Antipole

By nunizzy

2.1M 232K 31K

•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang presta... More

Prolog
1st Pole
2nd Pole
4th Pole
5th Pole
6th Pole
7th Pole
8th Pole
9th Pole
10th Pole
11th Pole
12th Pole
13th Pole
14th Pole
15th Pole
16th Pole
17th Pole
18th Pole
19th Pole & QnA
20th Pole & Giveaway Time
21st Pole
22nd Pole
23rd Pole & Disclaimer
24th Pole
25th Pole
26th Pole
27th Pole
28th Pole
QnA
29th Pole
30th Pole
31st Pole
32nd Pole
33rd Pole
34th Pole
35th Pole
36th Pole & Promotion
37th Pole
38th Pole
Fun Facts
39th Pole
40th Pole
41st Pole
42nd Pole
43th Pole
44th Pole
45th Pole
46th Pole
47th Pole
48th Pole
49th Pole
50th Pole
51th Pole
52nd Pole & QnA#2
53th Pole
54th Pole
55th Pole
Sekilas Promo
QnA#2 (Part 1)
QnA#2 (Part 2)
56th Pole
57th Pole
58th Pole
Epilog
Pidato Kenegaraan Antipole

3rd Pole

46.1K 5.2K 203
By nunizzy

3rd POLE

~~||~~

Inara bersembunyi di balik dinding. Ia menggigit jarinya. Menimang-nimang, apakah ia harus menemui Rahagi sekarang?

Lelaki itu baru saja memasuki UKS beberapa menit yang lalu. Inara yang kelasnya sedang free, tak sengaja melihat Rahagi berjalan menuju kantin. Gadis itu mengikutinya. Ternyata, Rahagi malah masuk ke dalam UKS entah untuk apa. Mungkin bolos, begitu pikir Inara.

Masuk. Enggak. Masuk. Enggak.

"Ah, masuk ajalah." Inara memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian. Saat tangannya hendak menyentuh ganggang pintu, pintu itu sudah ada yang menarik dari dalam. Rupanya Rahagi.

Inara terkejut.

Melihat ekspresi Inara yang begitu, tak urung Rahagi juga terkejut. "Kenapa? Lo ngeliat gue kayak ngeliat setan," komentar Rahagi. Lelaki itu berlalu meninggalkan Inara.

"Eh, eh, tunggu!" Inara berlari kecil dan menghadang jalan Rahagi.

"Apa?" Rahagi menatapnya sombong.

Setelah menunduk sejenak, Inara mendongakkan kepalanya. "Gu–gue..."

"Lo emang gagap?" pertanyaan Rahagi menohok Inara. "Gue nggak punya banyak waktu."

"Gue mau masuk Bla–Blackpole," cicit Inara, tetapi Rahagi masih bisa mendengarnya.

Kening Rahagi berkerut. Ia tidak menyangka ucapan itu yang keluar dari mulut gadis di depannya. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, lalu menarik Inara masuk ke dalam UKS, berharap tak ada yang mendengar ucapan Inara barusan. Mengucapkan kata 'Blackpole' merupakan hal yang tidak lazim di sekolah ini.

Setelah memastikan UKS kosong, Rahagi mengunci pintu untuk menghalangi akses siapa pun menuju UKS.

"Apa lo bilang?" bisik Rahagi.

"Mau masuk Blackpole." Inara menjawabnya dengan bisikan pula.

"Serius lo? Dari mana lo tahu kalo gue Blackpole?" kini, Rahagi berbicara dengan nada sedang.

"Udah jadi rahasia umum." Inara memilih menunduk dibanding melihat tatapan intimidasi milik Rahagi.

Rahagi mengangguk. "Cuma gue doang kan yang ketahuan Blackpole?" tanya lelaki itu.

Inara mengangguk. Jantungnya berdebar-debar saat ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia takut.

"Jadi siapa nama lo?"

"I–Inara."

"Iinara?"

"I-nya cuma satu."

"Oh. Yaudah, Inara. Hari ini lo resmi gue rekrut jadi anggota." Rahagi mengulurkan tangannya.

Inara menjabat tangan Rahagi. Semoga ini bukan keputusan yang salah.

"Lo anak seangkatan, di bawah, atau di atas?"

"Seangkatan," jawab Inara takut-takut.

