Yesterday in Bandung [PREVIEW...

By Ariestanabirah

673 18 8

Yesterday, all my troubles seemed so far away - Yesterday, The Beatles ... Lima cerita, lima peristiwa. Lima... More

Prolog
Bab I : Shaki - There's A Place
Bab II : Zain - Yesterday

Bab III : Tania - Dreams

93 4 0
By Ariestanabirah


"Oh my life, is changing every day. In every possible way." (The Cranberries)


'Saat buah tidak harus jatuh dekat dengan pohonnya.'

"Tania! Gue nggak ngerti kenapa lo seneng banget molor kalo lagi di rumah gue."

Mataku masih berat rasanya saat mendengar suara Ferdian—sahabat sejatiku sejak SMP—di dekat telingaku.Aku pun membuka mataku perlahan dan melihat wajah Ferdian tepat di hadapanku.

"Apaan sih lo, Fe?! Muka lo nggak usah deket-deket sama gue," kataku sambil mendorong wajah Ferdian menjauh. Kulirik jam dinding yang ada di atas pintu, sekarang sudah pukul tujuh malam. Rupanya aku ketiduran di rumah Ferdian selama—bentar, ngitung dulu—kurang lebih tiga jam.

"Tahu deh yang muka udah kayak mak lampir. Itu nyokap gue udah nyiapin makan malem.Cepetan bangun, deh. Nggak usah kayak kebo." Ferdian langsung menarikku berdiri dan menyeretku ke kamar mandi terdekat. Dasar barbar! Seenaknya saja menarik tangan orang yang nyawanya belum terkumpul seluruhnya.

Rumah Ferdian sudah kuanggap sebagai rumah keduaku.Bagaimana tidak?Sejak SMP, aku sudah bersahabat dengan cowok satu itu.Meski kelakuannya sungguh menyebalkan—lupakan fakta kalau dia itu seorang playboy sejati—tapi bila bersamaku dia benar-benar menjadi cowok yang betul-betul baik.Aku sangat merasa beruntung menjadi sahabatnya—koreksi, sedikit beruntung.Aku sering menghabiskan waktuku bermain di rumah Ferdian karena rumahku terlalu sepi dan memang jarang ada orang.Kedua orangtuaku terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Setelah selesai mencuci muka dan gosok gigi, kulangkahkan kakiku ke ruang makan.Tante Farina dan Ferdian sudah duduk di meja makan. Menungguku untuk bergabung.

"Kamu kok tadi ketiduran di sofa sih, Tan?Kenapa nggak tidur di kamar tamu aja?" tanya Tante Farina yang terlihat sangat keibuan.Uh, aku sangat iri dengan Ferdian yang punya ibu selembut Tante Farina. Kalau mamaku dibandingkan dengan Tante Farina itu seperti bumi dan langit. Mama pasti nggak peduli kalau aku tidur di sofa. Aku nggak tidur aja kayaknya mama nggak peduli.Sigh.

"Kecapekan, Tante. Nggak kuat jalan lagi tadi," kilahku sambil duduk di hadapan Ferdian.

"Biasalah, Ma. Tania orangnya emang cinta tidur banget.Ketemu sandaran dikit langsung tepar," celetuk Ferdian dengan menyebalkan. Ingin rasanya aku menendang tulang keringnya. Untungnya tidak kulakukan. Sungkan sama Tante Farina euy.

"Ih, apaan sih lo, Fe?Gue nggak segitunya kali," kataku pedas. Yah, setidaknya lebih baik ngomelin dia daripada nendang kakinya.

Aku dan Ferdian pun saling berpandangan tajam. Rasa-rasanya beneran ada aliran listrik yang terpancar dari kedua mata kami.

"Sudah.Kalian ini jangan berantem.Ayo makan."Akhirnya Tante Farina menengahi.

Terputuslah kontak mataku dan Ferdian. Hmm, aroma masakan Tante Farina memang menggoda selera. Tanpa berkata lagi, aku pun mulai menikmati lezatnya masakan Tante Farina.

Setelah selesai makan malam, aku dan Ferdian duduk-duduk di teras belakang.Kebetulan bulan sedang bersinar dengan indahnya.Aku merasa damai saat ini.Jadi ngantuk lagi.Hoaaahm.

