Some

By rapsodiary

4.9M 223K 13.4K

[TELAH TERBIT & TERSEDIA DI TOKO BUKU] Menyatukan dua hati jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ba... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3.
Chapter 4.
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
CAST
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 30[End]
Rumah Abang Tampan

Chapter 29

91.8K 5.6K 350
By rapsodiary


Teman-teman Alvan yang diundang ke acara syukuran itu memang hanya sebatas teman-teman yang pernah sekelas dengannya di Bakti Siswa dari kelas sepuluh sampai dua belas. Itu pun banyak dari mereka yang tidak bisa hadir karena sedang liburan atau sudah berada di luar kota untuk meneruskan kuliahnya.

Para tamu sudah pulang, tetapi empat sahabat Alvan beserta Tara memilih untuk tetap di sana. Katanya sih keempat sahabat Alvan itu ingin menginap dan membantu Alvan packing. Padahal Alvan sudah selesai packing sejak kemarin dan itu hanyalah alasan mereka untuk menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi bersama Alvan sebelum berpisah.

Iya, meskipun sebenarnya yang akan pergi kuliah merantau bukan hanya Alvan, melainkan Putra yang akan melanjutkan kuliah di Malang, Nino di Bandung dan menyisakan Haryo dan Fadhil di Jakarta, tetap saja Alvan yang merantau paling jauh. Malang dan Bandung bisa ditempuh hanya beberapa jam saja, tetapi berbeda dengan Amerika yang bahkan sudah beda benua.

Tara sendiri memang diminta Alvan untuk berada selama mungkin di rumahnya, bahkan Alvan beberapa kali meminta gadis itu untuk menginap saja, toh di rumahnya ada banyak orang maka tidak akan menimbulkan fitnah, tetapi sayangnya Tara menolak dengan alasan, Alvan butuh waktu bersama para sahabatnya.

"No, busetdeh itu 'kan jatahnya orang, wey!" komentar Putra saat melihat Nino mengambil beberapa tusuk sate dari piring Tara. Yang diambil satenya sih diam saja, lagipula dia juga tidak begitu lapar malam itu untuk menghabiskan sepuluh tusuk sate beserta lontongnya. Daripada mubazir, tidak ada salahnya dia berbagi.

"Bacot! Bilang aja lo mau juga 'kan, Tra? No, no, no...ini jatah gue!" kata Nino sambil mengibaskan tusuk sate yang sudah bersih dari daging.

Putra mendengus dan siap membalas sebelum Haryo menyela, "YANG TENANG TOH KALO MAKAN! Kata Yangti..."

"Gak boleh makan sambil ngomong. Iya kang mas Haryo, iya, tapi kita gak makan sambil ngomong kok, kita Cuma ngomong sambil makan. Jadi gak apa-apa 'kan?" putus Nino membuat Haryo diam mencerna.

"Oh, iya sih, Yangti bilangnya gak boleh makan sambil ngomong bukan ngomong sambil makan..."

"Nah iya, jadi boleh." Putus Nino yang langsung diikuti anggukan Putra di sebelahnya. Wajah mereka benar-benar serius seolah pembicaraan ini memang pembicaraan normal.

Haryo mengernyit sambil menyantap satenya. "Lah tapi bukannya sama aja toh?" pekiknya. Sadar kalau dia baru saja dibodohi Nino. Lalu yang terjadi selanjutnya Haryo, Nino dan Putra beradu argumen soal 'ngomong sambil makan dan makan sambil ngomong' yang tidak kunjung selesai.

"Pfft," Tara berusaha menahan tawanya ketika melihat kelakuan absurd sahabat-sahabat pacarnya itu yang memang selalu berhasil menghiburnya.

Sedangkan Alvan dan Fadhil hanya geleng-geleng kepala maklum. Mereka sudah biasa melihat hal tersebut.

Ohiya, mereka berenam sedang berada di tukang sate madura yang tidak jauh dari komplek rumah Alvan untuk makan malam. Penjual sate madura itu memasang meja-meja panjang di sebuah halaman kosong, jadi mereka yang makan di sana menikmati sate ditemani semilir angin malam yang sejuk.

"Jadwal masuk kuliah di Indonesia sama di sana hampir sama, ya?" tanya Fadhil membuka topik di antara mereka bertiga, mengabaikan Nino, Haryo dan Putra yang masih asik berdebat soal nonsense.

