Bad Juliet?

Od graciawee

255K 19.8K 863

[ Silahkan dibaca. Kali aja jadi jatuh dalam kisah Juliet yang bukan sekedar misterius. ] Juliet Assandra di... Více

P R O L O G
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
E P I L O G
Mau Bilang Doang [Author Note]
Mau Bilang Doang [Author Note 2]
SEQUEL BAD JULIET!!!
TRAILER SEQUELL
Mau Bilang Doang [Author Note 3]

20

4.3K 414 10
Od graciawee

Dengan segera Juliet memeluk Rafael setelah melihat sosok yang sempat menatapnya bingung. Dibuat makin bingung lagi setelah tangis Juliet terdengar semakin jelas. Alhasil Rafael membalas pelukan Juliet, beberapa kali menepuk punggungnya, berusaha untuk menenangkan Juliet. Kalau sudah seperti ini dia tidak mau banyak bertanya dulu. Jantungnya terus berdegup, semakin sadar kalau sesayang itu dirinya pada gadis dingin dan akan selalu menjadi misteri baginya kalau-kalau dia tidak berusaha menghabiskan jarak di antara mereka.

"Gue di sini, gak akan pernah mau pergi dari peredaran Juliet Assandra.."

Isak tangis Juliet perlahan berhenti. Dia mulai menenangkan dirinya lalu melepas pelukan. Matanya sangat sembab, Rafael dapat melihatnya dengan jelas sekarang. Segera dia memberikan sapu tangan bersihnya beserta segelas air putih untuk memastikan Juliet dapat mengisi energi setelah menangis.

"Pintunya gak kekunci," Juliet berusaha menjelaskan dengan suara paraunya kenapa dia bisa di dalam apartemen hingga membuat Rafael bisa saja heran.

"Gue bawa nasi goreng, lo pasti bolos kan nyari gue?" tebak Rafael sembari mempersiapkan makanan yang dibawanya tadi.

Juliet menggeleng dan berusaha untuk bergegas pulang namun kakinya seketika lemas. Rafael yang awalnya mau membawa makan malam untuknya, jadi bergegas menghampiri Juliet. Rafael hampir tidak sadar kalau gadis itu makin pucat saja.

"Lo belum makan seharian ini?"

Juliet menggeleng, "Pisau sama perban.."

"Perban sama pisau?"

Rafael mengernyitkan kening, sejenak mencerna maksud ucapan Juliet. Ya tidak begitu lama berpikir karena darah yang berasal dari lengan kanannya kian bercucuran. Juliet memang tidak sempat berpikir untuk menghentikan pendarahannya. Bertahan sampai detik ini saja sudah cukup bagus. Syukurlah Rafael tidak tiba lebih lama.

"Biar gue cek dulu," ujar Rafael, bersegera melepaskan jaket dari tubuh Juliet, namun dengan segera juga Juliet menahannya.

"Gue bisa sen-"

"Lo bisanya sekarang berbaring dulu, biar gue obatin.."

"Ini luka tembakan, El."

"Syukurlah, lo lagi sama ahlinya. Jadi biarin gue buat pertunjukan kecil."

Juliet memutar kedua bola matanya meski sedang setengah mati menahan sakit di sekujur tubuhnya. Samar-samar dia melihat Rafael yang menjadi dua kali lebih sibuk dibandingkan malam ketika laki-laki itu menyelamatkannya dari serangan para brengsek. Entah apa yang sedang diambilnya, namun Juliet yakin bahwa Rafael memang sedang tidak bercanda soal dirinya yang memang ahli.

Rafael tampak menyuntikkan sesuatu yang dapat dipastikan sebagai anastesi. Juliet mendapat sedikit kekuatan berkat suntikan tersebut. Sekarang lengannya sudah mati rasa, sementara Rafael dengan percaya diri mengeluarkan berbagai peralatan daruratnya. Lalu pertunjukan kecil yang dimaksud Rafael dimulai. Dia melakukan semua langkah demi langkah dengan cekatan dan rapi. Peluru yang menghantam lengannya juga sudah dikeluarkan. Juliet jadi tidak menyangka apa dia laki-laki seumuran dengannya atau malah lebih tua dari yang dikira.

"Sudah beres.."

Pertunjukan kecilnya sudah selesai.

Keringat Rafael yang sejak sejam terakhir bercucuran akhirnya bisa dia keringkan dengan penuh rasa bangga. Untung saja pendarahan Juliet tidak begitu drastis. Dia jadi tersenyum lega karena bisa mengobati lengan Juliet yang terluka itu.

