The Number You Are Trying to...

By expellianmus

6.6M 364K 63.4K

Katanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pern... More

Chapter 0: the number you are trying to reach is saying thank you
Chapter 0.5: the number you are trying to reach is unreachable--don't try again
Chapter 1: the number you are trying to reach is a freak
Chapter 2: the number you are trying to reach is curious
Chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language
Chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)
Chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number
Chapter 6: the number you are trying to reach is very weird
Chapter 7: the number you are trying to reach says 'russell' not 'ransel'
Chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor
Chapter 9: the number you are trying to reach is not hestia
Chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband
Chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money
Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
Chapter 14: the number you are trying to reach is a liar
Chapter 15: the number you are trying to reach meets mamah ira
Chapter 16: the number you are trying to reach's sister is the goddess of debt
Chapter 17: the number you are trying to reach is a genius level 15
Chapter 18: the number you are trying to reach isn't the only one who curious
Chapter 19: the number you are trying to reach asks for pink roses coin purse
Chapter 20: the number you are trying to reach isn't as good as pempek
Chapter 21: the number you are trying to reach is not reachable-try again!
Chapter 22: the number you are trying to reach is a feiht--not a thief
Chapter 23: the number you are trying to reach receives a purse!
Chapter 24: the number you are trying to reach is adapting
Cover
Chapter 25: the number you are trying to reach's mom finds her way back
Chapter 26: the number you are trying to reach receives pj
Chapter 27: the number you are trying to reach meets someone unexpected
Info dan Kalian Mau Apa?
Penjualan Khusus
Sold Out (Pemesanan Khusus)
Sudah Mulai Beredar
Ayo Ketemu + Ig

Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet

217K 15.2K 1.1K
By expellianmus

chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet


((a.n kalau ada quotes bahasa inggris, bisa dilihat terjemahannya di paling bawah ok HHE))


"Itu Great Expectations?" tanya Mama sambil berjalan mendekatiku yang sedang duduk di ruang keluarga.

Aku menutup buku yang sedang kubaca lalu mengangguk. "Iya."

"Punya kamu?" tanya Mama sambil mengamati sampul buku yang sedang kupegang. "Bukan cetakan pertama, tapi kayaknya masih termasuk cetakan lama," komentarnya sambil duduk di sebelahku.

Aku mengangkat bahu. "Bukan punyaku. Aku minjem."

"Oh, ya?" tanya Mama. "Pinjem ke siapa? Mama kira teman-teman kamu enggak ada yang suka baca gituan."

Untungnya, aku tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada Mama bahwa aku meminjam buku ini dari guru (soalnya, Mama nanti pasti bersikeras untuk berkenalan dengan gurunya, dan ya, bayangkan saja kalau sampai Mama tahu aku masuk kelas tambahan)—karena Mama tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Omong-omong soal temen kamu," kata Mama. "Apa kamu udah punya teman di sekolah?"

"Udah," jawabku, agak terkejut—Mama jarang menanyakan pertanyaan semacam itu kepadaku.

Mama mengangguk-angguk. "Temen kamu, udah menang olimpiade berapa kali?"

Aku teringat Kalila, lalu meringis dalam hati. "Belum menang olimpiade, Ma," jawabku.

Mama tampak terkejut. "Lho, Mama kira kamu dapat temen dari klub olimpiade," kata Mama. "Bukannya temen-temen kamu di SMP dari klub olimpiade semua?"

Menurut KBBI, teman itu adalah orang yang bersama-sama bekerja. Jadi, kalau berpedoman KBBI, orang-orang di klub olimpiade itu jelas temanku. Tapi, kami hanya berteman di dalam kelas klub saja. Itu pun, hanya sebatas membahas latihan soal. Coba tanyakan pada salah satu dari mereka tentang kehidupan pribadiku, pasti tidak ada yang tahu.

