The Number You Are Trying to...

By expellianmus

6.6M 364K 63.4K

Katanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pern... More

Chapter 0: the number you are trying to reach is saying thank you
Chapter 0.5: the number you are trying to reach is unreachable--don't try again
Chapter 1: the number you are trying to reach is a freak
Chapter 2: the number you are trying to reach is curious
Chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language
Chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)
Chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number
Chapter 6: the number you are trying to reach is very weird
Chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor
Chapter 9: the number you are trying to reach is not hestia
Chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband
Chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money
Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet
Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
Chapter 14: the number you are trying to reach is a liar
Chapter 15: the number you are trying to reach meets mamah ira
Chapter 16: the number you are trying to reach's sister is the goddess of debt
Chapter 17: the number you are trying to reach is a genius level 15
Chapter 18: the number you are trying to reach isn't the only one who curious
Chapter 19: the number you are trying to reach asks for pink roses coin purse
Chapter 20: the number you are trying to reach isn't as good as pempek
Chapter 21: the number you are trying to reach is not reachable-try again!
Chapter 22: the number you are trying to reach is a feiht--not a thief
Chapter 23: the number you are trying to reach receives a purse!
Chapter 24: the number you are trying to reach is adapting
Cover
Chapter 25: the number you are trying to reach's mom finds her way back
Chapter 26: the number you are trying to reach receives pj
Chapter 27: the number you are trying to reach meets someone unexpected
Info dan Kalian Mau Apa?
Penjualan Khusus
Sold Out (Pemesanan Khusus)
Sudah Mulai Beredar
Ayo Ketemu + Ig

Chapter 7: the number you are trying to reach says 'russell' not 'ransel'

242K 19.1K 2.7K
By expellianmus

chapter 7: the number you are trying to reach says 'russell' not 'ransel'





Hari ini adalah hari terakhir MOS, dan menurut Kalila, hari ini adalah hari di mana anak OSIS bersikap sok judes--dan memang benar.

Tadi, sewaktu aku baru sampai sekolah, aku menginjak keset yang ada di depan koperasi. Tiba-tiba, salah satu anak OSIS datang dan meneriakiku. "WOY! Punya mata enggak lo? Ini keset apa enggak kasihan lo injek-injek? Punya hati enggak, sih?!"

"Oh, maaf. Keset kan, enggak boleh diinjek, ya?" balasku.

Anak OSIS itu mencibir kemudian berlalu pergi.

Kalila juga baru saja selesai mengoceh soal bagaimana dia diteriaki oleh salah satu anak OSIS cuma gara-gara dia menginjak jejak kaki si anak OSIS.

Aku masih tertawa gara-gara cerita itu, ketika Kalila tiba-tiba bertanya, "Ra, sore ini, lo enggak ada acara apa-apa, kan?"

"Enggak."

"Ke rumah gue, kuy," kata Kalila.

"Apa kata lo? Kuy?" ulangku sambil mengerutkan kening. "Kuykuyruyuk?"

Kalila memasang wajah datar. "Haha."

Aku tertawa. "Kuykuy gue panjang, belum dipotong."

"Enggak lucu, woy. Receh!" seru Kalila, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat. "Kuy itu yuk. Dibalik."

"Aneh."

"Jadi, lo mau ke rumah gue, enggak?" tanya Kalila, mengembalikan topik semula.

"Buat apa?" tanyaku.

"Nyokap masak banyak buat makan malam. Dan Viara mau dateng. Daripada gue mati kebosenan, gue ajak lo aja. Lagian, lo emang enggak mau lihat nasib rambutnya Viara? Gue belum lihat rambutnya sejak di salon kemarin--gue enggak mau ketawa-ketawa sendiri nanti."

Aku memikirkan tawaran itu. Mama biasanya pulang malam, jadi dia tidak perlu tahu aku main ke rumah teman untuk melihat rambut orang, bukannya belajar.

"Oke," kataku. "Tapi gue enggak bisa ikut makan malam. Soalnya Mama biasanya udah masak di rumah."

"Oke. Enggak apa-apa."

[.]

Rambut Viara ternyata normal-normal saja. Maksudnya, aku tahu, semua bahan yang dicampurkan Kalila itu bisa dibersihkan, tapi kan, siapa tahu saja, Viara syok berat, lalu memutuskan untuk memotong rambutnya secara ekstrem.

