serial kho ping ho

By monster_bodoh

121K 354 17

More

PendekarKelana12 (cerita silat) kho pingho
PendekarSadis (evisode 2) cerita silat
dewi maut (evisode 1)
Dewi Maut (evisode 2)
PendekarBodoh
PendekarRemaja

pendekar sadis (episode 1) cerita silat

29.8K 62 2
By monster_bodoh

Serial Pedang Kayu Harum (5)-Episode 1

Pendekar Sadis

PAGI yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi.

Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan den kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.

Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu!

Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa diri!

Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan.

Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya.

Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw.

Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis.

Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu.

Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar. Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak.

Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, "...mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..." dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu.

"Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini...." Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali.

"Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?"

Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan Ciauw Si dan mengangguk-angguk. "Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan..."

Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.

Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan senyum saja.

Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk.

"Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan..."

"Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa..." Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah.

"Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur, di meja itu..."

Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?" Dia menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat.

Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun. "Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang."

Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah dan obat-obatan.

"Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?" dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.

"Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya."

"Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih..." Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya timbul kembali. "Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya..."

"Apamukah dia itu?"

"Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..."

"Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara."

Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali.

Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini, melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak.

Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si den mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur den minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja den ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang den dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.

Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun den akar obat. Ciauw Si menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.

"Engkau sudah makan?"

Ciauw Si mengangguk. "Terima kasih Locianpwe."

Ketika Kakek itu memasuki pondok den melihat pondoknya bersih den rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw, "Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya..."

"Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe..."

Kakek itu memandangnya dengan heran. "Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?"

"Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya..."

"Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!"

"Mengapa, Locianpwe?"

Kakek itu menarik napas panjang. "Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh."

"Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe," kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.

"Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai sedemikian rupa?"

Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.

"Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai..."

"Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu."

"Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata.

Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar. "Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu."

Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.

Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?

Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.

Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan" bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK!

Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.

Dan apakah artinya semua "kemajuan" lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua "kemajuan" yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju"? Betapa menyedihkan!

Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.

Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar.

Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari.

Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa.

"Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe," katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.

"Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?"

"Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?" kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata, "Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini."

Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, "Ah, tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?"

"Ah, jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya. "Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya."

Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, "Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera..."

Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera?

"Tapi... tapi..." katanya ragu."

"Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi..." Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.

"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Ciauw Si khawatir.

"Inilah kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga."

"Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?" Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.

"Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu ditang melalui keluarga. Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga."

Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.

Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu.

Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.

Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.

 

Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai!

Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas den harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.

Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat den sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan den bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.

"Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini?" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.

"Benar, dugaanmu, sahabat kecil."

"Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu.

"Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini."

"Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan makanan."

"Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng," Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.

"Anak baik... Anak baik..." Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu.

Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat berkata, "Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!"

Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. "Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang hwesio minta sumbangan."

"Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!" Dia memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya.

Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.

"Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?" Ciauw Si termangu-mangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang.

Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.

"Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?"

"Seng-koko...!" Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil sesenggukan. "Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?" Ciauw Si menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang.

"Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah..." kata hwesio itu yang kemudian berdoa. "Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu...?"

Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya.

"Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?" anak itu sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa.

"Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku..."

"Ceng...?" Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran. karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini.

Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio! Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!

Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw!

Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.

Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka.

Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. "Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko."

Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.

"Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng?"

Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini tidak lagi membekas. "Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini." jawabnya lembut.

"Ahhh...!" Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. "Dan... sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?"

"Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian, permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia."

Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. "Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh daripada segala macam kekerasan dan permusuhan."

Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. "Anak baik... anakmu ini baik sekali..." dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio!

"Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi..."

"Ceng Han Houw adalah suamiku, koko." jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu.

"Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga." Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun.

"Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini."

Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!

"Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana adanya suamimu?"

"Dia sedang mencangkul di sawah tadi." kata Ciauw Si.

Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.

"Itu ayah pulang...!" Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul.

"Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?" Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran.

Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi hormat. "Selamat bertemu, Pangeran," katanya hormat.

"Eh, siapakah... suhu...?" Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio itu.

"Dia ini adalah kakakku Lie Seng," Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini setelah keharuan mereda, cepat memperkenalkan.

"Lie Seng...?" Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. "Pendekar Cin-ling-pai itu...?"

"Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong San Hwesio sambil menjura.

Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya. "Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!"

Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.

"Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?" tanya Han Houw bingung.

"Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako."

"Bolehkah itu, Lie-toako?" tanya Han Houw.

Hong San Hwesio tersenyum. "Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako."

Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali.

Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan. "Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!" kata Ciauw Si dengan suara menuntut.

"Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri." kata Han Houw.

"Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku." Hong San Hwesio menolak halus.

Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya.

"Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya.

"Sun Eng siapa...?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio.

Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang. "Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati."

Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya!

"Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya.

Dengan suara terharu Ciauw Si berkata. "Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita..."

Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap yang jujur dan suara gemetar, "Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa dirimu..."

Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud, kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!"

PELARIAN dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini!

Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun.

***

Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya.

"Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?"

Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya.

"Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan hidup menyendiri di sini?"

Han Houw menarik napas panjang, "Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemi dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya."

Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi... mendiang Yok-sian..."

"Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?"

Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara!

Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri. Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia.

Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya.

Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja.

"Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata, "karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu."

Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi.

Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya.

Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw. Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu. Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu!

Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun. Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian.

Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya, "Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?"

Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.

"Kami memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata Juling.

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah, "Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah.

Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Juga ayah bundanya tidak pernah merasa keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai "Ceng-siauwya" atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja.

"Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co." katanya sambil menyerahkan panci kecil.

"Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam." kata pemilik warung sambil tersenyum ramah.

Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya, "Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu."

Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi.

"Hemm, bertanya tentang apakah?" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguk pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.

"Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"

Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak?

"A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di mana rumah pangeran pemberontak itu?" kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi.

A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran. "Apakah ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!"

Tiba-tiba Si Mata Juling, yang kelihatan lemah lembut itu, menggebrak meja.

"Krakk!" Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling.

"Kau berani mengatakan kami gila? Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan sepert ujung meja itu?" Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.

"Maaf... maafkan saya..." katanya gugup.

"Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!" Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri.

"Plak! Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. "Hayo katakan!"

Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu.

"Dukk!" Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam!

"Eh, bocah setan, siapa kau?" bentaknya.

"Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa?"

Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus, kulit mukanya halus seperti kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sin-kang!

Siapakah dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa.

Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang mereka hendak selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget.

SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain.

"Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!" kata Si Tinggi Besar muka hitam. "Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?"

"Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?"

Dua orang itu girang bukan main. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!" Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah banyak.

Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian, Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi marah. "Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!" Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.

"Plakk!" Lengan tangan Thian Sin yang kecil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin menggunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini dan Si Tinggi Besar berteriak kaget, tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat di sambungan siku bawah dan tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!

"Bocah setan!" Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main dan sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu telah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Namun anak itu sukar sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran. Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.

Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah dengan cukup sempurna untuk orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan kini dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!

"He-he-heh, kau hendak lagi ke mana, anak pemberontak?" Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. "Hayo ajak kami ke rumah orang tuamu!"

Biarpun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, "Aku tidak sudi!"

"Eh, bocah setan! Apa kau sudah bosan hidup?" Si Mata Juling mengancam dan memperkuat cengkeramannya.

"Siapa takut mampus?" Thian Sin juga membentak.

Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di depan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, "Harap ji-wi tidak mengganggu dia... kalau ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar..."

"Paman A-coan!" Thian Sin membentak, akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman.

"Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!" Dan dia mengerahkan sedikit tenaga, membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.

"Baik... baik... tidak bohong... tidak bohong..."

Dua orang kakek itu lalu keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, sedangkan Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, seperti orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lalu mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi ada pula yang mencegah niat ini melihat betapa pemilik warung dan anak itu sudah berada dalam kekuasaan dua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata marah, karena tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.

Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini tiba di pekarangan rumah Han Houw, nampak seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan dicengkeram pundaknya. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah kepada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan, "Inikah rumah pangeran pemberontak itu?"

"Saya... saya tidak tahu pangeran mana... tapi inilah rumah orang tua anak itu..." A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar sehingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lalu tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang kini berdiri nonton di luar pekarangan.

Tiba-tiba nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya!

Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia menggunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat betapa tangan kanan kakek itu tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.

"Dukkk!" Sepatu kecil itu dengan tepatnya menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.

"Auhhh...!" Si Mata Juling terkejut, cengkeramannya terlepas dan Thian Sin sudah meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan.

"Ngekk!" Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.

"Aduhhh...!" Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.

Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.

"Sratt! sratt!" Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda.

"Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!" Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu.

Ciauw Si terkejut. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat, pikirnya, sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang. "Kau mundurlah," bisiknya dan kini dia menghadapi dua orang kakek itut memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.

"Siapakah kalian? Dan apa keperluan kalian datang ke sini?" dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu.

Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagaimanapun juga, mereka masih terlalu memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di depan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Sebaliknya mereka malah mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan! Para penghuni dusun tentu saja memandang dengan muka pucat. Biarpun mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukan orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat "terbang" seperti burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang!

Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan mudahnya mengelak dari sambaran dua batang golok yang merupakan dua gulung sinar putih itu. Ke manapun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlampau gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat daripada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar dan juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in-kun-hoat yang delapan jurus, Thai-kek-sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan telah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan dua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya, setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak kelihatan oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok di tangan itu terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang!

"Isteriku, jangan bunuh orang...!"

Tiba-tiba terdengar suara mencegah dan Ciauw Si yang sudah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin telah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang dua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.

"Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit kesalahpahaman."

Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka setelah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.

Setelah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apalagi kini suaminya telah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik dan fihak atasan telah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!

"Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?"

Dua orang itu sudah mati kutunya dan tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar. "Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan... apakah... apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw...?"

"Hemm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?" tanya Han Houw sambil memandang tajam.

"Ampun... ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini... dan... ah, hamba berdua telah lancang karena tidak mengira bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar... mohon ampun..."

Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng menyelidikinya? Dia mengerutkan alisnya. "Mengapa kalian disuruh menyelidiki?"

"Hamba... hamba tidak tahu... hanya ada utusan dari kota raja yang memerintah kami berdua untuk menyelidiki..."

Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.

"Pergilah kalian!" katanya dan dua kali kakinya bergerak, tubuh dua orang itu telah terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka cepat bangkit dan merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul!

Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. "Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!"

Han Houw memegang lengan puteranya dan ditariknya masuk ke dalam rumah. "Thian Sin, ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sesungguhnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami hidup menderita dahulu, dan engkau, ingat baik-baik, jangan sekali-kali menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?" Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk.

Pada malam hari itu, setelah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap tentang peristiwa itu, "Aku khawatir akan terulang peristiwa belasan tahun yang lalu," kata Ciauw Si sambil menarik napas panjang. "Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?"

Ceng Han Houw mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian."

"Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita."

Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, ketika mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya.

Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tidur nyenak, dan dia duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, di arah ruangan depan seperti ada orang bertempur, dia lalu cepat membangunkan puteranya.

Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benarg sepasang matanya menatap wajah ibunya dan telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.

"Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?"

"Sstt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini." Ciauw Si lalu menggandeng tangan puteranya dan mereka lari keluar.

Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu.

Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada yang menyembunyikan ekornya. Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak memperoleh obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ.

Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw mencabut pedang dan dengan beherapa kali gerakan pedangnya, enam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biarpun Han Houw telah kehilangan sebagian besar tenaga sin-kangnya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apalagi dia memegang sebatang pedang.

"Wirrr...! Siuuuuuttt...!" Han Houw memutar pedangnya. "Tringg! Tringg...!"

Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang di ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut dan berkata lantang, "Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!"

Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dahulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar. Perkumpulan ini dahulunya didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam.

Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu seorang murid Jeng-hwa Sian-jin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apalagi ketika ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw.

Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan munculnya seorang tosu bernama Tok-siang Sian-jin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.

Kini, melihat munculnya orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.

Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras dan dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu sudah mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.

Han Houw terkejut juga menyaksikan ketangkasan dan kerapian gerakan mereka yang begitu teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.

"Siapa kalian?" dia membentak.

Seorang di antara mereka yang berada di depannya, menjawab dari balik perisainya, "Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!" Setelah berkata demikian, tujuh orang itu lalu bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul.

Melihat ini, Han Houw menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, dan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang telah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang telah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung? Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik kalau dia berada di tempat yang sempit, maka dia lalu menerjang ke kiri dengan maksud membobolkan kepungan itu dan dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saia tujuh buah perisai membentuk benteng baja dan tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat!

Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.

"Keparat, kalian datang mengantar nyawa!" bentak Ciauw Si dan dia pun menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu.

Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, Han Houw menjadi tenang hatinya dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!

Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin itu.

Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali.

"Crokkk... aughhh...!" Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!

"Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?" bentak Ciauw Si.

Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri!

"Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!" kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.

"Apa? Pamanmu sendiri?" Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.

"Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!" katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.

"Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar," kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.

"Maksudmu?" Ciauw Si bertanya.

"Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka."

"Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik."

"Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku."

"Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!" kata Ciauw Si. "Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar."

"Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!" kata Han Houw dengan marah.

"Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian..."

Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.

"Aku pun tidak takut!" kata anak itu.

Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. "Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin."

"Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana...?" Han Houw berkata dan suaranya terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempunyai siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya.

"Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?" tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.

"Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!"

"Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana," kata Ciauw Si.

"Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!" Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.

"Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!" bentak Han Houw.

"Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?" Thian Sin merengek.

Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus, "Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?"

"Siapa yang akan mati? Kita tidak akan mudah mati begitu saja!" Han Houw berkata keras. "Pendeknya, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini."

Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis.

Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam. "Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya."

"Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?"

Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. "Tidak!" Akan tetapi dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan pucat. "Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini."

Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.

"Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku."

"Tidak!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. "Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian? Ah, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?"

Han Houw cepat memeluknya. "Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup terus... demi anak kita..."

Ciauw Si balas merangkul. "Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya."

Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.

Pasukan berbuda itu datang dari sebelah timur, memasuki pintu gerbang berbondong-bondong dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.

Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar dari Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja. Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali akan tetapi leher dan kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suhengnya.

Hwa-i Kai-pang dahulunya adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik daripada Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi dapat dipergunakan.

Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam terkejut sungguhpun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah sekali melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.

Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dari pintu gerbang sebelah barat nampak debu mengepul disusul masuknya puluhan orang perajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang perajurit itu merupakan perajurit-perajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, dan dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Kini semakin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat.

"Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?" Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang. Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng maupun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini! Menurut kabar, satu-satunya orang yang mampu mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Maka, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apalagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.

AKAN tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, juga Tok-ciang Sian-jin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, kini melangkah maju dengan sikap mengancam.

"Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!" kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.

"Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kaubayar, sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!" Kata Tok-ciang Sian-jin sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar. Cambuk itu terbuat dari baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang amat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini apalagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang amat keji. Memang, Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.

Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. "Hemm, kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang ada kepandaian dan berani, kalian majulah!"

Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi marah dan dia mengeluarkan teriakan nyaring Lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu mematuk ke arah ke dua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!

Namun, biarpun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sin-kangnya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal inipun sudah diduga oleh Han Houw, maka diapun sudah mencabut pedangnya dan menangkis.

"Tringgg...!" Terdengar suara nyaring ketika pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggauta pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kang-kiam dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu dan sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu mainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang menjadi andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagah Ciauw Si lalu menghadapi mereka dan mainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang amat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.

Seperti namanya, Siang-bhok Kiam (Pedang Kayu Harum) sebetulnya merupakan ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw. Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, biarpun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut dan seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang meeka lalu maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok. Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dan pertempuran yang sesungguhnya berat sebelah, akan tetapi juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk seperti sepasang naga sakti. Ke manapun pedang mereka berkelebat, robohlah seorang pengeroyok dan sebentar saja pekarangan di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan. Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu dan sepasang suami isteri itu sendiripun tidak ter1uput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih dapat bertahan terus dan hanya menderita luka-luka ringan saja.

Andaikata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sin-kangnya, kiranya kalau hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, dia dan isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sin-kangnya sudah banyak hilang ketika dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang amat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Biarpun ilmu silatnya masih lihai, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya lemah hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.

Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang amat tinggi ilmunya, bahkan dibanding dengan Ciauw Si dia masih menang setingkat! Biarpun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja! Kini, biarpun dia dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biarpun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini!

Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas daripada suaminya. Dia sudah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Ketika dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si mengeluh.

"Suamiku, jangan kautinggalkan aku...!" dia berseru lirih dan seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, sungguhpun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir.

"Ciauw Si... isteriku..." Han Houw merintih ketika pundaknya untuk kesekian kalinya tertusuk tombak lawan, dia membabat dan seorang perajurit yang menusuknya itu roboh.

"Pangeran... suamiku..." Ciauw Si juga merintih dan kembali pahanya kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya. Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia membalik dan robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi.

"Si-moi...!" Han Houw berseru dan dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas.

Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar dan membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus. Akan tetapi tentu saja tenaga mereka makin lama makin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi dan mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan terpukul oleh tongkat beberapa kali. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi. Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.

Setelah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggauta pasukan, baik pasukan Kerajaan Beng maupun pasukan Raja Agahai, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa "pembersihan" seperti itu. Mereka memasuki rumah-rumah para penduduk dusun dan senjata mereka berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa! Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di situ semua dianggap kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka permainkan dan perkosa. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya tenang dan tenteram itu.

Lewat tengah hari, pasukan-pasukan itu telah pergi meninggalkan dusun, membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.

Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek dan wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin para kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis.

Pada keesokan harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata anak itu setelah tiba di tengah jalan, tak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.

Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar panjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, "Ayaaah...! Ibuuu...!" Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.

"Ayaaaah...! Ibuuuuu...!" Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat di dalam rumah orang tuanya itu berantakan dan nampak darah di sana-sini dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar lagi sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lalu berteriak kepada mereka dengan suara parau, "Di mana ayah dan ibuku?"

Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. "Ayahmu... Ibu..." Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.

Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip memandang kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidakpercayaan, "Ayahku... Ibuku... mereka... mereka tewas...?"

Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang mengerikan sekali karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat, dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan!

Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?

Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.

Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?

Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.

Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.

Tidak dapatkah kita "mati" selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat.

Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di "sana"!

Akibat dari guncangan batin yang amat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.

"Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!" katanya berkali-kali.

Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarnya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan.

"Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kaubawa serta," kata kakek Lai Sui yang sabar.

Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang telah diberikan ayahnya kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.

"Rumah dan semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek." kata Thian Sin kepada Lai Sui. "boleh kaupakai dan kau tinggali sampai aku kembali."

Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang amat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja.

Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapapun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sudah digembleng sejak kecil oleh ayah bundanya itu.

Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah. Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluhan tahun yang sedang membersihkan pekarangan di sebelah kanan kuil, segera melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang dikiranya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walaupun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.

"Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak bersembahyang?" tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati suaranya halus dan sopan. Melihat sikap ini saja Thian Sin sudah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh terhadap mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah yang ramah dan sikap yang sopan, dan agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.

"Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, melainkan mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang," kata Lan Sui.

Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. "Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi."

Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul. "Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa)," kata Lai Sui.

"Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk samadhi."

"Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami." jawab Lai Sui sambil tersenyum.

Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.

"Omitohud...! Sepagi ini sudah datang tamu yang mencari pinceng?" kata Hong San Hwesio. "Entah dari mana gerangan mereka?"

"Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka kelihatan lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya."

"Omitohud...! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang amat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja." kata hwesio itu dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat sedemikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.

Tak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio memandang penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini.

"Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang menghadap paman memenuhi pesan ayah..." kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.

Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio, terkejut, "Ah, kiranya engkau..." dia meragu.

"Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami..."

"Ah, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?"

Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu dan dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa malapetaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.

"Mereka telah merasa akan datangnya malapetaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini," Kakek itu mengakhiri ceritanya. "Dan ternyata surat ini merupakan pesah terakhir mereka."

Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu dia memejamkan kedua mata sejenak sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu. Anak itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan jelas di wajahnya terbayang kekerasan dan dendam yang hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dibacanya surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan adik iparnya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat dan mendidik Thian Sin untuk sementara waktu karena mereka berdua terancam bahaya. Minta kepadanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.

Setelah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Ketika menulis surat itu, biarpun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, namun adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata, "Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat."

Lai Sui cepat memberi hormat. "Terima kasih, suhu. Akan tetapi setelah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena selain dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?"

Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di dekatnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa amat terharu. "Terima kasih, Lai-pek, engkau sungguh baik sekali dan aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Kau tolong... tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?"

"Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, jangan khawatir... nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang."

Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang telah tertimpa malapetaka itu. Dia sendiri karena tidak berkeluarga maka tidak mengalami kehancuran keluarganya. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat maka dia ingin lekas-lekas pulang.

Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat pada wajah keponakannya itu lalu berkata. "Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?"

Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, dan dia menggeleng kepalanya. "Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak akan saya selidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!" Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang.

"Omitohud...! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tidak pernah berpikir dan bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?"

Ketika anak itu menggeleng kepala, Hong San Hwesio dengan suara lembut dan sabar lalu menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat daripada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau. Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar.

"Nah, sekarang engkau mengerti, Thian Sin. Tiada perbuatan tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan belaka, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang kelak akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri."

"Tapi... tapi... ayah bundaku dibunuh orang... mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?"

Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu-satu dan jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.

"Tiada yang lebih panas

daripada nafsu

tiada yang lebih ganas

daripada kebencian

tiada yang lebih menjerat

daripada kebodohan

tiada yang lebih menghanyutkan

daripada keserakahan,

Kesalahan orang lain mudah nampak

kesalahan diri sendiri sukar terlihat

orang menyaring kesalahan orang lain

seperti menampi dedak

namun kesalahannya sendiri disembunyikannya

seperti penipu menyembunyikan

dadu lemparannya

terhadap penjudi lainnya."

Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun lalu membantah, "Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau tidak kuberantas perbuatan mereka itu, kalau tidak kubasmi orang-orang kejam seperti itu, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?"

Hong San Hwesio masih memejamkan kedua matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.

"Omitohud... hatimu penuh dendam kebencian, tentu saja tidak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kaudengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci." Hwesio itu tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, lalu bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada.

Segala keadaan kita adalah hasil

dari apa yang telah kita pikirkan

didasarkan atas pilihan kita

dan dibentuk oleh pikiran kita

Jika seseorang bicara atau berbuat

dengan pikiran jahat,

penderitaan akan mengikutinya,

seperti roda gerobak

mengikuti jejak kaki lembu

yang menariknya.

Jika seseorang bicara atau berbuat

dengan pikiran murni

kebahagiaan akan mengikutinya,

seperti bayang-bayang

yang tak pernah meninggalkannya

Dia mencaci maki saya, memukul saya,

mengalahkan saya, merampok saya,

yang menyimpan pikiran ini,

kebencian takkan berakhir,

yang tidak mmyimpan pikiran ini,

dendam kebencian akan berakhir.

Karena kebencian tak dapat dipadamkan

oleh kebencian,

kebencian hanya musnah

oleh cinta kasih

inilah suatu aturan yang abadi..."

Entah bagaimana, suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang memejamkan matanya itu terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini seperti hanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!

Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio delam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu.

Di samping setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, juga Thian Sin diberi pelajaran kesusastraan oleh Hong San Hwesio, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dahulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.

Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastra dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali.

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar. Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka "perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.

Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!

Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!

Demikian pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia telah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.

***

Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar. Dahulu sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang amat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apabila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai.

Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan yang amat menyeramkan itu kini sebaglan telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar ketika mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah lagi mengambil korban.

Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini, ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Sungguh kini suasananya jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu ketika istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi benteng di mana terjadi keributan dan sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lain. Setelah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya dan sampai sekarang menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di situ banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat, hanyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan dan pulangnya mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.

Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat inipun terkenal sebagai istana tempat tinggal Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini telah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun.

Semenjak kecil, Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari orang tuanya, bukan pemanjaan, melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidupnya sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apabila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlalu menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguhpun tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, akan tetapi wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, mulutnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memiliki sinar yang bening tajam, kalau dia bicara, suaranya tenang halus dan jelas, dan apablia dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.

Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja semenjak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, di waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu riang, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walaupun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak bicara kalau tidak perlu sekali.

Bentuk tubuhnya juga sedang saja, sikapnya sederhana sungguhpun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan dan dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justeru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.

Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbul kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biarpun selama ini puteranya memperlihatkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat. Betapa banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, memiliki kekuasaan atas orang lain dan karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati?

Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Di dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya. Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih amat mudah menyeleweng, apalagi orang-orang yang memiliki kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!

Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.

"Lalu apakah yang dapat kita lakukan?" Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. "Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita...?"

"Aku ingat," tiba-tiba Sin Liong berkata, "ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak."

"Siapa dia?" Bi Cu bertanya penuh gairah.

"Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai."

