Another Way to Destroy The Wo...

By aulizas

50.8K 6.5K 1K

[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia... More

Prolog
1. Iova dan Kotanya
2. Akai dan Koleganya
3. Iova dan Penyelinapannya
4. Iova dan Misinya
5. Iova dan Pria Botak
6. Dae dan Sumpahnya
7. Eunah dan Pertemuannya
8. Dae dan Fobianya
9. Eunah dan Sebuah Kisah
10. Iova dan Teman Barunya
11. Akai dan Perasaannya
12. Dae dan Dugaan Langit
13. Eunah dan Pelariannya
14. Iova dan Pantulannya
16. Eunah dan Gua Ali Baba
17. Dae dan Sang Doa
18. Akai dan Penampungan
19. Iova dan Si Kacamata
20. Eunah dan Perjalanannya
21. Dae dan Tiga Pilihan
22. Iova dan Permintaan Bangsawan
23. Iova dan Mata Super
24. Akai dan Tawaran Riri
25. Eunah dan Tetangga Baru
26. Akai dan Para Monster
27. Akai dan Pengalaman Mereka
28. Iova dan Pertemuan Bangsawan
29. Akai dan Pelayan Xanx
30. Iova dan Salam Perpisahan
31. Eunah dan Sebuah Rahasia
32. Eunah dan Pelariannya (Lagi)
33. Eunah dan Ayahnya yang Super
34. Dae dan Masa Depan
35. Dae dan Cameron serta Tuan Kincaid

15. Akai dan Masa Lalunya

971 170 21
By aulizas

Mata Akai tidak henti-hentinya mengerjap. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia benar-benar tidak percaya. Bagaimanapun juga, bertumpuk-tumpuk kroon sedang berada di hadapannya saat ini.

Kediaman di atas milik Tuan Wicked, gua ini juga pasti yang membuat Tuan Wicked, dan, walau Akai menolak untuk percaya, semua kroon ini tentu punya Tuan Wicked. Mungkin Akai bisa mengambil--setidaknya--satu kantong saja untuk memperbaiki gubuk reyot usaha reparasinya. Lagi pula, seberapa besar kemungkinan Tuan Wicked curiga jika ada kroon sebanyak ini?

"Apa ini emas?" Eunah bertanya dari balik bahu Akai.

Namun, Akai tidak menjawab. Mata dan pikirannya telah dipenuhi oleh kerlipan perunggu-perunggu kroon yang memantulkan cahaya hijau dinding gua. Saking bernafsunya, dialah yang berdiri paling dekat dengan harta itu. Tangannya terjulur ke depan, mencoba meraih kroon terdekat.

Tepat ketika sebuah tangan menariknya, Akai mengernyit. Wajah Iova hanya berjarak beberapa senti dari Akai saat cowok itu menoleh. Kedua alis Iova bertaut, rautnya tampak sangat serius. Bahkan, Akai baru menyadari kalau genggaman cewek itu sangat kencang ketika tangannya mulai berubah pucat. Dia mendecih kesal sebelum mengeluarkan sumpah serapah.

"Gunakan otakmu, bodoh! Ini tidak mungkin kroon!"

Akai menatap Iova sinis. "Kalau bukan kroon apa lagi?" tuntut Akai sembari mengelus-ngelus pergelangan tangan yang kini mempunyai cetak keunguan di sana.

"Kautahu peraturannya, 'kan?"

Anak lelaki itu terdiam dan memperhatikan sekitar. Rambut merahnya yang lembap meneteskan air ke atas kroon-kroon di bawahnya, menghasilkan bunyi aneh di antara harta itu. Akai memasuki gua lebih dalam, meninggalkan Iova yang sedang menjelaskan salah satu peraturan Kota Bawah Tanah pada Eunah.

"Jumlah uang yang boleh kausimpan di luar bank terbatas menurut tingkatan kasta." Nada Iova menjelaskan terdengar seperti orang sok tahu. Akai memutar mata.

"Peraturan macam apa itu?" tanya Eunah, terdengar heran. Kentara sekali makhluk permukaan ini merasa peraturan itu tidak masuk akal. Bila benar begitu, Akai bersyukur karena ada yang sependapat dengannya.

Sejujurnya, sejak Akai tiba di penampungan, dia mulai penasaran dengan Kota Bawah Tanah. Peraturan-peraturan yang tidak jelas maksud dan tujuannya bertebaran, menjamur di kalangan penduduk tanpa ada seorang pun yang merasa janggal. Peraturan-peraturan itu membuat anak-anak takut kehilangan orang tua dan orang dewasa takut menjadi tua. Bahkan, penduduk dengan usia produktif enggan menjadi kaya. Mereka hanya berlomba menjadi orang yang paling dermawan dengan mewakafkan harta benda mereka.