"Lo beneran seumuran sama gue, kan?"

"Ssst..."

Rafael tersenyum samar lalu merapikan kembali berbagai peralatan yang dia gunakan untuk mengobati Juliet. Sekarang kondisi Juliet semakin membaik kecuali tubuhnya yang masih agak lemas dan lengannya yang masih mati rasa.

"Gue juga pernah kayak lo," ujar Rafael begitu selesai membereskan seluruh peralatan tersebut. Tak lupa jarinya menunjuk pada bekas jahitan yang ada di betis kirinya.

"Peluru nyasar dan bokap nunjukin cara mengatasinya tanpa repot-repot ke rumah sakit. Ya setidaknya punya peralatan dasar dan keterampilan, dijamin beres. Hehe.."

Juliet terkekeh saking merasa agak gemas mendengar penjelasan Rafael. Seakan kedatangan Rafael sudah seperti malaikat penolongnya. Bisa-bisanya keterampilan yang dia punya beberapa kali berguna untuk Juliet. Bahkan dia tidak mengharapkan itu semua.

"Gue suka lo apa adanya, bahkan tanpa keterampilan gini," celetuk Juliet, dengan polosnya.

Rafael sampai menghentikan kegiatannya yang sedang mencari-cari kaos mana yang bisa dipakai Juliet saat ini. Tidak mungkin kan kalau Juliet kembali ke rumahnya dengan seragam yang dipenuhi darah. Tapi mendengar ucapan Juliet barusan, hatinya seakan berhenti berdetak dan sekujur tubuhnya macam membeku. Reaksi macam apa ini? Semestinya dia akan sok keren atau tersenyum samar atau apapun yang tidak menunjukkan kegugupannya.

"Gue gak akan mungkin ada di perederan lo kalau benci. Jadi ayo napas lagi dan jangan terlalu senang sama ucapan gue barusan!" ketus Juliet dengan cara yang menggemaskan. Semacam matanya sedang tersenyum meski sedemikian rupa gadis itu memasang ekspresi datar.

"Lo harus ganti pakaian.." gumam Rafael lalu menyodorkan kaos hitamnya pada Juliet.

"Bisa ganti sendiri, kan?" Rafael ingin memastikan, tidak ada niat gila sedikit pun. Tenang saja.

Juliet memutar kedua bola matanya, mau mengomeli Rafael namun tidak jadi. Dia hanya tersenyum simpul kemudian mengangguk. Segera Rafael memberi ruang privasi untuk Juliet. Meski membutuhkan waktu beberapa menit lebih lama dari biasanya, namun Juliet berhasil mengganti pakaian tanpa perlu mengacaukan hasil dari pertunjukan kecilnya Rafael tadi. Tidak butuh waktu yang lama, Rafael kembali membawa semangkok bubur nasi bersama susu vanila. Dia tidak akan ceroboh lagi menawarkan Juliet susu coklat seperti dahulu.

"Nasi gorengnya di mana?" tanya Juliet, mengingat tawaran Rafael tadi agak berbeda dengan yang sedang dia sajikan saat ini.

"Mengingat kondisi lo.." ujar Rafael, membuat Juliet mengangguk paham.

"Gue pikir lo gak punya beras," celetuk Juliet.

Rafael tersenyum samar, "Waktunya makan dulu, terus istirahat."

"Berarti gue harus pulang ya sehabis makan?" Juliet menatap Rafael dengan tatapan selidik.

"Gak! Bukan gitu!!"

Juliet dibuat tertawa melihat reaksi Rafael. Air matanya bahkan sampai keluar sebab merasa lucu, seakan candaannya memang benar berhasil. Rafael bahkan mengira Juliet yang ada di hadapannya sedang kerasukan atau mungkin sudah hilang kewarasan? Entahlah.

"Hari baik gue ternyata bisa terselamatkan," gumam Juliet selagi dia mencoba mengatur kembali napasnya.

"Sesenang itu?" Rafael menatapnya dengan serius.

Juliet mengangguk, lalu mulai menikmati bubur yang dihidangkan Rafael. Sedangkan laki-laki itu masih menatap Juliet baik-baik. Seperti Juliet yang begitu senang, Rafael juga bisa bernapas lega. Hari buruknya sirna sejak dia menyadari bahwa Juliet juga menganggapnya penting. Bukan sekedar teman berdebat lagi atau rekan dalam 'kelas' menembak dadakan itu.

