The Number You Are Trying to...

By expellianmus

6.6M 364K 63.4K

Katanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pern... More

Chapter 0: the number you are trying to reach is saying thank you
Chapter 0.5: the number you are trying to reach is unreachable--don't try again
Chapter 1: the number you are trying to reach is a freak
Chapter 2: the number you are trying to reach is curious
Chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language
Chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)
Chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number
Chapter 6: the number you are trying to reach is very weird
Chapter 7: the number you are trying to reach says 'russell' not 'ransel'
Chapter 9: the number you are trying to reach is not hestia
Chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband
Chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money
Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet
Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
Chapter 14: the number you are trying to reach is a liar
Chapter 15: the number you are trying to reach meets mamah ira
Chapter 16: the number you are trying to reach's sister is the goddess of debt
Chapter 17: the number you are trying to reach is a genius level 15
Chapter 18: the number you are trying to reach isn't the only one who curious
Chapter 19: the number you are trying to reach asks for pink roses coin purse
Chapter 20: the number you are trying to reach isn't as good as pempek
Chapter 21: the number you are trying to reach is not reachable-try again!
Chapter 22: the number you are trying to reach is a feiht--not a thief
Chapter 23: the number you are trying to reach receives a purse!
Chapter 24: the number you are trying to reach is adapting
Cover
Chapter 25: the number you are trying to reach's mom finds her way back
Chapter 26: the number you are trying to reach receives pj
Chapter 27: the number you are trying to reach meets someone unexpected
Info dan Kalian Mau Apa?
Penjualan Khusus
Sold Out (Pemesanan Khusus)
Sudah Mulai Beredar
Ayo Ketemu + Ig

Chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor

234K 17.9K 2.7K
By expellianmus

chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor




Hari ini adalah hari Senin, dan ini adalah hari di mana aku resmi menjadi anak kelas satu SMA. Selain itu, aku juga resmi menjadi anak kelas tambahan IPA.

Sebenarnya, aku dengan senang hati melupakan fakta yang terakhir itu. Tapi sayangnya, orang-orang di sekitarku tidak mendukung kesenangan hatiku. Sekarang saja, Rio sudah berdiri di depanku, lengkap dengan Angga, Bagas, dan Putra. Dan merekalah mengingatkanku soal kelas tambahan.

"Nanti jangan kabur dari kelas tambahan, ya," kata Rio sambil nyengir.

Tolong, ini masih pagi. Ayam masih berkokok. Padi baru ditanam. Bel belum berbunyi. Tapi, kenapa Rio sudah berbicara tentang kelas tambahan yang baru diadakan nanti sore?

"Iya," balasku.

"Yang semangat, ya! Gurunya kan asyik," kata Putra.

"Tuh kan, lo mau menjauhkan Aira dari Rio," timpal Bagas kepada Putra.

Bibir Putra langsung maju. "Apaan, dah," gerutunya.

Aku tertawa. "Iya, iya. Gue semangat, deh."

"Tapi jangan terlalu semangat juga," kata Angga. "Nanti lo kepinteran, dan ujung-ujungnya keluar dari kelas tambahan."

"Emang bisa?" tanyaku.

"Bisa, lah. Kelas tambahan kan, buat anak-anak yang nilainya butuh ditingkatkan. Kalau udah bagus, ya keluar aja," jelas Bagas.

Oh, jadi kalau aku menunjukkan semua medali olimpiadeku kepada Arka, mungkin dia akan mengeluarkanku dari kelas tambahan.

Tapi, apa yang akan kukatakan kepada Rio atau Kalila? Mereka tampaknya bersemangat sekali tentang aku yang masuk kelas ini. Walaupun alasannya berbeda, tentu saja. Rio pernah bilang sambil bercanda, bahwa dia jadi bisa sering modus. Kalila bilang, ini bagus karena aku jadi punya lebih banyak teman.

"Emang lo mau keluar?" tanya Putra kepadaku.

"Enggak," jawabku, berusaha tampak semeyakinkan mungkin.

"Bagus, deh. Gue bisa ada alasan buat nganterin lo pulang," kata Rio, bercanda.

Aku tertawa. "Mau tahu alamat rumah gue, ya?"

"Iya, biar bisa dikasih bom cinta," kata Angga dengan ngawur.

Kami tertawa.

"Receh, woy! Geli abis," komentar Bagas.