"Siapa sih?"

"Dia Kanda Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja."

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri."

"Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlampau dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun, setelah dasarnya kuat, baru kita bahwa dia pulang."

"Aku setuju, biarpun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita," kata isterinya.

"Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam saja di tempat sunyi ini."

"Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?"

"Tidak, kesempatan ini kita pergunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko."

Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus diakuinya bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa bahagia sekali di samping suaminya yang amat dicintanya, apalagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni dusun-dusun yang jujur dan bersahaja, amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia dan putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main dan nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, sungguhpun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu," katanya. "Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?"

Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, "Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang amat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa memandang terlalu tinggi diri sendiri amatlah berbahaya, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain."

Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasa, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. "Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?"

Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai ke pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya tentang mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya. "Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di Su-couw. Telah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku ingin mengajak ibumu dan engkau perg mengunjungi mereka pula di Su-couw. Sedangkan Pamanmu Lie Seng itu sekarang telah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Diapun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itu engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong."

Menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu dan dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak? Ah, sungguh lucu rasanya membayangkan adik-adiknya itu mempunyai anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.

Akan tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka.

Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu. Kebetulan sekali, puteranya, atau kakak seayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, yang bernama Beng Sin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciook Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga.

Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena Bi Cu dirawat sejak kecil dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.

Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Sedangkan Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah.

Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sukar memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang). Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apalagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja amat cocok, sesuai dengan kepandaiannya.

Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang amat lihai, jauh lebih lihai daripada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng-piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkioknya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri.

Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar dan kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Setelah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, mereka dapat saling berkunjung setiap hari dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat daripada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan.

NAMUN kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaanpun tidak kekal adanya, sungguhpun segala peristiwa itu merupakan akibat daripada ulah manusia itu sendiri. Khai Sun yang merasa "ditolong" oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Semua barang kiriman yang berharga, apalagi yang melalui tempat-tempat berbahaya, dikawalnya sendiri dan beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa. Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.

Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat, memperoleh kepercayaan para bangsawari dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu setahun saja Khai Sun sudah dapat membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur.

Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, dan dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda menggeram dalam sanubari Na Tiong Pek. Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.

Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin. Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandang matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang hampir setiap hari kedua orang saudara kembar ini saling mengunjungi, bahkan kalau Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.

Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tiada ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi, tetap saja bagi Tiong Pek, Kui Lan lebih menggairahkan! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat daripada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan daripada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang "lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.

Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, seperti bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan. Namun, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak mempunyai sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan ramah!

Dorongan nafsu berahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayarigkart betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya. Hawa pada siang hari itu agak panas dan isterinya, Kui Lin, sedang tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak-gerak cekatan sekali menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini menggigit bibir bawahnya. Kadang-kadang dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak Kuiit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu.

Dia sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apalagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja! Kebetulan sekali Kui Lan memakai pakaian yang sama dengan yang dipakai isterinya! Memang semenjak Kui Lan tinggal sekota, apalagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama.

Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga untuk "menguji" hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan dan akal ini timbul di waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja! Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan, pertama karena wanita ini memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apalagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan main! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.

Dengan hati-hati sekali, dan berindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya karena tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang, hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, kemudian dengan tiba-tiba saja dia merangKui leher yang berKuiit putih mulus itu, kedua tangan merangKui pundak dan dia berbisik mesra, "Lin?mol, isteriku sayang... ah, betapa aku cinta padamu..."

Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia mengangkat muka, akan tetapi sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek telah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara! Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya kepada dada Tiong Pek dan meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.

"Aih, isteriku... aku... aku ingin sekali..." Tiong Pek bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi.

"I-thio... ini aku... Kui Lan...!" Kui Lan akhirnya bisa berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang telah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.

Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Kui Lan!

"Ahh... Lan-i... maafkan aku... ampunkan aku... ah, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku... ah, sungguh aku menyesal sekali..."

Kedua kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapapun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini telah keliru sangka dan salah mengenal orang. Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang-kadang mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik "Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra..." dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri.

Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali inipun Tiong Pek telah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, lenyaplah kemarahannya, sungguhpun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andaikata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek!

"I-thio (sebutan untuk summi saudara perempuan), lain kali jangan engkau begitu ceroboh!" tegurnya.

"Maaf, I-i... maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta... akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain..."

"Tentu saja... asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio." Kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu.

Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar! Dianggapnya bahwa ketidakmarahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Makin dibayangkan, makin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih daripada itu!

Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan memupuk dan bahkan membumbui dengan khayal sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.

Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbullah keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas daripada pikiran yang mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati, merajuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita.

Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorongnya untuk memperoleh yang lebih dari itu! Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya dan kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir maupun mata batin. Yang nampak hanya bayangan kesenangan itu saja, yang amat menyilaukan. Apa lagi karena isterinya telah beberapa pekan ini sering kelihatan tidak senang dan marah-marah kepadanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah.

Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan mengira dia Kui Lin, tentu dia sudah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan selain itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya, telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya! Dan juga, kalau sampai peristiwa yang terjadi tadi, peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya karena kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakitkan hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak! Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andaikata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu amat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya.

Betapapun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan maka sehabis makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Dia tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya dan Kui Lin yang amat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya. Andaikata dia pada siang harinya tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, kalau mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja! Demikianlah, sore-sore dia telah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, sedangkan Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tidak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah dan tidak dapat tidur sama sekali di samping isterinya. Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang sejak siang tadi dia sudah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan menerimanya dengan girang walaupun di luarnya kelihatan marah! Semua ini terbayang di benaknya sejak siang tadi dan diam-diam dia pun sudah mengatur rencana sebaik-baiknya.

Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dia lalu turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar dari lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.

Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya dan menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebetulnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu berahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini. Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan dan mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itupun telah tidur. Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia lalu mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, kemudian dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Tiong Pek memegangi ujung biting dupa itu di luar jendela sambil tersenyum simpul dan matanya berkilat-kilat, bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.

Sebetulnya, Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia memperoleh hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya. Kini Tiong Pek, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu berahi, mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis dan dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar semakin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar! Maka dia pun Lalu membuka jendela itu, dan menggunakan saputangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar.

Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia menutupkan lagi daun pintu dan dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja. Kamar itu gelap, hanya mendapatkan penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan rebah terlentag dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Peristiwa yang kotor dan menjijikkan terjadilah di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya.

Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi daripada yang telah didapatkannya! Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia telah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh, akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu.

Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika dia melihat wajah pria yang merangkulnya itu di dalam cuaca yang remang-remang, dia menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi!

"Jahanam! Keparat hina-dina... ouhhh, engkau jahanam laknat...!" Kui Lan menjerit-jerit dan tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum ketika melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi betapa kagetnya, melihat reaksi wanita ini.

"I-i... eh, Kui Lan... sssttt, jangan ribut... sudah terlanjur... aku... aku cinta padamu..."

"Jahanam...!" Kui Lan menyerang lagi ketika pria itu mengelak dan kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian!

"Ssst, Kui Lan... kau akan mengejutkan semua orang... kita berpakaian dulu..." Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus menyerangnya sambil menangis.

"Dukk!" Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek dan pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya.

"Bukk!" Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan kini karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.

"Kui Lan... aduhhh, Kui Lan... sudah terlanjur... mengapa engkau mengamuk...?" Tiong Pek menjadi takut sekali.

"Brakkkkk...!" Tiba-tiba daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya pucat karena dia tadi terkejut bukan main mendengar suara ribut-ribut dan cepat dia mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, dia cepat lari keluar dan mendengar suara perkelahian di dalam kamar encinya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biarpun cuaca remang-remang, namun Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh encinya yang juga bertelanjang bulat!

"Apa... apa yang terjadi...?" tanyanya dengan suara gemetar. "Enci Lan... apa yang telah terjadi...?" Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan diduganya.

Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. "Hu-huu-huuuhh... dia... dia membiusku dan... dan... menodaiku... hu-hu-huuuhh..."

Pengakuan ini seperti sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.

"Kau... kau... jahanam busuk...!" Dan Kui Lin sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya!

"Eeiiiiitt... sabar dulu, Lin-moi...!" Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!

"Sabar? Manusia berhati binatang, engkau telah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!" Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, lalu terpaksa balas menyerang. Melihat betapa pria yang telah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia suka berlatih pedang dengan adik kembarnya. Kini tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!

Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung sekali dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, diapun lalu melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya, membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!

"Aduhhh...!" Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya.

Melihat ini, dua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, "Ya Tuhan... kita... kita telah membunuhnya..."

Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. "Dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!" katanya. Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya, sedangkan Kui Lin dengan air mata bercucuran juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.

Setelah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.

Tiba-tiba Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, "Aku layak mati..." Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!

"Enci Lan...!" Kui Lin dengan cepat sekali sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. "Apa yang akan kaulakukan ini?" bentaknya.

Kui Lan menangis. "Untuk apa aku hidup lagi...? Aku sudah ternoda... dan aku telah membunuh suamimu... aku telah menghancurkan kebahagiaanmu... aku layak mati, jangan kauhalangi aku..." Kui Lan meronta, akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak membiarkan encinya melepaskan diri.

"Enci Lan, jangan... jangan kaulakukan itu..."

"Apa gunanya aku hidup? Dia... dia membiusku dengan asap harum... dan dalam keadaan tidak sadar dia... dia menodaiku... Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?"

"Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang kaupikirkan?" Tiba-tiba Kui Lin melepaskan rangkulannya. "Engkau hendak membunuh diri sekarang setelah apa yang telah terjadi? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, dan aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri? Enci Lan, sekejam itukah hatimu kepadaku? Apa kaukira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang... hidup... merana dan menanggung semua aib...!" Kui Lin menangis tersedu-sedu dan Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat daripada dia!

"Lin-moi...!" Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.

Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lalu merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, "Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?"

Kui Lan mengangguk pasrah.

"Kalau begitu, serahkan segala-galanya kepadaku," bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Ketika para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.

Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.

"Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu nmnangkapnya."

Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya den seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah tidak akan ada habisnya sumber air matanya.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.

Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.

Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata. "Siapa yang melakukan itu? Siapa...? Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!"

Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.

"Ada... ada apakah...?" Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara?

Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya. "I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam saja..." Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.

Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng-piauwkiok yang setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa amat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tidak diganggu dan tidak ada pula barang berharga yang dilarikan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tidak mungkin kalau ada penjahat yang menaruh dendam kepada Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya akan hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa penasaran sekali sungguhpun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.

Dapat dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam, dia melihat Kui Lin segera menutupkan semua pintu dan jendela, sedangkan isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Setelah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ.

Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus diakuinya bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, dan lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang ikut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua itu hendak menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain!

"Lan-moi, ada apakah? Kau tenanglah dan ceritakan kepadaku." Akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di depannya itu dan mencoba untuk membangunkan Kui Lan.

Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, "Sun-koko... kau... kaubunuhlah saja aku..."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya dan merangkul isterinya yang masih berlutut. "Ahh... apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau... berkata demikian, isteriku?"

"Koko... dia... dia itu..." Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, "...akulah yang... membunuhnya..."

"Aihhh...?" Khai Sun merasa seperti disambar kilat kepalanya dan dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang menunduk itu.

Kui Lin cepat menghampiri encinya dan juga berlutut merangkul encinya lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami encinya. "Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!"

Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, "Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian... kalian yang membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?"

Melihat keadaan pria yang tinggi besar dan gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan encinya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak mienangis, "Bukan kami... melainkan dia yang gila... dia layak mati... dia telah memperkosa Enci Lan...!"

"Ohhhhh...?" Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya dan dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya menatap ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah yang hebat sekali membakar hatinya, akan tetapi dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa, maka tanpa disadari tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat daripada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.

Dengan mata nanar dia membuka tangannya dan memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya seperti terapung dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu.

Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya menjadi terang dan tenang, dan terdengarlah suaranya yang parau dan berat, "Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku."

Akan tetapi Kui Lan tidak dapat mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, sehingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun sambil berkata dengan suara gemetar, "Enci Lan, duduklah... biar aku yang akan menceritakan..."

Kui Lin membawa encinya duduk di atas bangku di depan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping encinya, merangkulnya kemudian menggunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan hatin yang amat mendalam.

"I-thio Khai Sun, harap kaudengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu... dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya dan akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan... untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat..."

Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isteri sendiri!

Melihat keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan setelah mendengar penuturan itu, Kui Lan menjerit lirih dan dia sudah menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. "Suamiku... kau...kaubunuhlah saja aku... aku tidak dapat membunuh diri... karena... karena Lin-moi..." Dia menangis tersedu-sedu.

Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia bertanya. "Mengapa kau minta kubunuh?"

Kui Lan menengadah, memandang kepada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. "Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini... aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor... aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu... dan aku... aku telah membunuh suami Lin-moi... aku telah merusak hidup Lin-moi..."

"Tidak... tidak...!" Kui Lin berseru sambil terisak. "Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tidak berdaya melawan... dan tentang pembunuhan itu... kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati...! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, akupun tidak sudi hidup lagi di dunia ini...!"

"Lin-moi...!"

"Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!"

Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi semakin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah dapat membayangkan apa yang telah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.

"Sudahlah, Lan-moi... aku... aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar... peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain." Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.

Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. "Kau... kau tidak benci kepadaku?"

Khai Sun menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu."

Kui Lan masih meragu. "Tapi... tapi aku... aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi..."

"Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu amat bijaksana, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat."

"Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar," kata pula Khai Sun. Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdepat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Ketika mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia cepat berangkat ke Kun-ting dan tiba di situ sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang.

Kurang lebih satu bulan setelah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu nampak sunyi dan masih dalam suasana berkabung, sungguhpun pekerjaan Ui-eng-piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.

Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana sudah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biarpun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, namun mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andaikata ada orang berdiri di luar kamar itupun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.

"Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan aku!"

"Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali... kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku."

"Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!"

"Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi."

"Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu."

"Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku."

"Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunub suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?"

"Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikirain semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak..."

"Kalau tidak, mengapa, Enci?"

"Kalau engkau tidak mau... aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku."

"Enci Lan...!"

"Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbapgkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini."

"Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku bingung, Enci..."

"Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku."

Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.

"Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri? Aku... aku rindu padamu, Lan-moi..." kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Akan tetapi Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.

"Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina..."

"Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan..."

"Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau..."

"Kecuali apa, isteriku?"

"Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi..."

"Aahhh...! Sudah gilakah engkau?"

Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak.

Kui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku."

"Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?"

Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku."

"Tapi... tapi..."

"Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati."

"Tapi... Lin-i..."

"Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta. Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini."

"Tapi, kaukira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu..."

"Aku tahu, akan tetapi Lin?moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua."

Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali. "Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam..."

"Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku."

Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.

Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.

Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani "biasa" karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.

CIA SIN LIONG adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!

Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.

Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti.

Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong.

Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masing ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!

Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.

Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dart puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.

Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.

Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.

"Selamat datang di Cin-ling-pai," kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu. "Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?" Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai," jawab Sin Liong dengan ramah pula.

Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata. "Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?"

Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata.

"Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar..."

"Kami datang dari Lembah Naga!" sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!" kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.

Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.

"Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?"

Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, "Benar, itulah namaku."

"Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..." kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.

Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.

Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.

"Ayah...!" Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.

"Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!" kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.

"Inikah putera kalian?" Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.

"Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!" kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.

Ketika Cia Bun Houw mendengar

penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."

"Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw."

Ayahnya menarik napas panjang. "Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat.

Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali.

"Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?" tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong.

Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. "Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam."

"Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?"

"Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja."

Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja.

Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga, amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat. Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di sebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengm ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di tepi pentai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Adapun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.

Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki kepandaian yang hebat, menilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

"Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!" kata Sin Liong terkejut.

"Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?"

Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.

Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi. Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Kemudian, sesuai dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri.

Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.

Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.

"Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?" Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. "Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?"

Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka. "Sudah lama sekali terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu."

Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu.

"Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu." Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.

"Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya," kata Sin Liong.

"Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu."

Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?" tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.

Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. "Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja."

Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.

"Beng Sin, apakah yang hendak kaukatakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia."

Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya."

"Ahhh...!" Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?

"Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?" tanya Sin Liong.

Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang."

"Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang," kata Sin Liong.

Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.

Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok.

Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.

Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin!

Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.

"Liong-ko...!" Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka.

"Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!" kata Kui Lin.

"Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?" tanya Kui Lan.

Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. "Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!"

Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.

Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata, "Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali."

"Duduklah, koko," kata pula Kui Lin.

"Cia-taihiap, silakan duduk," Ciu Khai Sun juga menyambung.

Biarpun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. "Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin..." dia berkata, suaranya dingin.

Khai Sun dan dua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, "Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kaudengar darinya?"

Sin Liong kini memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, "Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami encinya. Benarkah ini?"

Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.

"Brakk! Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?" Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar itu yang maklum akan kemarahan kakak mereka menangis dan seperti hendak saling melindungi.

"Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau, yang memiliki kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, mengapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?" Pertanyaan ini penuh teguran dan penyesalan, dan kini pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan.

Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, sepasang matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata, "Cia-taihiap, biar akan kaubunuh sekalipun diriku ini, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri."

Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya!

"Liong-ko, jangan kausalahkan suami kami, dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini..." kata Kui Lan.

"Akulah yang bersalah, Liong-ko." kata Kui Lin.

"Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!"

Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Dua orang wanita itu kini tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!

"Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah..."

"Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!" tiba-tiba Kui Lin menjawab dan jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak dan dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali.

"Kalian... kalian sudah gila...?" tanyanya gagap.

"Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua mengeroyoknya dan membunuhnya!"

"Ohhh...!" Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri!

"Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?" Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, "Aku telah ternoda, walaupun itu terjadi di luar kesadaranku, namun hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan dan melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tidak dikenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tidak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat daripada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?"

Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masukiah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang laki-laki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin!

Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan, dan merangkul pangkuan wanita ini sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka memang berlumba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin.

"Mereka anak-anak kalian...?" Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya.

Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, Khai Sun menjawab sambil tersenyum. "Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua." Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justeru puteri Kui Lan!

"Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!" kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguhpun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.

"Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!" kata anak lakl-laki itu dengan sikap gagah.

"Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!" sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja.

Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. "Anak-anak yang baik..." katanya terharu. Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun tak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua telah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak.

Karena mereka masih akan bicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.

"Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!" kata anak laki-laki itu.

"Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!" bantah adiknya.

Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing mempunyai dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini agaknya sedikitpun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua!

"Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?" Kui Lin bertanya.

"Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen."

"Ah? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?" Kui Lin menegur.

Wajah Sin Liong menjadi merah. "Karena tadinya... eh, kupikir... tidak enaklah dengan adanya urusan... tapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biar kuambil mereka."

Keluarga Ciu merasa girang sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka, maka ketika Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.

Dengan hati lapang melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen?

Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Dan sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul panjang yang ditulis dengan huruf-huruf merah!

PAK-SAW-KUI MENGUNDANG

PENDEKAR LEMBAH NAGA

UNTUK DATANG BERKUNJUNG!

Sin Liong terbelalak memandang sampul itu dan teringatlah dia akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menceritakan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya?

Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu dan suaranya berwibawa ketika dia bertanyap "Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!"

Pengurus losmen itu nampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. "Maafkan kami semua, sicu..." Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ.

Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, yang ditinggal di losmen oleh Sin Liong sedang duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit.

Suara keras membentak-bentak pengurus losmen. "Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?"

Tentu saja mendengar ini Bi Cu terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap, "Ada... ada... tapi dia sedang keluar."

"Ke mana? Hayo katakan ke mana!"

"Tidak... tidak tahu..."

"Plak! Plak!" Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.

"Sungguh mati, dia keluar tanpa memberitahu ke mana... ampunkan saya... ampunkan saya..."

"Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?" bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan diapun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah menghadapi tontonan yang menyenangkan.

"Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.

Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai.

"Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?"

"Hemm, engkau orang kasar mangapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.

"Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?" tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu, sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu telah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ.

"Han Tiong, mundurlah!" Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.

"Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?" Bi Cu membentak.

"Ha-ha-ha, tuan besar kami mengundang Pendekar Lembah Naga, akan tetapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanya isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulur tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tertawa ha-ha-he-he oleh para temannya.

"Keparat jahanam kau!" Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlalu cepat atau memang laki-laki itu memandang rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!

"Plakkk!" Orang itu terkejut, terhuyung dan mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah, karena bibirnya pecah.

"Serbu! Tangkap!" bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu. Namun nyonya ini dengan mudah saja mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, "Lepaskan aku!"

Bi Cu terkejut dan menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.

"Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!" bentak orang yang menangkap Han Tiong.

"Hemm, apa maksud kalian?" bentak Bi Cu, sedikit pun tidak takut sungguhpun diam-diam dia mengkhawatirkan puteranya. "Sedikit saja kauganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!"

Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jerih juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, tentu akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya kalau mereka sampai berani mengganggu puteranya.

"Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus maupun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, kamipun tidak berani bersikap kasar."

Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia dan puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.

"Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!" katanya dengan tegas dan diapun lalu menghampiri puteranya. Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lalu keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata di luar telah menanti sebuah kereta. Bi Cu dan puteranya dipersilakan naik kereta yang lalu dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.

Demikianlah keterangan yang diperoleh Sin Liong dari pengurus losmen yang masih biru-biru mukanya. Mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.

"Di manakah rumah Pak-san-kui ini?" tanyanya kepada pengurus losmen.

Pengurus losmen itu menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadipun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara."

Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Kenapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagaimana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, dan mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu? Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ah, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, dan memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya!

Setelah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mergka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.

"Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?" tanya Kui Lin.

"Mari kita bicara di dalam," kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan.

Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu. "Inilah sampul undangan itu," katanya sebagai penutup dan memperlihatkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka.

"Sungguh kurang ajar!" seru Kui Lan.

"Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?" seru Kui Lin.

Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut. "Hemm... Pak-san-kui..."

"Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?" tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu.

Ciu Khai Sun menggeleng kepala. "Aku tidak pernah bertemu dengan dia akan tetapi namanya amat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga besar sekali. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main dan terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?"

"Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Dia sudah pasti berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota," kata Sin Liong.

"Ah, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali kalau dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?"

"Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana."

"Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!"

"Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, amat tidak baik kalau sampai engkau tersangkut, apalagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulan saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku."

Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong lalu berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh kekhawatiran dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin.

Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biarpun istana kaisar sekalipun akan dimasuki kalau perlu!

Beberapa orang perajurit penjaga segera maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, "Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?"

Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, "Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!"

Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.

"Tunggulah... tunggulah kami melapor..." kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam.

Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak isterinya berada di dalam gedung itu? Masih dalam keadaan selamat?

Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.

"Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?" tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.

Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si pembesar itu sendiri!

Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.

Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.

Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. "Benar, aku bernama Cia Sin Liong."

"Hemmmm..." Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. "Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?"

Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

"Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kauikuti kami untuk menghadap beliau!" setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.

"Pendekar Lembah Naga, mari kauikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha!" Si Cambang Bauk tertawa bergelak.

Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.

Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin Liong maka mereka tertawa makin keras. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria tu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua di antara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.

"Nah, di mana adanya Pak-san-kui?" tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.

"Ada... ada..., mari silakan masuk..." kata Si Cambang Bauk kini sikapnya ayak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih daripada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat, "Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!"

Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia. "Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!"

Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung, pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah, kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil tersenyum lebar.

Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya, dan dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.

Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.

Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.

"Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk..." Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.

"APAKAH wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?" tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya. Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat. Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.

"Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali."

Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, "Apa yang locianpwe maksudkan?"

Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa), karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.

"Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?" Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia tertawa. "Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguhpun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba di sini, karena kebetulan sekali akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu."

Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

"Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?"

"Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, eh, siapa tadi namamu?" tanya kakek itu kepada Han Tiong.

"Namakti Cia Han Tiong," jawab anak itu.

"Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat."

Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata, "Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!"

Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian di sini diperlakukan dengan hormat!

"Terima kasih," katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.

"Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kauanggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu."

Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong. "Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku."

"Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!"

Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang memiliki kecerdikan. "Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?"

"Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kaukira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?"

"Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?" tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.

Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di acara para pepgawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata, "Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!"

"Mengujiku?"

"Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku."

Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata, "Locianpwe, kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini."

Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. "Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kiia telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.

"Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah," katanya sambil menjura. Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!

"Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?" Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata "kebaikan" itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.

"Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan," sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.

"Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!" katanya sambil menggerakkan huncwenya dan tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.

"Teecu bertiga mentaati perintah suhu." kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong.

"Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!"

Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan.

Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. "Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung." Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.

"Hemm, kalian hendak maju berbareng?" Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jerih dan ragu.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang." kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut.

Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.

Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.

Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!

"Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!" bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.

Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah "mengoper" tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang dialah sekarang tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.

Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.

Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.

Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin Liong terdetak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Lioing menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, hal itu akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tidak berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Biarpun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Hebat juga kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.

Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar ini sendiripun terguling roboh!

"Ayah!" Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.

"Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah," katanya sambil menghampiri isterinya dan begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!

Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.

Maka diapun cepat menjura. "Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dari menjadi sahabat sicu!"

Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini.

Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong.

Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, ketika meninggalkan taman itu, Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan membenarkan ayahnya.

Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja.

 

"Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?"

Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu.

"Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu."

"Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku."

Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.

"Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekaii jangan kauanggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikitpun tidak mengapa."

"Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman."

"Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas."

"Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?" Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.

"Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga."

Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. "Benarkan, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?"

"Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai..."

"Ahhh...!" Thian Sin berseru heran. "Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?"

"Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu."

"Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?"

"Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka..."

"Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!"

kembali hwesio itu menarik napas panjang. "Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal, sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu..."

"Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!" Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, "Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!"

"Hal itu bukan tidak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia."

Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To.

"Kata-kata bijasana tidak berbunga

kata-kata berbunga tidak bijaksana,

sang budiman tidak melawan

yang melawan tidak budiman,

sang arif bijaksana tidak terpelajar

yang terpelajar tidak arif bijaksana!"

Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu, disambut suaara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.

"Bagus sekali...!" Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka. "Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?"

Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio, "Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata- kata nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya."

"Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?"

Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.

"Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya."

"Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?" Orang itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.

"Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan."

Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. "Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi : Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?"

Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. "Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?"

"Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?"

Thian Sin menggeleng kepala. "Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti."

"Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?"

"Namaku Thian Sin, she Ceng..."

"She Ceng?" Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.

"Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna..."

"Lie Seng Koko...!" Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.

"Apa? Siapa...? Omitohud...!" Dia merangkapkan kedua tangan depan dada den memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, "Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!"

"Pendekar Lembah Naga...!" Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata torbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.

"Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw..."

Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan "mendiang" itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main. "Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku..." demikian bisiknya.

"Ayah, siapakah dia?" Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.

Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya, "Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu."

Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.

"Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam."

Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di situ. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata, "Engkaupun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!" Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan diapun ikut masuk bersama-sama.

Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.

Hong San Hwesio menarik napas panjang. "Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa..."

Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.

"Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini." Hwesio itu mengakhiri penuturannya.

Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya, hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!

Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!

"Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?" Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.

"Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?" Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apablia diingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga).

"Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?"

Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.

"Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian..." kata Hong San Hwesio sambil menghela napas.

"Aku... aku tahu..." Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!

Sin Liong merangkul pundak anak itu. "Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu."

Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur. "Dulu ayah dan ibu pernah memberi tehu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai." Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. "Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!"

"Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!" Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan. Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

"Ah... paman... ampunkan saya...!"

Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.

"Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!"

"Omitohud... itu baik sekali...!" kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik! "Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya."

Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan kepada Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.

Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang bahwa Thian Sin telah memperoleh "tempat" yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.

"Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati."

"Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku," jawab pendeta itu dengan gembira.

Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. "Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini."

"Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!"

Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.

"Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian." demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu. Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.

Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.

"Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin." Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam.

Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.

Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengaiarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan. Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga? Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.

Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.

Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amal lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang. Kalau sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.

Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang aseli dan kokoh kuat.

Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali, terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa.

Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!

Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan. Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya!

Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata, "Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka."

Sin Liong merasa girang sekali. "Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka."

"TENTANG Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni."

"Dan bagaimana dengan Thian Sin?" tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.

"Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan lengan Han Tiong. Justeru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia pandai menyeilmuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya."

Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi! "Baiklah, twako. Akan kuperhatikan dia."

"Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kauamati hal itu."

Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu.

Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.

"Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka."

Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya seperti terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu.

Di sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan girang mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu. Dia pun amat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng daripada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu.

***

Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu. "Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun."

Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.

"Selamlat datang, Cia-kongcu!" Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. "Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!"

Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras!

Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!

"Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?" tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya.

Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan. "Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini kokoh kuat dan... menyeramkan!"

"Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir..."

Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu!

Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu.

Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin. Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri.

Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Apalagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan hati penuh kagum. Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini.

 

Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu -malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda. Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong. Han Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar.

Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga!

Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini?

Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?

Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya.

Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu.

Bagaimana haslinya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup!

Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.

Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.

Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!

Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.

Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang amat cepat, apalagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka dan memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang amat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh.

Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersamadhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersamadhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, melainkan untuk melatih pernapasen dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja.

"Pada saat-taat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mujijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan samadhi di saat-saat seperti itu," demikian antara lain Sin Liong berkata. Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka, di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (samadhi). Ketika mereka dididik oleh Hong San Hwesio mereka secara terpaksa hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam makanan ini pun terdapat perbedaan antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, sungguhpun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak, sungguhpun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja. Memang sudah nampak perbedaan besar antara dua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terialu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya.

Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka. Dalam usia seperti ini pada umumnya berahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati kalau melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinat mata lain, dengan denyut jantung berbeda daripada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya.

Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah sesuatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah berahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin. Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam mayapada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembangbiakan di setiap jenis mahluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini.

Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dulu terlanda gairah berahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnyalah yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Kini dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau kalau dia, yang suka bermain-main adu jengkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jengkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau di waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak dan kemudian lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu dalam hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali dalam renungan!

Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan berahi ini. "Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti dalam tubuh," demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. "Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin."

Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Dan memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembangbiakan manusia dan untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembangbiakan manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada dalam diri setiap orang, gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah.

Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini, dengan jalan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci, berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara!

Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan maupun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut. Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan, merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan anugerah yang berlimpah? Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Dan seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka, bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan!

Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan.

Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka diapun cepat-cepat bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah berahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan pada suatu malam, dalam mimpi, gairah berahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah ketika melihat betapa celananya menjadi basah! Teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio sudah memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu dan dia menasihati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apalagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri!

Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, ditambah khayalan-khayalan tentang hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batin dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan tentang hubungan sex, maupun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani.

Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu mengatakan bahwa perbuatan itu jahat, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu.

Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan.

"Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?" tegurnya dengan halus dan penuh perhatian.

Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya.

"Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi... aku bermimpi dan... dan aku telah... celanaku basah..." Dia menerangkan dengan gagap, sungguhpun biasanya dia tidak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkatnya yang amat disuka dan dihormatinya itu.

Berkerut alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Betapapun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasihat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah mimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga.

"Aih, Sin-te... bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?"

Thian Sin mengangguk. "Kemarin aku bicara dengan beberapa orang teman di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan kakak isterinya melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah datangnya khayalan dan kenangan yang terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Semalam aku sudah melakukan samadhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah..."

Han Tiong sendiri tidak pernah mengalami hal itu, maka diapun bingung. "Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasihat ayah."

"Ah, aku... aku takut, Tiong-ko..."

"Kenapa takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah."

"Tapi aku... aku malu..."

"Mengapa harus malu? Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini."

Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam.

Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali.

Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?"

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab, "Aku... aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat)."

Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh. "Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?"

Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.

"Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti dalam tubuh."

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kaualami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu.

Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran satera, mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan natsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu."

Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung. "Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah."

Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onanipun banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.

Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai "penyakit" ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi di samping itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya.

Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya. Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga "pertahanan" yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku, yang mengejar kesenangan itu tidak ada, ying ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu.

Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.

Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya.

Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanyapun semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini "alim" bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin.

Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu.

"Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kaupun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang."

Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali.

Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini membuat mereka ingin mengaso.

"Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te," kata Han Tiong. Adiknya setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila di antara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya.

Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena dua orang itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi.

Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengah hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat! Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun, sgdikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan selelah mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih.

Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru. "Ada orang mengintai kita!"

Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang!

Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapaa adik angkatnya masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.

"Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?" Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat.

"He? Suara apa? Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa..." kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!" kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri.

Semenjak terjadinya periatiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun!

Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannyapun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih "hijau" maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang.

Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat melihatnya.

"Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!" terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.

"He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!"

"Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!" bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali.

"Mana bisa? Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?" goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya.

"Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?" goda pula seorang lain.

Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut. "Aiihh, pertanyaan macam apa yang kaukatakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?"

"Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?"

"Dan engkau tergila-gila kepadanya?"

"Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?"

Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, "Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang."

Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa, lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai.

Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata, "Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu..."

Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, "Aku pergi dulu, hi-hik..."

"Hi-hi-hik..."

"Hi-hik..."

Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri.

"Nona Cu Ing..."

Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.

"Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu..." kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali!

"Cu Ing... mengapa kau lari dariku? Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padamu..." kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu.

Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa diri. "Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?"

"Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. Kauraba jantungku ini..." Dia membawa tangan itu menempel dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya.

"Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut..." bisiknya.

"Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu babwa engkaupun cinta padaku..."

"Bagaimana kongcu tahu...?" Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.

"Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu..."

"Aku... aku takut, kongcu..."

"Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!"

"Aihhh... kongcu..."

"Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara..."

Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. "Kongcu...! Jadi kau... kau tadi... kembali engkau mengintai..." wajah yang manis itu menjadi semakin merah.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu..."

"Ihh, kau nakal... kongcu!" Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang.

Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran sinar yang mersa. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara.

"KONGCU... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku."

"Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing..." kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya.

Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah.

Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, agak berdekatan.

"Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?"

Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum.

"Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!" Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.

Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada saling sentuh dan saling genggam tangan saja!

Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya. Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati!

Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.

Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat.

Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiripun menemaninya.

Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu.

Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.

"Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?" tanyanya dengan suara ramah.

Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya.

"Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kausampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap mendengarkan." Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya.

Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata. "Maafkan saya, Cia-taihiap, saya... saya datang untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu..."

Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. "Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?" tanya Sin Liong.

Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara, "Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut." Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya.

"Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah." Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.

"Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?" Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.

"Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu..." Kembali dia berhenti.

Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, "Aih, Bhe-twako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan twakopun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?"

"Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima kasih, akan tetapi..."

"Akan tetapi bagaimana?" Bi Cu mendesak.

"Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran..."

"Berpacaran? Apa maksudmu?" Sin Liong bertanya kaget dan heran.

"Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya khawatir sekali, taihiap..."

"Huhhh!" Bi Cu mendengus.

"Hemmm...!" Sin Liong menggeram.

Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.

"Lalu sekarang, apa yang bendak kaulakukan Bhe-twako?" tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus, sungguhpun kini bercampur nada prihatin.

"Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa..."

"Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kaulakukan sekarang?"

"Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan."

Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. "Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasihatinya."

Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu.

"Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami taihiap..."

"Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako," jawab Sin Liong.

Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih, "Salahkah dia...?"

Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.

"Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain."

Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya.

Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu.

Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik, "Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?" Memang semenjak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang kepada pemuda itu.

"Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?"

"Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?"

"Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin."

Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.

"Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutken hati Thian Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.

"Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah." jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu.

Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, "Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?"

Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk.

"Benar, ibu," jawabnya lirih.

Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidakwajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.

"Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?"

Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah."

"Bagus!" Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tidak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. "Nah, kalau engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!"

Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. "Akan tetapi, ayah..."

"Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!" bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.

"Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?" Bi Cu berkata halus. "Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi."

"Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan, tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?"

Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu, meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya.

Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah hati!

Peristiwa ini merupukan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali! Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit!

Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!

Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.

Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya "cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar "mengejar kesenangan" sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini.

Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.

"Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu."

Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya. "Urusan apa yang kaumaksudkan Tiong-ko?"

"Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?"

"Ahhh...!" Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.

"Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?"

Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, "Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya."

"Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?"

"Tentu saja."

"Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran."

"Betul."

"Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?"

Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, "Aku sendiri tidak mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali."

Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga. Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin.

Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar.

***

Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang dan memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang amat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapapun juga. Adapun Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang riang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biarpun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga semakin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biarpun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai sedemikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain.

Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling-kun-hoat yang diciptakan okh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai bahkan mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi-i-beng dan juga ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlalu berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar dua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi-i-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang.

Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, sungguhpun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sin-kang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya.

Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka bertatih silat dan saling serang dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, sedangan Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya.

Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, terjadilah perampokan semalam! Harta benda yang tidak banyak dari penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh terjadi di dusun-dusun pada jaman itu, akan tetapi yang amat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, tidak pernah mereka terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga. Sekarang perampok dari manakah berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga dan keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan dan dianggap oleh Sin Liong bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya!

"Ayah, biarkan aku dan Sin-te mengejar mereka!" Han Tiong berkata dengan sikap tenang.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengukur kepandaian dua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapapun lihainya para perampok itu. Apalagi dia amat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang amat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan.

"Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Tidak usah kalian membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingat, kalian tidak boleh sembarangan membunuh orang. Ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!"

Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya.

"Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka."

"Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!" kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin dan membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu selama ini, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu.

Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini mempergunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sukar bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya di tengah-tengah hutan itu, mereka melihat belasan orang pria yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok yang agaknya memang menjadi tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu kelihatan lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang bercakap-cakap.

Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan hati-hati, mengandalkan gin-kang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok dan mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam.

Pondok itu cukup luas dan di bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, kelihatan ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengaran antara mereka berdua.

"Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapapun juga!" demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring, penuh kemarahan dan tantangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih amat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menutupi tuhuhnya yang padat dan langsing. Tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biarpun pada saat itu dia sedang marah, namun kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali. Sedangkan pria itu, yang usianya mendekati lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat dan menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang tinggal sedikit isinya, sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan diapun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah.

"Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?" terdengar laki-laki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang.

"Aku berhadapan dengan ayah," jawab dara itu, sikapnya tetap menentang.

"Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?"

"Ayah, ingatlah akan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lalu menawan wanita-wanita itu hanya sebagai memenuhi tugas ayah sebagai anggauta Jeng-hwa-pang saja untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah telah melakukan pembunuhan-pembunuhan..."

"Bukan aku yang melakukannya!"

"Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan lima orang wanita ini yang ayah katakan sebagai memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah... ayah hendak... melakukan kekejian...?"

"Ah, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!"

Akan tetapi dara itu dengan sikap tegas menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan. "Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan merekapun wanita! Kalau mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapapun juga, ayah. Kalau perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!"

"Ehh...? Kau berani...? Leng-ji, sudahlah. Aku tidak mau membiarkan hatiku marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kauberikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja."

"Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?" Di dalam suare dara itu terkandung isak dan kedukaan.

"Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini."

"Tidak akan kuberikan kepada siapapun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!"

"Apa? Kau berani menentang ayahmu, gurumu?"

"Apa boleh buat! Biar ayah, atau guru, kalau tidak benar, harus ditentang!" Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. "Mata-mata di atas pondok!"

"Musuh datang...!"

"Kepung! Tangkap!"

Han Tiong dan Thian Sin terkejut sekali dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata pondok itu telah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itupun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas.

"Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi jangan kau menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang."

"Baik, Tiong-ko!" Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu dan pemuda inipun mulai mengamuk dengan hebatnya. Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.

"Sin-te, jangan bunuh orang...!" Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya.

Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih ketat, kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Hen Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar den keras atau tajamnya senjata di tangen saja, biarpun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu.

Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya den kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring. "Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?"

"Tiong-ko, biar kuhadapi dia!" kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala den berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.

"Ehhh...!" Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya. "Siapa kau?" bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang.

"Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!" kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang.

"Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong.

Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja.

Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh. Sebenarnya Han Tiong sajalah yang sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.

"Mampuslah!" bentak Kepala Gerombolan itu.

"Hemmm...!" Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.

"Crokkkk! Aughhhh...!" Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya!

Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka.

Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak. "Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!"

Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya "Ti... tidak, tidak...!"

"Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?" Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.

"Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang..."

"Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kaki layak mampus!"

"Sin-te, jangan!" Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. "Lepaskan dia!"

Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung.

"Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!" bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung.

Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang.

"Singgg...!"

"Hemm...!" Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu.

"Plak...! Aihh...!" Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja.

"Krekkk!" Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.

"Ohhh...!" Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia sudah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.

"Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan," kata Han Tiong dengan suara halus.

"Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat..." kata Thian Sin.

"Dia bukan ayahku!" Dara itu berkata dengan suara lantang.

"Eh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!" kata Thian Sin tersenyum. "Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya ayah."

Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bengku dengan tubuh lemas. "Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!"

Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.

"Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?"

"Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya..." Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah.

Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya, "Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kaulakukan selanjutnya, nona?"

Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya. "Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka..."

"Sesudah itu...?" Thian Sin mendesak.

"Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!"

"Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?"

Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini..."

Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. "Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami..." Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.

"Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat."

Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.

Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu. "Ah, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau."

Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat itu.

Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira den bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya.

"Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja."

"Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, den mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka..."

"Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Den yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?"

"Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?" tanya Han Tiong.

"Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!" tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin.

"Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau."

Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepade Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena die pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).

Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Lengpun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan den peluk cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin.

Terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai!

Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. "Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kaucinta. Hati-hatilah engkau."

Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah merah. "Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi."

Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. "Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?"

Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata, "Menikah? Ah, itu... itu... entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku."

"Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?"

Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, "Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?"

"Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?"

"Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?"

"Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?"

"Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko."

"Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!"

SEMENJAK percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.

***

Petani tua itu datang dengan waiah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira.

Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.

"Celaka, taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!" kata petani itu dengan suara gemetar.

Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.

"Ah, mereka masih berani datang lagi?" seru Han Tiong.

"Jahanam-jahanam itu menjemukan!" Thian Sin juga berseru.

"Lalu apa yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?" Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.

"Hanya satu pembunuhan, taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh..."

"Ahhh...!" Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ.

"Sin-te...!" Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata.

"Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya."

"Baik, ayah." Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.

"Sekarang harap kauceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman," kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu.

Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.

"Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal." kata kakek itu melanjutkan. "Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu." Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seolah-olah dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.

"Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman," kata Sin Liong.

"Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian... kemudian..." Kakek itu tak dapat melanjutkan ceritanya dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah-olah hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.

Sir, Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga. "Mereka itu membunuhnya?" tanya Sin Liong kepada petani itu.

"Bukan hanya dibunub. Dia disiksa... saya tidak berani lagi melihatnya... dan kami semua tidak berani keluar biarpun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat... mayat Nona Leng tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat..."

"Keparat jahanam!" Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal karena nyonya ini sudah menjadi marah bukan main.

Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandang matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya menjadi merah sekali itu menarik napas panjang menenangkan diri lalu duduk kembali.

"Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?"

"Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara, besar dan berkata : Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya dengar..."

"Hemm, Jeng-hwa-pang lagi...!" Sin Liong berkata. "terima kasih atas laporanmu, paman."

Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, "Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita."

Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut untuk dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang, akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi, lebih lihai daripada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya.

Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu bagaikan orang gila dia segera menjerit. "Hwi Leng...!" Dan dia segera menghampiri peti mati. Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.

"Brakkk!" Sekali renggut, tutup peti mati itupun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biarpun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan leher pehuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin dapat menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu penuh dengan luka-luka goresan pedang.

"Hwi Leng...!" Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, kemudian dia memekik mengerikan. "Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!" Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu.

Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali, diapun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya. Sekali ini Han Tiong berlari cepat sekali, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang menuju ke selatan keluar dari daerah itu. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.

Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kekhawatirannya berbukti. Sampai di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan. Dua belas orang itu tewas semua, dalam keadaan mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya dan wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!

"Thian Sin...!" dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin.

Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya mempergunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang dan tombak malang melintang dan patah-patah. Dapat dibayangkannya betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah. Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tidak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apalagi mayat-mayat yang terbunuh di tangan adiknya. Dengan khidmat dia lalu mengangkat semua mayat dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang dibuatnya, di lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Kemudian dia menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya.

Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia telah membunuh semua anggauta Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada dua tiga orang yang melakukan perlawanan agak keras karena kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, "Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?"

Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku dan satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. "Ini untuk Hwi Leng!" dan.... "prak!" sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!

Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanyalah utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang! Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya! Mengingat ini, membayangkan betapa dia akan menghancurleburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini! Tiba-tiba muncul dalam benaknya wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasihat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang menasihatkan betapa buruknya dendam disimpan di hati.

"Tidak, aku tidak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!" demikian bibirnya bergerak dan dia mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. "Aku adalah anak pendekar, sejak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka."

Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.

Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong. Maka sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng. juga untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu.

Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumptilan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya. Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Seng-cui dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.

Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua. Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.

Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.

"Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?" tanya kepala jaga sambil memandang heran. Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.

Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. "Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"

"Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?" Kepala jaga dan kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.. "Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting itu."

Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. "Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kausampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?"

Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."

Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda ini.

"Baiklah," akhirnya kepala jaga berkata. "Kau tunggulah di sini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?"

"Nama saya Thian Sin..." Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang amat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.

Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan, yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu. Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi marah sekali.

Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.

Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.

Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar" yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar" itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.

Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

"Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi," katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang. Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.

Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum dan berkata, "Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kausampaikan kepada kami?"

Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. "Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang terhormat?"

Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.

"Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku."

"Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."

"Pinto Gin Thian Seng-cu."

Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan diri.

"Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami," Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.

"Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"

"Ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?" Gin Thian Seng-cu bertanya sambil tertawa. "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"

"Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?" Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.

"Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini."

"Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu," kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.

"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."

Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.

"Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?" tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.

"Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."

Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau ergkau belajar di sini." Tok-ciang itu lalu bertepuk tangan memanggil.

Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui

langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.

"Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini," kata Tok-ciang sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja.

Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.

"Baik, locianpwe," katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.

"Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut," pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin. "Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"

Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan. Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.

Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiiiittt...!" dan tubuhnya sudah menyerang seperti seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya. Diapun sambil mengelak balas memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.

"Haiiii... ekkk!" Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil mmyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!

Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata, "Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!" Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masib menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.

"Bagus! Kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!" kata Tok-ciang dengan girang. Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.

"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan," kata Thian Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.

"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."

"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru," jawab Thian Sin.

"Panggil saja murid tingkat ke tiga," Kim Thian Seng-cu memberi usul.

"Jangan," kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini."

Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.

"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya. Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.

"Baik, suhu," Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. "Orang muda, kaujagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!" Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang!

Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam den melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!

Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati den tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.

Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?

"Hyaaaat!" Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpetanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!

Melihat ini, Tok-ciang Sian-jin girang bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Tahulah dia sekarang bahwa dia telah memperoleh seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!

"Bagus...!" dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung. Pujian ini mengingatkan Thian Sin, maka dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga dialah kini yang didesak. Dia teringat bahwa dia harus tidak tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia dapat berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.

Terkena tendangan itu, biarpun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus dan dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi! Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun.

Agaknya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak ingat betapa anehnya melihat pemuda yang tadinya hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini, "Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!" Ilmu sliat ini adalah ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng girang sekali mendengarkan ucapan suhunya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apalagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia takut untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan, maka andaikata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!

"Baik, suhu!" jawabnya dan tanpa membuang waktu lagi, diapun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan penyerangan yang amat keras dan dahsyat sehingga setiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!

Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seolah-olah gerakan lawan membingungkannya. Ciu Hek Lam memandang dengan mata terbelalak. Dia memang menyuruhnya menggunakan ilmu itu, bukan ingin mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam diapun merasa heran dan penasaran sekali mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!

Kini pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang amat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah lewat dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, melihat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Setelah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dan dia mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaselian ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak mengenal ilmu silatnya. Andaikata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekalipun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apalagi kalau dicampur-campur seperti itu!

"Plak!" Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman. Tentu saja Lim Seng menjadi marah dan malu sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidak besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Sang masih menang cepat dan menang kuat!

"Plakk!" Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah den bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tamparan saja tentu kepala itu akan pecah! Betapapun juga, tamparan itu cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main. Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawan dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apalagi karena kini secara diam-diam tempat itu ternyata telah penuh oleh murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk menonton pertandingan itu. Dia dihina di depan gurunya juga di depan banyak murid Jeng-hwa-pang! Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia mehubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang amat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!

"Lim Seng, jangan bunuh dia!" Tok-ciang Sian-jin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun. Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menduga bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.

"Desssss...!" Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras, mencoba untuk bangkit akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk dan mengeluh panjang pendek sambil memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung pada pergelangan tangannya. Agaknya keselio. Semua orang menjadi bengong, juga Tok-ciang terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi mengapa sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkelir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang? Selagi dia terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka walaupun tidak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan amat baiknya.

"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!" kata orang pertama deri mereka.

Tok-ciang Sian-jin memandang kepada Thian Sin dan bertanya, "Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?"

Thian Sin melangkah maju dan menjura dengan hormatnya. "Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah."

"Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tidak perlu diadakan percobaan lagi," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, diam-diam merasa kagum sekali.

Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, locianpwe. Saya tidak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan."

"Hemm, jadi kalau aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus lebih dulu mengalahkanmu?" Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.

"Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru."

"Heemm, engkau berhati baja. Bagaimana kalau aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?"

"Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk."

Sementara itu, Lim Seng sudah dapat berdiri lagi dan dengan muka yang masih merah agak bengkak oleh tamparan-tamparan tadi, dan ia masih memegangi pergelangan tangannya yang salah urat dia berkata, "Suhu, dia itu mencurigakan sekali!"

Akan tetapi Tok-ciang Sian-jin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, "Masuklah dan obati tanganmu!"

"Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!" kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin.

Mendengar ini Tok-ciang Sian-jin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena menang tinggi ilmunya. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru mempergunakan tenaganya. Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri kalau melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu, tidak begitu mudah untuk melumpuhkan tin atau barisan itu. Maka dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin akan tidak berdaya dan sekali terkurung, tidak akan mampu melepaskan diri lagi tentu dapat diringkus dan dikalahkan.

"Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, coba kauhadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?"

"Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan."

Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepalanya menyuruh lima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukah hal yang boleh dipandang ringan, maka sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itupun sudah berloncatan ke depan dan dengan gerakan kaki lincah mereka sudah berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam dan mereka itu dapat bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isarat yang diberikan Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.

Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi, setelah mereka mengurung, mereka lalu mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga.

Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.

Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,

"Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!"

Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut. Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali. Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak.

Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.

"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap! Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubub Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.

"Bunuh dia!" Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah!

Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai "senjata" dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!

Terdengar bunyi "prak-prak!" berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena lima kali diadu dengan kepala lima orang!

Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.

"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematiah ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"

Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri. "Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!" bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.

Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.

Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.

Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!

Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin. Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.

Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat.

SEPASANG matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan, dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.

Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.

"Kurung dia dengan api!" teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.

"Mampuslah!" Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga ketika ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Dan pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sin-kang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah dan semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!

"Ha-ha-ha!" Tok-ciang Sian-jin tertawa bergelak karena dia merasa yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan scruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan tiba-tiba sehingga cambuk itu melecut ke arah muka pemlliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban seniatanya sendiri. Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?

Thian Sin kini sudah marah sekali. Biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka di pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri. Ketika dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Seng-cu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.

"Heiii...?" Kim Thian Seng-cu berteriak aneh ketika tiba-tiba dia merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya mengalir keluar seperti air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apalagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Seng-cu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.

"Prattt!" Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Seng-cu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sin-kangnya juga membanjir keluar. Dia berusaha menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sin-kang yang mengalir keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Seng-cu, karena kakek inipun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dan semakin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.

Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkelut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi-i-beng yang dapat menyedot tenaga sin-kang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak den menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut.

Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sin-kang mereka yang memberobot keluar, membuat mereka merasa agak pening kepala mereka. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.

"Siapkan jala langit!" tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sian-jin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu. Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu, akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu telah dipasang jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali di bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya. Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat daripada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena agak mulur dan ulet bukan main. Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka dan tubuhnya sudah tergantung ke udara, terselimut jala yang amat kuat itu sedangkan para anggauta Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.

Tok-ciang Sian-jin yang sudah menjadi amat marah melihat banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan amat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.

"Dukkk...!" Tombak itu seperti mengenai besi saja dan terpental, jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai. Semua orang terkejut. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.

"Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata sambil tertawa. "Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha!" Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.

"Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa yang hendak kaukatakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?" Tok-ciang mengejek karena dia merasa marah sekali kalau melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, bukan hanya kerugian karena kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.

"Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Thian Sin memaki dan menantang.

"Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang berbahaya sekali!" kata Kim Thian Seng-cu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi-i-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sian-jin lalu mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya dan melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi.

Thian Sin sudah merasakan hawa panas dari bawah, dan dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari jala itu. Kalau jala itu lebih dulu terbakar daripada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun dan mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan daripada tubuhnya terhadap api, dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!

Biarpun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas telah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikitpun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tertawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin membuka matanya dan memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya ketika dia melihat Han Tiong mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang.

"Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!" teriak Thian Sin dengan girang.

Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang dan meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu disertai tenaga sepenuhnya dan setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh tak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apalagi melihat bahwa dia situ telah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadl ngeri.

"Sin-te, jangan membunuh orang!" teriaknya lantang. Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran.

"Koko, mereka hampir saja membunuhku!"

Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya sehingga para anak bua Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sian-jin dan dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu berloncatan keluar mengejar.

"Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kaubunuh!" kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.

"Baiklah, Tiong-ko...!"

Tok-ciang Sian-jin sudah maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, sedangkan Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi para anik buah Jeng-hwa-pang tidak ada yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha mempergunakan racun-racun, bahkan menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena dua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu. Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut, mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.

"Plak! Plakk!" Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit dan roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. Terdengar bunyi "krek-krek!" tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!

"Sin-te...!" Han Tiong berteriak marah. Tok-ciang Sian-jin sendiri sudah terdesak hebat dan melihat betapa dua orang pembantunya tewas dalam keadaan mengerikan itu, diapun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.

"Tiong-ko, aku harus membunuh mereka. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!" kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandang mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia menunduk.

Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak nampak seorangpun anggauta Jeng-hwa-pang. Mereka semua telah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.

"Sin-te, berapa banyak orang yang telah kaubunuh? Rombongan yang kaubunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!"

Thian Sin mengangkat muka memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia merasa menyesal sekali. "Mereka... mereka membunuh ayahku... ibuku... dan mereka membunuh Hwi Leng! Ah... Tiong-ko, mereka... mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta... aku menjadi mata gelap, kaumaafkanlah aku, Tiong-ko..." Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis!

Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia amat sayang kepada adiknya ini dan diapun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apalagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapapun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimanapun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.

Didekatinya adiknya dan dirangkulnya. "Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlalu membiarkan dirimu hanyut dalam arus kemarahan den dendam yang membutakan mata."

Thian Sin terisak den balas merangkul kakaknya. "Terima kaslh, Tiong-ko, akan kuperhatikan nasihatmu. Harap... harap kau... tidak melaporkannya kepada ayah... aku takut akan tegurannya..."

Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. "Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?"

Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggeleng kepala, "Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi telah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sin-kang."

"Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka."

"Urus mereka? Siapa?"

Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang menggeletak di sana-sini. "Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka," katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.

Thian Sin masih belum begitu mengerti, akan tetapi dia mengikuti kakaknya den tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya ketika Hen Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin nampak berwajah muram sekali.

"Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu."

Thian Sin menarik napas panjang. "Aku percaya sepenuhnya kepadamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran... aku... aku tak dapat melupakan Hwi Leng..." Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan dengan kematian Hwi Leng dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing. Setelah keduanya tiba di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua telah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu dan ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.

"Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat."

Cia Sin Liong memeriksa luka itu. "Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Eh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kaubunuh?"

Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin berubah, akan tetapi ditekannya perasaan hatinya. "Saya... saya tidak tahu, ayah..., mereka mengeroyok dan saya membela diri sedapat saya..."

"Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup."

"Untung Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka..."

Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka dan diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong dan dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu. Hatinya khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin dan diapun kagum melihat keberaniannya ketika telah tertawan namun masih amat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong amat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang penggunaan Thi-khi-i-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya.

Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya. Dia melihat betapa semenjak terjadinya peristiwa itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Maka sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, latihan ilmu silat dan berlatih siulian untuk menghimpun sin-kang.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong demikian mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin seperti gerakan ombak samudera yang gelombang dan tak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Namun keduanya memiliki daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang menonton dua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.

Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking, Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul dengan cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun Han Tiong dengan tenangnya menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan. Thian Sin juga dapat menangkis dan selanjuthya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu dan diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu. Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari telah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka itu masih belum memiliki kematangan pendekar dan masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka!

Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas inipun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka diapun memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.

"Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu," kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.

"Ah, dia amat lemah menghadapi wanita seperti mendiang ayahnya," kata Sin Liong.

"Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia bertemu dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, diapun akan lupa kepada Hwi Leng." kata Bi Cu dengan hati tidak puas.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. "Pemuda seperti dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan."

Bi Cu mengerutkan alisnya. "Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tidak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia."

"Tentu saja harus atas persetujuannya. Ah, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ah, aku lupa lagi..."

"Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!" kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.

"Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun telah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu dia sudah belasan tahun usianya sekarang!"

"Benar, akan tetapi paling banyak hanya baru tiga belas tahun usianya, masih belum dewasa benar."

"Betapapun juga, usia belasan tahun tak dapat dinamakan anak-anak lagi dan kalau sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka..."

"Seorang di antara mereka?"

"Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andaikata seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!"

"Hemm, lalu maksudmu bagaimana?"

"Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?"

"Ah, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, di dunia kang-ouw kini muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain..." kata Bi Cu khawatir.

"Ah, justeru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka perlu mereka untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukan anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kauingat ini. Mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan."

Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong den Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja malah! Mereka menerima benyak nasihat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.

"Ingat baik-baik," demikian antara lain pendekar itu memberi nasihat, "sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh mempergunakan ilmu untuk membunuh orang, betapapun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan para penjahat itu sendiri. Kalian tentu saja dalam membela orang-orang lemah harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar maupun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apalagi membunuhnya. Mengertikah kailan?" Biarpun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk.

Setelah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka berangkat dengan hati lapang, seperti dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandang mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.

***

Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali Han Tiong ikut merasa gembira. Ketika mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.

"Engkau senangkah melakukan perjalanan ini, Sin-te?"

"Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa seperti seekor burung keluar dari sarang terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?"

Han Tiong tersenyum. Kalau pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.

"Selama beberapa pekan ini engkau di rumah nampak berduka dan kecewa. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?"

Thian Sin menggeleng kepala, membuat kakaknya terheran. "Hwi Leng sudah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekalipun. Aku hanya merasa menyesal melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan, yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio maupun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.

"Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka."

"Hemm, aku masih belum mengerti."

"Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andaikata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andaikata dahulu aku tidak bersikap alim, andaikata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula dengan Hwi Leng, andaikata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!"

"Ah, omongan apa yang kaukeluarkan ini, Sin-te?" Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.

"Maafkan aku, Tiong-ko."

Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus, "Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanya didasarkan rugi untung, susah senang bagi dirimu sendiri belaka. Engkau kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal karena dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sesungguhnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal."

Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. "Apa... maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!"

Han Tiong menggeleng kepala. "Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan tentang Hwi Leng, dia matipun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggauta Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlalu mementingkan diri sendiri saja."

"Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Engkau agaknya terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena seorang pendekar tidak semestinya sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak seginya yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahitpun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?"

Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. "Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tidak akan mengulang kebodohannya lagi." Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu terdengarlah alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu sehingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.

Karena perjalanan itu melalui perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggauta Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggauta Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.

"Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!" Han Tiong berseru nyaring dan mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat dan sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.

Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. "Kami bukan datang sebagai musuh," kata Thian Sin. "Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini."

Tiba-tiba seorang di antara para anggauta Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.

"Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua..." kata orang itu.

Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin, dan tersenyum, "Bangkitlah, kalian tidak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?"

"Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan telah meninggalkan kami. Kami adalah anggauta-anggauta yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini." jawab orang pertama. Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.

Kemudian orang itu menceritakan bahwa semenjak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh dua orapg pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka mereka itu berturut-turut kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang mempunyai keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.

Setelah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meningalkan banyak juga harta benda untuk mereka.

"Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga memiliki anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang jahat dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain.

 

Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali kepada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apabila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini."

Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kemudian dua orang pemuda itu lalu meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi mempergunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar.

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, "Ada apakah, Sin-te?"

"Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, dan di depan kita karena mereka merasa takut, tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu. Akan tetapi kelak, aku yakin bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apalagi kalau ada yang memimpin mereka."

"Hemm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?"

"Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok mereka itu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat seperti mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!"

Han Tiong tersenyum, "Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka."

"Mengasihani orang jahat?"

"Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit..."

"Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?"

Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

"Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?"

"Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat."

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja, pada tujuh tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

"Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun," demikianlah pesan Cia Sin Liong. "Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama."

Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar. Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampni ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa. Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dlhadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya, tidak suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati. Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk "menghukum" ayahnya sebagai pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

"Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu," kata Han Tiong kepada adiknya.

"Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok," kata Thian Sin.

"Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan pakaian, baru kita jalan-jalan," jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu benar dan tepat.

Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka, dia tidak akan menang melawan kakaknya. Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu. Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap.

Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng.

Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu.

Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seerang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali. Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!

Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah.

Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.

"Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?" tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat. Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar.

"Sampaikan ini kepada pengurus restoran!"

Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini.

"Hei, pelayan!" Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat.

"Kongcu memanggil saya?" tanyanya.

"Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman." kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng.

Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan. Pada saat itu, semua tamu yang berada di loteng itu, tidak kurang dari sepuluh orang banyaknya, semua pria, menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik, Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, selain cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihias dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya. Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lalu berlari kecil menghampiri lalu menjura dengan lemah lembut dan manis gayanya.

"Ah, maafkan kalau saya terlambat, kongcu." katanya dan dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. "Kalian tunggu saja di bawah," kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya.

"Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, wajar bagi seorahg wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias."

"Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya tidak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Eh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu...!"

Pemuda itu hanya tersenyum. "Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu."

Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis. "Kongcu aneh, kenapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?"

"Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini..." Mereka lalu bicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi "tamu" atau sahabat dari pemuda yang mewah itu.

THIAN SIN dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen! Han Tiong sudah tidak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat dia memandang, pemuda itu tersenyum lebar dan mengangguk sedikit. Menyaksikan keramahan ini, mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu diapun memutar leher dan menghadapi kakaknya.

Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari situ muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki terisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan dan diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang laki-laki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua. Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka ketika para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka dan mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka.

"Hei, apa artinya ini?" Thian Sin berseru.

"Maaf, kalian tentu telah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain." kata Han Tiong sambil bangkit berdiri.

Pengurus restoran itu menjura dan mulutnya menjadi semakin lebar seperti robek. "Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!"

"Tapi... tapi... kami tidak mengenal dia," kata Han Tiong.

Pengurus restoran itu masih tetap tersenyum. "Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal amat royal, membagi uang seperti pasir saja." Setelah mengangguk dan membungkuk, pengurus restoran itupun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan.

Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, kemudian keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih nampak mengobrol dengan wanita cantik tadi, seolah-olah tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, diapun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah.

"Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!" kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar.

"Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya."

"Tapi... tapi kami tidak mengenal Anda..."

"Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian, akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini dan akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi."

Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang sejak tadi mendengarkan saja kini berkata. "Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona..."

Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum dan mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong.

"Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?" Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri.

Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai ketika membungkuk. "Ahhh, saya merasa amat terhormat sekali..." katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam.

Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan penawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang begitu memikat sikapnya, sikap genit sungguhpun kegenitan ith halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar.

Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan sungkan.

Baik Han Tiong maupun Thian Sin bukan peminum arak dan biarpun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena orang itu sebagai fihak tuan rumah sudah menuangkan arak, terpaksa mereka mengangkat cawan dan meminumnya ketika Wi Hong berkata. "Silakan minum demi persahabatan kita!"

"Saya telah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Maka saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap."

Biarpun mereka belum berpengalaman, namun istilah "kembang daerah hiburan" itu mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentu pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan duduk semeja dengan seorang pelacur!

"Nama saya Thian Sin," kata Thian Sin dengan cepat.

"Aih she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!" kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han Tiong. "Dan Anda?"

"Saya bernama Cia Han Tiong," jawabnya sederhana.

"She Cia? Ah, kalau Cia cukup banyak, bahkan terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini keluarga Cin-ling-pai? Aha, tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?"

"Kami berdua adalah kakak dan adik angkat." kata Han Tiong cepat, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja dan dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi.

Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya dan berkata, "Terima kasih... tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja."

"Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan." Wi Hong ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang bercakap-cakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan saja.

"Saya sendiri bukan orang kota raja," antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya, "saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering pesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah, juga mempunyai sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara..."

"Kami datang dari dusun, di utara kota raja..."

"Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian, saya mempunyai kenalan baik yang duduk sebagai anggauta panitia ujian..."

"Ah, sama sekali bukan!" kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian siucai (sasterawan)! "Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini."

"Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging dan sayurnya. Mari, jangan malu-malu!" Wanita itu dengan gaya memikat lalu menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur dan diletakkan ke dalam mangkok Thian Sin dan Han Tiong. Dua orang muda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa.

"Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi, para pangeranpun merindukannya dan sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru turun dari sorga!"

"Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, bisa remuk aku!" kata wanita itu sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah.

Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena wanita itu ternyata selain ramah, juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lain dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati!

Tiba-tiba semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng. "Tidak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!" Terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan.

Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat. "Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!" katanya kepada Siangkoan Wi Hong.

"Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa," kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga.

Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apalagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga agar jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka telah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walaupun mereka merasa tidak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja!

Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru, tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini.

Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton.

"Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!" Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.

"Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat..." Wanita itu coba untuk memberi alasan.

"Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!"

"Siauwya, harap maafkan aku..." Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. "Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya..."

"Apa! Kaukira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kaukira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti? Kalau tidak..." Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.

"Brakkki!" Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong.

Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.

"Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!" bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.

"Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwapun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuroh keluar dengaw paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!" Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi "tring" sebagai penutup kata-katanya tadi.

Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. "Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?"

"Tringg...!" Yang-kim itu disentil kembali.

"Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu..."

"Tranggg..."

"Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!"

"Cringgg...!"

Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu.

"Bocah kepar... anghhh...!" Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.

"Aahhh... aukkk... kekkk...!" Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.

"Blukk!" Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dari mengelinding di atas lantai.

"Hajar dia! Hantam dia...!" Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.

"Plok! Plok!" Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan daging itu tiduk masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap!

"Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?" Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.

"Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!" Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu.

Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa terhina dan malu sekali. Sing! Sing! Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua prang kakak beradik ini tadi telah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu!

"Ha-ha-ha!" Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat!

Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu.

Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu! Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka, wajah mereka pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara "krek-krek-krek!" dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka!

Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. "Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!"

"Tring! Trang!" Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan.

Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya. "Mari pergi!"

Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. "Mengapa kalian tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat keperglan kalian." Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi dari restoran itu.

Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. "Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran kami..."

"Aih, engkau ini kenapa sih?" Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.

"Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar"

"Hemmm, aku tidak takut."

"Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah, tolonglah, kongcu!"

"Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?"

"Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar."

"Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?"

"Benar, kongcu."

"Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dun daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!" katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu menyambutnya dengan sorak gembira.

"Siang Hwa, mari bernyanyilah!" Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu. Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali dan terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa sulingnya, tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu.

"Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?" pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan.

"Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian," Dan sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga!

"Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka

masih belum berpengalaman dan muda belia

namun demikian tenang dan gagah perkasa

pasti bukan anak burung biasa belaka

setidaknya tentu anak burung garuda!"

Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata amat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu terisi pujian bagi mereka berdua, namun sekaligus seperti telah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya.

Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, mendengar nyanyian ini, timbul kegembiraan hatinya. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan diapun merupakan seorang yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, maka dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap yang menggembirakan dari Siangkoan Wi Hong itu.

Bagaikan tak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian sederhana saja sehingga mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari suara Siangkoan Wi Hong tadi!

Lemah lembut, ramah dan baik budi

sebagai sahabat yang menarik hati

dengan sumpit menyuguhkan hidangan berarti

dengan sumpit pandai membela diri

dengan yak-kim pandai menghibur hati

membuat sajak dan bernyanyi memuji

sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai!"

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, "Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!" Dan diapun minum arak secawan itu.

Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberantannya dan tak lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali. Suasana di loteng restoran itu menjadi gembira karena para tamu yang diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, kini disuguhi nyanyian merdu lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena merekapun sudah mulai mabuk. Hanya Han Tiong yang nampak tenang dan serius, sungguhpun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Namun, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat tajam penuh selidik dan diapun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan indah sekali. Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan "dunianya" karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguhpun adiknya itupun, seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk.

Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di tepi loteng dan menjenguk ke bawah menjadi pucat. Biarpun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi.

"Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!"

"Mungkin dibunuh!"

"Dituduh pemberontak!"

Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang, "Saudara-saudara semua, duduklah di tempat masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, karena akulah yang bertanggung jawab. Jangah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada di antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi..."

"Aku... aku tidak sanggup... kongcu..." Siang Hwa menggeleng kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya dipasang baik-baik mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng.

"Siangkoan-twako, biarlah aku yang bernyanyi," tiba-tiba Thian Sin berkata.

"Bagus!" Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira.

"Kaisar dan para pembesar berpesta-pora

dalam kemewahan gedung istana

siapa berani mengganggunya?

Kita rakyat biasa

dengan hidangan seadanya

bergembira ria

apa salahnya?

Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentera

yang katanya pelindung rakyat jelata

Hayaaaaa...!"

Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya memakai pakaian seragam dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.

"Jangan bergerak semua yang berada di loteng!" komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. "Siapakah di antara kalian yang telah berani memukul Ji-siauwya?" Sepasang mata komandan itu dengan tajam menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus.

Sunyi di tempat itu setelah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab, "Akulah orangnya!"

Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya. Tangan kanannya sudah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya sudah maju, siap membantu komandan mereka kalau dipertntahkan.

"Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau kepadaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, lupakah engkau?"

Sementara mata yang tadinya marah itu makin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat setelah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura. "Ah, kiranya Siangkoan-kongcu! Ah, maaf... akan tetapi mengapa kongcu..."

"Hemm, puteramu yang tak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya." Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan keren.

Tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang tadinya keren memerintah itu kini berubah penuh permohonan. "Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami... kongcu tolonglah putera kami itu..."

"Hemm, kalau aku tidak mengampuni mereka, apakah kaukira mereka itu sekarang masih hidup?" kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu.

"Kongcu, sudah kuperiksakan tabib istana... katanya tidak ada harapan... keracunan hebat, tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja..."

Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. "Kalau sudah tahu puteranya hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?" Dia membentak.

Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan. Siangkoan Wi Hong mengangguk. "Baikiah!" Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring bunyinya ke atas meja.

"Siang Hwa, kaubayar semua hidangan, dan sisanya untukmu."

Wanita itu mengambil kantung uang dan menjura. "Terima kasih, kongcu." katanya dengan suara merdu.

"Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula." Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak sembarangan, sambil mengangguk dengan senyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandangnya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya seperti seorang perajurit memanggul tombak, dan jari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring.

Tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang amat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan memiliki hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja. Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu bahkan seminggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan. Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta.

Han Tiong mengajak adiknya meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu. "Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!"

"Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main."

"Ehh...?" Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. "Kejam? Justeru sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong..."

"Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan membuat kita kehilangan kewaspadaan. Kalau engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanya baiknya saja, sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Sebaliknya, kalau kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?"

Thian Sin mencoba membantahnya, "Tapi... mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-weriang. Si Bopeng itu sombong sekali, dan dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah layak dipukul!"

"Hemm, dan layak dibunuh pula?"

Thian Sin tidak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak ada terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapapun juga, dia tetap membela, "Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andaikata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?"

"Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andaikata terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya."

"Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!"

"Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, betapapun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sin-kang yang kuat, dan agaknya kita masih akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!"

"Ah, kita menolong orang jahat itu?"

"Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!"

Terpaksa Thian Sin mengikuti kakaknya dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah mereka dapat menemukan rumah gedung dari Ji-cianbu, perwira pengawal istana itu. Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi oleh Ji-cianbu ke tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan gedung. Han Tiong lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, lalu menggunakan ilmu kepandaian mereka untuk meloncati pagar tembok, memasuki taman dan dengan loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas wuwungan rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng.

Mereka melihat Siangkoan Wi Hong duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan yang luas dan di situ terdapat tiga buah dipan di mana rebah terlentang tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka pucat agak kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah.

"Hemm, kenapa begini lama?" terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, suaranya mengandung ketidaksabaran.

Perwira itu bangkit dan menjura, dengan gugup, "Harap kongcu bersabar... tentu kongcu maklum betapa sulitnya bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan pangkat dan gaji kecil seperti saya... sabarlah karena tentu isteri saya sedang mencari pinjaman ke sana-sini..."

"Ha-ha-ha-ha, Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak mengetahui keadaan para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar lainnya, bahkan pembesar tinggi sekalipun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat isi rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Kalau hanya mengandalkan gaji kalian, biar kalian bekerja sampai tujuh turunan sekalipun tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha, semua orang pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak ada orang tahu. Sudahlah, cepat sediakan jumiah yang kuminta, itu masih terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak, aku akan pergi, karena aku masih mempunyai banyak urusan!"

"Baikiah, baiklah..." Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia berbisik, "Cepat, minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu."

Siangkoan Wi Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada pemuda ini, Ji-cianbu menjura dan bertanya, "Yakinkah benar kongcu bahwa kongcu akan dapat menyembuhkan anakku?"

"Cringgg!" Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu demikian nyaringnya sehingga Ji-cianbu terkejut dan melangkah mundur.

"Aku yang memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!"

Tak lama kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan uang kain kuning. Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda itu menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung dan melihat isinya yang ternyata uang-uang emas, potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya, kemudian memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia berkata. "Buka baju mereka!"