"Woy, lo mau tidur lagi?" tegur Ferdian sambil menggetok kepalaku dengan tangannya.

Kukerucutkan bibirku sebal. "Lo nggak bisa ngebiarin gue tenang dikit aja, ya?Capek tahu dengerin omelan lo yang lebih mirip emak-emak."

"Lagian, lo itu emang tukang tidur banget deh.Dikit-dikit tidur."

Aku hanya menarik napas lelah. Udah capek ngeladenin omongan Ferdian yang makin kayak emak-emak.

"Eh, ngomong-ngomong gimana kehidupan kosan lo?Gue masih nggak habis pikir deh kenapa lo memilih tinggal di kosan," tanya Ferdian tiba-tiba.

Kulirik wajah Ferdian. Wah, wajahnya serius para pemirsa! Oh, tentu saja.Selama bertahun-tahun aku mengenalnya, aku bisa membedakan kapan dia serius dan kapan dia bercanda.Dan saat ini dia sedang serius.

Aku tahu kalau keputusanku untuk tinggal di kosan memang aneh.Tapi aku memang sudah muak untuk tinggal di rumah.Papa dan Mama terlalu mengaturku ini-itu.Aku benci itu.Sejak aku kecil, seluruh aspek kehidupanku sudah diatur. Mulai dari pilihan sekolah, les apa yang harus aku ikuti, bahkan sampai teman yang seharusnya bergaul denganku. Sempat waktu itu mereka memarahiku habis-habisan karena aku bermain dengan Ferdian seharian waktu SMP.Aku benar-benar tidak mengerti dengan kehendak mereka. Padahal, mereka tahu kalau teman yang sudah lulus kualifikasi versi mereka cuma Ferdian.

Pengaturan ini berlangsung sampai di saat aku harus memilih jurusan kuliah. Mama dan Papa menyuruhku untuk memilih jurusan Hubungan Internasional atau Hukum. Alasannya, biar aku bisa menjadi seperti mereka. Papa sekarang bekerja sebagai diplomat, sedangkan mama dulunya adalah seorang pengacara yang memutuskan untuk berhenti bekerja setelah menikah dengan Papa.

Aku tidak ingin menjadi seperti mereka. Aku lelah, Ya Tuhan! Cita-citaku sejak kecil memang aneh-aneh. Sempat aku ingin menjadi astronot—demi Tuhan. Bagiku astronot itu tetap keren meski risikonya besar bila sudah di luar angkasa. Lalu, aku ingin menjadi comic. Iya, yang biasanya stand up comedy macamKemal Pahlevi itu. Dan akhirnya aku ingin menjadi penyanyi.Tapi, memang sepertinya aku tidak bisa mewujudkan semua impianku itu.

Jadilah aku memenuhi permintaan mereka dengan syarat aku akan tinggal di kosan. Aku bosan dengan suasana rumah yang sepi. Aku selalu merasa hanya aku saja yang tinggal di situ. Mama dan Papa sering bepergian ke luar kota, bahkan luar negeri. Sama saja kan, berarti kalau aku tinggal di kosan? Bahkan, aku lebih bersyukur saat tinggal di kosan. Aku bisa ketemu sama Mbak Aline, Shaki, dan Kak Dandi yang baik banget. Aku merasa nyaman dengan adanya orang yang berinteraksi denganku di kosan. Jangan tanyakan tentang Zain! Aku sudah membenci cowok sok kegantengan itu dari awal.

"Yaah, ngelamun lagi ini bocah. Lo sering banget deh ngelamun akhir-akhir ini. Lo kenapa sih, Tan? Cerita sama gue."Ferdian menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku.

Kualihkan pandanganku dari mata Ferdian.Aku sedang malas bercerita padanya.Lagipula, Ferdian pasti bisa menyimpulkan sendiri.Dia memang sangat pintar membaca perasaanku. Aku bahkan curiga kalau dia adalah cenayang.

"Masih belum pengen cerita sama gue? Padahal muka lo udah kayak nyimpen masalah berjuta-juta tahun, Tan. Oh, gue tahu.Lo lagi mikirin si Putra yang anak HI juga itu, ya?"

Heh?Aku menatap Ferdian tak mengerti.Kenapa pembicaraannya jadi melenceng ke seseorang bernama Putra?Kayaknya tadi lagi ngomongin kehidupanku deh.

