My Unplanned Husband

By Happiness_sugar

1.5M 36K 583

Takdir tak akan pernah ada yang tau kecuali sang maha kuasa. Ada yang bilang, batas antara cinta dan benci it... More

Welcome
Part 01
Part 02
Part 03
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 11
Part 12
Part 13
Part 16
Pengumuman
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27 Bab 2
Part 28
Welcome back
Kabar Bahagia!!!
VOTE COVER
Akhirnyaa

Part 17

32.7K 1.2K 12
By Happiness_sugar

Hai hai sesuai dengan janji saya kemarin, minggu ini kemungkinan saya akan menerbitkan 2 part. Part 18 masih dalam proses pengerjaan. Terima kasih atas partisipasi kalian semua, maaf tak bisa menyebutkan satu persatu. Sekian dan selamat membaca.

Ramiro POV

Suara ketukan pintu membuatku mengalihkan konsentrasiku dari Nata ke arah datangnya suara ketukan tersebut. Seorang dokter wanita berumur sekitar 30 tahun masuk ke dalam ruang rawat ini. Dia masuk bersama dengan Eva, dan mungkin dia adalah dokter yang menangani Nata.

"Selamat siang Tuan, saya dokter Rina yang menangani Nona Renata. Ada hubungan apa anda dengan Nona Renata?" Dari pertanyaannya bisa disimpulkan bahwa dia kenal dengan Nata. Tapi dia tak tau jika Nata sudah menikah denganku. Bagaimana mereka bisa saling mengenal?

"Selamat siang Dokter Rina, saya Ramiro. Suami Renata." Dokter itu menatapku sambil mengerutkan keningnya, dia berpikir. Apa yang aneh dengan kenyataan jika aku suami dari Nata, dokter ini nampak begitu sulit untuk mempercayainya.

"Ah maafkan aku Tuan Ramiro, setauku Nona.. maksudku Nyonya Renata belum menikah."

"Tak apa Dokter, kami memang baru saja menikah sekitar seminggu yang lalu. Bagaimana dengan keadaan Nata?" Tanyaku.

"Nyonya Renata baik-baik saja, tak ada yang perlu dicemaskan. Dia tak mengidap penyakit mematikan. Hanya saja stres, kurang asupan energi, kurang istirahat, terlalu lelah, dan pola makan yang tidak teratur. Tubuhnya tak bisa lagi menahan beban dan berakhir dengan pingsan seperti ini. Mungkin istirahat total selama 1 atau 2 hari sudah cukup. Saya akan meresepkan beberapa vitamin untuk mempercepat pemulihan tubuhnya."

"Terima kasih Dok."

"Sudah kewajiban saya Tuan. Mungkin hari ini, Nyonya Renata akan tertidur cukup lama karena efek obat tidur. Kalau begitu saya harus pergi megecek pasien lain Tuan, selamat siang."

Pintu tertutup dengan pelan. Aku berbalik mengahadap kearah Nata yang sedang tertidur dengan damai. Memang jika dilihat dengan lebih jeli, Nata terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa yang dia pikirkan hingga membuatnya jadi seperti ini? Apakah kesepakatan yang akan dia lakukan minggu depan? Aku tak tau jika kesepakatan itu bisa membuatnya menjadi tak berdaya seperti ini.

Siang telah berganti menjadi malam. Nata masih saja tertidur. Dia benar-benar tertidur dengan pulas. Sedari tadi aku hanya duduk mengawasinya, menonton TV, dan membereskan pekerjaan yang seharusnya tadi kuselesaikan di kantor. Aku benar-benar mengantuk saat ini. Memegang tangannya yang dingin entah mengapa membuatku merasa janggal. Rasa ngilu didalam dadaku, ini perasaan yang tak pernah lagi kurasakan selama ini. dia benar-benar mulai merubahku. Aku pun jatuh tertidur dalam duduk sambil menggenggam tangannya yang dingin.