"Selow aja. Gue nggak gigit." Rahagi tergelak kemudian memasang tampang datarnya lagi. Lelaki itu berjalan menuju pintu dan berniat untuk keluar.

"Gue balik ke kelas dulu. Gue anggap yang tadi itu serius. Karena Blackpole bukan komunitas main-main," ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan UKS.

JEDAR!

Suara petir mengisi kepala Inara. Kini, ketakutannya mencapai puncak.

# # #

"Gue nggak kuat! Dia terlalu mengintimidasi." Inara meletakkan kepalanya di atas meja kemudian menggeleng. Beberapa helai rambutnya turun menutupi wajah.

"Udah terjadi, Na. Semangat!" Sabrina mengepalkan tangannya.

Gala mengangguk. "Gue nggak bakal tinggal diam kalo lo kenapa-napa." Gala memakan baksonya.

Kepala Inara terangkat. "Uu, that's sweet, Gala. Sekarang gue harus apa?" tanya Inara.

"Ikuti alurnya. Paling ntar dia nyamperin lo lagi buat ngasih formulir or something like that." Sabrina mengangkat bahunya. Gadis itu sesekali memainkan jemarinya di atas ponsel.

"Semoga gue selamat. Btw, gue ke toilet dulu." Inara bangkit dan berjalan menuju toilet.

Saat berada di pintu kantin, seseorang tak sengaja menabrak bahunya. Inara menghentikan langkah dan melihatnya. Di hadapannya, Rahagi dan beberapa orang temannya tengah menatapnya penasaran.

"Sori, Inara," ujar Rahagi dengan ekspresi datarnya kemudian berlalu. Beberapa orang temannya terkejut kemudian mengikuti Rahagi dengan tatapan yang tidak bisa lepas dari Inara.

Gila, gila, gila. Inara berjalan cepat meninggalkan kantin. Yang tadi itu gila.

Setelah menuntaskan hajatnya, Inara mencuci tangannya di wastafel. Gadis itu merapikan seragam dan rambutnya.

"Eh, Inara?" Bu Aminah tiba-tiba memasuki toilet.

"Ibu." gadis itu menyalami tangan Bu Aminah.

"Gimana perkembangannya?"

"Hm." Inara tampak berpikir, menimang apakah ia harus mengatakannya kepada Bu Aminah atau tidak. Dan, jawabannya harus. "Inara masuk ke komunitas itu, Bu," ucapnya sambil berbisik. "Semacam pendekatan diri gitu."

"Bagus. Tapi kamu hati-hati, Inara. Jangan sampai ikut terpengaruh. Ingat tujuan awal kamu masuk ke sana," bisik Bu Aminah mengusap kepala Inara.

Inara tersenyum kemudian mengangguk. "Iya, Bu."

Setelah itu, Inara kembali ke kantin. Bergabung bersama kedua sahabatnya untuk menghabiskan waktu istirahat.

Semua berjalan normal. Kini, gadis itu sedang merapikan buku-bukunya. Jam bubaran sekolah sudah tiba.

"Bareng atau gimana, Na?" tanya Sabrina yang sudah selesai.

"Bareng! Tungguin gue." Inara mempercepat gerakannya.

Satu per satu, murid-murid keluar dari kelas. Saat mereka sudah tinggal berdua, tiba-tiba seorang laki-laki memunculkan kepalanya di pintu kelas Inara, XI IPS 1.

"Inara." panggil Rahagi pelan.

Sabrina yang menyadari itu terkejut. Ia sempat berpikir bahwa itu suara makhluk gaib yang menunggu kelasnya. Kepalanya menoleh ke arah pintu dan menemukan Rahagi sedang bersandar di pintu kelas dengan satu tangan masuk ke saku hoodienya.

Sambil menatap Sabrina angkuh, Rahagi menunjuk Inara dengan dagunya. Tatapan Sabrina menajam.

Nggak sopan!

"Na. Rahagi di pintu." Sabrina menyentuh pundak Inara.

Mendengar nama itu, Inara mendongak. "Kenapa?" tanya Inara pelan seraya menghampiri Rahagi.

Rahagi mengulurkan tangannya. Secarik kertas terpampang di depan wajah Inara.

"Formulir. Lo harus isi."