***

Cliff baru saja bernapas lega setelah menerima telepon dari Rafael. Dia hampir mengira Juliet sudah kehilangan akal sehat sampai-sampai belum pulang sekedar mengkhawatirkan sahabatnya itu. belum lagi kalau-kalau Juliet berada dalam bahaya seperti dahulu. Dia tidak mau menyesal untuk ke sekian kalinya. Bahkan saat peristiwa itu terjadi, dirinya tidak ada untuk Ibunya dan Juliet. Tidak ada perlindungan secara langsung. Kematian Rakata tidak bisa sepenuhnya dia sesali sebab sahabat kesayangan Juliet itu bisa dikatakan menjadi pelindung keluarganya.

"Sahabat kamu baik-baik aja sekarang?"

Cliff menoleh ke arah kekasihnya yang sedang memakai kacamata tebal, menghadap komputer miliknya. Kencan mereka hari ini tidak berjalan dengan lancar sebab fokus Cliff mendadak terarah pada kabar keberadaan Rafael. Meskipun begitu, Regrisca tidak protes apapun. Dia menyarankan untuk berada di rumah saja sembari menemaninya berkutat dengan tugas kuliah. Itu alasannya kenapa sekarang mereka berada di ruang kerja yang biasa dipakai Robert ketika berada di sini. Berhubung komputer Cliff rusak, dia bersedia meminjamkan milik Ayahnya untuk Regrisca. Lagipula, barang sebagus itu tidak baik dibiarkan berdebu.

"Barusan minta ijin aku supaya Juliet pulangnya besok pagi aja."

Regrisca tersenyum samar kemudian mengangguk paham. Dia bersegera menyelesaikan tugasnya. Tidak mungkin dia membuat Cliff menunggu lebih lama lagi. Waktu semakin larut dan dia cukup tahu diri telah menggunakan komputer Robert selama lebih dari enam jam.

"Selesai.." seru Regrisca diikuti dengan peregangan kecil di sekitar punggung dan tangannya.

Baru saja mau merasa lega, Regrisca kembali melirik Cliff yang agaknya murung dari biasanya. Malam ini dia memang tidak banyak bicara. Keningnya beberapa kali mengerut. Regrisca tentu menyadari kondisi kekasihnya itu.

"Cliff?" panggil Regrisca.

"Kamu udah selesai?"

Regrisca mengangguk lalu duduk di sebelahnya. Sepertinya pikiran Cliff benar-benar sedang kalut.

"Masih khawatirin Juliet?" kini gantian Cliff yang mengangguk.

"Sejak kecil aku dikasih kebebasan sama Papa untuk memutuskan apapun yang aku mau. Katanya supaya aku jadi laki-laki yang bertanggung jawab di masa depan nanti. Jadi dengan gampangnya aku fokus sama diri sendiri, pengen sekolah ke mana pun, pergi ke mana pun, gak mau ada yang halangin."

"Sampai kejadian waktu itu hampir benar-benar buat aku sendiri di dunia ini. Ya sekarang mungkin aku cukup lega Juliet dan Mama baik-baik aja. Tapi mereka malah gak pernah tenang sedikitpun, Re. Tiap aku pulang ke sini, Juliet bakal selalu nyibukin diri. Seakan nyuruh aku gak perlu khawatir lagi. Apalagi Mama..."

Cliff mulai sulit melanjutkan keluh kesahnya. Padahal itu baru permulaan dari semua beban yang ada di pikirannya. Regrisca sudah cukup paham tentang masalah keluarga kekasihnya itu. Dia yang tahu pasti tidak begitu pantas merespon apapun, hanya memberikan pelukan hangat, berupaya menenangkan Cliff yang makin larut dengan kekhawatirannya.

"Aku sepenuhnya pengen terlihat sempurna di mata kamu. Tapi punya kamu di sisi aku kayak gini, malah buat sisi gelap aku nyaman."

Regrisca tersenyum kemudian menatap Cliff yang syukurnya tidak menangis. "Merasa lebih baik?"

Cliff langsung mengangguk dan menariknya kembali ke pelukan. Sepertinya bukan Juliet saja yang tidak pulang ke rumah hari ini. Kekasihnya yang masih terlalu misterius selain fakta bahwa mereka berada di sekolah dasar yang sama. Namun mungkin itu menjadi daya pikat Regrisca. Kepribadiannya mengingatkan Rafael akan Juliet. Bahkan ketika Juliet pertama kali dirundung kehilangan akan Rakata, adiknya itu membuat Cliff tidak punya pilihan selain mencari keberadaan cinta pertamanya itu. Ah, lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu, gadis canggung itu yang menghampirinya lebih dulu.

