Love Command [5SOS]

By oreogreentae

309K 42.7K 36.9K

More

Escort
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14 (Bagian A)
Bab 14 (Bagian B)
Bab 15 (Bagian A)
Bab 15 (Bagian B)
Bab 16
Bab 17 (Bagian A)
Bab 17 (Bagian B)
Bab 18 (Bagian A)
Bab 18 (Bagian B)
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22 (Bagian A)
Bab 22 (Bagian B)
Bab 23 (Bagian A)
Bab 23 (Bagian B)
Bab 24 (Bagian A)
Bab 24 (Bagian B)
Bab 24 (Bagian C)
Bab 25
Bab 26 (Bagian A)
Bab 26 (Bagian B)
Bab 26 (Bagian C)
Part 27 (Bagian A)
Bab 27 (Bagian B)
Bab 27 (Bagian C)
Bab 27 (Bagian D)
Bab 27 (Bagian E)
Bab 28 (Bagian A)
Bab 28 (Bagian B)
Bab 29 (Bagian A)
Bab 29 (Bagian B)
Bab 29 (Bagian C)
Bab 30 (Bagian A)
Bab 30 (Bagian B)
Bab 30 (Bagian C)
Bab 31 (Bagian A)
Bab 31 (Bagian B)
Bab 31 (Bagian C)
Bab 31 (Bagian D)
Bab 32 (Bagian A)
Bab 32 (Bagian B)
Bab 32 (Bagian C)
Bab 32 (Bagian D)
Bab 33 (Bagian A)
Bab 33 (Bagian B)
Bab 33 (Bagian C)
Bab 34 (Bagian A)
Bab 34 (Bagian B)
Bab 34 (Bagian C)
Bab 34 (Bagian D)
Bab 34 (Bagian E)
Bab 35 (Bagian A)
Bab 35 (Bagian B)
Bab 35 (Bagian C)
Bab 36
Discort

Bonus Chapter

5.2K 588 800
By oreogreentae

Paris, Tiga bulan berselang.

Luke mengangkat cangkir teh mendekati bibirnya, lalu sebelum menyesap, perlahan ia memutuskan memejamkan mata, membiarkan uap hangat yang membias tenang merilekskan pikirannya. Seperti selalu.

Ia menarik nafas, lalu tak lama kembali membuka mata dan bergerak menghirup cairan bening dalam cangkirnya, sambil sesekali mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.

Tea-room Dalloyau sore itu tidak terlalu ramai. Mungkin karena ini masih jam kerja, pikirnya. Biarlah. Sehabis menggasak Opéra individuelnya, ia juga akan pergi dari sini.

Akhirnya beberapa saat kemudian, setelah menghabiskan pesanan dan menyempatkan diri membeli se-pak Macarons untuk care-taker flatnya, Luke pun melangkah keluar lalu masuk ke dalam mobil hybrid-nya yang terparkir di depan Dalloyau.

Karena tidak tahu mau kemana -jelas tidak kembali ke kantor karena pekerjaannya sudah selesai-, Luke memutuskan melajukan mobilnya pelan-pelan menyusuri Rue -jalan- St. Honore, merancang semacam self sight-seeing tour kecil-kecilan.

Lalu tak lama, tepat ketika ia melintas di depan salah satu flagshop brand fashion ternama, pemuda itu dikejutkan oleh pesan yang berkedip-kedip pada ponselnya. Email ternyata. Dari Frisca.

Seperti biasa dalam tiga bulan terakhir, email itu berisi pesan singkat dan sebuah attachment foto dari Frisca. Luke tersenyum tipis. Gadis itu masih bereksperimen dengan kamera barunya ternyata. Frisca memang jadi suka sekali memotret apa saja yang terjadi belakangan di Jakarta lalu mengiriminya pada Luke yang nun jauh disini agar tidak ketinggalan berita.

Foto itu ternyata berisi tiga orang keluarga intinya, foto yang membuat Luke merasakan kehangatan keluarga menjalari hatinya. Stefanus nampak merangkul Romi di sofa, sementara Calum berdiri sambil berkacak pinggang di belakang keduanya, berekspresi seakan ia cemburu. Frisca menulis caption pada foto itu "Padahal dia kan ada aku T-T"

Luke menahan tawa lalu terdiam, mencoba menelaah. Hubungan papa dan mamanya memang semakin menghangat sejak beberapa waktu lalu, entah kenapa. Kabarnya bahkan mereka -Stefanus dan Romi- akan berlibur, berkeliling Eropa beberapa lama, hanya berdua. Mungkin memang hanya Frisca yang tahu, sejak Stefanus melepaskan beban itu, ia mulai berniat untuk membangun semua yang tersia selama ini.

Luke berpikir lagi. Frisca dan Calum sejauh ini juga masih baik-baik saja, tidak ada ancaman keretakan, kecuali perdebatan abadi kecil yang tak perlu dipusingkan.

Pemuda itu menurunkan ponselnya, merenung. Mengingat Frisca dan ucapan terakhir gadis itu saat bersama Calum mengantarnya ke bandara.