"Putra siapa?" tanyaku dengan muka bingung.

"Laah, kok lo lupa sih Putra yang mana?Itu loooh. Cowok yang lo tolongin waktu dia hampir keserempet motor," jelas Ferdian dengan wajah ... Ya Tuhan, demi apapun! Boleh nggak aku nabok wajahnya itu?

Aku mencoba mengingat-ingat siapakah cowok bernama Putra ini. Akhirnya aku ingat.Saat hari ospek terakhir, memang ada cowok yang hampir keserempet motor dan aku refleks nolongin dia. Dan aku baru ingat kalau cowok itu akhir-akhir ini sering banget nongol di depanku.

"Tahu ah, gue lupa. Eh, anterin gue pulang ke kosan dong. Udah malem nih," pintaku sambil berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah."Tapi nanti kita mampir ke Surabi Enhaii Setiabudi, ya.Gue lagi pengen makan itu surabi."

"Lo pikir gue supir ya, Tan?" gerutu Ferdian di belakangku.

Tak kupedulikan gerutuan Ferdian itu. Aku terus saja berjalan menuju depan rumah. Kulihat kamar Tante Farina sudah gelap.Ya, di rumah ini Ferdian hanya tinggal berdua dengan Tante Farina.Om Pram—Papa Ferdian—meninggal dalam sebuah kecelakaan saat Ferdian SMP.Maka dari itu, Ferdian sangat sayang pada Tante Farina. Ferdian akan melakukan apa pun untuk mamanya.

"Sampein salam ke nyokap lo ya nanti. Bilangin makasih banyak," kataku sambil membuka pintu mobil.

"Oke.Udah, sekarang nggak usah ngomong lagi. Udah malem nih. Gue pengen cepet tidur."Ferdian melajukan mobilnya perlahan.

Suasana yang sepi membuatku mengantuk lagi. Sepertinya jam biologisku memang sudah rusak.Sedikit-sedikit aku sudah merasa ngantuk. Tak kupedulikan ocehan Ferdian di sampingku, yang ada aku sudah terbawa ke alam mimpi

***

Aku terbangun saat ada yang mengguncang tubuhku perlahan. Kubuka mataku perlahan dan aku sadar kalau aku sudah berada di depan kosan.

"Akhirnya lo bangun juga.Udah ya, gue mau pulang. Kasihan nih Mama sendirian di rumah. Gue nggak mau dia kenapa-napa. Lo cepet istirahat, ya. Lo kelihatan capek banget. Terus, jangan lupa—"

"Iya, bawel," potongku sambil memutar bola mata.Ini cowok emang bakat jadi emak-emak deh. "Lah, kok kita udah sampe kosan? Kan gue tadi pengen ke Surabi Enhaii dulu. Lo gimana sih, Fe?"

"Nggak jadi ke sana lah. Lo udah molor kayak gitu," ucap Ferdian santai.

"Ish, apaan sih? Gue nggak segitunya kalo tidur," gerutuku. Ih, padahal aku lagi pengen makan itu surabi.

"Udah deh. Nggak usah ngambek. Lo udah macem ibu hamil ngidam aja." Ferdian menyentil jidatku cukup keras.

Sialan emang ini orang!

"Ya udah deh. Makasih udah dianter pulang," kataku sambil membuka pintu dan turun. Tanpa berkata lagi, Ferdian dan mobilnya langsung pergi dari hadapanku. Dasar cowok jelmaan emak-emak!

Kulangkahkan kakiku masuk ke jalan setapak di pinggir rumah Mbak Aline. Sesaat aku akan melewati teras, sapaan mbak Aline menghentikan langkahku.

"Tan, tumben pulang malem.Dari mana?" tanya Mbak Aline dengan lembut.

Kutolehkan wajahku pada Mbak Aline, yang sesungguhnya aku nggak ngerti dia lagi ngapain, sambil cengengesan.

"Biasalah, Teteh Cantik. Anak muda. Main di rumah temen," kataku sambil masih cengengesan.

Mbak Aline menggelengkan kepalanya dengan anggun. Buset! Nggak ngerti lagi kenapa wanita kayak mbak Aline yang cantiknya Subhanallah dan anggun banget sampai sekarang belum punya suami. Bukannya aku sok tahu sih, tapi Mbak Alline tuh udah kayak istri idaman gitu.