Lalu, ke mana semua uang sumbangan yang diberikan itu? Bila diserahkan kepada Lembaga Wakaf Kota Bawah Tanah, kenapa Akai tidak pernah mendengar anak-anak penampungan yang bersekolah? Atau apakah orang-orang mendapatkan bantuan untuk pengembangan usaha? Akai hanya tahu kalau pemerintahan Kota Bawah Tanah penuh misteri.

Dan, yang paling penting, kenapa pemerintah bego itu membatalkan hukuman penalti publikku kemarin? Pasti ada sesuatu. Akai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sebenarnya, Akai sangat ingat apa yang telinganya mampu tangkap ketika Profesor Surahan memasuki area penalti. Tubuh kecil lelaki itu menerobos tentara dengan sangat mudah. Dia mendesis ke arah Panglima Riddle, seperti ular yang berbicara dari ujung lidahnya. Suaranya getir, tetapi aura yang dipancarkan penuh kuasa. Mata violetnya saat itu mengkilap seperti permata.

"Kautahu, Carl. Anak ini terlalu penting untuk kehilangan nyawa sekarang." Kemudian, Profesor Surahan menyuruh Panglima Riddle untuk membungkuk dan mereka saling berbisik-bisik selama beberapa saat.

Setelahnya, Panglima Carl Riddle menegapkan badan tinggi besarnya dan melirik Akai dari balik bahunya. Dia terlihat enggan menuruti apa pun yang diperintahkan untuknya, tetapi ia tetap berkata kepada khalayak, "Penalti publik dibatalkan! Terdakwa dinyatakan tidak bersalah!"

Sorakan kecewa penonton terdengar dari seantero stadion. Di bawah, Akai memandangi Panglima Riddle tak percaya dan pria itu hanya mendengus sebelum memerintahkan seluruh tentara untuk membawa Akai kembali ke dalam.

Tidak sampai sejam kemudian Akai telah bebas bersyarat dan dapat kembali ke kamarnya di penampungan. Teman-teman Akai menyambut dengan bahagia. Cowok itu juga sempat diarak keliling halaman. Sayangnya, para suster pengurus tidak senang dengan keributan itu. Akai dan kawan-kawan mendapat detensi berjamaah.

Akai mencoba mengingat apa yang terakhir kali ia dengar setelah detensinya semalam. Kalau tidak salah, itu datang dari mulut Morgan, anak sok alim yang tiba di penampungan sebulan lalu.

"Pikirkan lagi, Akai. Apa pun yang kaurencanakan tidak akan berjalan sesuai kehendakmu."

Menurut Akai, cara Morgan mengatakan itu sangat menyebalkan, sehingga dia hampir tidak menganggap bahwa seseorang baru saja mencoba menasihati dia atas apa yang ia lakukan. Namun, Akai segera jatuh tertidur dan waktu bangun pagi ini dia sudah terlambat untuk sarapan. Akai bahkan harus mengerjakan detensi lagi malam ini karena kedapatan hendak mencuri makanan dari dapur.

Cowok itu menyapu poninya, menghela napas. Umurnya baru enam belas tahun, tetapi beban pikirannya lebih banyak dari pria berusia setengah abad. Dia mengerling ke arah Eunah dan Iova yang sedang melihat-lihat sekeliling gua, kemudian berjalan lebih jauh lagi di antara bukit-bukit itu.

Matanya menyipit ketika mendapati celah gelap di antara dinding yang bercahaya. Dia mendekat dan mencoba untuk mengintip ke dalamnya. Namun, yang ada hanya warna hitam pekat.

Tangan Akai bergerak untuk meraba dinding gua yang ternyata kenyal seperti jeli. Jelas-jelas ini bukan tanah, pikir Akai. Dia pun mencoba membandingkan bagian luar dinding dan bagian dalam celah tersebut. Bagian dalamnya dingin dan padat rupanya. Cowok itu mengangguk-anggukan kepala.

Akai terentak. Dia telah menyadari sesuatu. "Surahan!" panggilnya spontan. Iova dan Eunah menoleh bersamaan, mata mereka menyiratkan keterkejutan. "Kita harus lewat sini!"

Dari sudut mata Akai, dia melihat Iova mengernyitkan dahi. "Apa kau mencoba untuk memerintahku?" tanya gadis itu tak terima. "Seorang penjahat memerintah pahlawan?" Iova berujar seolah baru mendengar hal paling menjijikkan.