Tapi, raut wajah Viara ketika melihat Kalila... oke, mungkin dia pikir rautnya itu menyeramkan. Tapi bagiku dan Kalila, dia seperti ingin buang air besar.

Untungnya, dia segera menghampiri Reza--meninggalkanku dan Kalila di ruang tamu. (Kami sedang tertawa dengan puas sekarang.)

Tapi tidak lama kemudian, Tante Anisa--ibunya Kalila--menghampiri kami, lalu memintaku dan Kalila untuk bergabung di ruang keluarga. Jadi, beberapa saat kemudian, aku duduk di salah satu kursi di antara orang-orang yang baru kukenal.

Satu-satunya orang yang kukenal agak lama di sini adalah Kalila. Tapi dia pun, baru kukenal selama dua hari.

Kalau Mama tahu soal ini, dia pasti langsung mengajakku ke rumah sakit untuk tes DNA.

"Reza, gimana perkembangan klub futsal kamu?" tanya Om Taufik--ayahnya Kalila--kepada Reza.

Reza mengangguk-angguk sambil memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. "Baik-baik aja."

"Klub IPA?" tanya Tante Anisa.

"Baik banget, Tante!" sahut Viara tanpa diminta.

Tante Anisa tersenyum. "Kamu juga masuk klub IPA?"

Viara mengangguk-angguk. "Iya. Asyik banget, Tante! Reza juga juara satu terus di klub itu. Keren, deh."

Kalila menyikutku, kemudian berbisik, "Cuma ada dua kemungkinan. Kalau enggak bohong, ya berarti mereka nyogok di klub itu."

"Aira, kalau kamu gimana, Nak?" tanya Om Taufik kepadaku.

"Gimana apanya, Om?" tanyaku sambil tersenyum canggung.

"Kamu pernah ikut olimpiade?" tanya Tante Anisa.

Ya. Aku ikut olimpiade, sudah sesering Hera pergi ke mal. Dan aku menang olimpiade, sudah sesering Hera membeli tas di mal. Sebenarnya, aku tidak pernah berniat untuk ikut olimpiade sebanyak itu (maksudku, soalnya kan, begitu-begitu saja). Tapi Mama suka tiba-tiba mendaftarkanku dan aku tidak punya pilihan lain selain ikut.

Oke, masalahnya aku tidak mungkin menjawab aku pernah ikut olimpiade di sini. Di depan Kalila. Dia kan, tahunya aku masuk kelas tambahan untuk anak-anak yang nilainya jelek.

Jadi aku berkata, "Belum, Om."

Om Taufik tampak sedikit terkejut. "Oh ya? Padahal Om kayaknya pernah lihat anak yang seinget Om sih, namanya Aira. Dia waktu itu menang olimpiade empat mata pelajaran berturut-turut. Orangnya mirip kamu gitu. Tapi udah agak lama, sih. Mungkin Om udah lupa."

Oke, sial. Itu benar aku yang Om Taufik maksud.

"Mungkin, Om," kataku sambil tersenyum, berharap semoga aku tidak tampak mencurigakan.

"Kalau kamu gimana, Kalila?" tanya Tante Anisa. "Udah ada kemajuan di klub basket yang di dekat rumah itu?"

"Dia kan udah enggak pernah dateng," kata Viara.

Kalila segera menoleh kepada Viara. Aku tidak bisa melihat raut wajah Kalila dari sini, tapi aku yakin, wajahnya pasti lebih menyeramkan dari wajah menahan-buang-air-besar-nya Viara tadi.

Om Taufik menoleh kepada Kalila. "Bener?" tanyanya.

"Hmm," gumam Kalila.

Tante Anisa menyipitkan mata. "Kamu masih suka gambar? Kamu tahu kan, apa pendapat kami tentang itu?"

"Enggak berguna," balas Kalila dengan datar.

Aku tertegun. Kalila suka menggambar?

Aku menunggu sampai orangtua Kalila menyangkal ucapan Kalila barusan, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik mengobrol dengan Reza tentang klub golfnya.

[.]

