SERENDIPITY

By Eriscafebriani

3.8M 176K 34K

(Telah Terbit dan Difilmkan) --- Dulunya, Arkan dan Rani adalah sepasang kekasih. Tiba-tiba, di sebuah taman... More

1. Selamat Datang Di Neraka, Rani
2. Salam Kenal, Rani
3. Kebencian atau Hanya Imajinasi
4.Hidup dalam Terungku
5. Andromeda, Perseus, Monster Laut
6. Serendipity
7. Dongeng Ilusi
8. Tragedi Kedai Kopi
9. Kesalahan Gigantis
10. Efek Sayap Kupu-Kupu
11. Pecahan Teka-Teki
12. Kebenaran Imajiner
13. Fakta Dua Sisi
NEW STORY : SERENDIPITY
1. Pesan Pembuka
3. Kulminasi Hati
VOTE KOVER
SERENDIPITY SPECIAL PROMO!
GIVE AWAY SERENDIPITY!
PEMENANG GIVEAWAY
FILM dan KOMIK SERENDIPITY
TRAILER DAN MEET N GREET
9 AGUSTUS 2018!

2. Fragmen Kenangan

106K 6.8K 1.6K
By Eriscafebriani

PLAY MUSIK DI MEDIA, YA!:)


-------

      Arkan duduk di kursi perpustakaan ditemani dengan buku-buku yang bertumpuk membentuk menara mungil di depannya. Salah satu hobi yang disukai Arkan selain memainkan rubik dan lego adalah; membaca buku. Entah buku sastra, novel, biografi. Kalau ada nominasi pembaca buku tercepat dan terbanyak, mungkin Arkan bisa menjadi juaranya.

     Rani duduk di samping Arkan seraya mengetuk-ngetukkan penanya di meja perpustakaan. Istirahat berlangsung tiga puluh menit, lima menit mereka habiskan untuk pergi ke kantin membeli camilan dan setelahnya kembali ke perpustakaan, menemani Arkan membaca. Rani meletakkan kepalanya di meja, mengamati Arkan. Biasanya Rani selalu berpikiran orang-orang pintar dan kutu buku kerap terlihat culun dan cupu; dengan kacamata besar di mata dan seragam yang dikancing hingga lehernya tampak mencekik.

     Namun begitu melihat Arkan. Paradigma itu seketika lenyap begitu saja.

     "Ar," Rani menegakkan tubuhnya lagi, "masih laper." Gadis itu mengusap perutnya.

     Mata Arkan melirik lewat samping buku, mengamati Rani yang menggembungkan pipi.

     "Apa?"

     "Masih laper."

     "Tadi kan udah gue beliin roti."

     "Pokoknya masih laper."

     "Beli sendiri," jawabnya dingin.

     "Arkan kok gitu sih sama pacar sendiri," rajuk Rani.

     Namun Arkan masih tidak peduli, bersikukuh dengan bahan bacaannya. Rani lantas merogoh sesuatu di dalam seragamnya dan mengeluarkan sebuah gantungan ponsel berbentuk salju yang dibelinya di pinggiran jalan. Rani menarik buku Arkan, menutupnya paksa.

     Arkan tersentak kaget.

     "Buat lo." Rani tiba-tiba meletakkan benda itu di depan Arkan. "Dari Rani, spesial buat Arkan," jelasnya lagi.

     Alis Arkan terangkat heran melihat Rani tiba-tiba memberinya hadiah. "Kok tumben?"

     "Iya, biasanya kan lo yang beliin gue makan di kantin, gantinya gue kasih itu," ucapnya dengan senyum lebar.

     "Oh." Arkan mengangguk, diraihnya gantungan ponsel itu, lantas samar-samar ujung senyumnya tertarik. "Thanks."

     "Nah gitu dong, senyum!"

     Senyum Arkan mendadak lenyap. "Yuk deh, gue temenin ke kantin. Mau makan apa lagi?"

     "Serius? Asyik!" Rani langsung semangat, "ternyata rayuan gue berhasil."

     Arkan mengacak lembut rambut Rani dan segera mengenggam jemari gadis itu untuk dibawanya ke luar perpus. "Kayaknya makan bakso nikmat, ya."