Mengabaikan Iova, Akai menoleh pada Eunah yang kini berjalan mendekat ke arahnya. Gadis itu menelengkan kepala. "Apa yang Akai temukan?"

"Jalan keluar, kurasa," jawab Akai ragu. Dia meneguk liur sembari menunjuk celah di sebelahnya.

Eunah melirik bergantian antara Akai dan celah gelap itu. Tanpa kemampuan membaca pikiran pun Akai tahu kalau gadis itu sedang menimbang-nimbang. Lagi pula, celah itu sempit. Iova yang berbadan paling kecil dari mereka bertiga pun mungkin tak akan muat. Mereka memerlukan sesuatu untuk memecah bebatuan serta jeli-jeli yang melapisi gua ini.

Tiba-tiba, wajah Akai mencerah. "Benar juga," desahnya. "Tuan Wicked, kan, berbadan besar!" serunya penuh semangat, membuat Iova dan Eunah menoleh bersamaan ke arahnya.

Si gadis permukaanlah yang pertama kali menyadari maksud Akai. "Akai benar!" Eunah melompat. Jaket basah di tangannya sampai terjatuh. "Bagaimana mungkin itu tidak terpikirkan oleh Eunah?"

Iova mengambil jaket Tuan Wicked itu dari bawah, lalu mengeratkan pegangannya. Wajahnya yang menekuk butuh waktu sampai kembali normal. Dia bergantian menatap Akai dan Eunah. "Pintu masuk," katanya setengah berbisik. "Pintu masuk ke rumah!" Gadis itu mengangkat kedua tangannya ke udara, kemudian menyerahkan jaket kepada Eunah.

Memutar-mutar kuncir rambut sebelah kirinya, Iova mulai bercerita, "Selama ini kita hanya tahu kalau rumah Tuan Wicked punya dua pintu. Selain itu, kita tidak mungkin keluar dari gua ini kecuali bisa terbang ke lubang di langit-langit gua." Iova menunjuk ke arah danau, di mana mereka terjatuh saat kabur dari penghuni bumi.

"Dan, dua-duanya merupakan lubang di akar pohon," kata Eunah. "Dengan badan segemuk Tuan Wicked, pasti ada pintu masuk lain. Kecuali Tuan Wicked bisa mengecil-membesarkan badan secara instan."

"Pintu masuk rahasia di bawah tempat tidur." Akai meninju tangan. "Benar-benar Tuan Wicked yang kukenal," komentarnya sambil tersenyum lebar.

Mendapat tatapan tak paham, Akai melanjutkan, "Tunggu sampai kalian melihat kantor Tuan Wicked di Penampungan Pemerintah. Tempat tinggal di bawah Kota Bawah Tanah mungkin hanya sebagian kecil dari kegilaannya." Akai mengangkat bahu, lalu kembali mendekat ke arah celah. "Omong-omong, kalian tahu cara untuk--"

"Pakai benda itu," sela Iova.

Gadis itu berjongkok dan membuka tasnya. Membalik tas di udara, benda-benda di dalamnya meluncur ke luar. Semuanya basah; terutama buku-buku sekolah yang tintanya merembes ke mana-mana--Akai berani bertaruh Iova pasti akan dimarahi oleh Nyonya Surahan. Selain peralatan sekolah, Akai melihat kalau tas Iova juga berisi kotak bekal murah, pakaian ganti, dan sebuah bingkisan berwarna hijau kusam.

Melempar tasnya ke belakang, Iova mulai mencari di antara tumpukan barang-barangnya. Dia memungut benda aneh yang mereka temukan di kotak tuas dan mulai menoleh ke kanan dan kiri. Gadis pendek itu menyelinap di antara bukit-bukit kroon. Rautnya berkata bahwa ia tidak ingin diganggu. Setelah beberapa lama mencari, Iova berteriak girang. Hampir membuat Akai terkena serangan jantung.

Dia keluar dari salah satu sisi bukit kroon dengan wajah gembira. Ucapnya, "Kotak tuas tempat kita menemukan benda itu, ada yang mirip di sebelah sana!"

Mereka bertiga berjalan dengan tergesa. Sesampainya di sana, Akai langsung berjongkok dan membuka kotak yang dimaksud. Letaknya hampir terbenam di salah satu bukit kroon. Melihat penampakan kotak itu dari dekat, Akai menyadari kalau kata-kata Iova tentang harta-harta ini bukanlah kroon adalah salah besar.

"Hoi, Surahan. Kauingat nama lengkap Tuan Wicked?" Akai bertanya tanpa menoleh.

Perbincangan kedua gadis itu pun terhenti. "Tidak. Memangnya kenapa?" jawab Iova, menaikkan alis.