Tapi, ya, siapa peduli? Toh, kemungkinan terbesarnya, aku cuma akan bertemu mereka lagi di berbagai macam olimpiade—dan bukan berarti kami akan mengobrol juga saat bertemu lagi.

"Yah, dia bukan dari situ," jawabku. "Lagian, aku belum tahu di sekolahku ada klub olimpiade atau enggak. Kan, enggak semua sekolah punya klub olimpiade. Yang di SMP waktu itu kan, cuma inisiatif gurunya."

Mama mengangguk-angguk. "Kalau ada pun, Mama enggak maksa kamu masuk klub olimpiade, tapi Mama pengin kamu ikut olimpiade yang Mama bilang waktu itu."

"Yang Mama bilang waktu kita habis bahas Hestia?" tanyaku.

Mama mengangguk. "Olimpiadenya emang masih beberapa bulan lagi, tapi ini olimpiade besar, Aira. Yang ngadain lembaga pendidikan ternama. Mama belum tahu, sih, nanti kamu ikut dari sekolah atau gimana, tapi kalau dari sekolah, kamu enggak apa-apa, kan?"

"Emangnya kenapa kalau dari sekolah?" tanyaku, heran karena Mama peduli soal itu. Oke, aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Tapi jawaban Mama, mana mungkin sama dengan jawabanku?

Mama tidak mungkin tahu alasanku tidak ingin dikirim sekolah, kan?

"Kalau dikirim sekolah, biasanya kan pialanya disimpan sekolah," jawab Mama sambil mengangkat bahunya. "Dan nanti kamu jadi sorotan. Emang kamu mau?"

Aku menggeleng. Alasan yang pertama sih, aku tidak terlalu peduli. Bagiku piala cuma tanda—yang penting kan, pengalamannya. Tapi kalau alasan yang kedua, jelas bukan sesuatu yang kuinginkan untuk terjadi.

"Ya udah, Mama usahain deh, kamu enggak maju atas nama sekolah," kata Mama. "Tapi kalau enggak bisa, gimana?"

Aku menatap Mama dan menyadari kalau, entah kenapa, Mama benar-benar bersemangat soal olimpiade ini. Aku teringat bahwa selama ini (yah, setidaknya selama aku SMA), aku secara tidak langsung sudah berbohong kepada Mama juga. Aku jadi tidak enak.

"Enggak apa-apa, kok, kalau dari sekolah," kataku akhirnya.

Mama tersenyum senang. Kemudian, dia berkata, "Omong-omong soal jadi sorotan, apa temen-temen kamu di kelas udah mulai nanya-nanya latihan soal ke kamu?" tanya Mama, teringat kebiasaan teman-temanku di awal aku masuk sekolah—mereka sering menanyaiku tentang sesuatu yang tidak mereka mengerti. Tapi, tidak bertahan lama. Soalnya mereka berkata, aku terlalu detail dalam menjelaskan dan mereka jadi pusing. Lama-lama, tidak ada yang menghiraukanku lagi. Apalagi, ketika mereka tahu aku anak klub olimpiade—aku jadi semakin tidak terlihat.

Aku mengangkat bahu. "Mereka belum tahu kayaknya."

"Belum tahu kalau kamu pintar?" tanya Mama, heran.

"Belum ada ulangan sejauh ini," jelasku. "Jadi, mereka belum tahu nilai-nilaiku."

Sebenarnya, aku sudah pernah memikirkan hal ini. Aku berencana, tetap mendapatkan nilai bagus, tapi tidak sebagus waktu aku di SMP. Mungkin aku akan sengaja menjawab salah di beberapa soal.

Tentang klub tambahan, ya, aku tidak akan menjatuhkan nilaiku seekstrem standar klub tambahan, jadi mungkin mereka akan mengeluarkanku begitu nilai ulangan harianku keluar. Tapi apa masalahnya? Toh, aku kan, memang ingin keluar dari sana.

Mama mengangguk-angguk mengerti. "Oh, gitu," katanya sambil bangkit dari duduk. "Ya udah, Mama mau ngerjain sesuatu dulu, ya. Kamu masih mau di sini?"