     "Bakso, mantap tuh. Apalagi dicampur es teh, wuih maknyus," Rani berkata dengan dramatis, "apalagi ditemenin sama Arkan. Tambah nikmat."
     Untuk kesekian kali, Arkan tertawa, menggenggam jemari Rani kian erat sampai beberapa mata menatap mereka tidak percaya. Awalnya mereka mengira itu hanya sekadar gosip belaka, Arkan yang terkenal sebagai murid penerima beasiswa, kapten basket sekolah dan segala kesempurnaannya yang di luar logika tidak mungkin memilih Rani, si gadis bodoh pembuat onar, menjadi pengisi relung hatinya.

     "Woi, Ar!" Arkan tersentak kaget sampai ponsel yang ada di tangannya nyaris terjatuh kalau saja sebelah tangannya tidak sigap meraih benda itu. Lelaki itu menoleh, dilihatnya Leo nyengir lebar dan memiringkan wajah, memerhatikan gantungan ponsel milik Arkan. "Apaan nih?"

     Belum sempat tangan Leo meraih benda itu, Arkan sudah lebih dulu mengempas tangan Leo untuk tidak menyentuhnya.

     "Ouch, ngelamunin apa sih lo?!"

     "Ngelamunin Albert Einstein lagi buat anak!" celetuk Roni garing, begitu melihat tatapan ketus dari Arkan, lelaki itu meringis dan berhehehe ria. "Iya, Ar, ampun. Buruan lagi ganti baju seragam Ar, bentar lagi Bu Miyati masuk."

    Berhubung jam olahraga sudah habis, dan mereka diberi waktu setengah jam untuk istirahat dan ganti baju sebelum pergantian jam selanjutnya.

     Arkan bangun dari kursi, mengambil seragamnya yang diletakkan di belakang kursi. Dia lantas berjalan keluar kelas sambil merutuki kenangan di kepala. Berharap agar kenangan itu berlalu dan tidak akan singgah kembali di kepala. Entah Arkan bisa menyebutnya sebagai kenangan yang paling manis atau kenangan yang paling tragis. Tidak tahu, apakah seharusnya Arkan mengucapkan kata terimakasih kepada Rani karena pernah memberikan warna dalam hidupnya, atau marah kepada Rani yang telah membohonginya akan banyak hal.

     "Dasar kunyuk! Gue tungguin malah ninggalin, eh Ar!" Roni berdesis sebal.

     Langkah Arkan terhenti di koridor, dilihatnya siswi-siswi di kelasnya berkerumun ramai di depan toilet wanita. Terdengar keributan berkoar di sana dan juga teriakan-teriakan penuh amarah. Arkan mendekati kerumunan itu. "Ada apaan?" tanyanya tiba-tiba, membuat keramaian seketika berubah hening begitu Arkan angkat suara.

     Semua mata memandang ke satu arah. Pada Arkan yang muncul di antara barisan.

     Arkan berpaling, menatap Rani.

     "Maksud lo apaan nyeburin seragam gue ke bak?!" Rani berteriak di depan Loli.

     Loli tiba-tiba melengsak ke belakang Arkan, berlindung di balik tubuh tingginya.

     "Nggak usah sok berlindung di balik Arkan, gue nggak takut!"

     "Ada apaan?" Arkan mengulang pertanyaannya, kali ini lebih dingin.

     "Jangan ikut campur!" Rani menatap Arkan tajam, "atau jangan-jangan lo juga berkomplotan dengan Loli untuk ngusilin gue? Apasih salah gue, apa gue pernah ngusik kehidupan lo-lo semua?"

     Arkan geleng-geleng kepala, jelas terlihat dari matanya, ada sorot merendahkan tercetak jelas di sana. "Lo mungkin nggak mengusik kehidupan kita, tapi keberadaan lo ..." Arkan merendahkan tubuhnya yang tinggi supaya setara dengan Rani, "itu benar-benar parasit dan menganggu, seharusnya lo sadar dan tahu diri," bisikan itu lirih, tapi berhasil membuat Rani terdiam tanpa suara.

     Begitu dilihatnya Rani mati kutu, Loli tersenyum puas.

     Arkan menegakkan tubuh. "Kalian semua cepat ganti, bentar lagi bel bunyi, gue harap udah pada di kelas sebelum Bu Miyati masuk," perintahnya dengan nada khas seorang ketua kelas dan dibalas anggukan mengerti. Mereka yang tadi berkumpul di depan toilet, tanpa mengulur waktu segera masuk ke dalam untuk berganti baju.

     "Ran," Jean menyentuh pundak Rani, "lo nggak apa-apa, kan?"
     Namun Rani masih tertegun dan membeku di posisinya.