Aku sebenarnya bisa saja menjelaskan kepada orang-orang ini tentang struktur bom dan apa yang menyebabkan seseorang merasakan cinta. Tapi aku tidak yakin, mereka mau mendengar soal itu. Lagi pula, menertawakan hal-hal tidak jelas seperti ini, tidak terlalu buruk juga.

[.]

Tidak terasa, bel pulang sekolah berbunyi. Ada beberapa hal yang membuatku tidak menyukai bel pulang sekolah--terutama hari ini.

Tapi ini dua alasan yang paling utama:

1. Aku masih ingin mengerjakan soal tentang pangkat yang ada di papan tulis.

2. Sekarang, aku harus masuk kelas tambahan!

Jujur saja, mengulang materi yang sudah kupelajari di rumah, cukup membosankan. Tapi, aku masih bisa bertahan jika hanya harus mengulang materi di kelas biasa. Kalau harus mengulangnya di kelas biasa dan kelas tambahan, benar-benar membuang waktuku--lebih baik waktunya kugunakan untuk belajar bahasa Latin saja, kan?

Tapi mau bagaimana lagi? Mengeluh di dalam hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Jadi, setelah aku merapikan buku-bukuku, aku melangkah menuju kelas yang kemarin dipakai untuk pertemuan pertama. (Itu akan menjadi kelas tambahan IPA selama satu tahun ke depan, omong-omong.)

Di perjalanan, aku sempat melihat Kalila. Dia tampaknya sedang diseret oleh Viara--entah untuk melakukan apa. Kalila sempat menoleh kepadaku lalu mengedipkan mata. Entah apa maksudnya. Aku mengingatkan diri sendiri untuk menanyakannya kepada Kalila nanti.

Aku mendorong pintu kelas tambahan IPA (di depan pintu itu sekarang ada tulisan: KELAS TAMBAHAN IPA), lalu berjalan memasuki kelas. Di dalam belum terlalu ramai--kursi-kursi di barisan pertama dan kedua masih ada yang kosong. Tapi aku memutuskan untuk duduk di barisan ketiga (aku tidak mau berebut kursi dengan salah satu cewek mirip Hera itu. Mereka kan, bisa saja mencakarku dengan gelang dan aku tidak mengenakan gelang sama sekali).

Sambil menunggu kelas dimulai, aku merogoh tas dan mengeluarkan novel Sherlock Holmes yang kubawa. (Membaca novel tidak akan membuatku terlihat tidak biasa-biasa saja, kan?)

Saat aku sedang larut dalam bacaanku, seseorang tiba-tiba berkata, "Halo, Aira."

Aku mendongak dan mendapati Arka berdiri di depanku. Sejak kapan dia ada di situ?

Aku menutup bukuku. "Hai."

"Sherlock Holmes," komentarnya sambil membaca tulisan di sampul bukuku. "Itu baru kamu baca, atau lagi diulang?"

"Lagi diulang," jawabku.

Arka mengangguk-angguk. "Omong-omong, ini yang mau saya bilang. Boleh saya pinjam A Tale of Two Cities kamu? Punya saya hilang. Kayaknya dipinjam temen, tapi sampai sekarang belum dibalikin. Sejak bahas A Tale of Two Cities sama kamu, saya jadi pengin baca lagi," jelasnya.

Aku mengangguk-angguk. "Oke, boleh-boleh aja. Besok saya bawa." Kemudian, aku teringat sesuatu. "Em, Kak--, maksud saya, kamu punya novel Dickens yang lain, enggak?"

Arka mengangguk. "Saya punya Great Expectations, Oliver Twist, A Christmas Carol, sama David Copperfield. Oh ya, A Tale of Two Cities juga sebenarnya masih secara sah punya saya," jawabnya sambil nyengir.

"Boleh saya pinjam Great Expectations?" tanyaku. "Saya udah lama enggak baca itu, dan belakangan ini, saya nyari-nyari itu. Saya dulu waktu baca, pinjam punya Mama saya. Tapi dia enggak terlalu suka, kalau novel-novelnya dipinjam orang lain."

"Oh, boleh, kok," jawab Arka sambil tersenyum. "Besok saya bawa."

Aku balas tersenyum. "Oke."

Arka kemudian berbalik dan berjalan menuju mejanya. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai masuk ke dalam kelas, dan aku sadar, aku masih tersenyum.

Ya ampun. Aku merasa seperti orang bodoh.

[.]