Aku mengangguk.

Setelah itu, Mama menghilang ke dalam ruang kerjanya.

[.]

Pagi ini, Kalila mengirimiku pesan yang isinya, aku harus menunggunya di kantin. Katanya, dia ingin bercerita tentang kejadian di hari Minggu kemarin—waktu Reza ulang tahun dan dia menyerahkan kado dari Viara.

Sebenarnya, dia bisa saja bercerita lewat telepon atau apa, tapi katanya, dia ingin melihat ekspresiku ketika dia bercerita. (Kalila bilang, kalau lewat video call, gambarnya suka berhenti-berhenti dan mukanya jadi jelek.)

"Alig, gue seneng banget!" seru Kalila begitu dia melihatku sedang duduk menunggunya di kantin.

Kata Rio, kalau ada kata-kata aneh, coba dibalik dulu. Oh, oke, alig itu gila.

"Gimana kadonya?" tanyaku begitu Kalila sudah duduk di hadapanku.

Kalila nyengir. "Lo harus lihat ekspresinya Viara, Ra. Dia awalnya kayak orang kesambet petir, terus kayak orang kebelet buang hajat."

Aku tertawa, karena aku memang pernah melihat ekspresi kebelet buang hajatnya Viara.

"Terus, Reza sama orangtua lo gimana?"

"Reza ketawa," jawab Kalila. "Orangtua gue, ya, mereka juga ketawa. Terus, gue iseng-iseng aja nanya sama mereka, gambarnya bagus apa enggak. Mama bilang, gambarnya lumayan. Papa setuju sama Mama. Ya udah, gue bilang itu gambar gue."

"Terus mereka bilang apa?" tanyaku.

"Cuma ngangguk-angguk aja, sih. Tapi mending kan, daripada mereka menghina gambar gue?" Kalila memasang cengiran di wajahnya.

Aku mengangguk. "Terus, yang soal olimpiade itu gimana?" tanyaku.

Kalila mengangkat bahu. "Belum diomongin lagi, dan gue juga enggak mau mikirin soal itu. Nanti aja, deh. Gue lagi seneng orangtua gue akhirnya ngelihat gambar gue lagi—sekaligus bikin Viara mampus."

"Enggak ada yang belain Viara, ya?" tanyaku.

Kalila menggeleng sambil nyengir. "Reza lagi seneng banget, makanya dia kayaknya enggak mikirin soal gue yang kurang ajar ke pacarnya," jawab Kalila. "Semoga habis ini Viara bener-bener kapok dan enggak bakal minta bantuan apa pun lagi ke gue

"Pasti dia kapok," komentarku. Maksudku, orang macam apa yang tidak kapok setelah dikejerjai dua kali?

"Lo sendiri gimana, Ra?" tanya Kalila. "Gue belum tahu banyak soal keluarga lo—selain orangtua lo udah cerai dan lo tinggal sama nyokap lo."

Aku mengangkat bahu. "Enggak ada yang menarik dari keluarga gue."

Kalila tidak perlu tahu kan, kalau aku dan Mama itu yah, begitu. Maksudku, Kalila pasti menganggapku dan Mama aneh—seperti Hera dan Fiona waktu pertama kali berkenalan denganku dan Mama.

Belum lagi, nanti Kalila jadi tahu kalau aku berbohong.

Sebenarnya, untuk pembelaan, aku bisa bilang kalau aku tidak pernah secara langsung mengatakan kalau aku tidak pintar. Aku cuma diam saja ketika orang-orang menyuruhku masuk ke kelas tambahan. Dan menurutku itu berbeda. Lagi pula, menurut KBBI, berbohong itu kan, menyatakan sesuatu yang tidak benar.

Cuma yah, aku tidak bisa mengatakan pembelaanku itu kepada Kalila. Aku tidak yakin dia mau mendengar penjelasanku yang rumit dan melibatkan sesuatu dari dalam kamus.