Alvan menusuk lontongnya dengan tusukan sate lalu melahapnya. "Gak beda jauh kayaknya."

Sebenarnya Alvan tidak ingin membahas perihal kepergiannya sama sekali saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya serta Tara. Tetapi biar bagaimana pun, Alvan harus menghadapi kenyataan bahwa dia akan berangkat tiga hari lagi. Meninggalkan semua yang ada di Indonesia. Keluarganya, sahabat-sahabatnya dan juga pacarnya.

Tara sendiri sudah kelihatan lebih ikhlas dibanding sebulan yang lalu saat Alvan pertama kali mengatakan rencananya untuk kuliah di Amerika.

"Lo mulai ospek kapan, Dhil?" tanya Alvan.

"Gatau sih, minggu depan baru sosialisasinya. Gue belum liat jadwal lagi."

Alvan mengangguk-angguk. "Tara juga minggu depan sosialisasi. Ya, Ra?" tanya Alvan sambil menyikut pelan lengan Tara.

Gadis itu mengangguk, "iya."

"Jurusan lo itu ada cowoknya gak sih, Ra?" kali ini Putra ikut nimbrung. Dia sudah lelah berdebat dengan Nino dan Haryo. Dia mau bicara dengan orang-orang normal saja, siapa tau ikutan normal.

"Angkatan gue ada, Cuma tiga orang kalo gak salah."

"Demi apa? Tau gitu gue ikutan ambil PG.Paud deh!" kini Nino yang menyahut.

"Dih, lo jadi guru TK yang ada bocahnya lo godain," komentar Alvan.

Nino melotot, "enak aja! Ya enggak lah! Kalo pun gue godain palingan emaknya!" katanya sambil mendorong piring satenya yang sudah ludes.

"Si goblok dasar!" kata Putra tidak lupa melayangkan keplakan di kepala belakang Nino.

"Ih tapi seriusan ya, tau gitu gue masuk Pg.Paud juga deh!" kali ini Nino bicara dengan nada serius.

"Kenapa emang?" tanya Fadhil yang jadi penasaran dengan keinginan Nino.

Nino lalu nyengir, "bayangin aja. Seangkatan Cuma ada tiga doang cowoknya. Itu berarti selama empat tahun gue dikelilingi cewek-cewek keibuan pecinta anak-anak yang udah pasti penyayang—contohnya Tara dan saingan gue itu cuma tiga orang dan kemungkinan gue bisa gak jomblo lagi terbuka lebar!"

Kini giliran Alvan yang menempeleng kepala Nino. "Masih gak sadar apa kenapa sampai saat ini lo masih jomblo?" tanya Alvan keki.

Nino menggeleng.

"Cewek itu spesies yang paling banyak tercipta di muka bumi, Nino, mau lo masuk jurusan mana 'pun lo pasti masih bisa menemukan cewek diantaranya. Masalahnya, nemuin yang mau sama lo nya itu yang susah!"

Sontak tawa langsung berderai di antara enam remaja tersebut. Semua tertawa kecuali Nino yang jadi bahan tertawaan.

"Awas aja lo Van, entar gue tikung ya si Tara pas lo di Amerika!"

Alvan langsung merangkul Tara posesif. "Yee sori ya yang ini udah gue bayar dp, tinggal lunasinnya nanti sampe serah terima sah."

Tara melayangkan cubitan pada perut Alvan, "emang gue apaan!" serunya kesal.

Bukannya jera Alvan malah semakin menggoda Tara dengan menempelkan hidungnya di pelipis Tara membuat cewek itu bersemu dan salah tingkah. Ya jelas, Tara bukanlah tipe yang suka mengumbar kemesraan di depan umum, apalagi di depan teman-temannya Alvan yang punya mulut tanpa saringan.

"Hadeuuuh, ini nih! Ini yang bikin para jomblo putus asa buat idup, ngerasa gak guna hidup karena gak punya pasangan," kata Putra mengomentari aksi lovey-dovey Alvan dan Tara.

"Traa...mau juga digituin," ucap Nino dengan suara manja ala banci yang dibuat-buat. Tangannya terentang untuk memeluk Putra membuat cowok bermata sipit itu buru-buru memundurkan kursinya menjauh sambil mengangkat botol air mineralnya.

"Nyebut No, nyebut Ya Allah!" seru Putra sambil menyipratkan air ke wajah Nino seperti mbah dukun yang sedang mengobati pasiennya.

