Love Command [5SOS]

By oreogreentae

309K 42.7K 36.9K

More

Escort
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14 (Bagian A)
Bab 14 (Bagian B)
Bab 15 (Bagian A)
Bab 15 (Bagian B)
Bab 16
Bab 17 (Bagian A)
Bab 17 (Bagian B)
Bab 18 (Bagian A)
Bab 18 (Bagian B)
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22 (Bagian A)
Bab 22 (Bagian B)
Bab 23 (Bagian A)
Bab 23 (Bagian B)
Bab 24 (Bagian A)
Bab 24 (Bagian B)
Bab 24 (Bagian C)
Bab 26 (Bagian A)
Bab 26 (Bagian B)
Bab 26 (Bagian C)
Part 27 (Bagian A)
Bab 27 (Bagian B)
Bab 27 (Bagian C)
Bab 27 (Bagian D)
Bab 27 (Bagian E)
Bab 28 (Bagian A)
Bab 28 (Bagian B)
Bab 29 (Bagian A)
Bab 29 (Bagian B)
Bab 29 (Bagian C)
Bab 30 (Bagian A)
Bab 30 (Bagian B)
Bab 30 (Bagian C)
Bab 31 (Bagian A)
Bab 31 (Bagian B)
Bab 31 (Bagian C)
Bab 31 (Bagian D)
Bab 32 (Bagian A)
Bab 32 (Bagian B)
Bab 32 (Bagian C)
Bab 32 (Bagian D)
Bab 33 (Bagian A)
Bab 33 (Bagian B)
Bab 33 (Bagian C)
Bab 34 (Bagian A)
Bab 34 (Bagian B)
Bab 34 (Bagian C)
Bab 34 (Bagian D)
Bab 34 (Bagian E)
Bab 35 (Bagian A)
Bab 35 (Bagian B)
Bab 35 (Bagian C)
Bab 36
Bonus Chapter
Discort

Bab 25

3.6K 532 684
By oreogreentae

Dua hati. Dua matahari. Meski salah satunya mulai tak berfungsi dan bersiap mati.

***

Pemuda itu mematut refleksi wajah tampannya dalam cermin, membenahi letak kacamata yang sedikit melorot di ujung hidungnya lalu mengerutkan kening. Betulkah bahwa cermin adalah media yang selalu berkata sebenarnya? Lalu kenapa ada kilasan aneh dalam pantulan dua mata yang memandangnya balik dari sana. Siratan yang terlalu jarang terpeta dalam profilnya.

Ia menghela nafas sendiri. Bingung. Tak tahu mengapa bayangannya terlihat begitu resah. Tak nampak tenang seperti biasa. Bagai bukan dirinya.

Ia berfikir sebentar, memindai mulai kapan Ia merasa begitu gamang. Ah. Ia mengerti sendiri. Sejak... semalamkah?

Sambil merapikan kerah kemeja hitamnya, Luke  mendesah pula. Menarik ingatan yang tiba-tiba melayang di udara. Membiarkan sebuah rol film berputar dalam proyektor otaknya.

***

Malam sebelumnya..

Alunan isakan lantas lirik keheningan, terus melantunkan sebaris nada menyayat ditemani keremangan yang bertahan. Membiarkan ingatan pahit yang tak mau dikalahkan tetap mengambang dalam debu-debu awan.

Seakan-akan, Luke bisa melihat dedebuan kenangan itu berpusar disana, memutuskan merasuki pori-pori kulit, meracuni pembuluh darah dan mengontaminasi otak gadis yang baru Ia lepaskan dari rengkuhannya. Tanpa diberitahu, Luke mengerti apa isi debu-debu itu. Memori getir. Yang takkan menyerah untuk terus mengulangi dirinya, hingga gadis yang Ia susupi tak mampu lagi berdiri.

Pemuda itu mengusap-usap punggung Frisca yang kini duduk di tepi ranjang di sebelahnya. Gadis itu masih bernafas susah payah. Tampak begitu lelah setelah menghabisakn oksigen dalam paru-parunya utnuk melagukan tangis. Luke berharap dalam hati, semoga memori – memori jahat itu segera mati. Atau gadis manis didekatnya ini akan terus memperpuruk keadaannya sendiri.