"Masa enggak ada yang menarik? Kapan-kapan gue ke rumah lo, dong," kata Kalila.

Aku cuma meringis sambil bergumam, "Hmm."

[.]

Setelah selesai kelas tambahan hari itu, aku tidak langsung pulang. Kemarin, Arka mengirimiku pesan kalau dia sudah selesai membaca A Tale of Two Cities dan ingin mengembalikannya kepadaku hari ini. Aku setuju-setuju saja, toh, aku juga sudah selesai membaca Great Expectations.

Setelah hanya tinggal aku dan Arka di dalam kelas, aku menghampiri meja Arka dan menyerahkan buku miliknya.

"Kamu juga udah selesai?" tanya Arka sambil menatap Great Expectations miliknya yang kini terletak di atas meja.

Aku mengangguk.

Arka kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan A Tale of Two Cities milikku. "Makasih, ya. A Tale of Two Cities itu termasuk cerita kesukaan saya."

"Ya, siapa yang tidak suka A Tale of Two Cities?" tanggapku.

"Kamu lebih suka A Tale of Two Cities atau Great Expectations?" tanya Arka.

Aku berpikir sebentar. "A Tale of Two Cities," jawabku. "Great Expectations bagus, cuma saya enggak sampai nangis waktu pertama kali baca."

"Oh, jadi kamu nangis waktu pertama kali baca A Tale of Two Cities?" tanya Arka, ujung-ujung bibirnya sedikit naik.

Aku mengangguk lalu tertawa.

"Kamu paling suka bagian yang mana?" tanya Arka.

Aku berpikir sebentar. "Banyak, sih. Tapi saya suka waktu Sydney Carton bilang, 'O Miss Manette, when the little picture of a happy father's face looks up in yours, when you see your own bright beauty springing up anew at your feet, think now and then that there is a man who would give his life, to keep a life you love beside you'. Waktu saya baca ulang dan tahu apa yang bakal dilakuin Sydney, yah—ngerti kan, maksud saya?"

Arka mengangguk lalu nyengir. "Kamu sampai hafal gitu, ya," katanya. "Tapi jangan nganggep kamu keren dulu. Saya juga hafal, kok," lanjutnya sambil tertawa.

Aku tertawa. "Kalau kamu suka bagian yang mana?"

"Bagian akhir. 'It is a far, far better thing that I do, than I have ever done; it is a far, far better rest that I go to than I have ever known.'"

Sesuatu yang hangat menjalar di tubuhku ketika Arka melafalkan salah satu paragraf dari A Tale of Two Cities. Aku sudah pernah bilang kan, kalau ada sesuatu dari cara Arka membaca yang entahlah, enak untuk didengar.

"Kalau Great Expectations?" tanyaku.

"Bagian yang saya suka, maksud kamu?" tanya Arka balik.

Aku mengangguk. "Kalau saya suka bagian, 'suffering has been stronger than all other teaching, and has taught me to understand what your heart used to be. I have been bent and broken, but—I hope—into a better shape'."

Arka mengangguk-angguk. "Kalau saya suka bagian, 'in a word, I was too cowardly to do what I knew to be right, as I had been too cowardly to avoid doing what I knew to be wrong'."

Setelah mengatakan itu, Arka menatapku lalu terdiam—hampir seperti dia ingin mendengar gema dari kata-katanya barusan.

Setelah beberapa saat, aku akhirnya berkata, "Kamu juga pasti suka bagian, 'I loved her against reason, against promise—'"

"'—against peace, against hope, against happiness, against all discouragement that could be'," sela Arka. "Saya baru mau nyebutin itu. Kamu curang."

Aku tertawa.

Sebelum Arka sempat membalas, pintu kelas terbuka sedikit dan kemudian, kepala seorang perempuan meyembul ke dalam.

"Arka?"

Arka menoleh dengan terkejut. "Eh, ngapain di sini?"