"Ngomong-ngomong, kamu biasanya ngerjain tugas berjam-jam kayak tadi ya?"

"Kebetulan hari ini tugasnya emang lagi penting dari biasanya, sayang.."

***

"Beneran mereka."

Juliet memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Dia baru saja menaruh kembali peluru yang sempat menembus lengannya. Terlepas dari kelegaannya bahwa Rafael baik-baik saja, Juliet tidak mungkin melupakan satu-satunya tujuan yang membuatnya dapat bertahan hidup sampai saat ini. Sepanjang malam dirinya terjaga, tidak dapat tidur dengan baik. Rasanya, perang akan benar-benar meledak sebentar lagi. Dan hal yang masih saja membuat dia kebingungan adalah menentukan targetnya. Dia harus mulai dari mana? Si penelpon misterius? Orang-orang yang suka menghadang jalannya semacam tidak punya arena sendiri untuk mengajak perang? Atau...

"Gue gak bakal pergi."

Juliet menoleh ke luar kamar yang ditempatinya malam ini. Rafael tampak tertidur pulas di sofa. Mungkin juga tidak sedang pulas. Juliet cukup tahu artinya tertidur 'pulas'. Tidak ada mimpi buruk. Iya, dia benci menghadapi mimpi buruk. Dia lebih menantikan tidur panjang tanpa mimpi apapun. Benar-benar beristirahat dengan tenang. Barangkali jika ditanya apa keinginan terbesarnya, Juliet akan mengatakan itu tanpa ragu-ragu.

"Gue mungkin bakal pergi," gumam Juliet, seakan membalas ucapan tanpa sadar dari Rafael tadi.

Juliet menutup matanya perlahan, meneteskan air mata kembali. Tangisannya tampak tenang, sedang pikirannya makin sibuk membuat keputusan penting. Kalau dia gegabah seperti ini, dia hanya akan menyaksikan tragedi yang sama pula.

***

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Berbagai lembar kertas berserakan di ruang kerja Robert. Aroma rokok perlahan sirna terbawa angin melewati jendela yang terbuka lebar. Beberapa dokumen tebal masih menumpuk di atas mejanya, namun sepertinya tidak begitu penting untuk diurus. Keberadaan Robert? Dia sedang mengamati potret keluarganya yang diambil lima tahun lalu dan dirusak dengan bekas peluru pada bagian Juliet dan Vina. Iya, itu ancaman tiga tahun lalu yang pernah dia abaikan. Dia benar-benar hampir kehilangan keluarganya kalau-kalau Rakata tidak menjadi penyelamat dan Cliff ada di pemotretan keluarga waktu itu.

Kali ini dia meninggalkan potretnya bersama Cliff di hari kelulusan anak itu. Potret yang kini dirusak dengan garis kecil yang sudah jelas adalah bekas ujung pisau. Robert menghela napas. Tidak. Dia sedang tidak pasrah. Ancaman ini sudah dia duga sejak dirinya memaksa untuk hadir di hari kelulusan Cliff. Dia tidak bisa menjadi pengecut dan mengesampingkan perannya sebagai kepala keluarga.

"Weak threat."

Robert masih tetap tenang sebab hal yang diincar musuhnya tidak akan didapatkan kalau dia ikut mati. Gaya ancaman seperti itu membuat Robert bosan. Meski kali ini dia sudah mempersiapkan salah satu tameng untuk melindungi keluarganya. Sedangkan dirinya? Sudah ada permainan menarik untuk diakhiri dengan kemenangannya nanti. Tidak akan lagi yang perlu mati selain mereka yang memang pantas. Tidak, setelah dirinya dan Juliet sama-sama kehilangan sahabat karib mereka. 

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

10.2K 1.2K 35
STATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, ken...
Happy to Die Od helloimnella

Mystery / Thriller

9.6K 2.1K 22
Dunia ini fana. Semua akan kembali pada Sang Pencipta. Kematian bisa datang kapan saja, tanpa diduga dan tanpa diminta. Namun banyak juga alasan meng...
33.8K 2.6K 15
Yuju, seorang novelis muda berbakat Korea Selatan, mengalami sendiri apa yang namanya cinta ketika dia bertemu dengan Jungkook, seorang namja sempurn...
369 110 24
Silakan Folow Dulu Sebelum membaca!! Sesuatu telah terjadi hingga merenggut kebahagiaan lima tahun yang telah Reya rajut bersama sang kekasih. bermi...