Tawa kembali berderai. Tidak peduli malam yang beranjak semakin larut. Lagipula mereka tidak tau kapan akan bisa duduk bersama lagi seperti ini berbagi tawa. Sebentar lagi mereka akan mengejar mimpi masing-masing. Pasti akan ada banyak yang berubah. Mereka akan bertemu dengan orang baru, mengalami pengalaman baru. Mereka tidak lagi menjalaninya bersama-sama. Mungkin yang mereka bisa lakukan hanya berbagi cerita nanti saat bertemu lagi. Lagipula umur siapa yang tau? Siapa tau di antara mereka akan ada yang pergi lebih dulu sebelum mereka bisa berkumpul lagi seperti saat ini.

Tapi satu yang pasti, memori ini akan tersimpan di hati dan ingatan mereka masing-masing.

***

Alvan kini berdiri di bandara bersama orang-orang terdekatnya. Ada kedua orang tuanya, adiknya, empat sahabatnya dan pacarnya yang turut hadir mengantarkan Alvan hari itu.

Maura masih setia di dalam gendongan Alvan, memeluk erat leher kakaknya itu seolah tidak ingin ditinggal. Wajah Maura tenggelam di lekukan leher Alvan dan Alvan bisa merasakan air mata adiknya membasahi baju dan lehernya.

"Mou... Mas Alvan nanti pulang kok, Mas Alvan gak selamanya tinggal di sana..." ucap Alvan sambil menggoyang-goyang Maura dalam gendongannya.

Maura menggeleng masih dengan wajahnya yang mengumpat di leher Alvan. Tangannya mengeratkan pelukan di leher kakaknya. Dan hal itu membuat semua yang melihatnya ikut sedih.

Alvan lah yang merasakan perasaan paling sedih. Dia menciumi kepala adiknya itu, berusaha mengingat bagaimana harum adiknya yang khas. Perpaduan shampo anak-anak dan baby cologne. "Mou...udah dong nangisnya, nanti Mas Alvan ikutan sedih..."

Adri juga tidak bisa untuk menahan kesedihannya. Bahkan semalam dia meminta agar tidur bersama putra sulungnya itu sebagai bentuk perpisahan. Rully berdiri di sebelahnya dengan setia mengelus-elus bahunya.

Rully juga sedih, sebenarnya, tetapi pria itu tidak mau menunjukkannya karena tugasnya di sana adalah untuk menenangkan istri dan anaknya.

Bahkan Nino dan Putra yang biasanya banyak bicara sejak berangkat tadi hanya diam saja. Kemampuan bicara mereka seolah disedot entah kemana.

Rully melirik arlojinya. Waktu mereka tidak banyak, sudah waktunya bagi Alvan berpamitan dengan teman dan pacarnya. Maka Rully berinisiatif mengambil Maura dari gendongan Alvan. "Yuk Mou, Mas Alvan mau pamitan dulu sama temen-temennya..."

"GAK MAU PAPAAAAA, MAS ALVAAAAAN!!" jerit Maura saat dia diambil paksa oleh Rully dari gendongan kakaknya.

Maura menendang-nendang udara, berontak agar terlepas dari gendongan Papanya untuk kembali ke gendongan Alvan.

Alvan tidak tega melihat adiknya yang menjerit-jerit itu. Rasanya dia jadi ingin ikutan menangis.

Rully langsung membawa Maura menjauh untuk menenangkannya. Meninggalkan Adri yang kini merangkul Tara di sebelahnya. Tara balas merangkul Adri dan berusaha mengusap-usap punggung wanita itu saat didengarnya Adri mulai terisak-isak.

Nino adalah orang pertama yang dipeluk Alvan. Pelukan secara lelaki tentu saja. "Baik-baik bro disana, inget makan lo 'kan punya penyakit maag," ucap Nino dengan nada sendu.

Alvan mengangguk. "Lo juga, nyet, sukses ya kuliah lo. Semoga pas gue balik lo udah gak jomblo lagi ye? Terus otak jangan lupa direparasi!" kata Alvan berusaha mencairkan suasana.

"Sialan lo." Tapi tak pelak Nino tertawa.

Kini Alvan beralih ke Putra. "Kurang-kurangin playboynya, Tra, cari cewek yang bener. Kuliah juga yang bener jangan cabut-cabutan," kata Alvan setelah melepaskan pelukannya.