"Lo kan nyuruh gue jemput," balas perempuan itu. Dia kemudian melangkah masuk ke dalam kelas. Saat itu, dia melihatku lalu tersenyum. "Kamu muridnya Arka, ya?"

Aku balas tersenyum. "Iya, saya Aira."

"Aisya. Wah, nama kita beda-beda dikit ya," katanya sambil tertawa.

Arka mengambil tasnya lalu berjalan menghampiri Aisya. "Aira, makasih buat bukunya. Saya duluan, ya."

"Mau ngerjain tugas kelompok," tambah Aisya sambil nyengir. "Yuk," lanjutnya kepada Arka.

Arka sempat melempar senyum kepadaku sebelum dia dan Aisya berlalu pergi.

Tanpa perlu diberitahu, aku bisa menebak kalau Aisya adalah Jane Bennet yang waktu itu ditanya Arka*.[]



*Arka sama Aira pernah bahas soal mereka di bab 9—waktu Arka salah sambung dan dia nanya soal itu ke Aira (cek lagi kalau lupa HAHHA). Jane Bennet itu tokoh di Pride and Prejudice dan dia kelihatan kayak menyembunyikan perasaannya dari Charles—jadi, Charles ngira, Jane enggak membalas perasaannya. Padahal, Jane cuma takut bla bla bla gitu deh. HHE.

Terjemahan:

O Miss Manette, when the little picture of a happy father's face looks up in yours, when you see your own bright beauty springing up anew at your feet, think now and then that there is a man who would give his life, to keep a life you love beside you: Oh, Miss Manette, saat raut bahagia suamimu tergambar di wajah putra kecilmu, saat kau menatap putri kecilmu yang jelita seperti dirimu, ingatlah bahwa ada seorang lelaki yang rela menyerahkan nyawanya, agar kehidupan yang kau cintai senantiasa berada dalam dekapanmu. (Penerjemah: Reinitha Lasmana.)

It is a far, far better thing that I do, than I have ever done; it is a far, far better rest that I go to than I have ever known: Yang kulakukan saat ini jauh lebih baik daripada yang pernah kulakukan. Tidurku ini jauh lebih tenang daripada yang pernah kurasakan. (Penerjemah: Reinitha Lasmana.)

Suffering has been stronger than all other teaching, and has taught me to understand what your heart used to be. I have been bent and broken, but—I hope—into a better shape: Aku rusak dan hancur, tapikuharapmenjadi sosok yang lebih baik.  (Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani & Miftahul Jannah.)

In a word, I was too cowardly to do what I knew to be right, as I had been too cowardly to avoid doing what I knew to be wrong: Aku terlalu pengecut untuk melakukan sesuatu yang kuyakini kebenarannya, sebagaimana aku terlalu pengecut untuk menghindari sesuatu yang kusadari kesalahannya.(Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani & Miftahul Jannah.)

I loved her against reason, against promise, against peace, against hope, against happiness, against all discouragement that could be: Aku mencintainya menyalahi akal sehat, menyalahi janji, menyalahi kedamaian, menyalahin harapan, menyalahi kebahagiaan, menyalahi segala keputusasaan. (Penerjemah: Berliani Mantili Nugrahani & Miftahul Jannah.)



16 Juni 2016.

Continue Reading

You'll Also Like

27.7K 4.2K 27
Ada tiga sosok paling menonjol di MPLS SMA Wasesa tahun ini. Raven Kresna Amarta dari jurusan IPA. Rigel Keviar Adyasta dari jurusan Bahasa. Dan tera...
19.8K 844 37
Juan Ignacio Saputra konglomerat kelas atas Indonesia suatu hari tanpa sengaja nyaris menabrak seorang anak kecil. Siapa sangka berawal dari kejadian...
7.6K 1.1K 35
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun...
6.9M 84.5K 6
Gellar dan Gita tak hanya bersahabat, namun juga menghayati hubungan mereka sebagai tali yang tidak akan putus. Bertahun-tahun hidup berdampingan set...