Akai menggelengkan kepala. "Tidak."

Akan tetapi, gerakan tangannya tidak sinkron dengan perkataannya. Jemari pucat Akai meraba emblem yang terukir di atas penutup kotak, berupa ukiran ular naga terpejam yang melindungi sebuah benda bulat. Dia mulai melamun. Pandangannya menerawang jauh ke masa lalu, ketika ia masih mampu mencapai wajah kedua orang tuanya. Sekalipun telah bertahun-tahun, rupa mereka begitu jelas di ingatan Akai.

Kedua orang tuanya berambut merah seperti dia. Ayahnya berbadan besar. Ada lipatan lemak di lehernya. Dia hampir tak pernah tersenyum, tetapi selalu menatap Akai dengan sayang. Sebaliknya, ibu Akai kurus. Wanita itu pandai membuat kue dan senantiasa menyediakan makanan buatannya saat makan malam.

"Cameron Reeder, berhenti melamun." Akai menoleh. Dia mendapati sosok ibunya sedang memperhatikan dari atas.

Melihat ke sisi lain, ada sang ayah yang sedang memegangi tangan Akai erat. Pria itu berkata, "Tersenyumlah, Cameron. Kau tidak ingin terlihat jelek di foto, bukan?"

Akai memperhatikan. Dia ada di sebuah ruangan yang salah satu sisinya memajang bendera dengan bordir ular naga memeluk benda bulat. Seorang fotografer sedang bersiap-siap di balik sebuah kamera kotak bertudung. Salah satu tangannya memegang tombol yang bersambung dengan kamera.

"Tersenyumlah pada hitungan ketiga," ujar sang fotografer.

Ibu Akai meletakkan kedua tangannya di bahu Akai. Dia berbisik, "Selamat ulang tahun kedua belas, sayang."

Tepat di hitungan ketiga fotografer itu, pandangan Akai memudar. Semuanya berubah gelap. Suara sirine terdengar sangat jauh. Ada juga pembaca berita yang membawakan berita duka, tetapi Akai tidak tahu siapa yang meninggal. Tiba-tiba, ada setitik cahaya ke arah Akai, selembar koran melayang di sekitarnya seolah memaksa ia untuk membaca. Judul-judul di halaman koran itu berbunyi.

Seluruh Keluarga Reeder Dinyatakan Tewas

Pemerintah Melelang Lambang dan Nama Keluarga "Reeder"

Ratu Adera: "Harta Reeder adalah Milik Pemerintah"

Koran itu menggelepar layaknya ikan. Akai melepas pegangannya dan benda itu pun melayang pergi. Selanjutnya, pandangannya diliputi putih-putih menyilaukan. Para suster penampungan kini berdiri membelakangi Akai.

Akai ingat pemandangan ini, kejadian saat ia baru sehari di penampungan. Akai menoleh ke arah pintu, ada dirinya yang lebih muda beberapa tahun sedang mengintip dari sana.

"Kasihan sekali anak itu, harus melepas nama keluarganya."

"Padahal Reeder itu nama bangsawan."

"Mau bagaimana lagi. Peraturan adalah peraturan. Anak-anak penampungan tidak boleh menyandang nama belakang."

Kemudian, pemandangan itu menghilang. Akai telah kembali ke gua. Dadanya bergemuruh. Amarah sedang memprotes hendak keluar. Akai meraba emblem di kotak itu sekali lagi sebelum membukanya untuk mencari apa pun yang sedang ia lakukan sekarang.

Pikiran Akai masih belum fokus ketika Iova memintanya untuk menyingkir agar dia dapat melakukan sesuatu dengan jeli warna-warni. Cowok itu pun memilih menjauh hingga percakapan antara Eunah dan Iova tak dapat didengarnya.

Di pinggir danau, Akai mengeratkan tinju. Dia memukul pantulannya sendiri. Riak air mengaburkan bayangan-bayangan lain, persis seperti isi kepalanya yang sedang kacau.

Akai ingat kenapa dia dipanggil Akai. Bukan hanya karena rambutnya merah. Atau, sebab temperamennya yang tinggi saat masih baru di penampungan. Dia hanya ingin mengabadikan nama Reeder dengan cara konyol. Inilah yang dapat dilakukan Akai untuk menentang peraturan pemerintah yang tidak masuk akal. Dengan kata lain, langkah awal untuk menyandang kembali nama Reeder.

Akai berjanji akan merebutnya. Sekalipun itu membunuh bapak asuhnya sendiri. []

Continue Reading

You'll Also Like

2M 106K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
3.5M 342K 93
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
1.1M 96K 48
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
107K 6.9K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...