Renata POV

Saat aku membuka mata, hal pertama yang kurasakan adalah rasa pusing yang begitu memenuhi kepalaku. Rasanya seperti dunia berputar 360 derajat dengan kecepatan yang tak terduga. Butuh beberapa saat untuk membuat rasa pusing itu hilang dari kepalaku. Ruangan berwarna putih dengan bau obat-obatan, infus yang menacap ditangan kiriku, dan baju pasien. Ahh aku sangat membenci tempat ini.

Ku pandangi sosok tegap yang tertidur sambil menggenggam tanganku itu. Dia masih memakai setelan kantornya, bukankah dia libur? Kenapa dia memakai baju seperti itu? Rambut hitam legamnya begitu lembut menyentuh kulit telapak tanganku saat aku mengelusnya. Dia tertidur seperti bayi, seperti malaikat tampan, seperti dewa yunani entahlah... dia begitu mengagumkan. Sepertinya Tuhan sedang dalam keadaan mood yang sangat baik hingga menciptakan makhluk setampan dia. Aku tak akan munafik, dia memang tampan.

Ini sudah pukul 6 pagi, aku sudah tidur selama 1 hari. Aku tak ingat apapun selain pusing, mual, dan rasa sakit yang menyerang perutku tadi pagi saat aku akan memasak. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutku yang hanya berisi air. Setelah itu, aku jatuh dan entahlah. Gelap, ya hanya gelap itu saja yang kuingat.Ramiro terbangun dari tidurnya. Dia menatapku dengan seksama. Matanya tak berkedip dengan durasi yang cukup lama.

"Hei kau kenapa? Jangan melihatku seperti itu. Aku tau kalau aku memang cantik, tapi jangan terlalu terkesima seperti itu."

Pipi Ramiro memerah, sepertinya dia tak menyadari jika dirinya sedang memandangiku dengan lekat seperti itu. Dia tesipu, hal yang baru kulihat dari Ramiro. Namun Ramiro segera mengalihkan pandangannya dan memperbaiki mimik wajahnya menjadi Ramiro yang berhati sedingin es.

"Ku kira kau akan mati. Jika kau baik-baik saja, aku akan pulang. Aku butuh mandi dan mengablilkanmu pakaian. Eva yang akan menemanimu."

Dengan itu, Ramiro pun pergi dari ruang rawat inapku. Tak lama setelah itu, Eva masuk dan duduk didekatku. Dia menyuapiku semangkuk bubur yang hambar dengan telaten. Bahkan dia menawariku untuk membasuh tubuhku. Tentu saja aku menolak. Eva benar-benar keibuan. Perlakuannya sangat lembut dan tatapan matanya yang begitu menghangatkan membuatku bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu.

Sekarang sudah pukul 8 dan Ramiro belum kembali juga. Aku menyibukkan diriku dengan menggonta-ganti channel tv dan teralihkan dengan suara pintu yang terbuka. Inilah yang paling kubenci. Kenapa harus dia? Mengapa dia selalu saja berada dimanapun aku berada? Dia ini hantu apa manusia sih?

"Bagaimana perasaan anda Nyonya Ramiro?"

"Sangat buruk karena harus bertemu denganmu Dok."

Dokter Rina terkekeh kemudian menyuruh para perawat untuk keluar, memberi kami ruang privasi untuk berbicara. Dia adalah dokter yang menanganiku di korea dulu. Dan entah mengapa dia selalu saja berada di satu daerah yang sama denganku. Kuharap ini tak ada sangkut pautnya dengan sikap over protective dari Azka. Tapi kemungkinan besar ini memang ulah Azka, jika bukan dia siapa lagi.

"Aku tak tau jika kau sudah menikah? Bukankah kau tak ingin menikah? Apa kau sudah terlepas dari trauma untuk menikah?"

"Bisakah kau bertanya satu persatu? Dan aku tak ingin menjawab pertanyaanmu itu, jangan mencoba untuk mengais privasiku. Itu kesepakatannya." Sekali lagi Dokter Rina terkekeh karena jawabanku. Sebenarnya aku tak biasa bersikap seperti itu, tapi Dokter Rina selalu saja berusaha mengorek informasi privasiku. Aku tak begitu menyukai orang sok tau dan selalu ingin tau privasi orang lain seperti dia.