Frisca terceguk sesaat, berusaha melupakan hatinya yang sudah terserut menjadi serpihan. Ia menotol-notol matanya yang sudah membengkak sebesar bola dunia dengan gumpalan tissue. Lalu menarik nafas dan tersedak. Entah sudah berapa lama Ia seperti ini. Terdiam. Terceguk. Menangis. Terdiam lagi. Terceguk lagi. Menangis lagi. Bagai lingkaran yang tak pernah menemukan akhir.

Gadis itu mengangkat wajah, berusaha menghirup udara semampunya dan menggeleng sendiri. Ternyata masih begitu banyak yang belum menggelegak keluar. Masih ada ribuan tetesan yang siap ditampung bumi untuknya.

Tiba-tiba sepotong tangan memaksa dagu beserta seluruh kepalanya untuk menoleh. Luke. Tersenyum tipis ke arahnya seraya menyambar sehelai kertas tissue baru dari box yang diletakkan di dekatnya.

Pemuda itu menyibak poni Frisca di atas kepala, menahannya disana lalu menyeka air mata beserta sisa-sisa basah yang menjejak di seluruh wajah gadis itu.

Frisca terdiam ketika merasakan saputan tissue di tangan Luke pada wajahnya. Dan saat pemuda itu mulai menjauhkan tangan, Frisca hanya dapat berucap lirih "Maaf ya, Tuan,"

Plok.. Plok.. Pemilik wajah malaikat itu menepuk puncak kepala Frisca. Perlakuan tiba-tiba yang membuat dua mata keruh pemilik kepala tadi terpana. De javu Ilu, lagi. Meski kali ini gadis itu sudah mengetahui, memang Ilu sebenarnyalah yang baru saja mereka ulang memoar yang sama kembali.

"Never mind," sahut Luke pelan, lagi-lagi tersenyum lalu melepaskan tangannya dari puncak kepala Frisca, membuat gadis itu kembali menunduk dalam-dalam.

"Ternyata film-film drama itu gak selalu melebih-lebihkan cerita ya.." ujar Luke setengah geli, sambil memainkan tissue tadi dalam jari-jarinya.

Frisca menoleh pelan kearah dua danau jernih milik Tuan Muda baik hatinya, yang kini tersenyum entah untuk keberapa kali malam ini, "Cewek-cewek.. ternyata memang punya persediaan air (mata) yang lebih banyak daripada unta," katanya sambil menyeringai pelan.

Frisca entah kenapa ikut tersenyum kecil, lalu terperanjat saat merasakan Luke menarik dagunya lagi. Pemuda itu mendesah kecil lalu memegangi pipi gadis di hadapannya dengan kedua tangan. Dengan lembut, Ia menggerakkan pipi Frisca sedemikian rupa hingga ujung-ujung bibir gadis itu tertarik ke atas, membentuk senyuman yang disengaja.

Luke berucap pelan, "Saya tahu kamu gadis yang kuat. Saya mungkin hanya sedikit mengerti apa yang terjadi. Apapun itu, mungkin memang tak ada hubungannya dengan saya. Yang saya minta tetaplah jadi Ica yang setegar karang. Dan kalau kamu memang butuh bahu seseorang untuk menangis, jangan anggap saya tak kastamata,"

Setelah itu Luke melepasakan tangannya dari wajah Frisca, berdiri dan sekali lagi mengusap rambut gadis itu.

Sesaat Frisca terperangah saat dilihatnya punggung Luke menuju kearah pintu, lalu entah apa yang mendorongnya Ia berkata tertahan.

"Tuan.. betul-betul Ilu?"

Luke menghentikan langkahnya lalu berbalik, sejurus kemudian mengerutkan kening seraya mengangguk, "Itu.. nama pemaksaan dari nenek buyut saya, yang sudah begitu renta saat saya kecil. Jadilah dengan keadaan alat bicaranya yang sudah tak jelas, Ia hanya bisa menyebut nama saya dengan panggilan itu." Pemuda itu terdiam, menerawang dalam kenangan, mengingat berapa lama Ia tak dipanggil dengan sebutan itu.

Tak lama Ia menoleh ke arah si gadis penanya, "Kamu.. tahu darimana?"

Frisca memainkan jari-jarinya dengan ragu. Lalu menghela nafas dan berdiri. Ia berjalan ke arah lemari di sudut kamarnya dengan begitu limbung, hingga Luke bersiap, was-was jika gadis itu akan ambruk sendiri.