Ji-cianbu memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou Mu dan dua orang tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali seperti dilukis dengan tinta. Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi satu itu!

Siangkoan Wi Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa jalan darah di sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian, nampak asap atau uap mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar! Ji Lou Mu mengeluh dan mengerang kesakitan, dihardik oleh Siangkoan Wi Hong. "Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri sedikit saja sudah merengek cengeng?" Dibentak seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai mukanya penuh keringat. Tak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan ternyata tanda hitam itu telah lenyap.

"Kautelan ini, sehari sekali, tiga hari berturut-turut," katanya sambil menyerahkan tiga butir pel hitam kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima kasih.

Dengan sikap tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka tidak berani mengeluh walaupun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat. Akhirnya merekapun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga butir pel hitam.

"Nah, aku pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali jangan bersikap sembarangan dan sewenang-wenang!" Setelah berkata demikian, diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya dan keluar dari gedung itu. Dia menolak ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ.

Sejak tadi, Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin merasa terkejut sekali. Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu memeras minta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu dan dua orang tukang pukulnya! Segera setelah Siangkoan Wi Hong pergi, merekapun diam-diam meloncat turun dari atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat itu.

"Hemm, lima puluh tail emas...!" Han Tiong bersungut-sungut.

Thian Sin maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan terapi sejak tadi memang ada dua hal yang bertentangan berada dalam benaknya, yang pertama dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang melakukan pemerasan, akan tetapi di lain fihak diapun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu dapat diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir semua pembesar di jaman itu, merupakan koruptor-koruptor besar yang memeras keringat rakyat dan harta milik negara.

"Akan tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak kalau orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu."

Han Tiong menoleh dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Sin-te, apakah dengan kata-kata itu hendak kaumaksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang she Siangkoan itu."

"Tidak, koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan akan tetapi aku setuju kalau orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik."

Lega rasa hati Han Tiong mendengar jawaban adiknya itu. "Di kota raja ini banyak terdapat orang pandai, tepat seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum lagi tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus hati-hati, Sin-te, sedapat mungkin jangan sampai terlibat dengan mereka seperti yang telah terjadi tadi."

Mereka melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar. "Betapapun juga, orang she Siangkoan itu amat menarik hati, dan aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya."

"Hemm, kurasa dia itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya. Kalau dia mau, dia dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu saja sudah membuktikan bahwa dia memiliki khi-kang yang kuat. Dan ketika dia meloncat dan menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan gin-kangnya, kemudian ketika dia mengobati mereka itu dia mampu menggunakan sin-kang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia seorang lawan tangguh sekali!"

"Justeru karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai musuh."

Ketika mereka tiba di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang menyambut mereka di depan pintu, melainkan Siangkoan Wi Hong! Sambil tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura.

"Selamat malam, sahabat-sahabatku yang baik," kata pemuda itu dan terpaksa dua orang kakak beradik ini membalas penghormatan orang dan diam-diam merasa heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam! Kini setelah mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, nampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak jangkung, lebih tinggi daripada mereka berdua.

"Siangkoan-twako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?" tanya Thian Sin, tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini.

"Ha-ha-ha!" Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu depan losmen menimpanya. "Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku mempunyai banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya mencari tahu di mana kalian bermalam!"

"Saudara Siangkoan Wi Hong, sesungguhnya keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah datang ke sini dan menanti kami berdua?" Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya memancarkan cahaya yang membuat Siangkoan Wi Hong merasa gugup.

Siangkoan Wi Hong menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis, "Ah, setelah mendengar bahwa kalian tinggal di sini, aku cepat-cepat datang ke sini untuk menawarkan kamar dalam rumahku kepada kalian. Sebagai sahabat-sahabatku yang amat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini. Marilah, ji-wi lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di rumahku selama ji-wi berada di kota raja." Dengan mengembangkan lengannya orang she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan menyenangkan sekali sehingga Thian Sin sudah menoleh ke arah kakaknya dan memandang kakaknya dengan sinar mata penuh persetujuan menerima undangan itu.

Akan tetapi Han Tiong sambil tersenyum berkata dan menjura. "Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini daripada di rumah Siangkoan-loheng, oleh karena itu harap loheng tidak kecewa dan tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih."

Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya dan menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada sang kakak angkat. Diapun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memilki sinar mata seperti naga itu adalah orang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan diapun menjura.

"Baiklah, kalau ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku sebelum meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orangpun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya rumah kami."

Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura dan berkata, "Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan. Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu."

"Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!" Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu.

Mereka memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, "Orang itu sungguh aneh, dan mencurigakan sekali." kata Han Tiong.

"Aku girang dapat bertemu dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat."

"Tidak, Sin-te. Jangan kaulakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat ini, apalagi kita tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kaukira kita dapat lagi menyimpan rahasia kita? Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita datang dari Lembah Naga, apalagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng..."

"Hemm, aku tidak takut!" kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Dan dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan!

"Siapa bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, bukan untuk memancing terjadinya keributan, dan kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah kepadaku, bukan?"

Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya "Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kaukita aku sudah gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini."

Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya sudah "tenang" kembali itu, Han Tiong mengajak adiknya tidur. Akan tetapi baru saja mereka akan pulas, pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara itu sudah cukup membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria sambil tertawa-tawa dan tubuh sempoyongan memasuki kamar. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu saling pandang.

"Eh, kenapa begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian menempati kamar kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?"

"Hayo keluar!" kata orang ke dua dan mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan.

"Keparat mabuk!" Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han Tiong.

"Mereka ini mabuk, perlu apa dilayani?" katanya kepada adiknya. Kemudian dia melangkah maju menghadapi dua orang itu. "Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi." Berkata demikian, Han Tiong dengan halus mendorong mereka keluar.

"Apa? Kau hendak memukul?" bentak seorang di antara mereka dan orang itu sudah mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong. Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya. Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong diam saja dan dia melarang Thian Sin yang marah-marah hendak menghajar mereka itu.

Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga. "Tiong-ko, engkau terlalu sabar!" Thian Sin mencela. Orang-orang mabuk kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!

"Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah."

"Tapi mereka memukulmu tadi!"

"Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Kalau aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang mabuk?"

Mereka tidur lagi dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya. Dengan kedua tangan membawa keranjang-keranjang terisi buah macam-macam, mereka berjalan kembali ke losmen.

Ketika mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tidak menyangka-nyangka, biarpun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu terbuka keranjangnya dan buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah!

"He, di mana matamu?" bentak pemuda tinggi besar itu dan dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar berlagak seperti jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota besar. Mereka dengan angkuh lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu.

"Heiii, itu buah-buah kami...!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.

"Harap kaumaafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."

Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.

"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.

"Apa maksudmu Sin-te?"

"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"

Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu berkata, suaranya tenang dan tegas, "Adikku yang baik, engkaupun tahu bahwa justeru seorang pendekar adalah orang yang tidak mudah marah menurutkan perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula."

"Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!" Thian Sin membantah.

"MEREKA itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita?" Mereka gila dan kitapun akan menjadi gila pula. Mereka itu adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya, dan sama jahatnya?"

"Tapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!"

Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. "Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita? Kalau semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi tentu keributan akan terjadi setiap hari dan para pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanyalah orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Kalau kita melayani, berarti kita ini malah membantu kekacauan mereka. Sudahlah, anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku."

Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya dan diapun melihat kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sunggub tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang sedemikian remehnya. Justeru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah "masak". Maka hatinyapun menjadi dingin dan tenang kembali.

"Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan ternyata penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamalan hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau terlalu lama berdiam di lempat seperti ini."

"Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita telah berjanji untuk singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong."

Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula diapun tahu bahwa adiknya ini diam-diam amat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu. "Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu telah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja. Dan ternyata sepagi itu, Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya alat ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini merupakan senjata yang amat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.

"Ah, selamat pagi, selamat pagi! Gembira sekali hatiku mendapat kunjungan kalian! Silakan duduk... eh, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah." Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya dan mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.

Siangkoan Wi Hong memesan agar dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata, "Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang dan dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!"

Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak mengira sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!

Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan dan malu-malu ketika para pelayan datang membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam.

Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah daripada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walaupun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati! Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran mengapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai "bunga" pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biarpun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang telah dibacanya Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi seperti juga halnya pelacur yang pernah menemani kongcu ini di rumah makan tempo hari. Maka, Han Tiong merasa kikuk den malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak "alim", padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!

Melihat betapa kikuknya sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana dan dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tidak lagi memperkenankan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.

"Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi ketika engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?" Thian Sin tak dapat menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini. Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini amat gagah perkasa dan juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.

Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.

"Ha-ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang telah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!"

Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak cahaya kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, "Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?"

"Aku memang sengaja memukul anaknya, dan tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!"

"Mengapa loheng menganggap mereka busuk?" Thian Sin mendesak, memandang kagum.

"Tidakkah busuk mereka? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang sombong dan kasar dan sudah biasa dia bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Dan ayahnya... hemm, coba bayangkan, sebagai berpangkat kapten seperti dia mampu membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahunpun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai yang sewenang-wenang, tidakkah pantas mereka itu dihajar?" Kembali Siangkoan Wi Hong tortawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.

"Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris tiga orang itu terbunuh..." Han Tiong berkata mencela halus.

Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. "Saudara Cia Han Tiong tidak mengerti agaknya tentang jiwa pendekar! Pula, andaikata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?"

Han Tiong menunduk dan tidak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, "Maaf kalau saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu."

"Hemm... Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan datang segera!" kata Siangkoan Wi Hong.

Akan tetapi pada saat itu, Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar! Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.

Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, "Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?"

Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, "Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku."

"Apa? Apa maksucimu dengan itu?" Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.

"Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan..."

Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong menyambung, "Bukan dua orang pendekar seperti yang kausangka?"

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"

Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiripun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka diapun mengangguk dan menjawab, "Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat."

"Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!" kata pemuda itu dengan sikap gembira karena betapapun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini. Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruantgan tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan-lukisan binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat. Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti batu-batu besar untuk diangkat, karung-karung pasir dan sebagainya.

Di sebelah kiri, dekat dinding, terdapat belasan bangku dan sebagai kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat tiga orang pemuda itu memasuki ruangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu uslanya lebih dari enam puluh tahun, rambutnya sudah putih sebagian, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.

Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan dua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lalu duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah betdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, "Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?"

Yang ditanya mengangguk, tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. "Silakan duduk, Lo-enghiong." Kakek itu nampak tidak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, diapun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiripun lalu duduk menghadapi kakek itu.

"Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?"

Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranyapun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, "Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!"

Siangkoan Wi Hong agaknya memang sudah maklum, maka jawaban itu tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia berkata. "Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak berjumpa dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghlong?"

"Siangkoan-kongcu, harap kongcu tidak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu."

"Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kaumaksudkan, Lo-enghiong?"

Kakek itu semakin tidak sabar nampaknya. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. "Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun dan kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apalagi kalau bukan minta agar kongcu mengawininya?"

Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. "Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapapun..."

"Kongcu hendak menyangkal? Cucuku telah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!" Kakek itu membentak marah.

"Siapa menyangkal?" Dia lalu menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. "Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak manapun, telah memadu kasih. Eh, kini tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawah apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia..."

"Siangkoan-kongcu! Aku adalah sebagai tua, tidak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kaurusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?" Kakek itu bangkit berdiri.

Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah sebagai laki-laki yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan manapun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!"

"Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina sebagai tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?" Kakek itu membentak.

"Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?"

"Siangkoan Wi Hong! Jangan mengira bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kubormati. Sungguh tidak tahu diri kalau aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera sebagai locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingge dia terjatuh dan kaucemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, akan tetapi untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawa sekalipun! Kalau engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap kalau engkau menolak, biarlah kutebus dengan nyawaku!"

Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek. "Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?"

"Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau sebagai di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah."

"Bagus sekali, memang akupun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh muda itu telah melayang ke tengah ruangan itu dan dia menggapai dengan sikap menantang sekali, "Mari, Kang-thouw-kwi!"

Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, kemudian dengan langkah lebar diapun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata, "Kang-thouw-kwi, kita bertanding sebagai sahabat ataukah sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat."

"Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai sebagai laki-laki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!"

Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. "Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!"

Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali ketika tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu seperti gerakan seekor harimau buas yang menggunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram dan dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang amat kuat! Namun, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunja pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung. Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.

Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.

"Heiiiiittttt...!" Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya. Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.

"Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?" kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus den melibat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya. Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan. Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat den beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kokebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.

Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang den tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat kni, Siangkoan Wi Hong tersenyum den pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah! Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Mereka dapat menduga pemuda itupun memiliki sin-kang yang amat kuat den dengan tenaga sin-kang yang memenuhi perut, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kangnya itu tidak jauh lebih kuat daripada tenaga dorongan kepala lawan, banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya.

Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan diapun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan seluruh tenaga karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya makin kencang dan setelah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lalu meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.

Akan tetapi, begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong sudah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas! Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seolah-olah memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Maklum dia akan kelihaian pemuda ini, maka diapun cepat mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahah karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apalagi setelah kedua lengannya lumpuh tertotok itu. Akan tetapi, betapapun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya seperti direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil, dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, dia akan tewas!

Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada delam bahaya, aplagi melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih mengerahkan sin-kang untuk membunuh kakek itu, sedangkan tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit. Thian Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya, menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.

"Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?" kata Thian Sin lirih sambir menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.

"Plak-plak-plak!" Tiga kali dia menepuk dan akibatnya sungguh hebat. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya dan dia kini berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang tadi tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin. Dia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa dingin sampai menusuk jantung. Maka dia terkejut sekali dan terpaksa melepaskan korbannya. Kakek itu begitu terlepas lalu terguling dan sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan!

Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong cepat menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong. "Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja."

Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia sudah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, "Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia."

Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, "Loenghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa dengan sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu."

Kakek itu kini sudah terbuka matanya, tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan main. Tepukan-tepukan pada pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya dan sampai di kepalanya, membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka diapun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong.

"Aku tua bangka yang tiada berguna memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap." Maka diapun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Setelah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti.

"Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh." Dia menatap tajam kepado Han Tiong, lalu berkata. "Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah heberapa tahun yang lalu?"

Han Tiong tahu bahwa kini tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Dengan tenang diapun berkata, "Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu."

"Dan aku adalah Ceng Thian Sin!" Thian Sin menyambung cepat.

"She Ceng...?" Siangkow Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu.

"Benar!"

"Kalau begitu... mendiang Ceng Han Houw..."

"Dia adalah ayahku!"

"Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!" Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu sungguh lancang sekali memperkenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi pemerintah itu sungguh amat berbahaya. Maka dia cegat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.

"Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan."

Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, "Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!"

"Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!" Han Tiong membantah dan menolak.

Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. "Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asal orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang, putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, kedua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimanapun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!" Setelah berkata demikian sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali dan bermunculan enam orang dari pintu belakang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.

"Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira," kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira.

"Tapi, kongcug perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!" kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba mendelik dan suaranya terdengar ketus, "Tolol! Kalian maju berenampun jangan harap akan menang!" Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.

Sementara itu, Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!"

Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tidak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia mengangguk, akan tetapi berkata dengan suara penuh peringatan, "Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!"

Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin. Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapapun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.

Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, "Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!"

Si Tinggi Besar menjadi marah. "Serbu...!" dia memberi aba-aba dan lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan merekapun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka.

Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang! Terdengar bunyi "krek!" setiap kali dia menangkis dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh den ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tidak dapat menyerang lagi.

Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, sekali tangkis mematahkan lengan lima orang penyerangnya! Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar sudah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia sudah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin. Kalau dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini, akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.

Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menanti sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krokkk!" Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan... tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena kalau teman-temannya itu hanya menderita tulang sebelah lengan yang patah, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Terpaksa teman-temannya, dengan sebelah tangan saja, membantunya dan menggotongnya keluar dari tempat itu!

Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Teringat dia akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu dan diam-diam diapun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, "Ah, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!"

Akan tetapi Han Tiong sudah menjura kepadanya, "Saudara Siangkoan harap suka maafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita."

Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam diapun melakukan pilihan. Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunan ini lebih condong untuk menjadi segolongan dengan dia, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai dan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sedapat mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Tiong harus dimusuhinya!

"Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat daripada kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah, dan aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!" Jelas bahwa kini pemuda hartawan itu menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.

Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan."

"Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?"

"Terserah penilaianmu," jawab Han Tiong tenang.

Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. "Siapa bilang kami takut padamu?" bentaknya. "Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!"

Thian Sin tidak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, "Tidak perlu kakakku turun tangan, akupun sudah cukup untuk menandingimu!"

Biarpun hatinya menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapapun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapapun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya dan kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan semua orang.

"Baik sekali, biariah kita main-main sebentar, Saudara Ceng!" Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya sudah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin! Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu laju seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan.

"Dukkk!" Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar, dan pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang amat kuat dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.

"Dukk!" Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sin-kangnya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi.

Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.

Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga inipun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Terjadilah serang menyerang, saling pukul elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama makin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang kelau pertemuan antara kedua lengan itu amat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga. Setelah lewat lima puluh jurus dan belum dapat mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru benar-benar terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tidak kalah olehnya! Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas.

"Brettt-brettt...!" Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang amat cepat dan aneh itu biarpun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya dan membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguhpun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka. Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas seperti itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan sebagai manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukan menghadapi manusia burung yang datang dari atas.

Setelah berhasil merobek baju di kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan diapun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.

"Wuuutt... wuuuttt...!" Angin menyambar-nyambar hebat ketika dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.

"Sin-te, jangan...!" Han Tiong memperingatkan dan Thian Sin sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawan terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka diapun cepat mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Dengan ilmu silat yang tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung serangan-serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapapun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea sehingga terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu. Selain gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang amat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang!

Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sin-kangnya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran. Ketika dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakannya.

"Plak!" Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.

"Ahhhhh...!" Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sin-kangnya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan. Dalam kagetnya, pemuda ini mengerahkan sin-kang untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kangnya tersedot keluar.

"Thi-khi-i-beng..." teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin sudah menyambar dan menampar punggungnya.

"Bukkk!" Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang pada punggungnya itu biarpun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, namun telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlalu parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan.

Melihat ini, Han Tiong cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.

"Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua," katanya, kemudian dia memberi isyarat kepada adiknya dan mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu. Siangkoan Wi Hong masih terlalu kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia telah dikalahkan, maka diapun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai daripada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya. Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan diapun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak mempergunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita rugi sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesalpun tiada guna. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi. Dengan hati penuh rasa penasaran dan menyesal, hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.

***

Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, kini merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang amat indah di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, kini tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!

Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, telah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, segera berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia. Banyak memang terdapat mahluk hidup di dunia ini, namun, betapapun nyaring suara mahluk-mahluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah penuh dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.

Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, diapun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalaupun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat menikmati keindahan alam apabila kita tidak membanding-bandingkan, apabila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apabila di dalam pikiran tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita sendiri, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat pada jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku.

Senja itu memang indah bukan main! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur, dapat menikmati keindahan senja itu sepenuhnya. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tidak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seakan-akan terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat. Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dilatarbelakangi warna kebiruan, biru yang mengandung kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuhing dan biru, warna-warna pokok, yang membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san.

Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil dan merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan warna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seolah-olah menunduk dan menghormati suasana yang hening, sedikitpun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.

Beberapa burung merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor mahluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak. Keadaan tadi yang diam dan hening seperti keadaan mati mengandung gerah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup itu, sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itupun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi.

Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian daripada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Sampai beberapa lamanya, mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mujijat memenuhi rongga dada.

"Ah, tak terasa hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah nampak dari sini, Sin-te." kata Han Tiong dan ucapan ini seperti menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.

"MARI, Tiong-ko," jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.

Baru saja tiba di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi oleh beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya.

"Berhenti!" bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid telah mengepung dua orang pemuda itu, "Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?"

Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. "Agaknya saudara-saudara tidak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai."

"Eh, siapakah engkau...?" tanya pemimpin para penjaga itu sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.

"Kami datang dari Lembah Naga!" kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi. Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenal Han Tiong bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu.

"Lembah Naga...?" tanya mereka gagap.

"Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami." kata Han Tiong.

"Ohhh...! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong...?"

Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, sedangkan beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka.

Tak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw dan Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong sudah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu masih nampak sehat dan segar, sedangkan isterinyapun memiliki tubuh yang langsing dan biarpun rambutnya sudah banyak yang putih, namun garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.

Biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biarpun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat diapun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapapun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik.

Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini telah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran dan ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa. "Aih, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang? Bagaimana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?"

"Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua," jawab Han Tiong dengan sikap hormat.

"Han Tiong, siapakah pemuda ini?" tanya Cia Bun Houw dan dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, sinar mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang berlutut di dekat Han Tiong itu.

"Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sesungguhnya diapun masih keluarga sendiri, karena dia adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin."

"Ahhh...!" Yap In Hong menahan seruannya.

Cia Bun Houw juga terkejut dan terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. "Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?" Kemudian disambungnya dengan suara lirih, "Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?"

Thian Sin memberi hormat. "Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayab-bunda saya."

Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. "Mari, mari kita bicara di dalam..." kata kakek dan nenek itu dengan ramah dan merekapun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.

Setelah mandi dan makan malam, baru kedua orang pemuda Lembah Naga itu dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menanti kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang sudah disuruh duduk bersama Thian Sin, segera bertanya, "Kong-kong, di manakan adanya Paman Cia Kong Liang? Kenapa sejak tadi saya tidak melihatnya?"

"Ah, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit," jawab Cia Bun Houw. Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan sambil memandang kepada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru.

"Bukankah... beliau itu... nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu... sudah begitu sering kumendengar tentang beliau dari ibu..."

Dia berhenti bicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi.

Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. "Sungguh baik sekali kalau engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah kalau engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya."

Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan suatu hal yang amat membahagiakan hati Cia Bun Houw dan isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu. Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa membela suaminya sampai darah terakhir.

"Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!" demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw. Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan diapun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa dalam pandangan mereka, dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanyalah seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya adalah kematian seorang pemberontak yang sudah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita perkasa yang setia dan mencinta suaminya!

Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup bersama suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini telah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin.

Sebaiknya kita mengikuti perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Adapun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Sebagai putera tunggal, tentu saja Cia Kong Liang sejak kecil digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dan sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan penggabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun). Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak menggunakan pasir beracun, melainkan kepandaian itu dapat dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendeknya, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan dipergunakannya sebagai senjata rahasia, merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan.

Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah akan tetapi juga tidak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian! Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, melainkan agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguhpun usianya sudah dua puluh dua tahun.

Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah manengok suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan di pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai.

Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih satu bulan lebih lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walaupun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat.

Yap Kun Liong yang dahulu terkenal sekali sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi (baca cerita Petualang Asmara), kini telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itupun masih kelihatan sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu seperti orang yang tidak sehat.

Yap Kun Liong dan isterinya merasa gembira sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya tenang akan tetapi alisnya berkerut, "Kong Liang, tentu saja kami merasa gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, di samping kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena sebelum urusan kami selesai, engkau datang. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini."

Pemuda itu memandang wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya.

"Paman, urusan apakah yang merisaukan hati paman dan bibi berdua?" Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apaiagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Agaknya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang menimbulkan kesukaran.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidaktenteraman juga."

"Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat, dan aku telah siap menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini telah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbul pertentangan di antara kami." Tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya. Kong Liang sudah mendengar bahwa bibinya ini memiliki watak yang keras di waktu mudanya, dan agaknya, biarpun sekarang sudah tua, namun kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya sudah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.

"Paman dan bibi, apakah yang telah terjadi? Musuh siapakah yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?"

Yap Kun Liong memandang isterinya, kemudian menoleh kepada keponakannya dan berkata, "Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kaubacalah sendiri."

Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu dan membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman dan bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Lalu dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia membaca surat itu, wajahnya sema sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia membaca sekali lagi.

Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng akan mati berikut semua mahluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang!

Tertanda,

KETURUNAN PADANG BANGKAI.

"Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?" Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat.

Yap Kun Liong menghela napas. "Siancai (damai)... sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudah diduga bahwa mereka ini tentulah keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu (baca Cerita Dewi Maut), dalam suatu pertandingan ketika kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami telah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi dan bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak mengira bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang." Kembali kakek itu menarik napas panjang.

"Aku tidak takut!" tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. "Biarpun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkahpun menghadapi musuh!"

"Aihh... sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita," Suaminya menghibur.

"Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja hal ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Kalau musuh datang, blarlah saya yang akan menghadapi mereka!" kata Kong Liang dengan sikap gagah.

"Engkau tidak perlu ikut campur, anakku."

"Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya."