****

      Bel pulang sekolah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Rani melirik jam di pergelangan tangannya. "Jean, masih lama?" tanya Rani. Dia masih menunggui Jean yang sedang menunggu pacarnya, Dio, anak kelas XI-IPA-7 yang lantainya berada di lantai tiga. "Udah keluar belum?"

     "Ya udah lo duluan aja, deh, masih lama kayaknya."

     "Bener nggak apa?"

     "Iya." Jean menganggukkan kepalanya. "Lo buru-buru, kan? Ya udah duluan aja nggak apa-apa."

      "Oke deh, gue duluan ya, Jean." Rani mengangguk dan melirik jam di pergelangan tangannya lagi—amat terpaksa mendahului Jean, pasalnya Rani memang sedang dalam keadaan diburu waktu. Gadis itu mengambil sepedanya yang berada di bawah pohon rimbun dan melambaikan tangannya pada Jean. "Dah, Jean!"

      "Dah ..." Jean melambaikan tangan.

     Lima belas menit seusai Rani pergi, Jean mengambil ponselnya, mengetik pesan.

     Dio di mana? Gue udah di depan dari tadi.

     Tak lama ponselnya bergetar, ada balasan singkat dari Dio: Ya, tunggu di situ.

     Benar saja, Dio kemudian muncul dengan menggendong tas ransel di pundaknya.

     "Lama banget dari tadi," Jean menggerutu sebal. "Gue nunggu setengah jam lebih, tauk!"

     "Oh." Dio menjawab dingin.

     "Kok 'oh' doang? Nggak minta maaf?"

     "Lo masih deket dengan Rani?"

     Jean mengernyit bingung mendengar pertanyaan Dio.

     "Kenapa dengan Rani?"

     "Lo kan sahabat dekatnya, pasti tau berita yang udah kesebar di sekolah."

     "Berita yang mana?" Jean berpura-pura tidak peduli.

     "Jean, gue nggak suka lo berteman sama dia. Gue nggak mau lo jadi ikut-ikutan kayak Rani karena terbawa pergaulan. Lo jauhin Rani atau kita putus." Dio lantas segera memberikan pernyataan tegas yang membuat Jean kontan menatapnya bingung.

     "Ada apa dengan kata-kata lo? Gue nggak bakal jauhin Rani. Dia teman gue. Oh, gue tau ... sepupu lo itu pasti bilang macem-macem. Loli bilang apa, hm?" Jean mengulik penasaran. "Loli emang nggak suka dengan Rani, seharusnya lo tahu itu."

     "Jean, itu semua demi kebaikan lo juga. Terserah, lo jauhin Rani atau kita putus." Dio berlalu, menuju ke mobilnya.

      Jean ternganga dengan kalimat Dio, membeku di tempatnya dan segera berlari menuju ke mobil Dio. Tak pelak mereka terlibat cekcok bahkan berlanjut sampai di dalam mobil.

****

     "Eneng Rani, baru pulang sekolah, ya?" Seorang tukang ojek yang berada di depan gang menyapa Rani sewaktu sepeda Rani melewati pangkalan ojeknya.

     Biasanya Rani akan menyapanya balik dengan ramah, namun kali ini suasana hatinya sedang buruk, amat buruk malah. Alhasil Rani hanya melewatinya begitu saja dengan raut wajah ditekuk berkali-kali lipat. Terserah mau dikira sombong atau apa, dia sedang tidak mood, titik.

     Sesampai di depan gerbang, Rani menuntun sepedanya masuk ke dalam rumah.

     Ada banyak sandal dan higheels di depan pintu rumah dan hiruk pikuk terdengar sampai ke pintu. Rani masuk ke dalam, aroma rokok yang menyengat serta asap yang menyambut kedatangannya pertama kali sampai Rani terbatuk-batuk sesak. Rani melihat ibunya duduk di ruang tengah, dengan kartu remi di atas meja. Rani melewati teman-teman ibunya yang tidak ada satupun dikenali oleh Rani lantas menutup pintunya kasar dan samar, Rani bisa mendengar ibunya mengumpat marah. Namun Rani tidak peduli.

      Banyak sekali orang berkata, "Hidup ini seperti roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah," Rani percaya ungkapan itu benar. Ayahnya selalu mengatakan petuah itu berkali-kali, dengan nada khasnya yang lembut, garis wajah bijaksana, beliau kerap menjelaskan agar Rani selalu bisa menyesuaikan diri dalam keadaan apapun. Namun realitanya tidak seperti itu. Rotasi kehidupan tidak sesederhana pepatah itu. Seandainya kehidupan seperti roda, roda dapat dengan mudah berputar. Namun manusia tidak semudah pepatah untuk beradaptasi.