"Hahaha Renata tetaplah Renata, dasar introvert. Aku sudah bisa menebaknya walaupun kau tak menjawabnya. Tapi Renata, sekarang serius kau harus menjawabku. Apakah ada yang mengganggumu? Atau mengancammu?"

"Tidak ada."

"Tapi apa itu disekujur tubuhmu hah? Kau menyakiti dirimu lagi."

Dokter Rina menyingkap kaosku, menampilkan lenganku yang penuh lebam. Aku sendiri juga tak tau jika tubuhku terluka seperti ini. Tak hanya dilengan itu saja, lengan lainnya dan juga kakiku. Sepertinya ini efek dari latihan danceku kemarin malam. Aku jatuh berkali-kali, bahkan mungkin ratusan kali. Tapi aku tak merasa jika tubuhku terluka seperti ini. rasa sakitnya baru kurasakan saat Dokter Rina menunjukkannya padaku.

"Renata, kau harus jujur padaku. Memang sebelumnya kau sudah dinyatakan sembuh, tapi ini apa? Kau menyakiti dirimu lagi. Sebenarnya ada apa denganmu?"

"Aku baik-baik saja, ini hanya karena latihanku yang terlalu berlebihan. Jangan selalu mengaitkanku dengan penyakit itu lagi. Aku sudah sembuh."

"Tanpa kau sadari kau menyakiti dirimu sendiri. Kau tak bisa mengontrol dirimu. Ini memang masih tergolong ringan, bagaimana jika penyakitmu akan kambuh dan semakin parah? Kau harus terapi lagi, aku akan menjadwalkannya untukmu."

"Aku tak mau.."

"Tak ada penolakan. Titik."

Aku membenci tempat ini. Membencinya, sangat membencinya. Cahaya matahari pagi dari jendela mengalihkan perhatianku. Langit yang luas berwarna biiru, beberapa gumpalan awan berwarna putih seperti kapas, da beberapa burung yang terbang dengan bebasnya. Melihat burung itu ada rasa iri yang timbul dari hatiku.

Betapa bebasnya mereka. Terbang dihamparan langit yang biru tanpa ada yang membatasinya. Entah akan terbang ke utara atau pun selatan, itu kehendak mereka. Rasanya aku ingin memiliki sayap seperti burung itu. Jika aku memilikinya, aku akan terbang dan berlabuh di pulau tak berpenghuni. Setidaknya jika aku mati, aku sudah merasa lega. Karena bisa sedikit saja merasakan apa itu kebebasan.

Pintu kamar rawat inap yang kutempati terbuka. Kamar VVIP ini lumayan luas. Ada ruang keluarga yang dibatasi dengan tembok dari kamar yang kutempati, sehingga aku tak bisa melihat siapa yang masuk kedalam kamar ini. Tapi bau parfum ini, aku sangat mengenalnya. Ada 3 orang yang masuk.

"Ramiro, berikan pakaianku pada Ana. Bawa Kak Bagas keluar sebentar. Aku membutuhkan tempat privasi dengan Ana. Ada yang harus kubicarakan dengannya, berdua saja."

Pintu tertutup dengan perlahan, meninggalkan suara deritan yang begitu menulikan telinga. Ana berjalan perlahan menghampiriku. Dia meletakkan pakaianku pada sofa da memberikan jarak diantara kami.

"Siapa yang memberitahumu aku ada disini?" Tanyaku sambil menatapnya dengan seksama. Ana menundukkan kepalanya tak berani menatapku. Dia terlihat begitu gugup.

"Azka, tadi pagi dia menelfonku. Kak Bagas juga diberitahu oleh Azka."

5 menit berlalu, kami masih saja berdiam diri. Suasana canggung begitu mendominasi di ruangan ini. Ana sama sekali tak berusaha untuk mengubah suasana. Dia terus saja berdiri sambil menundukkan kepalanya. Sebenarnya apa tujuan kedatangannya jika dia hanya diam saja seperti itu.

"Ana ak.."