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biarpun kami berdua sudah tua, namun karena kami selama ini hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang."

"Tapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!"

Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. "Sejak ribuan tahun kita dibuai oleh khayal seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana, hasilnya? Sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan."

"Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!"

"Demikianlah pendapat kaum pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sesungguhnya? Berhasilkah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan? Kurasa tidak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat dan kita menentanghya lalu membunuhnya! Berarti kitapun menjadi pembunuh yang tiada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!"

"Tapi, paman!" Kong Liang membantah. "Biarpun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, akan tetapi seorang pendekar membunuh justeru untuk menolong orang lain terbebas daripada kejahatan selanjutnya!"

Yap Kun Liong tersenyum. "Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar dan kami berdua dulupun beranggapan demikian, bahkan bibimu masih sukar melihat kejahatan betapa tidak benarnya anggapan seperti itu. Apapun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula."

"Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar rakyat dapat hidup dengan tenang dan makmur?"

"Kejahatan memang dapat ditundukkan oleh kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dahulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, datang untuk menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lain! Kebencian lain. Perdemalan tidak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam bernyala di hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas dan damai macam itu hanya sementara saja."

Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali dan akhirnya dia bertanya. "Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?"

Yap Kun Liong tersenyum. "Jangan tanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanyalah penyadaran lewat batin, agaknya hanyalah cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, kalau menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini."

Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. "Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi kalau mereka itu datang dan hendak membunuh paman dan bibi berdua?" Akhirnya dia bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.

"Jangan engkau sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarkan aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan agar mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini."

"Hemm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?" Cia Giok Keng bertanya penasaran.

"Tenanglah, biarkan aku menghadapi mereka. Kita lihat saja narti bagaimana perkembangannya. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik."

Karena Yap Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinyapun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa gembira sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya gembira karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu merupakan seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia amat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.

Malam itu Yap Kun Liong tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya musuh-musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Kalau mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim dulu peringatan, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri. Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, malam itu beberapa kali bangun dan keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekitar pondok sunyi itu, kemudian lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.

Pada keetokan harinya, pagi-pagi sekali puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus kabut. Hawa cukup dingin dan suasana amatlah sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di timur, akan tetapi cahayanya sudah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.

"Kukuruyuuuuukkk...!" Tiba-tiba keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, namun yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai permulaan tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.

"Kukuru... kokkk!" Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.

Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersamadhi. Dia dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang putus di tengah-tengah tadi, mengerti bahwa hat itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali.

Tiba-tiba terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, tiba-tiba gonggong itupun terhenti tiba-tiba dengan bunyi "kokk!" dan suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang lalu turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam, memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya dan dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tidak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar dan berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Ketika dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing! Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya telah datang! Dan, sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan, mula-mula mereka membunuh ayam-ayam dalam kandang kemudian membunuh anjing yang agaknya dapat mencium kedatangan mereka tadi.

Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas sekali. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.

 

"Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!" terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

"Bagus sekali, orang she Yap telah siap menerima kematian!" terdengar suara wanita yang nyaring dan berturut-turut, dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang! Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun, pakaiannya terbuat dari sutera yang halus namun potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat, rambutnya digelung dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas. Seorang dara yang manis sekali dan diapun sama sekali tidak kelihatan seperti orang jahat karena selain manis diapun berwajah ramah penuh senyum, sungguhpun pada saat itu dia memandang kepada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.

Adapun tiga orang lainnya adalah laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan den kekerasan. Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar di tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, sedangkan yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek inipun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka.

Kalau dara itu hanya tersenyum dan memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, "Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!"

Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya agar jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.

"Cu-wi berempat telah datang," katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, "dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?" Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.

"Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang untuk membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!" kata dara itu dengan suaranya yang nyaring.

"Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!" kata kakek yang telinga kirinya buntung.

Yap Kun Liong mengangguk-angguk. "Memang, tidak perlu kusangkal bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami dan tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andaikata kami gugur ketika mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga akan mendendam dan sakit hati atas kematuan kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tidak ada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar dan bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat daripada perbuatan mereka sendiri dan bahkan dapat dijadikan contoh agar nona sendiri tidak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?"

"Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!" bentak kakek bertelinga satu.

"Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?" bentak kakek berjenggot panjang.

Yap Kun Liong tetap tenang, "Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut akan kematian lagi. Tanpa kalian bunuhpun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini."

So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan diapun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu dapat menyelamatkan diri. Anak perempuan ini akhirnya menikah dengan seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat.

Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tewas oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan di dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Dan kebetulan sekali ayahnya adalah anak buah See-thian-ong dan pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan lalu dia diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, biarpun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek den nenek angkatnya itu.

Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang terisi ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu mereka lalu terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Akan tetapi pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan mereka itu ketiganya ditundukkan dan menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu tiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang telah ditemukan tempat tinggalnya oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.

"Nona So, kalau memang nona masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan daripada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku dan aku tidak akan melakukan perlawanan."

Mendengar kata-kata ini dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang begini agung sikapnya dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.

Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tua bangka pengecut!" teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong. Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sin-kang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mujijat Thi-khi-i-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya. Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka diapun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sin-kang yang melindungi tubuhnya.

"Bukkk!" Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sin-kang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!

Sejak tadi, Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan main dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda telah menangkis pukulan dua orang kakek itu.

"Plak! Plak!" Dua orang kakek itu terkejut merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah.

"Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?" Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung.

Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biarpun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san dan kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu! Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, dan cepat mereka menangkis serangan ke dua itu.

Sementara itu. dengan terheran-heran, Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga sudah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.

"Bagus, kalian hendak menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!" bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong. Pemuda ini cepat mengelak dan balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.

"Manusia-manusia berwatak iblis!" Thian Sin berteriak marah sekali dan membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.

Mula-mula, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu, kemudian mereka merasa khawatir sekali melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu untuk kemudian terheran-heran ketika melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka mengenal pukulan Thian-te Sin-ciang!

Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong dan Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri dan dia mulai mengenal Han Tiong. "Eh, bukankah dia itu Han Tiong?" teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.

"Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!" kata Cia Giok Keng girang. Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka diapun menjadi girang sekali melihat bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri.

Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu memiliki ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong. Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena ternyata dua orang pemuda itu biarpun bertangan kosong, mampu menghadapi dua orang lawan yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masib mengerutkan alisnya dengan khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiripun pantang untuk melakukan pengeroyokan.

"Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!" teriaknya.

"Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!" jawab Han Tiong dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terialu memandang rendah kepada Han Tiong. Maka diapun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat daripada gerakan pedang lawan. Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini. Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi menyambar dengan ganas dan ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang dan melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.

"Plakk!" Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.

"Sin-te, jangan bunuh orang!" Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sinpun ditarik kembali. Pada saat Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat kesempatan baik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.

"Desss!" Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang dan pedang itupun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan diapun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.

"Plakk!" Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itupun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu. Kakek itu bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, sepertl juga kakek yang terpukul pergelangan tangannya itupun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin dapat bertempm lagi setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah.

Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia sangat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sutenya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati.

"Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai," katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. "Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, siapakah yang akan menghadapi aku?" katanya sambil mencabut pedangnya. Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya, yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan dua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia sudah meloncat ke depan dan memegang lengan Han Tiong.

"Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!"

"Paman," kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula. Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan menyuruh mereka berdiri dan mereka semua kini menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung. Kakek itu menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. "Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!"

Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, biar dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekalipun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka diapun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya. Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah mainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!

Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yan mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang. Maka, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali kalau dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Cia Kong Liang memang memiliki gerakan yang amat tangkas dan kuat, diapun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah terus mendesak amat dahayatnya, sedikitpun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus.

Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut dan kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain amat indah juga aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, biarpun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itupun sudah pasti tidak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia mainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan. Memang, biarpun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga telah berusia agak lanjut ketika memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.

Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apalagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biarpun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tidak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang. Thian Sin dan Han Tiong terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir.

Akan tetapi Cia Kong Liang tidak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya dan lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, demikian cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!

"Ihhh...!" Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis. Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya dan menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya!

Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, "Kong Liang, jangan...!"

Namun pedang telah digerakkan, tak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengak kanannya luka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun yang perlu harus cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.

"Hemm, sungguh sayang pada paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku." Kata dara manis itu dan tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa ketika tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ahli dalam ilmu gin-kang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja.

Dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, nampak gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata, "Biarlah aku menghadapi nona ini!"

"Sin-te, jangan lancang!" Han Tiong mencela adiknya.

"Kalian mundurlah," kata Kong Liang yang masih memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. "Nona ini agaknya memiliki kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!"

Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya. Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguhpun dia masih terus memandang wajah dara yang amat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itupun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikitpun dia tidak gentar.

"Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tidak ingin membunuh atau terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?" Dara itu bertanya. "Aku telah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendan kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng."

Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apalagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali. Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Kiranya dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai daripada tiga orang kakek yang telah kalah tadi.

Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka diapun menjawab cepat. "Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua telah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup berani menentang paman dan bibiku."

Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di depannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antaranya adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena sudah terlanjur, dia tidak akan undur lagi.

"Siapapun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!" tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itupun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.

"Bagusi bersiaplah engkau!" bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun! Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali dan balas menyerang, sekali serang juga sudah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semua telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.

"Trang...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak.

Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. "Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesalkan urusan pribadiku ini." Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.

"Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kaubunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua itu adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja."

MELIHAT kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apalagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan amat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apalagi kalau mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.

"Sudahlah, mari kita pergi dari sini!"

"Tetapi... tetapi... dendam kita..." Kakek yang buntung telinga kirinya membantah.

"Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau lagi mendengar bujukan kalian!" kata So Cian Ling dan dia lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itupun berlari pergi.

Baru sekarang, setelah semua pengacau pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, "Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi."

"Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe," kata Han Tiong dengan sikap merendah, lalu memandang kepada Kong Liang sambil berkata, "Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!"

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. "Siapakah temanmu ini, Han Tiong?"

"Ya, siapakah dia ini?" Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu.

Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. "Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap."

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu Han Tiong berkata dengan hati terharu, "Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si."

"Ehh...?" Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. "Cucuku...! Ah, cucuku, tak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si..." Suaranya mengandung isak. "Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku...?"

Ditanya tentang ibunya, tentu saja Thian Sin merasa seperti ditusuk jantungnya. Dia menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. "Maafkan nek... mereka... ayah dan ibu telah tiada..."

Sepasang mata tua itu terbelalak, muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. "Apa...? Bagaimana...?" Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat menghampiri dan memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

"Mari kita bicara di dalam..."

Keadaan menjadi menyedihkan ketika tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok, setelah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan dan mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu dia melihat Thian Sin duduk di dekat situ, diapun menangis dan teringat lagi.

"Ah, Ciauw Si... Ciauw Si anakku... mengapa engkau yang masib muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku..."

Thian Sin menggigit bibirnya dan menahan agar jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

"Sudahlah, kematian akan datang kepada siapapun juga, muda maupun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya."

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tertekan, "Cucuku, ceritakanlah bagaimana ibumu sampai tewas?"

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita tentang pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng yang dibantu oleh pasukan dari Raja Agahai di utara, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng dan belajar di bawah asuhan pamannya itu bersama Han Tiong, dan betapa kemudian dia ikut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong berkata, "Hemm, segala macam perbuatan manusia tiada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tidak akan lepas daripada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas daripada sebabnya dan kita tidak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat daripada perbuatan suaminya, maka hal itupun tidak perlu disesalkan."

"Tapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tidak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!"

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. "Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?"

"Ah, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang..."

"Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka telah tiada, akan tetapi mereka meninggalken seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah," kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

"Cucuku...!" Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapapun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek dan nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.

Giok Keng merasa amat gembira dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat mempergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan tiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak mempunyai anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi keluar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Maka kalau dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol dan jauh melampaui dua orang pemuda lainnya. Dan diapun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasihat-nasihat dan menanamkan jiwa kependekaran kepada pemuda ini, dan diapun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia telah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang amat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian karena waktunya bagi Cia Kong Liang telah tiba untuk mewakili orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu!

***

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk ikut ke Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

"Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu dalam pesta perayaan itu tentu hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu amat penting bagi kalian orang-orang muda," demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga ingin meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, biarpun Kong Liang disebut paman oleh mereka, namun usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

"Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang.

Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta agar kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka kalau kalian salah bertindak sedikit saja dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku."

"Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan nonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?" Thian Sin hanya mengangguk, akan tetapi karena dia memang kadang-kadang mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seolah-olah menganggap mereka berdua masih "hijau" dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

"Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biarlah engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja." Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.

Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur. Sebetulnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas dan namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, maupun Korea. Dia adalah seorang "samurai" Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang. Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, seorang pengikut Daig II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama keluarganya. Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi bekas panglima itu tidak pernah padam cita-citanya, yaitu untuk sekali waktu keturunannya kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur!

Tung-hai-sian ini dikenal di Tiongkok sepanjang pantai timur dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya. Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat. Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan diapun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut dan karena dia terlahir di pulau kosong dan digembleng oleh segala macam ilmu oleh kakeknya, maka diapun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang. Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dia berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun, dia menghentikan pekerjaannya membajak dan bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam "datuk" yang menerima "bagi hasil" dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea.

Itulah sebabnya, dalam usia kurang lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan. Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya dan mendirikan perkumpulan yang dinamai Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, akan tetapi seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini karena setiap penjahat yang tidak tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti. Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh, dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seolah-olah menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam "pajak" kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu. Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambarkan pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tak seorangpun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga mahal. Juga Tung-hai-sian menanam banyak modal dalam perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.

Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, tidak kurang dari dua puluh orang, akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya ketika dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknyapun terlahir di Korea. Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu telah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri dan ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang.

Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian. Kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud.

Pertama, dia hendak memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang telah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan! Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, maka puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya maka dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Dan demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang kini diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya.

Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Adapun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga, tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.

Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Pekarangan depan yang amat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna. Tempat itu dapat menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang dari hampir semua perkumpulan-perkumpulan dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.

Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di situ. Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai. Kiranya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan kalau dia disambut sebagai tamu agung ditempatkan di ruangan kehormatan, yaitu panggung yang dibuat sengaja untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati. Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dahulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai.

Dan tiga orang pemuda itupun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang bukan lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhunya, ditemani oleh seorang suhunya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan. Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak memperoleh kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguhpun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapapun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling.

Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran mengapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguhpun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggautanya, yaitu golongan pengemis! Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggauta-anggauta yang semua memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggauta mereka tidaklah banyak, ketanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apalagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan. Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat karena setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai sekarang nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu.

Pesta itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal dan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya.

Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pengacara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musikpun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang, "Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah fihak tuan rumah, kami memberitahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberi selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Dan sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!"

Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang amat cantik dan manis, dan yang kabarnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri!

Tiba-tiba terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng dan terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang mengkilap. Bukan main cantik manis dan gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya dari sutera tipis itu menempel ketat di tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan segan karena sikapnya amat gagah. Dia berlari keluar, berlari kecil seperti seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali. Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Ketika dia tersenyum dan kedua bibir itu agak terpisah merenggang, nampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas. Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, Bin Biauw lalu menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah.

Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw.

Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biarpup usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang sudah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dan dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Sepasang matanya yang lebar itu amat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biarpun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun kakek ini dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu!

Bin Biauw menghampiri ayahnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Setelah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih oleh suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung, sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang hebat, pikir mereka. Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang, karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat dan semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Sungguhpun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, namun jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali! Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu semakin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanya bayangan merah terbungkus oleh gulungan sinar pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. "Sambutlah, anak Biauw!"

Tiba-tiba bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menanti sampai lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian, secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri... dan lilin bernyala itu agaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan berulah sesudah dara itu menghentikan gerakannya, lilin itu terjatuh ke atas lantai dan... berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang! Tentu saja kepandaian seperti itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapapun juga, tanpa memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Dan meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali.

"Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu. Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bahkan hanya melihat ilmu peding itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin lupa diri dan dia memuji sambil bangkit berdiri.

Melihat ulah adiknya, Han Tiong terkejut sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu tertarik sekali kepada dara yang cantik itu, karena diapun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik. Sementara itu, ketika menengok dan melihat pemuda yang amat tampan itu, Bin Biauw menjadi merah mukanya, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa takkan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya itu seorang pemuda yang demikian gantengnya? Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pengacara dengan kata-kata lirih.

Pengacara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, lalu berkata dengan lantang, "Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka dipersilakan kepada para pendekar muda yang mau menambah meriah pesta ini untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!"

Ucapan itu tentu saja disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Kalau seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya! Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur inipun tidak ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju? Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang amat lihai. Apalagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu!

Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang, "Thian Sin, kau duduklah!"

Teringatlah Thian Sin bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tidak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka diapun lalu duduk kembali. Bin Biauw kelihatan kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, karena datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang mantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup tampan dan gagah, apalagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang dia yakin tentu berkepandaian tinggi sebagai putera Pak-san-kui.

Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jerih untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri. Apalagi mereka yang duduk di bawah panggung, andaikata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekalipun, agaknya mereka masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di depan datuk itu, apalagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan.

Pembicaraan atau pengatur acara tadi telah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia lalu angkat bicara lagi dengan sikap ramah, "Bin-loya telah mohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini hadir wakil-wakil dari tokoh-tokoh besar, bahkan ada wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya."

Mendengar ucapan itu, So Cian Ling bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suhengnya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning. Pria ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguhpun dara itu merupakan sumoinya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling amat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk! Betapapun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh akan kepandaiannya, maka dia dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, sedangkan So Cian Ling hanya ikut suhengnya untuk menambah pengalaman saja.

Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak. Akan tetapi ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya ketika dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa... cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, melainkan terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah. Akan tetapi suhengnya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukan seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah. Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini amat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, ketika nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah.

Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan. Bin Biauw juga memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia sudah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguhpun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong!

Ciang Gu Sik maklum bahwa majunya itu diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia lalu memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, kemudian dia bicara, ditujukan kepada para tamu, "Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe menyebut nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini." Setelah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata.

"Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona."

"Ah, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau untuk maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh." kata Bin Biauw dengan gayanya yang lincah.

Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya dan dia berkata dengan lantang. "Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan memiliki tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!"

Bin Biauw tersenyum manis, menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. "Silakan Ciang-sicu memilih senjata!"

Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa-joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas.

"Tar-tarr!" Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.

"Bin-siocia, saya sudah siap!" katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.

Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. "Lihat serangan!" Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.

"Tar! Tringgg...!" Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian mcluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping menyambar ke arah pundak dan sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.

"Hemm...!" Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannyapun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!

Melihat ini, murid See-thian-ong itupun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni dan joan-piannya sendiri terbuat daripada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Nampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak. Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan pengerahan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena pertandingan itu bagi mereka merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing.

 

Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang pria yang mungkin menjadi calon jodohnya, melainkan hendak mempertahankan nama ayah dan juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu, sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian! Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tidak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas.

So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suhengnya itu terus didesak dan dia merasa menyesal mengapa suhengnya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa dapat menandingi puteri Tung-hai-sian itu. Biarpun suhengnya eukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi dibandingkan dengan lawan, dia itu kalah senjata, dalam arti kata kalah ampuh senjatanya sehingga keunggulan senjata itu membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya. Memang kalau hanya lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suhengnya, akan tetapi kini jelas nampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suhengnya itu telah terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang! Dan semua orang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suhengnya itu tentu akan kalah!

Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapapun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri lebih dulu dan setelah lawan menyerang tiga jurus, barulah dia mampu membalas dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru, "Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!"

Bin Biauw menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, dan dia menjura. "Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!" katanya dengan jujur.

"Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!" kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum. Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapapun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung.

Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu. "Jangan kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-1ing-pai. Hemm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!"

"Apakah paman hendak melayani nona itu?" Thian Sin berbisik.

"Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah oleh mereka yang duduk di atas panggung!" Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah karena dia dan dua orang keponakannya, walaupun sudah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!

"Ah, di sinipun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?" Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.

"Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, aku tidak bisa tinggal diam saja!"

"Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai," kata Thian Sin.

"Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai makin hancur lagi? Pula, kalau engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku."

Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira, "Siapa lagi di antara para pendekar yang ingin memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong telah ada waklinya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!"

Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga itu setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu.

"Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tidak ingin menikah, suheng!" kata Siangkoan Wi Hong berbisik. Tiga orang suheng itupun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka biarpun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Kalau hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali!

"Kongcu, saat ini, soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!"

Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan diapun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang amat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi dia harus melihat dulu kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak "Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui, berkenan untuk maju meramaikan pesta!" Mendengar ini semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing pedang, mereka bertepuk tangan.

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. "Paman Tung-hai-sian," katanya dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut "paman" agar lebih akrab. "Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju kalau main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Biarlah saya nenemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta."

Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. "Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat."

Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, lalu menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. "Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fibak kami jangan djanggap tidak bersedia memeriahkan pesta," ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula.

"Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya," kata Siangkoan Wi Hong sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw. Nona ini sejak tadi memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini karena pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang meremehkan! Pemuda ini amat angkuh terhadap wanita! Sungguhpun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan kepada wanita.

"Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu," jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok.

"Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku mainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?" Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayun benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi "tang-ting-tang-ting" yang berirama dan merdu! Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan mengira bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan kini yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat.

"Silakan, nona!"

Bin Biauw juga sudah menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apalagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi diapun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat mmggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Kini melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak. "Lihat pedang!" Dan pedangnya sudah menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagaikan halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan!

"Bagus!" Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis. "Trangg...!" kemudian diapun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu mainkan yang-kim, mainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah.

Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing.

Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa setelah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main! Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu ketika berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya.

Memang hebat pemude itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah batin dan jantung lawan! Fihak lawan dapat digetarkan jantungnya lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan.

Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seolah-olah mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali dan akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga.

Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat, membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, kalau tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung! Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Ternyata kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya agar membiarkan kedua orang muda itu melanjutken pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, kini keadaannya menjadi terbalik dan kalau Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Biarpun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan gembira sekali! Maka diapun hanya menyerang tanpa mendesak, sungguhpun kini permainan Bin Biauw tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti menusuk-nusuk telinganya itu.

TIBA-TIBA mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah, tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim. Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk dan kembali Siangkoan Wi Hong terdesak. Pada saat itu, Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. "Cukup... cukup... sudah mendekati seratus jurus!" Hebat sekali kakek ini, begitu dia "masuk", dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, setingkat dengan ayahnya barangkali.

"Maafkan kebodohan saya!" Siangkoan Wi Hong menjura.

Kembali Tung-hai-sian tertawa. "Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!" katanya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang, terdengar oleh semua tamu.

"Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, kalau diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta."

Tung-hai-sian tertawa. "Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara sahabat-sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?"

"Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?" Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sing "Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung."

"Aih, anak yang baik, jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apalagi yang berada di bawah panggung."

"Eh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!"

"Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?" Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran, bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut. Mereka memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu?

Sementara itu, mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya dan tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak. "Siangkoan Wi Hong, siapa takut padamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!"

Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian terkejut dan juga memandang heran.

"Apakah... apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya.

"Benar, saya Ceng Thian Sin adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!" kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu. Tung-hai-sian menjadi gembira sekali. Tentu saja sebagai seorang datuk persilatan, diapun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai. Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang telah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya. Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Biarpun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapapun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Ini saja sudah menarik perhatiannya dan dia segera mundur sambil berkata, "Silakan... silakan...!"

Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, dan kalau tidak mungkin, mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian! Tapi sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut!

Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak mengira bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang amat lihai itu. Kini dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi-i-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia menghadapi Thian Sin.

"Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" Siangkoan Wi Hong menantang.

Thian Sin tersenyum mengejek. "Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!"

Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong?

Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadipun dia sudah mengharapkan pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini untuk naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw segera melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong.

"Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!"

Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapapun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah! "Ah, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya..."

"Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kauwakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kauwakili untuk menghadapi siapapun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!" Bin Biauw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!

Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, lalu memandang kepada Thian Sin. "Hemm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!" Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, "Silakan, nona. Akan tetapi hati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi-i-beng!"

Mendengar disebutnya ilmu mujijat yang bagi kebanyakan orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah. "Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!" bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya.

Thian Sin menjadi bingung setelah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa.

"Akan tetapi... aku... aku tidak hendak melawanmu, nona..."

Bin Biauw tersenyum manis. "Apakah engkau menganggap aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?"

"Bukan... bukan begitu... tapi..."

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan gin-kang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata, "Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!"

Thian Sin memandang pamannya dan dia tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Teringatlah dia bahwa dia datang sebagai "anggauta" rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia mengangguk. "Maafkan, paman," katanya dan diapun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan tepukan tangan pada bahunya.

Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh. Memang sejak tadi dia sudah menjadi marah. Pertama-tama, karena dia sebagai wakil, apalagi putera ketua Cin-ling-pai diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan "kelas rendahan" dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapapun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar.

Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, dia tidak mungkin dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka kalau maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi-i-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Dia sendiri belum tahu bahwa ilmu mujijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apalagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia lalu meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu.

Kini dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. "Cu-wi yang terhormat," katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah dan juga para tamu. "Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang diantaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!"

Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras sekali, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tidak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung! Akan tetapi, diam-diam diapun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, semakin banyak kini bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguhpun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mujijat Thi-khi-i-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu.

Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Biarpun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, namun pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian! Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia adalah seorang pemuda yang amat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja dengan pandang mata sopan!

"Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh," katanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, "Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri."

Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata.

Melihat ini, Bin Biauw memuji, "Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!" Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini!

Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan kakinyapun tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali sinar pedang berkelebat ke arahnya, dia menggerakkan Hong-cu-kiam menangkis.

"Cringgg...!" Tangkisan pertama itu mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itupun sudah menangkis di belakang tubuh pemuda itu.

Terdengar bunyi berdencing nyaring berkali-kali dan nampak bunga api berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin seringlah pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tidak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke manapun sinar pedang Bin Biauw menyambar, selalu tentu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya.

Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang dapat membentuk pertahanan yang seperti benteng baja kokohnya dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apalagi dia memang memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat. Makin lama, serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis terdengar bunyi "trangg...!" keras sekali dan tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan diapun menjura.

"Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!"

Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mengalah sebelum dikalahkan. Diapun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena betapapun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.

"Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang lihai sekali. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?" kata datuk itu sambil tersenyum.

Diam-diam Kong Liang terkejut juga. Ilmu pedang ini menurut ayahnya, selama belasan tahun tidak pernah dimainkan di depan umum, apalagi dipergunakan dalam pertandingan, maka kini begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.

"Pandangan locianpwe amat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami."

"Bagus, bagus... dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu dan rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak."

Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Kalau tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah kepada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andaikata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andaikata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya diapun akan menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, setelah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, sudah cukuplah baginya.

"Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggungpun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah kepada kami yang duduk di bawah!" jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung.

"Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!" Kakek itu berseru dari atas panggung.

"Baik, locianpwe." jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula. Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyum akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya itu. Cia Kong Liang terlalu sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seolah-olah dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi diapun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja.

Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, "Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun."

"Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang."

Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, ketika dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan biarpun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sesungguhnya untuk mencari jodoh, namun sedikitpun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu. Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan dan melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam diapun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunya pikiran untuk mencari jodoh, sungguhpun sudah sering ayah bundanya mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu.

Mereka bertiga lalu bersama para tamu yang lain menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan dua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget dan memegang tangan ayahnya, alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin.

"Locianpwe, kami bertiga mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga," kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya.

"Eh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu... penting sekali..." kata kakek itu, akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat bicara dengan leluasa. Setelah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, Kong Liang berkata dengan suara smgguh-sungguh.

"Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri."

"Cia-sicu... kalau begitu, begini saja. Sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan sampaikan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk... bicara... eh, untuk mempererat persahabatan antara kita."

Wajah Kong Liang berubah merah akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu akan membicarakan urusan perjodohan. Apalagi? Antara Cin-ling-pai dan para datuk kaum sesat tidak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa.

"Baiklah, akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan... Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih."

Bin Biauw membalas penghormatan pemuda itu. "Sampai berjumpa kembali, Cia... koko..." kata dara itu dengan sikap manis sekali.

Setelah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya dan berkata sambil tersenyum masam. "Ah, Paman Kong Liang telah berhasil sekali ini."

Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. "Berhasil? Apa maksudmu?"

"Paman tidak hanya telah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya."

"Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!"

"Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian sudah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apalagi kalau tidak hendak membicarakan urusan pernikahan? Ah, kionghi (selamat), paman!" Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

"Gila!" Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. "Apa kaukira begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!"

"Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi diapun tiba-tiba saja menyebutmu... dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?"

"Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!" Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah.

Melihat ini, Han Tiong yang sejak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, "Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kaugoda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh."

Akan tetapi ketika mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan dan tiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang diantara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!

Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu. Melihat betapa enam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan.

"Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka kelau terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang."

Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, dan menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu.

Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas, "Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat."

Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu dan menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka datuk dari barat See-thian-ong dan dari utara Pak-san-kui telah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, maka tidak mengherankan apabila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling. Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu dapat mengalahkan, bahkan menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang segolongan dengan ayahnya sebagai datuk timur. Adapun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya "pendekar" dan yang sejak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu. Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang perbuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini. Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.

"Tring-tranggg...!" Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tertawa pemuda tampan pesolek itu. "Ha-ha-ha, sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah-wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!"

Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata, "Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami."

"Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!" Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam karena memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga saja.

"Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapapun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah melihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?"

Enam orang itu nampak jerih juga menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya amat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa girang bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang.

Akan tetapi pada saat itu, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang, terdengar suara keras, "Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!" Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon dan dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik seperti bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis! Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, akan tetapi pakaian itu tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, melainkan bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti model orang membawa pedang, nampak sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut.

"Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?" seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini. Dia tidak mengenal pribadi semua anggauta Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan "Hok-mo-pang" (Tongkat Penakluk Iblis) itu, tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai Lam-sin (Malaikat Selatan) yaitu datuk selatan.

Dua orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong dan seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, berkata, "Selamat bertemu, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang perkasa? Selamat jumpa!" Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat.

"Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!" pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula. Diam-diam mereka terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan Tung-hai-sian.

Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, "Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!"

"Akan tetapi mengapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?" So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi.

"Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?" Jawab si hidung melengkung. "Ah, mana kami berani?"

Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah bertemu dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin! Akan tetapi, Kong Liang sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, dan sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja! Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang inipun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas!

"Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!" kata Kong Liang yang sudah melangkah ke depan dan menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras. Dua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak.

"Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kauhadapi kami!" bentak si hidung melengkung sambil melintangkan tongkat di depan dadanya. Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat daripada tumbuh-tumbuhan dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mujijat!

"Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?"

"Kami adalah anggauta Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dahulu, Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tak tahu malu dan bosan hidup!"

"Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok dengan pendapat kami!" kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan untuk menambah semangat kepada dua orang pengemis itu. Hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya.

Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikitpun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut. "Jembel busuk lancang mulut. Apapun yang akan kuperbuat, apa sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!"

"Bagus! Coba saja, orang Cin-ling-pai sombong!" Dua orang pengemis itu sudah mengerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri Kong Liang tidak mau memberi hati dan pemuda perkasa inipun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggang sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung.

Dua orang pengemis ini seperti sebagian besar dari pada anggauta Bu-tek Kai-pang, dahulu adalah tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan yang menguasai seluruh pengemis bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu menjadi pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggauta Bu-tek Kai-pang. Jumlah mereka tidak banyak, hanya dua puluh empat orang karena Lam-sin tidak mau mengambil pengemis sebagai anggautanya tanpa diuji dulu. Ujian yang amat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggauta yang memiliki kepandaian tinggi itu, nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali.

Dan seperti para anggauta lain, dua orang tokoh inipun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian, akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara empat datuk, dan selalu merahasiakan dirinya, maka diapun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja!

Baru setelah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai mantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang.

Akan tetapi, sekali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat dan hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru! Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum. Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding yang pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya, keadaan membuat mereka berdiri saling berhadapan sebagai lawan.

Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena dua orang pengemis itu kini semakin penasaran dan mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Namun, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang sudah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu dan perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu makin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka.

Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, diam-diam Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada tiga orang suhengnya yang juga menjadi anggauta atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong.

Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, biarpun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggapnya rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang sungguh-sungguh berwatak jantan atau gagah. Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan di punggung masing-masing nampak sebatang pedang.

"Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!" kata seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu.

"Kami belum kalah!" teriak seorang di antara dua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya.

Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong mendongkol. Sudah jelas terdesak, dan tinggal menanti mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka.

"Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong kalau memang engkau jagoan!" Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu.

Kong Liang juga mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia berseru keras. "Kalau kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-sam-kui?" Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya.

"Paman, biarkan aku menghadapi mereka!" katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima!

"Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!" jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata "merobohkan" mereka. Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis, karena mereka tadi ditantang, jadi merekapun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok!

"Tiong-ko, fihak mereka masih ada, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!"

Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya ketika diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin, "Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!"

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, "Siangkoan-kongcu, biarlah aku yang menghadapi dia ini!" Dan tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih!

Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan.

"Hemm, kukira engkau telah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!"

Akan tetapi, So Cian Ling sudah menyerang lagi sambil berkata, "Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!" dara ini memang merasa tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan seorang di antara tiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah dan dia belum menguji sendiri sampai di mana kelihaian Thian Sin. Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biarpun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Sebaliknya malah, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik!

Akan tetapi Thian Sin tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dihadapi dengan pedang. Dengan amat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Wuut-wuuut-singgggg...!" Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar kuat, namun Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan ketika pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya menangkis.

"Eh...?" So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus kalau bertemu dengan pedang pusakanya. Namun gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin.

"Plakk!"

Dara itu terpekik dan meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main. Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sin-kang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sin-kang yang baginya masih terlatu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu!

"Engkau hebat...!" katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin. Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka diapun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apalagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat gin-kang dan sin-kang sepertl dia!

Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajari selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama setelah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini amat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji.

Siangkoan Wi Hong sejak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa semakin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tidak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan sekarang, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin.

"Bocah sombong!" teriaknya dan dia sudah menerjang maju.

"Plakk!" Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang, "Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?"

Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar, "Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?" Setelah berkata demikian, yang-kimnya bergerak cepat meluarkan suara berdering dan yang-kim itu sudah menyambar ke arah kepala Han Tiong.

Han Tiong dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu dengan mudah mengelak sampai belasan kali sambil diam-diam mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu.

Sementara itu, melihat betapa sumoinya yang berpedang, dia tahu lebih daripada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoinya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah. Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila kepada sumoinya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoinya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin.

"Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!" Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suhengnya. Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Namun dengan mudahnya Thian Sin mengelak, bahkan dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik dan mengejutkan pemegangnya.

Sementara itu, Cia Kong Liang juga sudah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang dan tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, dia dikepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat. Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang amat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah dapat menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu. Betapapun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai.

Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan kelihatannya seimbang. Padahal, sesungguhnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai daripada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, dia masih kalah jauh, apalagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu. Biarpun Han Tiong bertangan kosong, namun kalau dia menghendaki, dia dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Akan tetapi Han Tiong tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan. Antara dia dan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apapun, dan dia tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkannya dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja dan mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali.

Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian untuk melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba pula ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang. Begitu dia mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya mengerahkan Pek-in-ciang nampak uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih).

Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguhpun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik! Pada saat itu, Cian Ling sudah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan agar pemuda itu dapat peringatan lebih dulu sebelum dia menyerang karena majunya suhengnya yang mengeroyok ini membuat hatinya tidak enak. Thian Sin yang ingin memamerkan kepandaiannya, masih tetap menggunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itupun menyeleweng.

Akan tetapi, Thian Sin kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang lebih tepat dan ampuh kalau dipergunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong. Kini, menghadapi dua lawan yang bersenjata dia mengandalkan Pek-in-ciang, tentu saja tidak tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, dan kalau untuk menghadapi senjata tajam yang keras, hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil pelecut pundaknya dan ujung joan-pian yang digerakkan dengan ahli itu terus melilit lehernya!

"Aihhh...!" Cian Ling memekik kaget, dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri.

"Auhhhhh... ah, lepaskan...!" Murid See-thian-ong ini terbelalak, terengah dan menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin! Sungguh suatu pemandangan yang aneh sekali, jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sing bahkan ujungnya, seperti seekor ular, melilit leher pemuda itu. Akan tetapi kenapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu? Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Hal ini amat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!" Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya.

Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling terkejut dan dia ingin membantu suhengnya, akan tetapi diapun tidak ingin mencelakai Thian Sin, maka tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu. Akan tetapi, Thian Sin tidak mengelak dan membiarkan pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak.

"Ehhh...!" Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sin-kangnya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang sudah tersedot sin-kangnya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya. Justeru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu memandang kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu, tiba-tiba mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan... meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi-i-beng.

CIAN Ling mengeluh lirih dan meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, dan mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya!

"Ahhh... kau... kau..." dan dia tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. "Kenapa kau... tidak memukulku...?" bisiknya.

"Aku tidak bisa memukul wanita..." kata Thian Sin.

Pada saat itu, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu, akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apalagi membunuhnya.

Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba terdengar suara halus, "Tahan, jangan berkelahi...!" Dan muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw dan belasan orang anak buah Tung-hai-sian.

Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian dan dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan kedua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat mereka yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang kalau tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa.

"Tahan, jangan berkelahi antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!" kata pula Tung-hai-sian. Sedangkan sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya dan Siangkoan Wi Hong juga tidak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tidak peduli dan memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran. Di antara lima orang itu, ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, walaupun bukan luka yang berat, sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin untuk membendung serangan bertubi-tubi dari lima oreng pengeroyoknya.

Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, lalu menarik napas panjang. "Hemm, kiranya para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami maka kami harap, menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami." Ucapannya itu halus namun mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar.

"Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkahpun!" jawab Kong Liang dengan sikap gagah.

Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda inipun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, "Paman, sejak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang mengangkat diri sebagai pendekar-pendekar?"

Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah tahu akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam! Akan tetapi, bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itupun terlalu rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka diapun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa.

"Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami, keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik dan selama menjadi tamu kami, maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetap tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami. Oleh karena itu, kami melarang siapapun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!"

Cia Kong Liang menjura dan menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, dan dia berkata, "Kami dari Cin-ling-paipun sama sekali tidak ingin mencari permusuhan dengan siapapun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe."

Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk mempunyai seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, mengangguk dan balas menjura. "Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa."

"Selamat jalan, Cia-koko..." kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali.

Terpaksa Kong Liang menjawab, "Selamat tinggal, nona." Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru setelah tiga orang pemuda itu pergi dan kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi ketika mereka bicara di depan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Kini sikap orang-orang muda itu tidaklah sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran kalau mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang.

"Paman Tung-hai-sian!" kata Slangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. "Kita adalah golongan srigala atau harimau. Patutkah kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur sudah mulal lemah den jerih menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!" Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, suaranya mengejek.

"Kalian ini cacing-cacing busuk!" Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap amat halus dan sopan itu kini memaki-maki. "Urusan perjodohanku apa perlunya kalian ikut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?"

Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang, bergantian kepada Siangkoan Wi Hong den pengemis itu, "Kalau tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu sudah kurobek mulut kalian yang lancang! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andaikata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain lebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah."

"Hemm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!" kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suhengnya pergi dari situ.

"Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!" tiba-tiba So Cian Ling mengomel. "Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!" Dan diapun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik.

"Kamipun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan baik untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!" kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ. Tung-hai-sian tidak menjawab dan memang sopan santun tidak berlaku dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di depan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu. Bin Biauw masih mendongkol dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka diapun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya.

Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. "Sumoi, sikapmu tadi sungguh memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!"

Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya memandang tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. "Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka padanya! Apa salahnya kalau timbul berahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?" Suaranya penuh tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek.

Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali menjadi warna aselinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. "Mau apa? Hanya ingin membunuhnya!"

"Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!"

"Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena terkejut oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi-i-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana caranya menundukkan Thi-khi-i-beng!"

"Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmmmm... dia ganteng dan menarik sekali!" Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya.

Memang mengejutkan kalau melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa mempedulikan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan. Pandangan mereka itu bagaikan bumi dan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka ini mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Kehormatan bagi seorang pendekar lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan.

Manakah yang benar di antara dua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampaklah kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal.

Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti kalau kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran dan kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi!

Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan den tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan den bersusila. Ditekankan kepada kita sampai mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya. Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Untuk dianggap baik! Dan keinginan baik inilah yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan agar "menjadi orang baik" termasuk orang sopan, bersuslia dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi agar dianggap sebagai orang baik. Maka timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya kepada diri sendiri, akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita dalam sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita ini orang-orang munafik. Beranikah kita melihat kenyataan ini?

Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, boleh bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Betapa akan indahnya! Bebas dari kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah... atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka!

Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di persimpangan jalan, dan kalau Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali.

"Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?" Thian Sin membantah dengan suara bernada penasaran.

"Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Aku yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian," Kong Liang mengomel.

"Tapi kami dapat menjaga diri, paman," Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya.

"Hemm, betapapun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalianpun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku."

Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. "Maafkan kami, paman." akhirnya Han Tiong berkata. "Dan sekarang kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman."

"Sampaikan pula hormat dan terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman," kata pula Thian Sin.

Kong Liang mengangguk. "Baik, akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian dalam perjalanan. Kalian belum banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw." Dia menasihati dengan sikap seperti seorang dewasa menasihati anak-anak yang masih bodoh.

Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran kalau mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, sepatutnyalah kalau Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan. Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tidak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih "matang" dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu.

"Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?" Akhirnya dia tidak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya.

Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, "Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi diapun masih muda."

Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih "tua" dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia merasa yakin bahwa dalam hal kepandaianpun kakaknya itu agaknya tidak kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai.

 

Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti kita telah ketahui, di kota inilah Gu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh betas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang telah berusia enam belas tahun.

Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka sebuah perusahaan pengawalan barang yang bernama Hui-eng-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang), yaitu melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama. Setelah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya. Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Hui-eng-piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya. Tentu saja untuk memperoleh nama besar yang ditakuti para penjahat ini bukan merupakan hal yang mudah. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus menggunakan kepandaiannya menundukkan para perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka. Setelah melihat kegagahan pimpinan Hui-eng-piauwkiok ini, barulah perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tidak pernah ada gangguan dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan kebesaran namanya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya. Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang atau keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai.

Ciu Bun Hong kini telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Adapun Ciu Lian Hong telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya. Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia terkenal di kota Lok-yang sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya dan dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang. Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya. Agaknya bagi orang tua dara ini, tidak ada seorangpun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka telah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan.

Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Hui-eng-piauwkiok dengan huruf-huruf besar itupun agaknya telah diperbesar. Dari keadaan rumah dan kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam diapun mereka gembira.

Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiripun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh merekapun tiada bedanya. Adapun dua orang nyonya kembar itu, yang kini sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu pegawai kantor akan melaporkan kepada majikannya dan Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran.

Han Tiong dengan wajah gembira, sudah melangkah ke depan dan menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin.

"Saya harap bibi berdua sekeluarga berada dalam keadaan baik-baik saja selama ini," kata Han Tiong dengan sikap halus.

"Siapa kalian...?" tanya Kui Lan.

"Dan ada keperluan apakah?" sambung Kui Lin. Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua.

"Ah, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong..."

"Han Tiong...?"

"Putera Sin-koko...?"

Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali.

"Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!"

"Dan gagah benar kau, Han Tiong!"

"Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!"

Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara sambil sambung itu.

"Maaf... maaf... saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan antara bibi berdua..."

Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka. "Aku Bibi Lan," dan kata Kui Lan.

"Dan aku Bibi Lin." kata yang kedua.

"Dan siapakah pemuda ini?" Kui Lan dan Kui Lin memandang kepada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja dan melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu. Dia tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya, merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat melihat perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguhpun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar. Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu mempunyai sinar mata yang lebih dalam dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri.

"Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si." Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura. Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar kakaknya menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa.

"Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula."

"Ahhh... syukurlah kalau begitu," kata Kui Lin.

"Dia tampan sekali!" puji Kui Lan. "Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong." Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka.

Tak lama kemudian wanita itu datang lagi bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat bangkit dari tempat duduk mereka dan menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu. Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Dengan wajah berseri pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sins tertawa dan dia memegang kedua pundak Han Tiong.

"Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!" katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. "Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!" Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan mendengar bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat kalau dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu.

"Tiong-koko!" kata Bun Hong sambil maju memberi hormat.

"Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi daripada aku!" Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apalagi pada saat dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar.

"Tiong-koko!" Dara itu memberi hormat dan memanggil pula. Han Tiong memandang dan jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya. Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu memiliki daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia mampu juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu.

"Ah, adik Lian Hong! Engkaupun telah menjadi seorang gadis yang dewasa...!" hanya demikian dia mampu berkata, setelah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan "yang sangat cantik jelita" sungguhpun hatinya meneriakkan demikian. Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, "O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang suteku sendiri karena diapun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu." Akan tetapi sudah sejak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia seperti melihat seorang bidadari dari kahyangan turun! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpipun belum. Begitu melihat, dia sudah jatuh cinta sepenuhnya.

Sesungguhnya, tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, kalau pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apapun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya dan hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang telah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukan melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu.

"Sin-te...!" Dengan suara halus Han Tiong menegur.

Thian Sin terkejut dan cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, "Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan..."

Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang membawa minuman dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan, harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu.

Dengan sikap hormat Han Tiong lalu menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Setelah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada dua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah di samping mengabarkan keselamatan, dan memperkenalkan dua orang muda itu, juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.

Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggauta keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya terdapat kebingungan dan keraguan pula karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih di antara Han Tiong dan Thian Sin! Kalau melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, biarpun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, namun dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi kalau mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!

"Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!" kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan. Bukankah mereka berduapun anak kandung dari seorang ayah yang tak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka diapun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju.

"Dan sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri," kata Kui Lan.

Ciu Khai Sun kembali mengangguk. "Apa yang kalian katakan adalah benar dan tepat. Betapapun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata kalau melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang amat sukar memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai mantu seorang di antara mereka. Betapapun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita."

Selama beberapa hari semenjak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itupun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandai berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.

Melihat sikap Thian Sin itu, Han Tiong seperti biasa menahan dirinya dan Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong.

Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apalagi bergaul dengan wanita. Thian Sin memiliki bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap wanita, tidak seperti Han Tiong yang merasa malu-malu. terutama sekali malu diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apalagi, pemuda ini memiliki perasan yang amat peka, dan melihat betapa Thian Sin tidak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka diapun mundur teratur, sungguhpun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu!

Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama dua orang tamunya berkumpul, makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang amat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an-piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh terisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas.

Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun mengerutkan alisnya. "Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?"

"Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungal Luai. Kui-piauwsu mengawainya sendiri mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu."

"Hemm... di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok," Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.

"Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu," kata orang itu. "Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh."

"Engkau harus tolong Beng Sin-twako," kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.

"Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini."

Cim Khai Sun mengangguk-angguk. "Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan."

Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.

Pada saat itu, Thian Sin berkata, "Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok."

"Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman," kata Han Tiong. "Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok- perampok itu."

"Aku ikut!" kata Lian Hong.

"Akupun ikut!" kata Bun Hong.

Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.

"Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?"

"Tidak, paman," kata Han Tiong, suaranya tegas. "Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman."

"Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!" kata Thian Sin tegas.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.

"Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian."

"Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja," jawab Han Tiong.

"Ayah, aku ikut!" kata pula Lian Hong.

"Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!" sambung Bun Hong.

"Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?" Kui Lan mencela.

"Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?" Kui Lin juga mengomel.

"Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?" Lian Hong membantah.

"Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka," kata Bun Hong.

"Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!" Lian Hong menambah pula.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang. "Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil."

Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, "Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!" Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang.

"Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka."

Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. "Kami akan berhati-hati, ayah!" kata Lian Hong.

"Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu," sambung Bun Hong.

Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!

"Baiklah, baiklah..." Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.

***

Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka den makan daging panggang dan roti yang halus.

"Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini."

"Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!"

Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu.

Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikep penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.

"Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?" tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. "Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati."

"Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?" kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.

"Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan," kata seorang anak buah.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?"

Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, "Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah."

"Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!" kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.

"Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?" seorang anak buah bertanya.

"Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!" Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.

"Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!" kata Si Muka Hitam raksasa. "Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!"

"Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!" kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.

"Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap."

Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong!

Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!

"Agaknya merekalah orang-orangnya," kata Thian Sin lirih.

"Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain," kata Han Tiong.

Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!" Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.

Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkellaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar.

Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. "Mereka bukan perampok," bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.

Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.

"Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat."

Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.

"Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami."

Han Tion mengerutkan alisnya. "Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan..."

Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, "Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini? Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!"

"Keparat bermulut busuk!" Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melibat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.

"Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa."

"Iblis yang layak mampus!" Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.

"Sobat," kata Han Tiong dengan tenang, "terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?"

Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!" kata Si Tinggi Besar.

"Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian." Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.

"Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!" kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.

"Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!" Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. "Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!"

Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. "Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?" tanyanya dengan nada mengejek.

Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.

"Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu."

"Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!"

"Majulah dan jangan banyak bicara!" Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.

Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, "Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!"

Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.

HAN TIONG mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, "Hati-hatilah Hong-moi."

Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu. "Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!"

Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.

Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.

Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu.

Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, "Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!

"Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya." kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. "Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!" katanya pula kepada Bun Hong.

Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.

Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, "Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!"

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. "Plakkkkk! Dess...!" Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih.

Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok.

"Ah, adik Lian Hong! Engkaupun telah menjadi seorang gadis yang dewasa...!" hanya demikian dia mampu berkata, setelah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan "yang sangat cantik jelita" sungguhpun hatinya meneriakkan demikian. Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, "O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang suteku sendiri karena diapun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu." Akan tetapi sudah sejak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia seperti melihat seorang bidadari dari kahyangan turun! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpipun belum. Begitu melihat, dia sudah jatuh cinta sepenuhnya.

Sesungguhnya, tidak tepatlah kalau dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, kalau pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apapun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya dan hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang telah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukan melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu.

"Sin-te...!" Dengan suara halus Han Tiong menegur.

Thian Sin terkejut dan cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, "Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan..."

Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang membawa minuman dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan, harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu.

Dengan sikap hormat Han Tiong lalu menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Setelah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada dua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah di samping mengabarkan keselamatan, dan memperkenalkan dua orang muda itu, juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka.

Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggauta keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya terdapat kebingungan dan keraguan pula karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih di antara Han Tiong dan Thian Sin! Kalau melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, biarpun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, namun dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi kalau mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya!

"Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!" kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan. Bukankah mereka berduapun anak kandung dari seorang ayah yang tak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka diapun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju.

"Dan sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri," kata Kui Lan.

Ciu Khai Sun kembali mengangguk. "Apa yang kalian katakan adalah benar dan tepat. Betapapun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata kalau melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang amat sukar memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai mantu seorang di antara mereka. Betapapun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita."

Selama beberapa hari semenjak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itupun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandai berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.

Melihat sikap Thian Sin itu, Han Tiong seperti biasa menahan dirinya dan Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong.

Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apalagi bergaul dengan wanita. Thian Sin memiliki bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap wanita, tidak seperti Han Tiong yang merasa malu-malu. terutama sekali malu diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apalagi, pemuda ini memiliki perasan yang amat peka, dan melihat betapa Thian Sin tidak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka diapun mundur teratur, sungguhpun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu!

Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama dua orang tamunya berkumpul, makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang amat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an-piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh terisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas.

Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun mengerutkan alisnya. "Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?"

"Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungal Luai. Kui-piauwsu mengawainya sendiri mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia dan semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu."

"Hemm... di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak terdapat perampok, dan andaikata ada juga, tentu para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an-piauwkiok," Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.

"Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu," kata orang itu. "Gerombolan perampok itu agaknya merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggauta Pouw-an-piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah merekapun tidak lebih hanya sepuluh orang saja yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh."

"Engkau harus tolong Beng Sin-twako," kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu, oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.

"Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an-piauwkiok dijual sekalipun, belum tentu akan dapat mengganti harga barang-barang itu yang jumlahnya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah, Kui-piauwsu menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kami mengingat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, maka kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini."

Cim Khai Sun mengangguk-angguk. "Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan."

Setelah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.

Pada saat itu, Thian Sin berkata, "Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok laknat itu, membasmi mereka dan merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an-piauwkiok."

"Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman," kata Han Tiong. "Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok- perampok itu."

"Aku ikut!" kata Lian Hong.

"Akupun ikut!" kata Bun Hong.

Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.

"Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah kalau sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?"

"Tidak, paman," kata Han Tiong, suaranya tegas. "Bahkan sebaliknya, kalau ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat malapetaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah kepada kami. Biarkan kami pergi, paman."

"Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!" kata Thian Sin tegas.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.

"Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian."

"Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja," jawab Han Tiong.

"Ayah, aku ikut!" kata pula Lian Hong.

"Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!" sambung Bun Hong.

"Aihh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?" Kui Lan mencela.

"Kalian ini seperti anak kecil saja. Kedua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?" Kui Lin juga mengomel.

"Ayah selama ini mengajarkan ilmu silat, dan sekarang terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?" Lian Hong membantah.

"Benar, kita hanya boleh ikut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya diberi kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka," kata Bun Hong.

"Setidaknya, kita tidak boleh enak-enak saja mambiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!" Lian Hong menambah pula.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang. "Kalian ini sungguh seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu amat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an-piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil."

Melihat wajah Lian Hong cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin segera berkata, "Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya dan bertanggung jawab kalau ada apa-apa menimpa dirinya!" Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, dan merasa tidak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka diapun cepat berkata dengan suara tenang.

"Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka."

Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. "Kami akan berhati-hati, ayah!" kata Lian Hong.

"Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu," sambung Bun Hong.

Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!

"Baiklah, baiklah..." Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.

***

Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka den makan daging panggang dan roti yang halus.

"Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini."

"Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!"

Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu.

Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikep penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.

 

"Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?" tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. "Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati."

"Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?" kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.

"Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan," kata seorang anak buah.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?"

Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, "Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah."

"Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!" kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.

"Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?" seorang anak buah bertanya.

"Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!" Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.

"Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!" kata Si Muka Hitam raksasa. "Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!"

"Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!" kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.

"Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap."

Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong!

Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!

"Agaknya merekalah orang-orangnya," kata Thian Sin lirih.

"Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain," kata Han Tiong.

Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!" Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.

Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkeliaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar.

Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. "Mereka bukan perampok," bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.

Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.

"Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat."

Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.

"Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami."

Han Tion mengerutkan alisnya. "Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan..."

Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, "Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini? Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!"

"Keparat bermulut busuk!" Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melibat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.

"Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa."

"Iblis yang layak mampus!" Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.

"Sobat," kata Han Tiong dengan tenang, "terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?"

Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!" kata Si Tinggi Besar.

"Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian." Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.

"Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!" kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.

"Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!" Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. "Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!"

Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. "Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?" tanyanya dengan nada mengejek.

Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.

"Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu."

"Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!"

"Majulah dan jangan banyak bicara!" Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.

Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, "Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!"

Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.

HAN TIONG mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, "Hati-hatilah Hong-moi."

Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu. "Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!"

Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.

Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.

Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu.

Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, "Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!

"Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya." kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. "Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!" katanya pula kepada Bun Hong.

Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.

Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, "Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!"

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. "Plakkkkk! Dess...!" Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih.

Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok.

Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang amat kuat sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin. Pemuda ini membiarkan tangan lawan sampai dekat, kemudian tangan kanannya menyambut dan dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotoka, dan akibatnya, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu ketika dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, menjadi patah-patah. Rasa nyeri seperti ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih! Terdengar bunyi "krek-krekk!" dan ketika Thian Sin mendorong tubuh kepala perampok itu terguling dan dia bergulingan dan berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana.

Sementara itu, biarpun dengan lebih lunak, Han Tiong juga sudah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Empat orang masih mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang inipun sudah terdesak hebat. Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua tak dapat bangkit kembali. Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa kaget dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti!

"Hemm, sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an-piauwkiok adalah perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?" Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih merintih-rintih kesakitan itu.

Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu!

"Biar kupaksa dia, Tiong-ko!" Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya.

"Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?"

Thian Sin maklum juga akan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala rampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka diapun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah dan membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi.

"Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu kalau kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!" kata Thian Sin dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan.

"Tapi... tapi..." orang itu berkata denga ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu.

Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, "Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga dua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi." Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sin-kangnya sehingga tampak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu. Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi.

"Tidak... jangan..."

"Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tak dapat mencari dan menemukannya!"

"Di dalam... gua... di dalam hutan ini..."

"Di mana letaknya itu?" bentak Thian Sin.

"Sin-ko, aku tahu di mana letak gua dalam hutan ini. Mari!" kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong.

"Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hing pergi mencari barang-barang itu dan aku akan menjaga dan mengurus mereka ini."

"Aku akan membantumu, Tiong-ko." kata Lian Hong. Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan diapun mengajak Bun Hong mencari gua itu. Mereka memasuki hutan tak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah gua di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu, menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok.

Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin dan tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu.

Setelah mereka memasuki gua, benar saja, di dalam gua yang besar itu terdapat dua gerobag barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan berhasil menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari gua. Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lalu memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi. Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong telah mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki dan tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut.

"Tiong-ko, mengapa kaulakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tidak pantas manusia-manusia binatang ini ditolong, apalagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!"

Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. "Sin-te, jangan begitu. Bagaimanapun juga, mereka ini adalah manusia-manusia dan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Merekapun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?"

Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. "Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi... ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!"

Han Tiong menarik napas panjang. "Mungkin saja mereka lakukan itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal yang seperti mereka. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu."

"Lalu mereka ini mau diapakan?" desak Thian Sin.

"Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka."

Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatian oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu.

Semua perampok digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobag yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang. Di sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan aneh ini dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu telah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok.

Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an-piauwkiok. Empat orang muda itu, terutama Han Tiong den Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian dan Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apalagi ketika dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, kegembiraannya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali.

"Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!" katanya dengan bangga sekali. Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke Su-couw bersama isteri-isterinya dan pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin sungguh merupakan pertemuan yang amat menggembirakan.

Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang amat berhasil dari empat orang muda itu, dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taikin, yaitu pembesar di Su-couw yang mempunyai barang-barang berharga yang telah dirampok dan berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang memperoleh kembali barang-barangnya kembali, juga untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang.

Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sing telah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu.

Para anak buah Pouw-an-piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lain, dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka sedang menjamu tamu-tamu agung itu.

Akhirnya, tamu yang ditunggu-tunggu, Phoa-taijin, datang juga, diiringkan oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal suka memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang dermawan! Orang tidak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apalagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang didapatkan. Dari manapun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati! Padahal, kalau orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan main bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja sampai seratus tahun sekalipun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai jumlah seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu.

Memang Phoa-taijin seorang yang pandai sekali, bukan hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai mengambil hati orang-orang sehingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan. Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar dan pandang matanya berseri-seri. Dia disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena biarpun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.

Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira dan diapun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, "Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?" Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lalu disambungnya. "Kami mendengar dari Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu." Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.

"Ah, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak sayapun hanya ikut saja, taijin," kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa.

"Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!" Dia menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini telah duduk kembali. "Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!"

Baik Ciu Khai Sun maupun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberitahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlalu bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah "orang luar" dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarangan nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya. Pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, amat tidaklah enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!

Akan tetapi, Kui Beng Sin telah menceritakan hal itu, semua telah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru. "Ah, siapa kira dua orang muda remaja ini telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya."

Pesta itu berlangsung dengan gembira dan ketika Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin mengucapkan terima kasih dan biarpun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, namun pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikitpun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an-piauwkiok.

***

Beberapa hari kemudian, Han Tiong dan Thian Sin berpamit dari keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun telah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong dan menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya dalam bungkusan pakaiannya. Merekapun menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.

"Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja," kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.

"Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi... kuharap... kita akan dapat saling bertemu kembali dalam waktu dekat..." kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.

"Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah," kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda dan mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan. Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, "Tiong-ko tidak akan lama pergi, tentu akan sigera ada kabar dari keluarga Cia."

Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. "Ih, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?"

Bun Hong hanya tertawa akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena diapun lebih suka kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong daripada kalau adiknya memilih Thian Sin. Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin berwatak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, sedangkan Han Tiong memiliki watak yang amat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen! Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya dan Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui kalau Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.

Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata, "Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia memiliki ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan diapun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!"

Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia jatuh cinta kepada Lian Hong, dan dia melihat dengan jelas pula betapa adiknya inipun mencinta mati-matian kepada dara itu! Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin segera menoleh, memandangnya dan berkata, "Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?" Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam diapun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.

"Maksudmu?" Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguhpun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.

"Eh, kau sedang melamunkan apa sih, Tiong-ko sehingga tidak mengerti apa yang kutanyakan? Aku tadi bicara tentang Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi."

"Apa? Hong-moi...? Ah, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?"

"Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan betapa akan bahagianya seorang pria kelak yang dapat menjadi suaminya."

Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong. "Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita manapun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya."

Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka biarpun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, namun perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan nampak seolah-olah mereka tidak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.

Seperti orang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti di sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat. Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian merekapun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka.

Akan tetapi sesungguhnya mereka itu belum tidur walaupun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas. Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lalu mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan hati-hati pula dikeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dibukanya sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu dan dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.

Kedua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong! Thian Sin memejamkan kedua matanya dan merasa seolah-olah semua isi kamar terputar-putar. Dia berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak. Dimasukkannya lagi surat itu ke dalam sampulnya dan disimpannya kembali ke dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.

Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tidak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak. Ketika dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tidak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan diapun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tidak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang telah terjadi di luar.

Thian Sin sama sekali bukan seperti yang disangkanya berjalan-jalan di luar! Pemuda itu setelah tiba di luar rumah penginapan, lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan gin-kangnya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat daripada ketika mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang yang berkuda siang tadi karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat. Dia tidak mau menunggang kuda karena tidak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.

Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Kiranya tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Sejak ia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja dan ia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda ying siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya.

Dia tidak tahu bahwa ada bayangan berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju. Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong di dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi girang sekali. Gadis itu belum tidur! Maka diapun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali.

Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, "Siapa...?"

"Ssttt... aku, Hong-moi... aku Thian Sin..."

"Hehh...? Sin-ko...? Ada apa... mengapa...?"

"Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!" Bisik pula Thian Sin.

Daun pintu kamar itupun dibuka dari dalam dan keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya! Lian Hong telah mengenakan pakaian ringkas dan ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya agak kusut karena tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.

"Sin-ko, kau di sini...? Apa yang terjadi dan..."

"Ssttt... mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu."

Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari situ, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Dengan ragu-ragu dan heran akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi, Lian Hong mengikutinya. Ia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.

"Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara," kata Thian Sin dan melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi makin terheran-heran, akan tetapi diapun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.

"Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian telah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?"

"Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku."

"Eh... apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kaumaksudkan dengan ucapanmu itu? Aku sungguh tidak mengerti!"

"Artinya, Hong-moi, bahwa aku... aku cinta padamu."

Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biarpun mereka duduk berhadapan, hanya terhalang sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing. Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari penuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, karena sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Ia hanya terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, kini datang pada malam hari untuk menyatakan cintanya!

Melihat dara itu hanya diam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang. "Hong-moi, lebih baik aku bicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, sejak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu.

Engkau tentu merasakan pula hal ini dan kalau aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, kalau belum boleh dikatakan mencinta. Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkaupun mencintaku?"

Setelah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apalagi pertanyaan tentang cinta! "Sin-ko... bagaimana aku harus menjawabmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa kagum dan suka padamu..."

"Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?"

"Aihhh...!" Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tidak mengira akan menerima pertanyaan semacam itu.

"Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah..."

"Ah, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan... ah, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka... mana mungkin aku dapat menjawab sendiri...?"

"Hong-moi, mari kita bicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawananmu yang berterus-terang amat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu telah menitipkan surat kepada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau lebih mencinta Tiong-ko daripada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kaupilih antara kami? Siapakah yang lebih kaucinta?"

Lian Hong menundukkan mukanya. Ia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang ia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan ia sudah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa ia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.

"Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat."

"Tapi... tapi... kalau engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kauberatkan, Hong-moi...? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!" Thian Sin mendesak.

Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya ia merasa bingung dan amat sukar untuk mengakui hal itu di depan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, ia dapat mengaku terus terang dengan rasa canggung sedikit saja, akan tetapi bagiamana mungkin ia dapat mengaku terus terang di depan orang yang bersangkutan? Apalagi karena ia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena ia memilih Han Tiong! Akan tetapi ia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir batin, maka tentu akah dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekalipun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang.

Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian.

"Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang karena engkau menghendakinya. Sesungguhnya, sejak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa amat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku mempunyai perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan kalau ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sukarlah aku untuk menjawabnya. Kalian memiliki daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andaikata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu... maafkan aku, Sin-ko, karena... karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau... engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana..."

Hening sekali saat itu setelah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu menundukkan mukanya. Biarpun ia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, namun ia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong daripada dia, sungguh membuatnya penasaran!

"Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau kita sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji karena tidak ada yang ditakutinya lagi!"

"Maaf, Sin-ko. Aku tidak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko... ah, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko..."

"Akan tetapi, kalau penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tidak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlalu lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!"

Lian Hong merasa tidak setuju dalam hatinnya, akan tetapi ia tidak mampu membantah atau menjawab, maka iapun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.

Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga merupakan pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang benar. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu kalau kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan kalau kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya kalau kita menyelidiki dulu persoalan ini sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!

Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan maupun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapapun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat ataupun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.

Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidak demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.

Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah dapat merupakan hukuman mendidik, dapat pula merupakan pelampiasan kebencian. Kalau si ayah itu marah, jengkel di waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh kebencian. Sebaliknya, kalau jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik, dan antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit. Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apapun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.

"Kalau bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Mana mungkin mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat daripada penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji dan pembunuh-pembunuh itu?"

"Sin-ko, aku tidak mengerti, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?"

"Ah, tidak bisa! Para pendekar tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!"

Lian Hong tidak bicara lagi karena iapun tidak mengerti benar akan apa yang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Ia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan Thian Sin, sebaliknya ia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.

Tiba-tiba Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya sehingga Lian Hong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, "Awas... ada banyak orang..." dan dia mengajak Lien Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak dan mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu, orang-orang itu adalah pasukan besar, karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak orang pula yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai! Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah ketika melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring. "Siapa membakar rumah? Eh, apa artinya semua pasukan ini?"

"Tangkap pemberontak! Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw! Basmi pemberontak dan pengkhianat...!"

Teriakan-teriakan itu terdengar dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan kini pasukan-pasukan itu telah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama dua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!

Tentu saja keluarga itu segera bergerak membela diri dan mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau memprotes. Pasukan itu sudah menyerbu dengan membabi-buta, bahkan dibantu oleh beherapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah. Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka. Agaknya mereka memang telah menerima perintah untuk membunuh semua penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping dan merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.

Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apalagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.

"Keparat!" teriaknya dan iapun lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di situ telah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya. Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya telah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu dan sekali terjang, dia sudah merobohkan empat orang perajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin telah dikepung oleh banyak perajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai. Dia mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena mengkhawatirkan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apalagi dia tadi mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.

"Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!" bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. "Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!"

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, namun pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apalagi karena rumah itu telah terbakar semakin berkobar, Thian Sin lalu mencabut pedang Gin-hwa-kiam, pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya, dengan tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya. Hebat bukan main sepak terjangnya dan para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak berpakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada yang berpakaian pengemis, mengingatkan Thian Sin kepada para anggauta Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tidak menjadi gentar, dan dia terus mengamuk. Akan tetapi kini dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Maka, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka merekapun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak terdengar perkelahlan di tempat lain.

Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu dan dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong! Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.

"Tranggg... desss! Creppp!" Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam. Thian Sin cepat memeriksa dua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya telah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal inipun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu! Keluarga ini telah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semuanya itu karena dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!

"Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terimalah pembalasanku!"

Dan diapun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan manapun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.

Entah herapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama makin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin dan dia seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan. Akhirnya, para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorangpun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi.

Thian Sin mengejar dan merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Kemudian dia menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah.

"Ngekk!" Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah.

Thian Sin menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. "Cepat, ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!" Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itupun terobek sedikit dan berdarah.

"Baik... baik... kami hanya diperintah... mula-mula komandan kami menerima laporan dari... dari Su-couw..."

Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Mendengar disebutnya kota Su-couw, diapun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Hen Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin.

"Phoa-taijin...?" Dia membentak dengan sikap mengancam.

"Ya... ya benar...!"

"Mengapa? Hayo katakan mengapa dia melakukan ini?" bentaknya dan perwira itu menggeleng-geleng kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan tentang adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Hui-eng-piauwkiok di Lok-yang, dan komandannya segera bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis.

"Tidak... tidak tahu..." perwira itu berkata dan kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin telah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus!

Malam itu juga, lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Sejak mengamuk tadi, dia tidak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah den kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu, kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam seperti mata iblis dalam dongeng! Dia tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan agar keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, mengapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggauta keluarga Ciu terbasmi habis?

Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan kini dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin! Maka diapun cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lalu menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan namun serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar.

"Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak dapat ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tidak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!"

"Tapi, taijin. Keluarga Ciu telah dapat dibasmi, lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali..." terdengar suara orang lain.

"Saya belum mengerti mengapa taijin memusuhi keluarga Ciu?" seorang lain dengan suara serak.

"Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang telah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang mnyamar perampok untuk merampok barang-barang yang kusuruh kawal Pouw-an-piauwkiok? Kalau mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?"

THIAN SIN mengerutkan alisnya. Biarpun hanya samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok dan merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an-piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw.

"Aku berada di sini!" Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu. "Braakkkkk!" daun jendela itu pecah dan diapun sudah meloncat ke dalam.

"Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!"

Akan tetapi empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan telah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu. Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi lunak seperti karet, lunak namun kuat sekali dan begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sin-kang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sin-kang empat orang itu tersedot seketika. Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi-i-beng. Makin mereka mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kang mereka tersedot dan pada saat itu, sinar pedang perak berkelebat dan robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika.

Phoa-taijin sudah melarikan diri melalui sebuah lorong, akan tetapi tiba-tiba bayangan Thian Sin menyambar dan pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas.

"Ampun... ampun... taihiap...!"

"Keparat jahanam! Engkau mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Kau mau apa sekarang!"

"Ampuun... aku... aku hanya melakukan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah... dan karena... ayahmu dahulu pernah memberontak maka... aku... aku..."

"Cacing busuk! Kalau begitu, kenapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu dibasmi? Engkau membalas karena kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an-piauwkiok itu, ya? Hayo katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara..."

Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan ketika pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Pandang mata pembesar itu membuatnya mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang dan tahulah dia bahwa ada dua tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan.

"Hayo jawab!"

"Mereka... mereka itu... ah... para datuk kaum kang-ouw... telah bersekutu... eh, dengan mereka yang bergerak di utara... orang-orang bangsa Mancu..."

"Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!"

"See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui..."

"Hem, juga Tung-hai-sian?"

"Tidak... tidak... belum, sedang dihubungi... dia yang keras kepala..."

"Setan, mampuslah kau!" Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali, terdengar tulang terbacok beberapa kali disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan ketika Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi pendek karena kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali.

Sekarang Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu telah mengambil bala bantuan dan kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tidak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya.

Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia 1upa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya.

Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat sekali. Biarpun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya.

"Inilah Ceng Thian Sin! Inilah putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!" Thian Sin mengamuk sambil berteriak-teriak.

"Sin-te...!"

Sesosok bayangan berkelebat dan sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan semakin heran karena tidak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak dan diapun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi dibaca oleh Thian Sin. Biarpun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir akan keadaan Thian Sin, dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya.

Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke mana perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Tiba-tiba dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini semakin kuat ketika dia menanti-nanti dan belum juga adiknya pulang. Maka dia lalu mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia membawa buntalan-buntalan pakaian lalu menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu.

Tak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru tiba di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Dan ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia telah melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang kelihatan panik di luar rumah-rumah mereka dan bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Hui-eng-piauwkiok! Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu dan dia mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya ketika dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin dan Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong segera menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kiri. Han Tiong menoleh dan melihat, bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang perajurit. Melihat bahwa pakaian para perajurit yang telah menjadi mayat berserakan di tempat itu, tahulah dia bahwa mereka ini adalah teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka diapun lalu meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu terpelanting. Mereka bangkit lagi dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan perajurit-perajurit yang bertugas menjaga di tempat itu dan Han Tiong sudah dikepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para perajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul dan sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh membawa seorang yang telah ditotoknya.

Di tempat sunyi, Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya. "Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberitahukan apa yang telah terjadi."

Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si perajurit tidak takut lagi dan diapun lalu menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan Phou-taijin, untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin, yang rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua.

"Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?" Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan perajurit, kalau bukan adiknya?

"Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!"

"Di mana dia sekarang?"

"Tidak tahu... tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja."

"Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?"

"Tidak tahu... hanya kabarnya lolos..."

Continue Reading

You'll Also Like

147K 1.8K 44
Follow akun untuk membuka bab-bab terkunci ! . "Oh Jack.., please..." "Please for what?" "Udah, please berhenti.." . [SEQUEL BASTARD!] Warn21+ Cerita...
175K 20K 73
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
59.7K 5K 19
"kita akan berkeliling wisata nanti saat hesa sudah besar dan papa yang akan menjadi bos di perusahaan agar bisa meliburkan diri mengajak hesa dan ma...
285K 351 4
21+