"Kamu itu cewek, Tan.Jangan pulang terlalu malam.Nggak baik.Mbak nggak mau kamu kenapa-kenapa," kata Mbak Aline dengan nada yang masih tetap lembut.

"Oke, Mbak.Tania usahakan," jawabku sambil cengengesan lagi."Mbak, aku masuk ke kamar dulu, ya.Mau tidur.Udah remuk badan, Tania." Aku pun langsung ngibrit ke kamar sambil berharap Mbak Aline nggak nanya-nanya lagi.

Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur.Rasanya aku sangat lelah.Lelah secara fisik dan mental—entah kenapa.Aku cuma bisa berharap kalau hidupku bisa berubah.Sedikit saja.

***

Sinar matahari masuk dari celah-celah jendela kamarku.Aku pun terbangun dan duduk di atas kasur sambil mengumpulkan nyawa.Terdengar suara percakapan di luar kamar.Dengan masih bermuka bantal, aku mengintip keluar. Ternyata ada Shaki dan Mbak Aline yang sedang mengobrol di depan kamarku. Tanpa tahu malu, aku langsung membuka pintu kamar dan menyapa mereka berdua.

"Pagi," kataku dengan suara yang masih serak.Bodo amat deh kalau masih bau mulut.

"Tania, cuci muka dulu kenapa.Wajah kamu udah nggak berbentuk gitu," tegur Mbak Aline seperti biasa.Biasanya aku paling tidak suka kalau ada yang menegurku ini-itu.Tapi kalau yang menegur mbak Aline, aku tidak merasa keberatan.Apa mungkin karena aku tidak punya kakak perempuan, ya?

"Nggak ada yang lihat juga, Mbak.Santai aja dong," kataku membela diri.

Shaki yang berada di sampingku hanya tersenyum tipis.

Terkadang aku merasa sedih saat melihat Mbak Aline dan Shaki berdiri bersama.Bukannya apa-apa.Mereka berdua adalah definisi wanita yang patut cepat-cepat dipersunting. Sama-sama cantik dan anggun.Apalagi mereka pintar memasak—yang kutahu Mbak Aline pintar memasak juga.Sayang dia jarang memasak karena kerjaannya, yang kayaknya dikejar-kejar deadline mulu.Aku jadi iri melihat mereka berdua.

"Sekarang malah ngelamun.Sana gih, mandi.Terus bantuin Shaki masak. Kamu dari kemarin cuma tinggal makan aja."Mbak Aline mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar kembali.

"Tania nggak bisa masak, Mbak.Shaki aja yang masak.Tania yang bagian icip-icip," ujarku sambil langsung menutup pintu.Masih sempat kudengar gerutuan Mbak Aline.Wah, sebuah kemajuan aku bisa membuat Mbak Aline menggerutu. Biasanya sih, Mbak Aline akan berlaku seanggun mungkin. Tapi nyatanya, Mbak Aline bisa juga menggerutu seperti itu.

Setelah selesai mandi, aku pun keluar kamar. Di dapur sudah tidak ada orang. Kukira akan ada makan bersama lagi. Nyatanya tidak. Mungkin memang semua sedang sibuk. Aku tahu kalau Shaki memang ada kuliah pagi hari ini. Begitu pula dengan Zain yang sok kecakepan tiap hari itu. Kalau Kak Dandi—hanya dia yang sudi kupanggil dengan sebutan kakak, kalau Zain, maaf saja—sudah berangkat dari tadi pagi. Aku memang tidak dekat, tapi aku sangat hormat padanya. Lagian, wajahnya super serius. Nggak tengil kayak Zain.

Kulangkahkan kakiku ke dapur. Ternyata ada Mbak Aline di sana.

"Makan bareng yuk, Tan. Di teras," tawar Mbak Aline sambil menyodorkan sepiring nasi goreng padaku. Wah, tumben sekali Mbak Aline mengajakku makan bareng. Sebenarnya, di kosan ini aku memang paling cukup dekat dengan Mbak Aline. Sederhana saja, Mbak Aline yang paling sering di rumah. Jadi, di saat aku sedang tidak kuliah atau tidak bermain ke rumah Ferdian, aku akan berada di kosan sambil sesekali mengobrol dengan Mbak Aline.