Entah apa yang mendorongnya melakukan ini. Frisca membuka laci dalam lemari tadi, mencari-cari sebuah benda yang sudah begitu lama berada padanya. Akhirnya. Ia terdiam sejenak saat merasakan lekukan benda yang terasa terlalu familier dalam genggamanannya. Bros Ilu. Yang Ia rasa harus segera dikembalikan pada pemilik aslinya.

Luke menatap Frisca yang tengah menutup pintu lemari lalu kini berjalan tersaruk-saruk setangah buta ke hadapannya.

"Tuan pernah kehilangan bros keluarga?" Tanya gadis itu tiba-tiba, lalu mentap Luke dengan selaput beningnya yang dikabuti sisa air mata.

"Kehilangan? Bros?" Luke mengernyitkan dahi. Ia menggeleng sendiri.

Seluruh dunia tahu bahwa gelengan umumnya berarti 'tidak', jawaban yang membuat Frisca sedikit frustasi.

"Tuan tidak pernah merasa menghilangkan bros ini?" Frisca membuka telapak tangannya, memperlihatkan bros dengan lambang keluarga Hemmings disana. "Tidak pernah menghilangkannya bersama seorang gadis kecil yang tengah menangis dulu sekali?" lanjutnya mendesak.

Lalu tak tahu bagaimana ceritanya, Luke menggeleng dengan pasti, "Saya tak pernah menghilangkan bros keluarga."

"Tidak jugakah pada gadis bodoh dari desa Apit yang selama sepuluh tahun terus menanti dan mencari-cari?" ujar gadis itu sedikit emosional.

Luke tampak terhenyak beberapa saat dan jawaban pemuda itu tetap sama, "Tidak pernah."

Frisca mendesah, merasa hatinya mencelos. Ternyata, Ilu yang selalu menghantuinya selama itu tak pernah repot-repot mengingatnya. Gadis kecil yang tak punya apa-apa. Sepuluh tahun itu sia-sia juga ya. Batinnya sarkatis. Ia bertanya dalam hati, kenapa pula nampaknya hari ini semua kesialan cinta di dunia harus menubruknya tanpa jeda?

Gadis itu memjamkan mata sebentar, mencari-cari sisa kekuatan dalam kegelapan disana, lalu membuka matanya lagi. Masih tidak mengerti. Ia melangkah pelan ke arah Luke, meraih tangan tuan mudanya dan menjejalkan bros keramat itu disana.

"Saya kembalikan," ucap Frisca pelan, tak peduli dengan bantahan Luke sebelumnya.

Belum sempat menjauhkan tangan, Luke sudah mencekal lengannya lagi lalu menyusupkan bros itu kedalam telapaknya.

"Ini punya kamu." tukas pemuda itu sambil menutup genggaman Frisca dengan bros yang sama di dalamnya. "Saya tidak pernah menghilangkan bros itu," tegasnya lagi lalu melepas tangan Frisca dan mendesah dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti.

Luke tersenyum pada Frisca untuk terakhir kali, lantas berbalik meninggalkan gadis yang masih mematung di tempatnya.

***

Luke masih terdiam di depan cermin saat rol film itu mengabur. Ia mengerjap sekali, tersadar. Jadi, gadis itulah penyebab kegelisahannya kini. Dari sejak awal, Luke tahu instingnya tak pernah salah, Ia tahu gadis itu berbeda. Namun Luke tak menyangka bahwa ternyata Frisca terlibat dalam sejarah keluarganya, yang bahkan tak disadari gadis itu hingga waktunya nanti tiba.

Luke menghela nafas, ingat bagaimana semalam Ia melepaskan topeng tenangnya setelah Ia keluar dari kamar Frisca. Ia jadi resah, bahkan hingga detik ini. Ada yang menggelegak di benaknya. Desa Apit .. nenek buyut .. gadis kecil penuh isakan yang sengaja ditunjuk mamanya .. bros penanda. Semua mulai berputar disana. Segalanya merajut senandung kuno yang sudah lama tersembunyi, yang mungkin takkan jadi kisah lama lagi setelah nantinya tergali.

