Awareness: Is (not) The Ending

By Ciciliaa03

17.6K 1.2K 79

-[COMPLETED] -[TAHAP REVISI] - BEBERAPA PART DI PRIVATE (TERMASUK ENDING, EPILOG, EXTRA PART MENGHINDARI CO... More

Prolog
1. New Class
2.Poetry
3. Doubtful
4. Do you love me?
5. Sympathy, Empathy or Love?
6.Consensus
7. It's the answer?
8. Darkness(1)
9. Darkness(2)
10. New Boyfriend
11. Give and Take
12. Jealous
13. Distance
14. bestfriEND?
15. Where Are you?
16. It's happiness?
17. bestfriEND, again?
18. Langit Jingga
19. Seleksi
20.Selingkuh?
21. OMG! My First Kiss!
22.Accident
24. The Car?
25. Reality
26. Pemilik Hati
27. Goodbye
Epilog
EXTRA PART #1
EXTRA PART #2
About Sequel
XXX

23. Menyesal

523 38 2
By Ciciliaa03

ATTENTION!

Bagi kalian yang belum bisa membaca part yang terprivate walaupun sudah ngefollow aku, caranya hapus cerita ini dari library(perpustakan) kalian dulu setelah itu refresh dan add to library (tambah ke perpustakaan) lagi. •ENJOY•


Setiap detik yang sudah berlalu akan menjadi kenangan. Kau tidak bisa menyesalinya saat detik itu sudah terlewatkan. Maka, mulai sekarang hargailah setiap detik yang hadir didalam hidupmu entah itu baik ataupun buruk sekalipun

°°

Kilatan cahaya masuk ke dalam mata Stevi yang masih terpejam, matanya berkedut perlahan terbuka. Dia mencoba untuk bangkit, namun rasa sakit itu kembali menyerang membuatnya meringis menahan rasa sakitnya.

"Kamu sudah sadar sayang?"

Stevi menatap wanita paruh baya yang tersenyum kearahnya, dia ingin tersenyum namun rasanya susah sekali untuk menarik kedua sudut bibirnya. Wanita paruh baya itu keluar, tak berapa lama ia masuk kembali membawa satu dokter serta dua suster. Salah seorang suster menyuntikkan obat penghilang rasa sakit di infusan Stevi, saat obat itu sudah bekerja rasa sakit yang dia rasakan mulai berkurang. Stevi perlahan bisa duduk dengan bersandar pada bantal.

Dia dirumah sakit, pikirannya langsung menerawang pada kejadian memilukan itu.

"Ma, Nata?" Stevi bertanya keberadaan pria yang bersamanya kala kecelakaan itu. Dia mengkhawatirkan Nata.

Fani menarik anak gadis semata wayangnya kedalam pelukan, membelai dengan penuh kasih sayang rambut sang puteri.

"Dia masih di ICU, kondisinya belum membaik. Tapi mama yakin semuanya pasti baik-baik aja." Ucap Fani berusaha menenangkan, Stevi melepas pelukan dari Fani dan menatap dengan tatapan bersalahnya.

"Ini salah aku, andai aja waktu itu aku nggak minta pulang. Andai aja waktu itu aku mau nunggu hujan reda, andai aja-" ucapannya terhenti. Yang tersisa hanya isak tangis yang sangat mengiris hati siapapun yang mendengarnya. Mulut Stevi keluh untuk mengatakan hal yang membuatnya frustasi.

Fani membingkai wajah putrinya dengan kedua telapak tangan, ia mengusap air mata Stevi dengan ibu jarinya. Dia sangat terpukul dengan kondisi putrinya itu, terlebih kondisi Nata yang masih berjuang demi hidupnya sendiri.

"Nggak ada kata andai, yang udah lewat itu mungkin itu sudah masuk suratan takdir Tuhan. Kita nggak bisa berandai-andai lebih jauh, Tuhan sangat tidak suka hambanya yang suka berandai-andai apalagi menyesali hal yang sudah lewat," nasehat Fani.

Kembali, Stevi memeluk sang Mama. Rasanya dia seperti terjebak dimimpi buruk dan sayangnya dia tidak bisa terbangun dari mimpi buruknya itu.

"Boleh aku ketemu Nata?" Pintanya.

Fani menggeleng, "Nata masih ditanganin dokter sayang, kamu istirahat aja dulu. Nanti besok mama usahakan kamu bisa ngejenguk Nata diruangannya."

Stevi mengangguk percaya dan mulai kembali berbaring, setelah mengecup singkat kening anaknya Fani beranjak pergi.

"Ma, makasih udah jaga aku."