Setelah Frisca melepas pelukannya, bening mata gadis itu menunjukkan bahwa ia serius dan tak mau dibantah "Temukan seseorang disana ya, Kak." Ucapnya pelan. "Seseorang yang cukup pantas untuk menerima semua kebaikan luar biasa Kakak."

Frisca tersenyum kecil, "Bahagialah untuk aku, untuk Kakak," ujarnya.

Luke mendesah, masih melajukan setirnya tak tentu arah, sibuk berpikir. Mungkin tidak semudah itu, Frisca. Belum sekarang, batinnya.

Pemuda itu lalu tersadar dari jerat benaknya, dan melihat seksama ke luar jendela. Ah. Ia tidak sadar sudah berkendara cukup jauh. Sudah mengarah ke Champ-élysées ternyata.

Luke menarik nafas, terus menyetir hingga akhirnya menghentikan laju mobilnya di salah satu ruas di ujung barat Champ-élysées, yang ditandai dengan berdirinya monumen besar Arc de Triomphe.

Ia lalu membuka jendelanya dan mematikan mesin, menikmati suasana sore petang menjelang musim dingin di wilayah kedelapan -8eme- kota Paris sambil mengetik balasan atas email Frisca.

'Such a good pict.' Ketiknya, sambil sesekali menatap menembus kaca jendela depan mobilnya. Beberapa orang nampak berlalu lalang di kawasan pedestrian tepat di muka kendaraannya, tapi tidak ada yang lebih heboh daripada seorang gadis berambut mahogany yang nampak membawa hampir dua puluh kantong di tangannya. Pemandangan yang cukup lazim sebenarnya, mengingat Champ-élysées adalah salah satu jantung jalan mode di Paris.

Luke menarik nafas lalu kembali menatap ponselnya, melanjutkan 'Nanti kirimin lg ya, Ca. Tapi sekali-kali yang ada ka-'

Brruuuk.

Pemuda itu kontan mengangkat kepala saat mendengar bunyi gedebuk keras tepat di depannya, ia sempat melihat walau selintas, sekelebatan coklat terjatuh meluncur ke bawah, tepat di moncong mobilnya.

Luke memutuskan meletakkan ponselnya di dashboard , lalu membuka pintu dan turun mengitar ke depan kapnya.

Gadis berambut mahogany tadi itu ternyata, yang kini tampak kewalahan, memunguti kantung-kantungnya yang masing-masing berembos merk fashion tenar berlainan.

Luke tanpa segan berlutut di atas trotoar, entah kenapa tanpa berpikir panjang membantu gadis asing itu, yang sempat dikiranya sebagai gadis tipe pemboros.

"Desolé, monsieur." Ucap gadis itu pelan, dengan suara sengau khas Perancis. Luke mengangkat wajah, terdiam saat raut manis kebarat-baratan itu mematahkan spekulasinya. Wajah gadis itu polos tanpa make-up ternyata, tidak cantik tapi manis, menjanjikan sesuatu yang takkan bosan dipandang.

Bukan pesolek, Luke menepis perkiraannya. Walau trench coat dan boots yang dikenakan gadis itu juga tidak nampak out-of-date. Entah kenapa, Luke yakin kantung-kantung itu bukan miliknya. Pemuda itu jadi ingin tahu. Mungkin ia seorang fashion buyer atau sejenisnya.

"M-merci beaucoup." Ucap gadis itu gugup setelah berdiri dan menerima uluran kantung dari Luke, nampak kewalahan lagi.

"Oui," ucap Luke pelan "De rien,"

Gadis itu, tak disangka lalu tersenyum, menampilkan sebuah kerutan manis di bawah sebelah matanya yang menambah poin menarik bagi Luke.

Gadis itu lalu membungkuk dan memohon diri untuk pergi terlebih dulu lewat isyarat mata, meninggalkan Luke yang masih terdiam.

"Excusez-moi," tahan pemuda itu, tak bisa menahan diri, tak bisa menahan keingintahuannya yang menjadi-jadi, "Tu .. tu t'appelle comment?"

Gadis itu menoleh, terngaga sesaat "Moi?" Tanyanya, memastikan dengan mimik lugu. Luke mengangguk.

"Chérie," jawabnya mantap, tersenyum lagi, menampilkan dua pipi yang memerah entah karena udara dingin atau pemuda asing itu, "Je m'appelle Chérie. Et toi?"

***

Kidsclub, Jakarta. Sebelas tahun kemudian.

Bocah laki-laki tampan itu meraup crayon yang tersebar di meja dengan jari-jari mungilnya, lalu memilah warna abu-abu dari hasil tangkapannya. Ia berniat mewarnai guratan segitiga menjulang yang mengisi hampir sepertiga bagian kertas gambarnya.

Sambil mulai mewarnai ia bertanya-tanya, mengapa guru di penitipan ini menyuruh semua anak mewarnai gunung dengan warna abu-abu? Bukankah warnanya hijau? Paling tidak begitu yang dilihatnya jika diajak pergi kemana-mana oleh Daddy dan Mommy.

Tak lama, bocah itu menghentikan proses pewarnaannya lalu menatap jengkel -namun lucu- teman di sebelahnya, yang baru menyikut-nyikut lengannya. Mengganggu saja.