     Rani duduk di ujung kasur.

     Ponsel Rani yang ada di kantung seragamnya berdering. Rani mengeluarkan benda itu, melihat layarnya berkedip-kedip. Ada sebuah pesan teks terkirim ke ponselnya, dari Jean. Rani segera membuka pesan.

      Mulai hari ini kita nggak usah lagi jadi teman.

      Kelopak mata Rani melebar saat membacanya. Kemudian pesan kembali terkirim beruntun.

      Anggap kita kayak dulu, nggak pernah kenalan. Nggak usah saling tegor atau sapa di kelas. Nggak usah kirim pesan atau telepon ke nomor ini lagi, gue bakal ganti nomor.

     Rani menggigit bibirnya, merasakan hatinya tiba-tiba terasa nyeri. Ada kebingungan yang melanda dan membuat Rani bertanya-tanya mengapa Jean bisa berubah pikiran secepat kedipan mata.

     Satu pesan kembali masuk; dan berhasil membuat Rani mati kutu.

      Dio melarang gue temenan sama lo, kalau gue melanggar janji ini, dia bakal memutuskan gue. Jadi please tolong ngertiin.

     Gadis itu menekan tombol hijau, mengontak nomor Jean, namun hanya ada suara operator yang memberitahu bahwa nomor itu sudah tidak aktif lagi.

     Setetes air mata meluncur ke pipi Rani.

****

      Pagi, mendung, angin sejuk kota Bandung adalah perpaduan menyenangkan yang menyambut kedatangan Rani di sekolah keesokan harinya.

     "Pagi, Rani," seorang anak laki-laki menyapanya—Rani tahu dia siapa, namanya Didi, murid kelas XII-IPS-3 yang terkenal suka main perempuan.

     Rani tidak menjawab dan menyelonong masuk ke dalam kelas. "Jean!" gadis itu menyapa riang sewaktu melihat Jean baru saja datang, bersama Loli di sebelahnya. "Hai." Rani melambaikan tangan. 

     "Jean, lo duduk sama gue. Gue udah bilang ke Roni, nanti dia duduk di kursi Yudi." Loli menimpali dan menarik lengan Jean menuju ke kursinya.

     Rani menurunkan tangan dan garis wajahnya berubah heran. "Jean, lo ...,"

     "Kenapa? Nggak terima? Dio yang menyuruh gue supaya Jean duduk di sebelah gue, bukan di sebelah lo. Ah, dia takut aja kalau Jean terus berteman dengan lo, nanti bakal terpengaruh." Loli menyunggingkan senyum lebar yang menampilkan sederetan gigi putih mengilatnya. Loli meletakkan tas Jean di sampingnya dengan gerakan dramatis. "Silakan duduk Jean."

     "Jean, lo beneran?"

     "Iya." Jean menjawab mantap. "Gue pindah di samping Loli."

     "Nggak apa kan, kalau lo duduk sendirian?" Loli memiringkan wajah dan tersenyum puas.

     Belum sempat Rani membalas, bel masuk berbunyi bertepatan dengan kemunculan Bu Ida di depan pintu. Secara otomatis anak-anak murid yang berhamburan di sepenjuru kelas segera kembali ke kursinya. Rani meneguk ludah, dengan pasrah dia berbalik, kembali ke kursinya di pojok. Sendirian.

     "Baik anak-anak selamat pagi, sebelum kita berdoa, Ibu ingin memberitahukan sesuatu," kata Bu Ida seraya meletakkan buku cetaknya di meja. "Kelas ini akan kedatangan murid baru, pindahan dari Malang."

     Sekelas langsung berdesis ribut begitu mendengar ada murid baru, terutama murid perempuan, mereka sibuk melongok ke pintu dan jendela untuk melihat siapa murid barunya.

     "Baik, Nak Gibran, silakan masuk."

     Tak lama seorang lelaki tinggi berperawakan tegap dengan rambut ikal sedikit gondrong melewati kerah, matanya hitam namun terlihat cokelat begitu terkena pantulan cahaya matahari dari jendela, dark brown dan terdapat kumis tipis tersamar di atas bibirnya sebagai bentuk bahwa hormon testoseronnya sudah bekerja.