"Kenapa kau menjauh dariku?" Tanyanya. Dia menatapku. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Suaranya bahkan menyiratkan seberapa besar rasa sakit yang dia rasakan.

"Ana, apa maksudmu? Aku tak pernah menjauh darimu."

"Kau menjauh dariku. Sejak saat itu, kau berusaha menjauh dariku. Kau menjauh dariku sejak aku berkata padamu jika aku menyukai Azka. Seharusnya aku tak tertipu oleh senyummu itu. Dengan bodohnya aku percaya pada senyummu dan kata-katamu. Kau berkata kau akan membantuku, kau berkata kau tak menyukainya. Kau membodohiku! Kau dengan sengaja membodohiku!" Oh Tuhan, apalagi ini. Aku tak siap jika harus kehilangan Ana dari hidupku. Ku mohon.. Ku mohon Tuhan.. Jangan biarkan Ana menjauhiku.

"Sejak saat itu kau membangun tembok yang mengelilingimu dan menghalangiku untuk masuk kedalamnya. Kau menutupi segalanya. Kau berusaha untuk tak melibatkanku lagi. Nata, maafkan aku. Maafkan aku yang egois. Aku tak pernah mengerti jalan pikirmu. Aku sudah berusaha.. hiks.. aku selalu berusaha, tapi aku masih saja tak bisa mengerti dirimu." Ana menghapus air matanya sambil mengambil nafas dengan dalam. Wajahnya sangat merah. Aku tak beranjak dari posisiku begitu pula dengannya. Aku hanya bisa diam saat ini, aku ingin mendengarnya. Mendengar semua keluhannya. Hanya ini yang bisa kulakukan. Setidaknya jika nantnya dia pergi, aku tau apa penyebabnya dengan mendengarkannya.

"Kau selalu saja mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Kau selalu saja tersenyum di depan semua orang walaupun hatimu hancur berkeping-keping. Hikss.. apa yang harus kulakukan Nata? Apa yang harus kulakukan agar kau bisa kembali menjadi Nata yang mengatakan segalanya padaku? Apa yang harus kulakukan agar bisa menghancurkan tembok kokoh yang kau bangun itu? hikkss.. "

"Ana.. aku.."

"Ku mohon berhentilah menjauh Nata. Aku sahabatmu. Aku dengan senang hati meminjamkan pundakku untuk tempatmu bersandar.. hikkss.. seperti yang selama ini kau lakukan untukku. Aku akan selalu ada untukmu... hikss.. sama seperti yang selalu kau lakukan. Jangan menyiksaku seperti ini. Jangan memendam semuanya sendiri seperti ini... hikss.. Katakan padaku.. hikss.. katakan padaku apa yang menganggumu.. apa.. hikkss.. yang melukaimu.. ku mohon.. hiks.. katakan padaku.. Nata.."

Aku beranjak dari dudukku dan mengahmpirinya. Dia memelukku dengan erat sambil menyembunyikan wajahnya di pundakku. Ana menangis dengan begitu keras, melampiaskan semua rasa kesalnya. Dia menangis hingga sesenggukan membuatku haru mengelus punggungnya agar dia merasa tenang. Maafkan aku, maafkan sahabatmu ini Ana.

Aku tak bisa melibatkanmu dalam segala hal. Aku tak ingin melihatmu ikut terluka. Cukup dengan keberadaanmu disisiku itu saja sudah membuat semua luka yang ada sedikit terobati. Aku tak berusaha menjauh darimu, tapi aku memang membangun tembok disekelilingku agar kau tak bisa begitu mendekat padaku. Aku tak ingin menyakitimu seperti aku menyakiti Maria, Azka, Arvita, Papa, Mama, Ramiro, dan wanita itu. Aku tak ingin membuatmu ikut membenciku. Aku hanya ingin menjagamu, itu saja.