Putra mendengus, "yang ada elo tuh, jangan phpin cewek, inget di sini udah ada cewek cantik yang lo dapetinnya susah. Tapi kalo liburan lo mau bawa temen bule lo ke sini gapapa, tangan gue selalu terbuka lebar kok untuk nerima!"

"Iya tau! Yee si goblok dasar. Iye entar gue bawain. Cihuahua. Kan anjing bule tuh."

"Gak gitu juga bege!" lalu mereka tertawa.

Kini giliran Haryo. "Gue bakal nemuin banyak bule di sana...tapi gue gak bakal nemuin bule yang pake logat jawa di sana. Gue bakal kangen lo dan semua kata-kata eyangti lo, Yo!" kata Alvan.

Haryo tidak kuasa menahan kesedihannya. "Awas toh Van kamu balik ke sini gak jadi orang pinter. Manfaatkan waktu sebaik mungkin di sana, jangan sia-sia..." Haryo menelan nasehat yang dititipkan Yangtinya untuk Alvan dan menggantinya dengan sebuah pelukan lagi. "I'll miss you, badass!" seru Haryo. Alvan pun membalas pelukan itu. "Me too, bumed. Titip Tara, ya? Cuma lo sama Fadhil yang stay di Jakarta soalnya." Haryo pun mengangguk.

Kini saatnya Alvan berpamitan dengan Fadhil. Diantara keempat sahabatnya yang lain, Alvan memang paling dekat dengan Fadhil dan Nino. Tetapi khusus untuk Fadhil, selama kelas dua belas ini mereka jadi jauh lebih dekat. Ini semua karena Fadhil yang selalu ada untuk Alvan menjadi first supporter dan advicer untuknya.

Alvan memeluk Fadhil yang juga dibalas oleh cowok itu. "Jaga kesehatan, Dhil, jangan sampe masuk rumah sakit lagi."

Fadhil tersenyum kecil. "Lo juga, Van. Inget makan dan ibadah, terutama."

Alvan mengangguk. "Gue bakal kehilangan the best advicer gue deh."

"Gue juga kehilangan klien gue," jawab Fadhil membuat keduanya terkekeh.

"Sukses kuliah lo."

"Lo juga." Ditutup dengan tos ala laki-laki, selesai sudah acara pamit-pamitan Alvan dengan sahabat-sahabatnya.

Kini Alvan menghampiri Adri dan Tara yang berdiri tidak jauh dari mereka. Tara langsung menyingkir memberi privasi untuk Alvan dan Mamanya.

Alvan memeluk Adri erat. "Ma, maafin Alvan ya selama ini suka bandel. Mama jaga kesehatan, jangan sering ngomel-ngomel nanti Mama stres sendiri. Mama jangan suka makan tengah malem lagi apalagi ngemil banyak-banyak takut kolesterol."

Adri menepuk punggung anak sulungnya itu. "Alvan ih, mama kan lagi sedih ini."

Alvan terkekeh dalam pelukan Mamanya. Wanita nomer satu yang dicintainya.

"Kamu jangan lupa sering-sering kabarin Mama ya. Kalo kamu minta dikirimin makanan dari Indonesia kamu bilang aja nanti Mama usahain, atau kamu minta masakin sama tante Andara, tenang aja masakan dia sama Mama gak jauh beda kok. Kamu juga jangan mau kalau diajak yang macem-macem. Di sana pergaulannya jauh lebih bebas. Kalo di sini mau macem-macem masih kehalang sama norma masyarakat, kalo di sana emang kehidupannya begitu. Kalo dikasih minuman atau apapun sama orang gak dikenal jangan mau. Sama temen deketpun gak usah, apalagi cewek. Mama gak mau ya kamu sampe nyobain yang dilarang sama agama. Solat, jangan sampe lupa. Inget sama Tuhan, minta perlindungan."

Alvan terkekeh lagi mendengar cerocosan Mamanya. Ah dia pasti akan merindukan kecerewetan Mamanya itu.

"Iya, Ma, Alvan bakal inget dan lakuin semua yang Mama bilang," ucap Alvan sambil mengendurkan pelukannya. Lalu Alvan mengelap pipi basah mamanya sebelum mencium kedua pipi itu. "I'll miss you, Ma."

"I'll miss you more."

Alvan lalu melihat Rully berjalan kembali ke arahnya dengan Maura yang tertidur di gendongannya. Alvan lalu memeluk Papanya karena Rully yang sedang dalam keadaan menggendong Maura yang tertidur. Alvan lalu mencium kepala adiknya yang tertidur karena kelelahan menangis itu.