Luke tak berbohong. Ia memang tak pernah menghilangkan brosnya. Ia memberikannya, bukan? Dan memberikan bukanlah sinonim menghilangkan. Pemuda itu mulai teringat kilasan ucapan Mamanya. Tentang masa lalu dan masa depan yang mulai membentuk kaitan. Berulang terus, kalimat itu. Kidung klasik dulu.

Benarkah bros itu sudah begitu lama berada di tangan yang tepat? Gadis itukah orangnya? Jika iya, saat itu hanya tinggal menunggu waktunya. Karena tanpa disengaja, akhirnya.. takdir telah menemukannya.

***

Batu-batu nisan kusam yang menyembul dari permukaan tanah menimbulkan perasaan tak menyenangkan. Menyanyikan sejumput hawa ratapan, kesepian. Dan pada akhirnya, kesendirian.

Frisca bergidik sendiri lalu mendesah. Ada dua hal yang membuat gadis itu sesungguhnya enggan berada di tempat ini. Kalau bukan untuk masalah kepantasan, Ia pun tak mau datang.

Pertama, karena aura kesedihan ini mengingatkannya pada alamarhumah Bunda. Dan kepergiannya yang begitu tiba-tiba. Frisca mengusap lengannya sendiri sepanjang jalan, sedikit miris melihat nisan-nisan tak terawatt itu. Ia tertohok, adakah yang merawat milik Bunda di desa?

Gadis itu terus menunduk, bahkan hingga ujung belakang pantofel hitam mengilap yang diikutinya sedari tadi berhenti tiba-tiba, Ia tetap memandangi tanah.

Luke terdiam prihatin melihat penampakan wajah Frisca yang sepertinya terlalu putus asa, sesuatau yang diluar kuasanya. Pemuda itu mendesah, menepuk puncak kepala Frisca yang masih memainkan jarinya sendiri lalu entah kenapa Ia tergerak untuk menarik tangan gadis itu dan melanjutkan berjalan membelakangi Frisca. Membiarkan gadis manis itu masih membisu mendapati jemarinya tergenggam tanpa seuntai pun kata.

Frisca memandangi tangannya yang bertaut dengan tangan Luke. Menghela udara ketika tak bisa merasakan desiran apa-apa. Mungkin Ia sudah mati rasa.

Setelah beberapa langkah, Luke kembali menyudahi derapnya. Membuat Frisca tak sengaja menubruk punggung pemuda itu dan akhirnya mengangkat wajah. Ia bungkam, mendapati alasan kedua berdiri tak jauh dari sana.

Tanpa sadar, gadis itu mencengkram genggaman tangan Luke kuat-kuat, merasakan nafasnya tercekat. Disana, sepasang hati yang membunuh milik Frisca sendiri. Calum dan Sifa. Berdiri bersisian di dekat gunungan tanah merah yang baru digali untuk penguburan jenazah Pak Umari.

Luke menoleh ke belakang, turut mengikuti fokus mata penuh emosi milik Frisca. Ah, serunya tertahan dalam hati. Pantas saja.

Pemuda itu kembali mengalihkan pandangan pada gadis kalut di dekatnya lalu spontan berkata "Kamu gapapa?"

Sesuatu yang tak perlu ditanya sebenarnya. Karena jawaban yang begitu jelas terpeta pada wajah gamang disana. Jawaban yang kali ini, lagi-lagi ditampik Frisca dengan sifat sok tegarnya.

Gadis itu menggeleng, menatap tuan mudanya "Bukan apa-apa, Tuan," sahut Frisca, tersenyum lirih lalu membuang pandangan kearah pohon beringin di dekatnya berada. Pohon yang bisanya menyeramkan itu, kini terlihat menyedihkan bagi Frisca. Kasihan sekali. Ia berdiri dalam sepi. Di tempat ini. Entah untuk berapa musim penghujan dan kemarau yang telah terlewati. Bertahan sendiri.

Luke tersenyum tipis lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, tak habis fikir. Gadis rapuh ini. Kenapa harus dipaksanya untuk sadar dan mengerti berulang kali. Padahal ini kisah mereka, bukan miliknya.