Fani berbalik dan tersenyum, "kamu sayap mama, sudah seharusnya mama menjaga kamu. Maaf kalau mama sering sibuk di butik dan jarang ada waktu sama kamu." Butik Fani banyak, cabangnya hampir ada di setiap kota di Jawa. Karena itulah Fina sering pergi menengok perkembangan butiknya dan meninggalkan Stevi.

Stevi mengacungkan jempol tangannya yang tidak terkena infusan.

Fani tersenyum, dia berjalan meninggalkan Stevi di ranjangnya. Berkali-kali gadis itu mencoba tidur, namun tidak berhasil. Pikirannya tidak tenang. Dia memikirkan Nata. Memikirkan pria yang sedang berjuang untuk bertahan hidup, pria yang beberapa jam lalu terjatuh bersamanya. Memori itu, semuanya terekam jelas di ingatan Stevi. Saat sahabatnya terpental jauh, saat darah segar mengalir bersama dengan derasnya hujan. Dia tidak bisa melupakan kejadian itu, apalagi jika terjadi sesuatu pada Nata dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

••

Suara berisik membangunkan tidur Stevi, ia mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Tangisan terdengar dari arah luar, dengan tertatih Stevi memaksakan dirinya berjalan tangan kanannya memegang infusan.

"Kami akan melakukan operasi kedua pukul sepuluh nanti. Kami akan berusaha dengan kemampuan yang kami bisa, untuk hasilnya hanya Tuhan yang bisa menentukan." Ucap pria tua memakai jas putih, Wanita paruh baya terduduk lemas dilantai ia menangis, suaminya mencoba memenangkan istrinya itu. Stevi sedikit terseok ketika berlari, dia memeluk wanita itu. Tidak peduli dengan infusan yang sedikit lagi akan terlepas.

"Maaf," lirih Stevi.

Wanita itu memeluk kembali Stevi, "ini bukan salah kamu sayang." Ucapnya. Hani juga merasa iba dengan kondisi Stevi.

Sang suami membantu mereka untuk berdiri.

"Yaampun Stevi, tangan mu berdarah!" Hana terkejut, melihat infusan Stevi yang hampir terlepas. Dengan cepat Stevi memasukkan lagi ujung infusan itu kedalam pergelangan tangannya. Sedikit sakit.

Stevi tersenyum miris, ia memegang tangannya. "Ini nggak seberapa Bu, Nata lebih-"

"Jangan berkata apapun, ayo Ibu antar ke kamar inap kamu?"

Stevi menggeleng, "aku mau bertemu Nata. Untuk sekali saja."

Hani merangkul Stevi, mereka sudah berdiri di depan ruang Icu. Stevi menarik napasnya.

"Bener mau masuk? Lihat tuh infus kamu udah merah bukan putih lagi." Tegur Hani. Pipa kecil infusan itu sudah sedikit berubah menjadi merah darah.

Stevi mengangguk mantap, dia membuka ruangan itu. Terlihat, Nata dengan tidur yang lelapnya. Dia berjalan mendekati ranjang itu, yang Stevi rasakan sekarang dia seperti berada di film horor saat mendengar suara detak jantung di dalam monitor.

"Kenapa tidur aja?" Stevi sudah berdiri disamping kiri ranjang Nata, dia melihat nanar tubuh setengah telanjang pria itu. Wajahnya yang banyak terdapat memar ataupun jahitan-jahitan, dibagian dada dan perut banyak tertempel benda benda medis yang Stevi sendiri tidak tahu itu bernama apa. Tapi Stevi tahu satu hal, hidup Nata sekarang bergantung pada alat itu dan Tuhan.

"Kamu janji buat ikut olimpiade? Kalo kayak gini gimana mau ikut olimpiade nya? Mau ngerjain soal disini?" Tanya Stevi sinis padahal ada nada sedih yang tersirat disana.

"Kamu janji nggak akan ninggalin aku sendirian kan? Kenapa kamu nggak bangun?"

Stevi terus berbicara sendiri sambil menatap wajah damai Nata, ingin sekali dia membelai halus rambut yang sudah sebagian terlilit dengan perban. Dan mungkin akan gundul karena operasi.

"Aku istirahat dulu, cepat sembuh NaCl nya Via.." Stevi tersenyum sebelum ia benar benar meninggalkan ruangan itu.
••

"Stevi." Stevi menengok kearah suara, wanita paruh baya dengan setelan jas berlari menghampirinya.

"Mama tengok kamu di ruangan nggak ada." Ucapnya, dia membantu Stevi untuk berjalan kembali menuju ruangannya.