Kini Alvan bersiap untuk menghadapi salah satu alasannya berat meninggalkan Indonesia. Tara.

Gadis itu sedang berdiri sendirian bersandar pada sebuah pilar. Alvan lalu menghampiri pacarnya itu yang terlihat diam saja. Sedih, tapi tidak menangis.

Belum.

"Hai," sapa Alvan ketika sudah berdiri di hadapan Tara.

Tara berusaha tersenyum, "hai."

"Aku pamit ya," kata Alvan.

Tara mengangguk. "Iya, kamu jaga kesehatan ya di sana...jangan lupa makan—" Tara menggantung kalimatnya. Dia tau semua wejangan itu sudah dikatakan oleh semua orang yang Alvan pamiti, jadi Tara tidak ingin mengulangnya. "Pokoknya jangan suka lupa makan, inget lo punya maag."

Alvan mengangguk-angguk. "Gak mau meluk, nih?" tanya Alvan sambil merentangkan tangannya.

Dan saat itu juga Tara langsung menghambur masuk ke dalam pelukannya. Menangis.

Alvan mengusap lembut rambut Tara yang hari itu digerai. "Ssst,udah dong, baju aku udah basah air matanya Mou sama Mama, masa kamu mau nambahin lagi nanti aku masuk angin," kata Alvan bercanda.

Tara tidak merespon candaan Alvan. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Bisa Alvan rasakan Tara meremas bagian belakang jaket yang dikenakannya.

"Gue bakal kangen banget sama lo, Ra," ucap Alvan sambil mencium kepala Tara.

Tara tidak membalas. Pelukannya yang mengerat seolah jawaban Tara kalau dia juga pasti akan merindukan Alvan sama besarnya.

"Yang bener ya kuliahnya, biar nanti impian lo jadi guru TK tercapai."

Tara terisak, tetapi dia berusaha menjawab ucapan Alvan, "Lo—lo juga, biar bisa jad—jadi CEO.." Tara tidak sanggup melanjutkan kata-katanya karena tercekat tangisnya.

Dan Alvan pun yang mengerti itu langsung mengeratkan kembali pelukan mereka. Cukup lama mereka bertahan sampai akhirnya pengunguman pesawat Alvan berkumandang. Mau tidak mau mereka pun melepas pelukan mereka.

Alvan menatap Tara lalu mengelap air mata yang masih saja merintik dari matanya. "Senyum dong, Ra, gue mau ngerekam senyuman lo di ingetan gue."

Tara berusaha menghentikan isakannya dan memaksakan senyuman.

Alvan tersenyum lega. Lalu dia maju selangkah lebih dekat untuk menjatuhkan kecupan di dahi kekasihnya. "I love you," bisik Alvan dengan bibir masih menempel di dahi Tara.

Tara memejamkan matanya, meresapi ciuman Alvan di dahinya. "Love you too, Van."

Lalu Alvan melepaskan bibirnya dari dahi Tara dan mundur selangkah untuk menatap lagi kekasihnya, tetapi Tara langsung menarik Alvan dengan cara menarik jaket cowok itu dan berjinjit untuk mengecup bibirnya. Hanya kecupan kilat, memang, tetapi pesan cinta yang tersampaikan besar adanya.

Alvan kemudian menarik kopernya dan melambaikan tangan sambil perlahan melangkah meninggalkan orang-orang yang di sayangnya. Dan sebentar lagi juga, Alvan akan meninggalkan negara kelahirannya itu beserta semua kenangannya.

Kehidupan baru Alvan akan dimulai sebentar lagi. Tanpa keluarganya, tanpa sahabat-sahabatnya, tanpa Tara.

Alvan berdebar, gugup akan kehidupan barunya nanti sekaligus penasaran akan pengalaman baru yang akan dialaminya.

Tetapi Alvan menyempatkan diri mengucap doa. Semoga saat dia kembali nanti, semuanya masih baik-baik saja.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.2M 293K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
629K 53.1K 43
[12+] Semua akan menjadi sulit jika kami berdua Losta Connecta. Pemenang THE WATTYS 2016 kategori #CeritaSosial Goblok! Tidak...
6.6M 280K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
3.3K 135 41
[ SUDAH TERBIT ] ••• [ PINDAH KE NOVELTOON ] *Note: sebagian bab sudah dihapus. "Jika kamu memang ditakdirkan untukku maka Tuhan pasti dapat mempersa...