Tanpa bicara, Luke menarik Frisca menapak lebih dekat pada pusara. Berhenti di ujung salah satu sap terdepan barisan pelayat lain. Sementara Frisca kali ini mungkin lebih bijaksana. Ia membuang pandangan saat dilihatnya jenazah Pak Umari tengah diturunkan memasuki liang pusara. Gadis itu tahu dirinya tidak mungkin tidak akan merasakan apa-apa nanti dan saat epic yang akan terjadi itu harus menunjukkan diri, Ia tak mau menangis di depan Luke untuk kedua kali.

Meski Frisca berpikir begitu, ternyata Luke sudah mempersiapkan diri untuk ronde selanjutnya. Ia tahu setelah ini ada yang harus Ia papah lagi, ada yang harus Ia punguti kepingan perasaannya kembali. Dan bagaimanapun eksekusinya nanti, dialah yang harus mengambil lakon menjadi penyelamat, dari perang hati yang belum pasti kapan usainya ini.

Teramat dekat dengan makam baru itu adalah Sifa, tengah memperhatikan jenazah almarhum Papinya memasuki liang kubur dengan mata berkabur mengabur. Perlahan, beberapa pasukan berwenang mulai bersiap menimbun jasad Papinya dengan tanah merah. Papi yang kerap Ia peluk sepulang kerja itu, dengan wangi kopi khas yang menyatu di kemeja garis-garis favoritnya, kini akan menyatu dengan asal mula kejadiannya. Debu dan tanah. Lalu tak bisa lagi mendekap dan mengajaknya tertawa bersama.

Gadis berwajah tirus itu menggigit bibir lalu merasakan setetes air mata membasahi pelupuknya saat mendengar raungan memekakkan yang membelah keheningan tiba-tiba. Sifa ikut menangis tanpa suara ketika menyadari milik siapa suara menyesakkan itu. Ia mengintip dari sela bulu matanya, melihat Maminya tengah terduduk di tanah, berteriak histeris setalah melemparkan tanah pertama untuk menutup jasad Papi dengan tangannya sendiri. Sifa ikut menangis tak terkendali. Segalanya begitu menyesakkan.

Sifa memejamkan mata kuat-kuat, tak sanggup lebih lama menyaksikan Maminya yang bergetar begitu hebat karena frustasi, ketika tiba-tiba wjahnya yang mulai dibanjiri air mata dibenamkan dengan lembut ke dada seseorang.

Calum mengusap-usap punggung Sifa yang tak bisa berhenti menggeletar. "Sst.. sst.." bisiknya menenangkan.

Pemuda angkuh itu ikut terenyuh. Meski sempat merasa déjà vu, merasa seperti pernah memeluk seseorang yang juga tengah tersedu –perasaan tertohok melupakan sesuatu itu lagi, ya-, Calum memutuskan mengabaikannya lagi. Saat ini di benaknya tak ada yang lebih penting dari Mai –Ia masih sangat sulit menyebutnya sebagai Sifa-. Tak ada yang lebih penting dari membuat gadis ini tertawa lagi. Ikrarnya pada diri sendiri.

Calum tak tahu apa yang akan dilakukannya secara spontan setelah ini, akan membuat kedua gadis miliknya terpana dengan alasan berbeda. Pemuda itu melangkah mundur beberapa senti, membiarkan udara sedikit menyekatnya dengan gadis yang tadi di dekapnya. Ia memegangi sebelah lengan Sifa, lalu mengangkat dagu tajam gadis itu, membawa kedua mata cokelat tua disana menatap miliknya sendiri.

"Gue gak mau liat lo nangis lagi di depan gue setelah ini," tuntutnya lembut, mendekatkan wajahnya lalu mengecup pelupuk basah mata Sifa yang menutup di saat yang bersamaan dan menarik gadis itu dalam dekapannya lagi.

Di sisi lain, Frisca merasa garvitasi mengkhianatinya. Memaku tubuhnya dengan sengaja untuk tetap berdiri di tempat yang sama. Lantas, memerintah kepalanya untuk terangkat di saat yang salah. Memaksanya menyaksikan episodelain dari seri 'Kejatuhan Hati' baginya. Potongan drama yang lagi-lagi membuatnya ingin ditelan magma. Reka adegan yang kini diperagakan Calum untuk Sifa, bukan untuknya. Frisca mengerjap lalu menyadari bendungan butiran kristalnya dirembes lagi.