Hari ini tidak ada sekolah. MOS sudah selesai dan aku tinggal menunggu datangnya hari Senin. Tadinya, aku ingin menghabiskan hari liburku dengan memperdalam pengetahuanku tentang Paradoks Russell. Tapi tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku mengangkat benda itu dan mengecek pesan yang masuk.

Hera: Aira, temenin gue yuk. Gue mau nyari tas buat tahun ajaran baru.

Ini bukan hal aneh. Hera memang kadang-kadang memintaku untuk menemaninya berbelanja--yang selalu kutolak, tentu saja.

Aira: Enggak, makasih, ya.

Hera: Sekali ajaaa. Plisss :))

Aira: Enggak, Hera. Gue mau belajar tentang Paradoks Russell

Hera: Nah, iya, gue nyari tas ransel!

Aku mendengus. Untungnya, Hera mengerti aku tidak terlalu paham bahasa-bahasa aneh yang digunakan anak-anak sekarang. Jadi, dia tidak pernah mengirimiku pesan dengan 'gw', 'cpk', 'cpt', dan sebagainya.

Sebelum aku sempat membalas, pesan lain masuk.

Hera: Yayayaya? Gue traktir lo beli buku deh!

Tawarannya itu berhasil membuatku mempertimbangkan ajakannya. Akhirnya aku menjawab:

Aira: ya udah

Hera: yipi :))!

[.]

Entah karena apa, begitu kami sampai di mal, Hera langsung berjalan menuju toko buku. Waktu aku bertanya apa maksudnya, dia menjawab, "Beli buku buat lo dulu aja."

Aneh. Tapi, buat apa juga aku mengeluh?

Akhirnya, aku membeli buku tentang aksioma dan sejarahnya. Setelah itu, baru kami menuju toko yang menjual tas.

Seperti yang sudah kuduga, Hera tidak benar-benar ingin mencari tas ransel. Walaupun dia bilang dia mencari tas untuk tahun ajaran baru, tetap saja yang dicarinya tas untuk jalan-jalan.

Setelah berkeliling selama beberapa saat (yang terasa seperti selamanya. Aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menemani Hera berbelanja. Tidak. Akan. Pernah), Hera akhirnya berhenti di depan sebuah rak (yang seingatku sudah dilewatinya ratusan kali).

Dia mengambil sebuah tas, melihat dan menilainya, kemudian tersenyum puas. "Gue beli yang ini," katanya.

Aku menahan diri untuk tidak menghela napas keras-keras. "Udah?" tanyaku. Semoga saja sudah. Dari cerita-cerita Hera, aku tahu, dia tidak bisa berbelanja hanya satu barang saja.

Hera memindai rak di depannya, kemudian mengambil satu tas lain. "Apa sama yang ini, ya?"

"Ya udah, dua-duanya aja," usulku, agar kami cepat keluar dari toko ini.

"Oke!" seru Hera bersemangat. Ia kemudian berjalan menuju kasir. Tapi setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti.

"Kenapa?" tanyaku.

Hera tampak bimbang. "Kayaknya, gue beli satu aja."

Aku menatapnya tidak percaya. "Kenapa? Udah dua aja, kalau satu, nanti lo lam--maksud gue, nanti lo bingung milihnya."

Hera tampak sedang dilanda dilema hebat. Tapi akhirnya, dia meletakkan tas yang kedua dan lalu berjalan menuju kasir. Sambil mengantre, dia bilang, "Gue rasa, enggak ada gunanya beli dua tas sekaligus. Iya, kan? Emangnya gue mau bawa dua-duanya?"

Selama sisa hari itu, Hera tidak mengatakan apa-apa lagi soal tas.

Malahan, dalam perjalanan pulang, Hera bertanya, "Aira, tadi waktu gue ngajak lo jalan, lo lagi belajar apa? Ransel?"

Aku mendengus. "Paradoks Russell."

"Itu apaan?" tanya Hera setelah terdiam selama beberapa saat.

Aku mengerutkan kening. "Lo serius mau tahu?" tanyaku.

Hera mengangkat bahunya, lalu tertawa kecil. "Yah, gue penasaran aja apa yang lo pelajari. Lagian, gue paling enggak ngerti juga."

"Lo pasti ngerti, kok--yah seenggaknya, lo pasti ngerti dasarnya," kataku. "Mama ngajarin gue tentang pengertian Paradoks Russell pas gue kelas empat."

"Oke, jadi gimana?"