"Sebelum kita belajar ke mana-mana, gue mau ngasih tahu kalian dulu--apa sih, ilmu Kimia itu. Intinya, Kimia itu mempelajari materi. Nah loh, apa itu materi? Pasti udah pada tahu dong, kalau materi itu adalah segala sesuatu yang memiliki massa dan volume--jadi kita, itu juga materi.

"Materi itu tersusun atas partikel-partikel. Dan wujud-wujud materi itu terbentuk dari perbedaan kerapatan antar partikel."

Kelas tambahan hari ini benar-benar membosankan. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah, cara Arka mengajar. Oke, bukannya dia punya metode genius yang bisa membuat murid-murid langsung memahami materi atau apa. Tapi entahlah, ada sesuatu dari cara dia mengajar yang membuatku tertarik untuk terus mendengarkannya.

"Lo tahu besi? Tahu kayu? Apa coba bedanya? Bukan, bukan karena yang satu jadi meja kalian di sekolah, satunya lagi enggak--jangan receh, deh, Angga. Besi itu tersusun atas unsur-unsur besi--Fe. Kalau kayu, itu tersusun atas senyawa selulosa, di mana, si senyawa ini mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen."

Mungkin, karena aku memang tidak pernah mendengar guru mengajar dengan sapaan 'gue-lo' dan dengan pakaian yang sangat santai. Guru di klub olimpiadeku dulu, selalu datang dengan kemeja, dasi, sepatu formal, dan tas kerja. Sapaan yang digunakannya pun 'saya-Anda'.

"Lo tahu kan, kayu dibakar jadi apa? Abu. Ada perubahan materi kan, di situ? Dari kayu jadi abu. Nah, dalam perubahan materi, biasanya disertai dengan adanya perubahan atau aliran energi. Misalnya lo punya mobil, enggak ada bensinnya kan sama aja bohong--mobilnya enggak bisa jalan. Jadi lo ngisi bensin, dan mobil lo bisa jalan. Kenapa? Jadi gini, bensin itu nantinya dibakar--dan ketika dibakar itu, dia direaksikan dengan oksigen. Hasil pembakaran ini menghasilkan energi--yang menyebabkan mobil bisa berjalan."

Selama ini, aku tidak pernah menganggap guru di klub olimpiade itu membosankan, tapi setelah mengikuti kelas Arka, aku heran kenapa aku dulu tidak tertidur di kelas klub olimpiade.

"Jadi ilmu Kimia bisa dibilang, ilmu yang mempelajari materi--meliputi struktur, susunan, sifat, dan perubahan materi--serta energi yang menyertainya."

Tapi sayangnya, yang diajarkan Arka membosankan. Dan apa yang kupelajari di klub olimpiade tidak (walaupun kadang-kadang iya). Jadi yah, setiap kelas punya kekurangan dan kelebihan masing-masing.

"Nah, materi itu memiliki beberapa sifat. Hari ini, gue mau bahas tuntas sifat-sifat itu."

[.]

Dua jam sudah berlalu dan sekarang, aku sudah lebih dari siap untuk pulang. Saat aku melewati meja Arka, aku ingin mengingatkannya soal Great Expectations, tapi sekarang, Arka sedang dikerumuni oleh beberapa gadis yang entah maunya apa. Jadi, aku memutuskan untuk langsung keluar kelas saja. Tapi sebelum aku sempat mengalihkan pandanganku, Arka mengangkat wajahnya dan melihatku. Ia kemudian membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu yang dari gerakan mulutnya terlihat seperti, "Tolong saya!" Kemudian dia tertawa tanpa suara. Aku tertawa lalu berbalik dan berjalan meninggalkan kelas.

"Aira!" sapa Rio yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas, dan kini sedang berdiri di depan pintu.

"Hai," sapaku balik.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Rio.

"Iya. Udah capek," jawabku. Menahan diri untuk tidak berseru bahwa aku sudah sangat ingin pulang dan belajar bahasa Latin. Atau membaca buku tentang aksioma yang dibelikan Hera hari Kamis kemarin. Atau entahlah, mungkin membaca buku mitologi dari Mama yang belum sempat kubaca. Apa saja yang penting pulang, lalu melakukan sesuatu yang berguna.

"Yah, sayang banget. Padahal gue laper, dan temen-temen gue udah pada cabut," kata Rio.

Aku tertawa. "Modus."