Bersamaan dengan jawaban Rahagi, Inara mengambil kertas tersebut. Tertera lambang Blackpole di kertas itu. Lambang sederhana berupa ilustrasi es di kutub yang terpecah belah.

"Besok balikin. Pastiin temen lo itu nggak bocor." Rahagi melirik Sabrina sekilas sebelum meninggalkan kelas itu.

Sabrina menatap punggung Rahagi kesal. "Gue denger, Bego!" seru Sabrina.

Rahagi tak menanggapi seruan Sabrina.

Inara mengambil tasnya, kemudian berjalan beriringan menuju gerbang bersama Sabrina. Ia melipat formulir itu dan memasukkannya ke dalam saku.

"Emang gue ada tampang-tampang bocor, apa?" kejadian tadi terus berulang di kepala Sabrina.

"Eum, sebenernya ada sih, Sab," ucap Inara sambil menahan tawanya.

Sabrina memukul pundak Inara pelan. "Bukannya belain gue."

Pandangan Sabrina teralihkan oleh seorang lelaki jangkung yang berdiri di gerbang. "Eh, Bang Gafar?"

Inara mengangguk. "Baru pulang doi dari Jerman."

Gafar adalah kakak laki-laki Inara. Ia melanjutkan pendidikan bisnis di Jerman. Kini sudah memasuki semester 3.

Sabrina pernah menyimpan perasaan untuk Gafar. Inara beranggapan bahwa Sabrina masih menyimpannya sampai sekarang. Akan tetapi, nyatanya sudah ada satu nama yang menggeser posisi Gafar di hati Sabrina.

"Makin keren aja abang lo."

"Adeknya keren gini." Inara tersenyum lebar.

"Ye, itu sih maunya elu." Sabrina menoyor kepala Inara.

"Bang!" seru Inara.

Gafar yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, kini mengangkat kepalanya. Dua orang siswi yang tingginya tak jauh berbeda berjalan ke arahnya.

"Hai, Bang!" sapa Sabrina.

"Hai! Udah jemput, Sab?" tanya Gafar.

"Udah, Bang. Sabrina duluan ya. Dah, Inara!" Sabrina berlalu meninggalkan mereka.

"Hati-hati, Sab," ucap Inara.

"Lama banget lo," komentar Gafar.

"Hehe, ada urusan bentar, Bang. Jangan marah-marah, ntar gantengnya hilang, lho." Inara menaik-turunkan alisnya.

"Iye." Gafar tak sengaja melihat seorang siswa yang wajahnya tak asing di matanya.

"Eh, Ragi?" sapanya.

Seorang siswa yang tadinya hendak berjalan melewati mereka, kini menghentikan langkahnya seraya menolehkan kepala.

"Eh, elu, Bang." Rahagi mengulurkan tangannya. Mereka sempat melakukan tos yang tidak Inara mengerti maksudnya. "Gimana kuliah di Jerman, Bang? Ceweknya cantik-cantik, ya, di sana."

Gafar menoyor kepala Rahagi. "Pikiran lu nggak jauh-jauh dari sana, ya. Bayu kuliah di mana?"

"Universitas Z. Masih dalam kota, Bang. Jurusan teknik."

"Wuih, mantap juga."

Rahagi mengangguk. Matanya tak sengaja melirik Inara yang sedang memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran.

"Gue duluan, Bang," pamit Rahagi. Walaupun ada sedikit rasa penasaran akan hubungan Inara dan Gafar, lelaki itu memilih mengabaikannya.

"Yop." Gafar mengangguk.

"Siapa, Bang?" tanya Inara setelah Rahagi keluar dari radius lima meter di sekitarnya.

"Ragi, junior gue di basket," ucap Gafar. "Yok, pulang."

Inara mengangguk. Bang Gafar akrab banget sama dia. Padahal Rahagi baru masuk SMA waktu Bang Gafar tamat.

Salahkah jika ia curiga?

~~||~~

3 Juli 2016.

Continue Reading

You'll Also Like

20M 2M 55
Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. Kamu, yang terakhir kalinya yang bakal si...
13.4K 2.5K 21
Kalau bayarnya pake perasaan aja gimana? Semi Baku (Bahasa Campur)
482 160 5
[Follow dulu kalo mau baca, ga kecewa kok] * * * Tentang logika yang tercipta dengan hasrat dan rasa. Tentang perubahan tak terduga setelah 15 tah...