"Paradoks Russell itu adalah paradoks yang membuktikan adanya kontradiksi dalam himpunan. Cerita paling terkenal untuk menjelaskan Paradoks Russell adalah cerita tentang tukang cukur.

"Singkatnya gini, di satu kota, cuma ada satu tukang cukur. Orang-orang di kota itu, kalau tidak dicukur rambutnya oleh si tukang cukur, pasti mencukur rambutnya sendiri. Nah, tapi, si tukang cukur hanya mencukur orang yang tidak mencukur rambutnya sendiri. Pertanyaannya, apakah si tukang cukur mencukur rambutnya sendiri?

"Misalkan si tukang cukur mencukur rambutnya sendiri, terjadi kontradiksi terhadap pernyataan bahwa si tukang cukur hanya mencukur orang yang tidak mencukur rambut sendiri.

"Tapi, kalau si tukang cukur tidak mencukur rambutnya sendiri, terjadi kontradiksi juga terhadap pernyataan bahwa si tukang cukur mencukur rambut semua orang yang tidak mencukur rambut sendiri," jelasku.

Hera terdiam selama beberapa saat, kemudian berkata, "Kenapa si tukang cukur enggak ke kota lain aja buat dicukur rambutnya? Lagian ribet amat, mau cukur rambut aja sampai ada paradoksnya."

Anehnya, aku tertawa.

[.]

Hera pernah berkata ada hal-hal yang tidak bisa dipelajari dari buku-buku teks. Waktu itu, aku mengira dia berbohong. Sekarang, yah, bukannya aku percaya seratus persen kepada ucapannya waktu itu, tapi setidaknya, aku tahu dia tidak sepenuhnya salah.

Malam ini, sambil merangkak naik ke atas tempat tidur dan menutupi diriku dengan selimut, aku teringat perlakuan orangtua Kalila kepada Kalila yang kusaksikan beberapa hari yang lalu. Kalau aku melihat Kalila sebagai diriku versi SMP, aku mungkin hanya berpikir Kalila adalah it girl. Titik. Aku tidak mau repot-repot memikirkan apa dia punya kelebihan atau masalah atau apa pun. Aku tidak mau mengenalnya lebih dekat.

Begitu juga dengan Hera. Kupikir dia cuma cewek yang doyan belanja. Tapi tadi, Hera menahan dirinya sendiri. Aku tidak yakin apa yang membuatnya berpikir lebih bijak seperti tadi, tapi apa pun itu, itu jelas bukan sesuatu yang buruk. Dan selain itu, aneh juga dia tiba-tiba ingin tahu soal apa yang kupelajari. Selama ini, aku cuma melihat sisi yang aku mau lihat dari Hera. Padahal, banyak yang aku tidak tahu dari Hera.

Memikirkan semua ini tiba-tiba membuatku merasa bodoh. Selama ini, aku mendapat nilai-nilai yang bagus di sekolah. Memenangi berbagai macam lomba. Mendiskusikan bacaan-bacaan berat dengan orang dewasa. Tapi, dalam kehidupan sosial, aku cuma mau melihat orang dari satu sisi. Sisi yang mau kulihat.

Aku pikir, dengan membaca semua buku, aku tahu watak dan kehidupan orang-orang. Ternyata, tidak juga. Manusia, aku sadar, lebih rumit dari paradoks.[]


a.n
halo semua, iya aku update cepet, mana tepuk tangannyaa?

tadinya aku enggak mau update hari ini. tapi kemudian, aku merasa perlu memberi hadiah untuk shiningdiamond_ yang hari ini ulang tahun yay yay yay!

jadii, kalau kalian mau berterima kasih, berterima kasihlah kepada ibunya Ai (namanya itu) yang udah ngelahirin dia di tanggal 28 Mei, sekian tahun yang lalu.

28 Mei 2016

Continue Reading

You'll Also Like

140K 25.2K 37
"Lo Anya temen sebangku gua, ya?" "Menurut lo aja. Emang ada berapa Anya di kelas?" ©2018 | cover by @worteloren
1.5M 170K 33
Mika putus dari sahabat Luna. Luna putus dari sahabat Mika. Satu keinginan Mika: melupakan Ana. Satu keinginan Luna: melupakan Juna. Namun di Bulan D...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...