Rio tertawa. "Yang barusan itu namanya bukan modus."

Aku mengerutkan kening. "Apa?"

"Kode."

"Kode?" Di dalam kepalaku, langsung muncul deretan angka yang tidak ada hubungannya dengan perkataan Rio barusan.

"Iya," jawab Rio sambil tertawa. "Ah, ntar lo juga tau sendiri. Intinya, gue mau lo nemenin gue makan."

"Makan apaan?"

"Gue pengin bakso, deh," kata Rio.

"Gue pengin pulang," balasku.

Rio tertawa. "Bentar aja. Gue traktir, deh. Abis itu gue anterin pulang. Gimana?"

Aku melirik arlojiku. "Setengah jam gimana?"

"Ya udah."

"Setengah jam dari sekarang, ya?" tanyaku memastikan.

Rio mengerutkan kening. "Hah?"

"Ini mau gue pasang alarm," kataku sambil menunjukkan layar ponselku.

Rio melongo. Setelah beberapa saat, akhirnya Rio bereaksi. Dia mengangkat tangan kanannya, seperti Superman yang hendak terbang, kemudian berkata, "Ya udah, deh. Ayo buruan. Takis bakso!"

Aku tertawa, walaupun tidak mengerti apa itu 'takis'.

[.]

"Lo kelaperan, Ra?" tanya Rio sambil mengamati mangkukku yang isinya hanya tinggal kuah.

Aku mengangkat bahu. "Biasa aja, ah."

"Tapi abis cepet banget," komentar Rio. "Kane, ya?"

"Kane?" ulangku.

"Dibalik coba," kata Rio sambil tertawa.

"Enak?" tanyaku. "Oh, kayak kuy gitu, ya?"

Rio mengangguk. "Bahasa sekarang banyak yang dibalik-balik gitu. Kalau lo nemu kata-kata aneh, coba dibalik dulu."

Aku mengingat-ingat kata-kata aneh yang pernah diucapkan Rio. "Oh, takis itu sikat, ya? Terus kode itu... edok? Hah? Apaan, tuh?"

Rio tertawa. "Ya, enggak semuanya kayak gitu juga."

Aku teringat modus yang sama dengan PDKT, dan cabut yang sama dengan pergi. Oke, memang tidak semuanya dibalik.

Tiba-tiba, alarm ponselku berbunyi. Aku mematikan alarm itu kemudian menatap Rio. "Pulang, kuy."

Rio nyaris tersedak bakso yang dia makan. Setelah puas tertawa, dia berkata, "Bakso gue belum abis, Ra."

"Satu lagi, tuh," kataku sambil mengintip ke dalam mangkuknya.

"Lama-lamain, ah," kata Rio.

"Enak aja."

"Kane, dong."

Aku tertawa. "Buruan yuk, pulang. Ada yang harus gue kerjain di rumah."

Rio mendengus. "Gue lagi males pulang."

"Kenapa?" tanyaku. Menurutku, rumah adalah tempat ternyaman di mana kita bisa melakukan apa saja tanpa ada gangguan.

"Komputer gue lagi disita sama bokap. Gabut parah," jawab Rio.

Aku nyaris saja mengusulkan Rio untuk belajar--untung saja, aku sempat berpikir dua kali.

"Kenapa disita?" Nah, ini lebih baik untuk didengar oleh Rio.

Rio mengangkat bahunya. "Biar gue bisa belajar kali. Enggak tahu, lah. Biasa orang tua."

Rio mengatakannya seolah-olah yang dilakukan orang tuanya itu wajar. Oke, mungkin wajar bagi orang lain, tapi bagiku tidak. Mama tidak pernah menyita apa-apa dariku, apalagi untuk urusan belajar.

"Eh, tapi sekarang gue udah tahu mau ngapain nanti di rumah," kata Rio tiba-tiba.

"Ngapain?" tanyaku.

"Lo mau diajarin bahasa gaul, enggak?" tanyanya sambil nyengir.[]

1 Juni 2016

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.2M 71.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.7M 36.3K 83
Kumpulan puisi yang ia tulis dalam kegembiraan, kesedihan, kebimbangan, dan semua itu dibungkus dalam kemabukan kopi--kalau sekiranya dompetnya mendu...
68.3K 8.9K 22
[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha su...
56.7K 8.2K 46
Hanya dengan segelas latte dan seorang pria dan seorang wanita. August 2017 © by Yanti Nura,