"Tuh .." Tunjuk temannya, saat ia menoleh, menyuruhnya untuk menaruh perhatian ke arah pintu.

Sepasang pria dan wanita tampak sedang berdebat sambil melangkah mendekati pintu kaca, yang tak lama berkerincing nyaring -akibat lonceng kecil di sisi atas pintu yang tersenggol- setelah dibuka.

Bocah itu akhirnya benar-benar menghentikan kesibukan jarinya, teralih untuk mendengarkan perkelahian kecil itu.

"Bukan pisang goreng itu yang aku maksud," rengut sang wanita, yang perutnya nampak membulat maju karena mengandung.

Sementara si pria berkacak pinggang, ikut mengomel dengan suara baritonnya yang khas, "Apa bedanya sih, Ca?"

"Yang aku mau itu pisang goreng makassar, bukan manado," sahut sang wanita keras kepala.

"Ya apa bedanya? Makan aja yang ada."

Wanita itu memajukan bibirnya, "Kamu mau anak kamu lahirnya ngiler?"

"Mitos kok dipercaya.."

Bocah yang sedaritadi memperhatikan itu kini mendesah sok tua, ia melepas crayon di tangannya lalu berdiri, berjalan dengan kaki kecilnya, menghampiri kedua orang dewasa yang masih bertengkar.

Tap .. Tap .. Tap.

Ia berhenti di depan lutut sang pria dan wanita yang tak menyadari kehadirannya lalu mengulurkan tangan dan menarik-narik ujung baju keduanya, meminta diperhatikan.

Begitu mendapati dua pasang bola mata itu menatap kaget ke arahnya, bocah itu memasang tatapan sebal lalu berkata singkat namun ketus, "Berisik." Lantas kembali ke meja lipatnya, meninggalkan pria dan wanita tadi dalam kebingungan.

Frisca -sang wanita- setelah beberapa terdiam saja akhirnya mendesah, menatapi putra sulungnya yang berusia hampir lima tahun itu dan merupakan cetak biru Calum.

"Liat tuh Callum. Anak sama bapak kok sama songongnya," cibir Frisca, mendelik pada Calum.

Calum mengangkat satu sudut bibirnya bangga, "Bagus dong. Nanti berarti dia juga bakal banyak yang ngejar-ngejar kayak aku,"

Frisca mengacuhkan ucapan Calum, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangannya, "Jam berapa sih kita kumpul sama Ashton-Gabby, Sifa-Michael?" Tanyanya, lalu mengangkat kepala dan berubah ganas saat melihat sang suami tidak memperhatikannya, malah memandangi jendela di samping ruang penitipan.

"Calum!"

"Tirainya bagus ya, Ca." Ucap pria itu, menunjuk tirai berwarna pink pastel dengan motif pita-pita kecil yang menghiasi kerai jendela.

Frisca mengernyit.

Calum menoleh ke arah wanitanya, "Bagus buat Caca nanti," katanya sambil tersenyum, menatap sayang perut Frisca.

Wanita itu mengerutkan kening makin dalam, "Siapa Caca?"

Calum melengos, "Ya anak perempuan kita,"

"Emangnya anak kita perempuan?" Frisca bergerak menatap perutnya yang buncit. Dokter kan belum memberitahu jenis kelamin anak nomor duanya ini, masih terlalu dini.

"Iya, cewek" Jawab Calum yakin, memandang ke arah Frisca lagi.

"Tau darimana? Kok yakin banget?"

Calum menatap Frisca jengkel, "soalnya aku mikirin waktu itu."

"Waktu apa?"

"Ya waktu itu, masa perlu dijelasin?" Tanya Calum penuh arti, membuat muka Frisca memerah malu setelahnya. Seperti biasa, raut yang selalu membuat pria itu jatuh cinta.

Namun tiba-tiba wajah Frisca cemberut lagi, "aku gak mau nama anak kita Caca."

"Kenapa?" Tanya Calum, "Kan bagus, dari CAlum-FrisCA."

"Kamu tuh gak kreatif kalo bikin nama. Kenapa coba harus nyerempet nama kita? Callum aja cuma tambah huruf L satu lagi dari nama kamu." Frisca berdecak, lalu berfikir "Aku maunya nama anak kita.... Bianca aja."

Ganti Calum yang mengernyit, "Darimana segala Bianca? Pokoknya Caca."

"Bianca." Pelotot Frisca.

"Caca." Balas pelotot Calum.

"Bianca." Frisca mendengus.

"Caca." Calum ikut mendengus.

Tap.. Tap.. Tap..

"Bianca."

"Ca.."

"Emang siapa yang bilang anak kita perempuan sih?"

"DADDY! MOMMY! BERISIK!"

And the life goes on.

***

Continue Reading

You'll Also Like

286K 22.2K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
15.3K 2.7K 10
Gadis muda yang duduk di dalam itu tidak menunjukan banyak emosi, senyum ramah dan tawa senang pun jarang terlihat, apalagi rasa bersalah atau rasa i...
218K 32.5K 24
"be careful of what you'd wish for."
216K 33K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...