     "Assalamualaikum, selamat pagi," sapanya.

     "Iya, silakan perkenalkan diri, Nak."

     Gibran mengangguk. "Nama saya Gibran Al Ahmed Fajr, bisa dipanggil Gibran. Keturunan Arab-Indonesia, ayah saya Arab dan ibu saya Bandung asli. Saya pindahan dari Malang, lebih tepatnya dari SMA Persada Negeri," jawab Gibran panjang, jelas, terkesan tidak penting.

     Anak-anak perempuan tertawa mendengarnya, terkecuali Rani.

     "Statusnya apa?" celetuk salah satu siswi. "Single dong!"

     "Alhamdulillah, masih jomblo."

     Tawa sekelas meledak kedua kalinya. "Mau ada yang ditanyakan lagi?" tanya Bu Ida.

     "Kalo mau minta nomor hape, nanti aja ya ...," ucap Gibran super percaya diri.

     Celetukannya dibalas dengan sorak-riuh, sampai Bu Ida menggeleng dibuatnya.

     "Ya sudah, Ibu kira cukup perkenalannya. Kamu duduk di ...." Bu Ida mengedarkan pandangannya ke sepenjuru kelas, "di belakang, di samping Rani. Di paling pojok," telunjuk Bu Ida terarah ke kursi Rani yang sebelahnya kosong.

     "Oke, Bu. Terimakasih." Gibran segera membungkuk sopan.

     Rani memasang tampang tidak ramah, dilihatnya Gibran tersenyum lebar dan segera berjalan menuju ke kursi sebelahnya.

     Gibran duduk di samping Rani. "Untunglah duduknya sama cewek, bukan sama cowok," katanya tiba-tiba.

     Rani menoleh, tapi tidak menjawab.

     "Gibran," Gibran menjulurkan tangannya, namun Rani hanya menatap tangan itu tanpa menunjukkan niat untuk membalasnya.

     Rani langsung buang muka ke depan.

     Gibran mencium tangannya. "Wangi kok, aroma parfum," celetuknya asal. Karena Rani tidak mau berbicara, Gibran menganggukkan kepala. Tidak berniat untuk menganggu. Lelaki itu bungkam, mempersilakan ketua kelas menyiapkan untuk berdoa sebelum memulai pelajaran.

      Seusai berdoa, Gibran mengeluarkan buku tulisnya, dengan asal dia merobek selembar kertas kecil dan mengambil pena di tangan Rani secara asal sampai Rani tersentak kaget.

      082345478383. Gibran

     Salam Kenal, Rani. Betah-betah ya duduk sama gue.

     Gibran kembali mengembalikan pena Rani diikuti selembar kertas miliknya.

     Mata Rani memerhatikan tulisan itu dengan kernyitan di kening, bingung. Tak lama Rani kembali menoleh pada Gibran, tapi Gibran sudah menatap ke depan, berpura-pura fokus pada guru yang sedang mengajar.

-----

A/N :

Finally, chapter 2! Gimana dengan part ini? Kayaknya masih banyak yang belum move on dari Serendipiti cerita pertama, ya, wkwk. Tapi serius yak ini lebih realistis dan seru, sih, kalo menurut sayaaa haha. Sebenernya ada beberapa alasan kenapa saya milih ini dirombak ulang.

1. Jean kan sahabat Rani, nah itu terlalu cepat kalau dia tiba-tiba benci gitu aja, makanya di awal part saya jelasin gimana dia bisa menjauh dari Rani.

2. Arkan di versi cerita pertama itu terlalu bipolar. Keliatan nggak konsisten karakternya, tapi kan kalau begini ada sebab dibalik sikap bipolarnya. Hah, bakal keliatan di chapter 3, deh, atau entar di chapter seterusnya, lanjut di novel:p

Btw, buat yang nebak-nebak alur ceritanya, tenang aja, ceritanya nggak bakal kayak gitu, kok. Bakal banyak plot twist. Kalau kalian nebak, terus ini ceritanya pakai alur maju-mundur dan semuanya kayak puzzle yang nggak teratur tapi sebenernya saling bersambungan dan ada kaitan dengan tiap-tiap adegan. Hope you like it!

Tinggal chapter 3 lagi nih, entar saya post agak lama, ya, wkwk. Abis puasa kali *loh* haha. Diharap bersabar. Thank you!



Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 121K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
5.5M 396K 55
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
1.4M 102K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
471K 50.3K 21
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...