Luke tersadar bahwa Ia telah terlambat menafsir aba-aba, saat punggung tangannya dijatuhi sesuatu yang basah. Ditatapnya Frisca yang menunduk begitu dalam. Ia menyelaraskan fokusnya dan mendapati titik-titik tangis mulai membentuk genangan bubur tanah di sekeliling sepatu gadis di sebelahnya. Ia mengerti, gadis itu bukan menangis utnuk penguburan jenazah Pak Umari, mungkin untuk pemakaman hati. Milik Frisca sendiri.

Luke mengangkat wajah lalu melihat dua siluet itu dari kejauhan –Calum dan Mai, atau Sifa seperti singgungan Frisca tadi, Ia tak begitu jelas mengetahui-. Ia mendesah. Tak mengerti siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Walau korban terparahnya sangat jelas diperankan oleh Frisca.

Luke melihat gadis tirus dalam rengkuhan adiknya mengangkat wajah dan kilatan mata gadis itu –sepertinya- tertuju ke arah mereka, mungkin lebih tepatnya pada Frisca. Pikir pemuda itu.

Sifa memang sedang berhenti terisak lalu memutuskan mengedarkan pandangan sewaktu akhirnya selaput kabur matanya menangkap sosok Frisca tanpa sengaja. Gadis berdagu lancip itu mengunci fokusnya disana, beberapa lama terdiam untuk memperhatikan 'rival' yang baru dinominasikannya secara tak sengaja. Ia tahu Frisca tengah menangis. Tapi anehnya, Ia tak begitu merasa bersalah.

Saat Sifa terisak sekali sesudahnya, Calum baru menyadari bahwa gadis kecilnya tengah serius menatapi sesuatu, "Ada apa, Mai?" tanyanya pelan, menjauhkan Sifa sesaat dari tubuhnya lalu berusaha mengikuti pandangan gadis itu. Sifa tergeragap.

Luke bergegas menarik Frisca untuk bersembunyi, mengadu punggung dibalik kerumunan pelayat lain, saat kali ini Ia memecahkan isyarat di saat yang tepat. Dengan reflek, pemuda itu mengurung Frisca dengan tubuhnya, menutupi gadis itu agar tak seorang pun melihat kejatuhannya. Karena Luke tak mau membiarkan Calum menyaksikan bahwa Frisca menangisi adiknya itu, entah kenapa.

Namun sebenarnya kedua orang tadi tak perlu begitu sibuk menyembunyikan diri, karena sebelumnya, setelah sedikit tergeragap Sifa sudah mencegah apa yang tak diinginkannya agar jangan terjadi.

Ia mendorong pipi Calum begitu tiba-tiba, hingga pencair tembaga itu melelehkan cokelat kepunyaannya. Dorongan dengan kode tak terbaca agar pemuda itu tidak menoleh, tidak melihat Frisca, berlari kesana lalu meninggalkannya.

"Gak ada apa-apa, Cal," katanya pelan, berlakon begitu meyakinkan.

Calum mengangguk, meraih jemari Sifa yang masih menempel di pipinya lalu membawanya turun dan menggenggamnya, "Denger janji gue. Gue akan terus bikin lo tersenyum setelah ini. Jadi, jangan nangis lagi. Terhitung mulai sekarang." Ujar Calum, menyaput tulang pipi Sifa, yang mulai mengering dengan ibu jari tangannya yang lain.

Calum tak menyadari bahwa ada terjunan lain yang belum sekalipun berhenti menggenangi tanah. Sepasang pelupuk basah yang sesunggunya juga harus Ia seka. Bersama sepotong hati yang dilumat dan tertelan tanpa sisa.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 173 33
Awalnya Ruby mengira bahwa ia dan James dapat mengatasi segala hal bersama-sama. Namun, ketika keluarga James tertimpa musibah, dia harus menyadari b...
317K 38.3K 33
"i'm fifteen and he is... well, he is turning twenty one."
6.9K 848 18
Cerita ini sedang dikolaborasikan dengan cerita Ocha Youzha berjudul (untouchable) ~Ophelia Nayshelle seorang penulis pemula yang sedang meniti karir...
643 54 15
Pindah ke SMA Citra Buana di Jakarta, membuat Garin cemas karena tidak pandai beradaptasi di lingkungan yang berbeda. Apalagi, ia adalah sosok gadis...