Aku pun mengangguk dan menerima piring itu. Lalu, aku mengikuti langkah Mbak Aline menuju tempat kerjanya—teras rumah Mbak Aline memang sudah berfungsi jadi lahan kerja Mbak Aline. Enggak deng. Lahan kerja Mbak Aline di mana-mana. Aku dulu sempat ngelihat Mbak Aline bawa-bawa laptop sambil duduk di pinggir kolam ikan koi.

"Nggak kuliah?" tanya Mbak Aline yang kembali berkutat dengan kertas-kertas di atas meja kecilnya. Di lihat sekilas, itu adalah artikel-entah-apa yang ditulis menggunakan tulisan jepang. Jangan salah! Dulu aku sempat mendapat pelajaran Bahasa Jepang waktu SMA. Meskipun sekarang udah lupa apa isi pelajarannya.

"Hari ini masuk siang, Mbak," jawabku sambil terus memperhatikan Mbak Aline. Kalau dilihat-lihat, Mbak Aline kayaknya memang penerjemah pro deh. Sejak aku tinggal di kosan ini, Mbak Aline selalu sibuk dengan buku-buku tebal dan sejumlah kertas yang bertebaran.

Keadaan langsung hening seketika. Mbak Aline terlihat sangat berkonsentrasi dengan pekerjaannya dan aku dicuekin maksimal. Aku pun melanjutkan memakan nasi goreng buatan Shaki yang luar biasa enak. Seharusnya dia masuk jurusan tata boga, bukannya masuk Teknik Elektro—eh, apa Teknik Informatika, ya? Aduh, lupa. Seingatku, di ITB kalau masih semester satu belum penjurusan deh. Masih kuliah bersama gitu.

"Cowok yang kemarin nganterin kamu itu pacar kamu, Tan?" tanya Mbak Aline tiba-tiba.

Eh? Random banget pertanyaannya Mbak Aline. "Maksud Mbak Aline, Fe? Ya, enggak lah, Mbak. Nggak mungkin Fe jadi pacar Tania. Mbak Aline nggak usah ngaco deh," jawabku sambil menelan ludah. Ah, kata itu memang tetap menyakitkan kalau aku katakan sendiri.

"Yah, siapa tahu aja. Kalian terlihat sangat dekat," komentar Mbak Aline kemudian.

"Gimana nggak dekat, Mbak? Orang kita sahabatan sejak SMP. Emang kenapa, Mbak? Mbak cemburu aku pacaran sama, Fe?" candaku sambil tertawa keras-keras. Aku mencoba menutupi rasa sesak di dadaku yang mulai muncul dengan tertawa.

"Bukan begitu, Tania. Mbak kan cuma ingin tahu," kata Mbak Aline santai.

Entah kenapa, rasanya ada yang sakit di hatiku saat mengingat hal yang nggak ingin aku ingat. Rasanya, masa-masa kehancuranku itu datang membayangiku kembali. Aku sadar, nggak selamanya aku bisa memendam semua ini sendirian. Aku sadar aku butuh berbagi dengan orang lain. Tapi sekarang, aku sedang tidak ingin melakukannya. Apa pun alasannya.

"Kamu jadi sering ngelamun, Tan. Cerita aja ke Mbak kalau ada masalah." Mbak Aline mengalihkan perhatian sepenuhnya kepadaku. Ia bahkan menatap mataku dengan tajam.

"Nggak sekarang, Mbak," kataku pelan. Sial! Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Aku benci rasa tak enak ini. Terlalu sesak. Butuh oksigen. Butuh bernapas sekarang juga.

Mbak Aline menghela napas panjang. Lalu, ia pun melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku duga.

"Masalah apa sih? Pacar?" todong Mbak Aline lagi.

Aku enggan menjawab pertanyaan itu. Seandainya Mbak Aline tahu kalau kata 'pacar' itu tabu bagiku.

Continue Reading

You'll Also Like

3M 196K 89
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
3.5M 149K 61
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
1M 15.4K 38
Ivy Williams had always aspired to complete her university journey without any interruptions or complications. However, not even two months into her...
2.7M 150K 43
"Stop trying to act like my fiancée because I don't give a damn about you!" His words echoed through the room breaking my remaining hopes - Alizeh (...