Ramiro POV

Aku dan Bagas duduk di kantin menunggu kabar dari Risa. Jujur saja aku sangat penasaran dengan apa ynag sedang mereka bicarakan disana. Tapi Bagas melarangku untuk menguping. Dia sangat menghormati privasi mereka berdua. Bagas hanya berkata jika mereka berdua memang sedang ada masalah yang tak bisa aku ataupun orang lain ikut campuri. Dasar wanita, selalu saja melebih-lebihkan suatu masalah. Para wanita selalu saja memikirkan segalnya menggunakan perasaan sedangkan para pria selalu menggunakan logikanya. Itulah alasan mengapa para pria menyelesaikan masalah lebih cepat dari pada para wanita. Dasar makhluk merepotkan.

"Bagaimana kalian bisa tau Nata disini? Bahkan tak ada yang mengabarimu atau pun Risa."

"Azka, dia yang memberitahuku tadi pagi. Jangan remehkan Azka. Dia akan selalu tau dimana dan bagaimana Nata tanpa harus berada di satu pulau." Hah menggelikan, memangnya dia hantu atau peramal hingga bisa mengetahui segalanya. Sebenarnya seberapa besar kekuasaan Azka hingga dia bisa menaruh beberapa orang kepercayaannya sebagai mata-mata. Aku tau pasti dia tak hanya mengerahkan beberapa orang, pasti puluhan.

"Bagaimana dengan keadaan Nata?"

"Dia hanya kelelahan, itu saja. Mungkin hari ini dia akan istirahat total disini dan besok sudah bisa pulang."

Bagas meletakkan cangkir kopinya kemudian menatapku dengan serius. Ada apa dengannya? Aku merasa seperti bertemu dengan kakak dari kekasihku dan kepergok berkencan tanpa sepengetahuannya. Dia benar-benar menjelma menjadi kakak dari Nata.

"Besok masih Sabtu dan kau pasti masih cuti hingga hari minggu ini bukan?"

"Iya, ada apa?" Tanyaku.

"Ajaklah Nata berlibur. Dia butuh liburan. Lagi pula bukankah seharusnya minggu ini adalah minggu bulan madu kalian? Kenapa kalian tidak pergi liburan?"

Renata POV

Aku sedang bermain dengan laptopku tak menghiraukan Ramiro yang sedari tadi bergerak tidak nyaman. Dia duduk pada sofa kosong disebelahku sambil menonton TV. Dia menoleh padaku tapi saat aku menatapnya dia memalingkan wajahnya dan dia melakukan itu berulang kali. Selain itu, sedari tadi dia berkali-kali mengubah posisi duduknya. Membuatku risih saja.

"Bisakah kau diam, kau mengangguku tau. Apa ada yang mengganggumu atau ada yang ingin kau katakan padaku?"

"Emm, itu.. Emm, Nata.." Ramiro menatapku dengan seksama sambil memperlambat nada bicaranya. Dia terlihat bingung.

"Jangan berbicara dengan nada seperti itu, kau seperti orang idiot. Katakan yang sebenarnya, ada apa?"

"Kau mau pergi berlibur denganku? Kau bisa menentukan tempatnya."

Liburan, ahh betul juga. Sudah lama aku tak berlibur. Lagi pula ada satu tempat yang ingin kukunjungi. Sudah lama aku tak mampir kesana. Selain itu, aku butuh liburan juga. Otakku sudah begitu penuh dengan pikiran-pikiran negatif dan aku harus segera menyucikannya.

"Oke kita akan pergi berlibur dan aku yang akan menentukan tempatnya."

Continue Reading

You'll Also Like

197K 11.9K 20
*Salman Alhamasah* Kakak senior tingkat empat yang paling diminati oleh MABA dan MALA (mahasiswa lama). Galak tapi ganteng. Pintar tapi perfeksionis...
Kylena By Shaal

General Fiction

3.7M 134K 41
[COMPLETED] Bagaimana jika tiba-tiba kau diajak menikah oleh seseorang yang bahkan baru kau kenal? Bagaimana kehidupanmu selanjutnya? Bahagiakah, ata...
1M 149K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
87.2K 3.9K 34
🍒🍒 "Cherry, Kami ingin kau menggantikan kakakmu, mengenakan gaun pengantin dan.." Menikah dengan calon iparmu?!! Apakah itu masuk akal? Tentu saja...