"Nata?" Stevi bertanya tentang kondisi Nata yang sebenarnya. Mengapa pria itu harus dioperasi? Ada apa dengan tubuhnya?

Fina masih tidak membalas ucapan anaknya, dia tidak ingin sang anak terus memikirkan kondisi Nata sedangkan kondisi sendiri tidak diperhatikan. Setelah menidurkan kembali sang puteri dia membelai tangan dingin puterinya itu.

"Everything gonna be alright." Ucap Fina meyakinkan.

"Bagaimana aku bisa percaya semuanya baik-baik aja kalau kenyataannya gini?"

"Kamu boleh nggak percaya mama, tapi kamu percaya Tuhan bukan?" Fina menatap Stevi meyakinkan gadis itu.

Stevi mengangguk, ya tidak ada harapan lain. Selain, berharap pada Tuhan agar Nata segera terbangun dari mimpi panjangnya, melindunginya, memeluknya dan membawakan lilin untuknya lagi.

Tak lama beberapa perawat masuk untuk memeriksa keadaanya, mereka juga membenarkan infusan. Kondisi Stevi sudah membaik. Dia menatap jam yang bertengger di dinding putih kamar inapnya itu.

Pukul sepuluh.

Stevi bangkit dari tidurnya dan memanggil Fina, wanita paruh baya itu menghampiri Stevi.

"Kenapa sayang?"

"Aku mau ada disaat Nata melakukan operasi." Pintanya pada Fina.

Fina menggeleng, dia menggenggam kedua tangan putrinya.

"Walaupun hanya di depan pintu luar?" Stevi tetap memaksa. Dia ingin sekali melihat Nata, ingin sekali ada disaat Nata berjuang di hidup dan matinya.

Fina menghela napas, dia mengangguk. Berjalan dengan bantuan dari Fina, mereka sudah berada didepan ruangan operasi.

"Nata baru saja masuk," ucap Hana.

Stevi tersenyum pada Hana, "aku akan nunggu dia sampai sadar."

Hana, Stevi, Fina, Gio mereka duduk dikursi tunggu depan ruangan. Dengan hati cemas, mereka terus merapalkan doa untuk orang yang sedang berjuang di dalam sana.

"Dede mana Ma?" Stevi menanyai adik Nata yang sudah cukup lama tidak dia lihat.

"Dia bersama aunti nya dirumah," jawab Hana.

Stevi mengangguk, "aku kangen jalan bertiga Ma." Dia menatap Hana.

"Aku, Dede, dan Nata." Lanjutnya tersenyum. Terlihat sekali senyum yang menggambarkan luka.

••

Di dalam ruang operasi, para dokter dan beberapa perawat sedang berjuang untuk membantu menyembuhkan seseorang pasca kecelakaan tragis itu. Sebagai orang medis mereka sangat bekerja dengan sungguh-sungguh. Ini operasi kedua Nata, pertama dia menerima operasi untuk kakinya dan sekarang untuk pendarahan di kepalanya. Sebelum membedah kepala Nata dokter sudah mencukur habis rambut Nata.

"Tolong, siapkan kantung darah." Pinta pemimpin operasi kepada perawat yang membantunya.

Beberapa perawat mengambil kantung darah dan memasangnya, tangan terampil sang dokter kembali bermain dengan alat alat operasi, tahap akhir mereka menjahit kulit luar pasien.

"Dok, tekanan jantungnya tidak stabil." Ucap salah satu perawat

Dokter pemimpin operasi melihat ke arah monitor EKG.

"Siapkan defibrilator." Perintahnya.

Dan perawat segera membawa defibrilator, alat kejut jantung.

"Berikan tekanan 200 joule."

Ditempelkannya alat kejut jantung itu, beberapa kali hingga bunyi stabil dari monitor EKG membuat mereka bernapas lega.

Satu dari mereka keluar ruang operasi, beberapa orang bersiap untuk memindahkan pasien ke ruang ICU.

Baru saja membuka pintu ruangan, keluarga dari pasien menyerbu dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Operasinya lancar, untuk sekarang kondisinya cukup stabil walau belum sadarkan diri. Pasien akan dipindahkan kembali diruang ICU, jika terjadi sesuatu silahkan tekan tombol darurat pada samping ranjang pasien." Terang sang dokter.

"Terima kasih Tuhan, Terima kasih dok." Ucap wanita paruh baya yang masih dirangkul oleh suaminya.

••

19 Mei 2016

Continue Reading

You'll Also Like

55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
6.6M 496K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
1.2M 183K 58
Ketika aku membuka mata, aku berada di dalam sebuah novel. [My Love Never Gone] [My Love Never Gone] adalah sebuah novel fantasi-romantis yang berfok...