Pria tua mengangguk. Alis tebal yang menutupi mata sipitnya bergerak naik turun. "Salam, Nara. Apakah dia ...?"

"Benar sekali, sesepuh."

Lebih banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiran Dae. Siapa kakek ini? Bagaimana cara ia melihat dengan alis itu? Dia bukan kanibal buta, kan? Apa mereka tidak takut pulau ini jatuh? Bagaimana kalau aku benar-benar mati sekarang?

Pria itu mengelus jenggotnya. "Dia sungguh butuh penjelasan. Syukurlah kau belum bisa membaca pikiran, Nara." Dia tertawa renyah. "Isi kepala pemuda ini seperti pusaran topan. Memusingkan."

Wanita jingga, Nara, hanya tersenyum untuk menanggapi.

"Dengarkan aku, pemuda." Pria tua beralih pada Dae. "Matamu menunjukkan segalanya."

Ah, lagi-lagi mata. Dae menunduk dalam-dalam. Apa salahnya punya mata berbeda? gerutunya.

"Kaum kami tidak berani menjamin dapat menghentikan bencana besar seperti terakhir kali." Pria tua memberi jeda, mengelus jenggot panjang dengan tangan kirinya. "Mengubah suhu dunia secara drastis, banjir yang meratakan Bumi, pemanasan global, atau bahkan musim dingin panjang membutuhkan waktu untuk mengundangnya. Kami butuh perhitungan yang tepat. Tak boleh meleset agar kaummu tetap bertahan dan kami akan terus ada. Sayangnya, Penghuni Bumi tidak main-main dengan keinginan mereka."

Dia membalikkan badan, memberi isyarat agar Dae dan Nara mengikutinya menuju bangunan di depan. "Keserakahan serta nafsu mereka sepertinya berbanding lurus dengan kekuatan yang mereka miliki." Digeleng-gelengkannya kepala. "Aku benar-benar tidak mengerti."

Dae menggigit bibir, lalu menghentikan langkah. Dia benar-benar merasa bodoh. Sejak tadi orang-orang ini mengoceh tanpa henti tentang bencana besar dan hal-hal lain yang tidak masuk akal. Akan tetapi, tak ada satu pun yang berhasil ia pahami. Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka mengaku mampu membaca pikiran, tetapi kenapa tak ada satu pun yang mau menjelaskan padanya pokok permasalahan awal?

"Aku juga tidak paham." Dae bergumam.

Dahi pria tua itu berkerut, menambah keriput pada wajahnya. Dia berbisik dalam bahasa asing pada Nara yang hanya dibalas gelengan kepala.

Menghela napas, sesepuh itu berujar, "Sepertinya kita perlu menguji sesuatu."

"Menguji?" Dae menatap curiga.

"Bila kau orang yang tepat, kami akan melatihmu. Jika bukan, mungkin kau akan kembali tanpa ingatan--manusia langit terlalu suci untuk menumpahkan darah seseorang."

Dae menelan ludahnya sendiri. Bau kayu manis mengudara di sekitar mereka. []

Continue Reading

You'll Also Like

409K 26.2K 57
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
1.1M 95.7K 48
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
7.1M 371K 46
Daisy Mahesa, seorang model terkenal. Ia juga merupakan putri tunggal dari keluarga Mahesa. Menjadi seorang model merupakan mimpinya, namun sayang ka...
1.1M 57.7K 40
Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigrasi ke dalam novel...