The Number You Are Trying to...

By expellianmus

6.6M 364K 63.4K

Katanya, aku genius dan hidupku kelewat serius. Padahal aku tidak merasa seperti itu. Oke, aku memang pern... More

Chapter 0: the number you are trying to reach is saying thank you
Chapter 0.5: the number you are trying to reach is unreachable--don't try again
Chapter 1: the number you are trying to reach is a freak
Chapter 2: the number you are trying to reach is curious
Chapter 4: the number you are trying to reach receives some messages (finally)
Chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number
Chapter 6: the number you are trying to reach is very weird
Chapter 7: the number you are trying to reach says 'russell' not 'ransel'
Chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor
Chapter 9: the number you are trying to reach is not hestia
Chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband
Chapter 11: the number you are trying to reach receives and gives money
Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet
Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg
Chapter 14: the number you are trying to reach is a liar
Chapter 15: the number you are trying to reach meets mamah ira
Chapter 16: the number you are trying to reach's sister is the goddess of debt
Chapter 17: the number you are trying to reach is a genius level 15
Chapter 18: the number you are trying to reach isn't the only one who curious
Chapter 19: the number you are trying to reach asks for pink roses coin purse
Chapter 20: the number you are trying to reach isn't as good as pempek
Chapter 21: the number you are trying to reach is not reachable-try again!
Chapter 22: the number you are trying to reach is a feiht--not a thief
Chapter 23: the number you are trying to reach receives a purse!
Chapter 24: the number you are trying to reach is adapting
Cover
Chapter 25: the number you are trying to reach's mom finds her way back
Chapter 26: the number you are trying to reach receives pj
Chapter 27: the number you are trying to reach meets someone unexpected
Info dan Kalian Mau Apa?
Penjualan Khusus
Sold Out (Pemesanan Khusus)
Sudah Mulai Beredar
Ayo Ketemu + Ig

Chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language

298K 22.4K 5.5K
By expellianmus

chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language


"TEGAK! LO MAU DIPERBUDAK SENDOK?!" Salah satu dari anak OSIS, lagi-lagi berteriak kepada anak kelas sepuluh. Bisa tebak alasannya kenapa? Iya, si anak kelas sepuluh duduk tidak tegak saat lagi makan.

Setelah pengenalan sekolah yang membosankan tadi, sekarang jam istirahat. Anak-anak OSIS berlalu-lalang ke sekeliling kantin, untuk meneriaki anak-anak yang duduk tidak tegak.

Untungnya, waktu kecil Mama sudah sering memarahiku kalau badanku tidak tegak. Jadi, yah, aku aman sekarang.

Tapi tidak dengan Kalila. Dia berkali-kali kelepasan tidak duduk tegak, seperti sekarang.

"Woi, tegak!" kataku sambil menepuk punggungnya.

Kalila menegakkan tubuhnya. "Perasaan tadi udah gue tegakkin, deh. Kapan coba bengkoknya lagi?"

"Tiga puluh enam detik yang lalu," jawabku.

Kalila memutar kedua bola matanya. "Ah, bete abis. Pengen cabut aja."

"Cabut?" ulangku, tidak yakin dengan apa yang kudengar.

Kalila mengangguk. "Iya."

"Cabut apa?" tanyaku lagi.

Kalila menatapku dengan tatapan heran, seolah-olah aku adalah alien yang baru turun dari langit. Padahal, tolong ya, siapa sih, yang bicaranya tidak jelas?

"Jangan bilang, lo enggak tahu cabut itu apaan," kata Kalila.

Aku mengangkat alis kananku. "Menurut KBBI, cabut itu menarik supaya lepas dari tempat tertanamnya--" Aku menghentikan ucapanku. Sial. Aku lupa kalau aku kan, si Aira Baru. Dan Aira Baru, tidak menghafal isi KBBI waktu kelas empat SD.

Kini, giliran Kalila yang mengangkat alis kanannya. "Lo ngafalin isi KBBI?"

Aku menggeleng sambil tertawa. "Enggak, cuma kebetulan tahu yang itu aja," jawabku beralasan. "Omong-omong, maksud lo tadi apa?"

"Maksudnya, gue mau pergi," katanya. "Lo emang enggak pernah denger kata itu apa?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Lo tinggal di goa mana, Ra?" tanya Kalila sambil tertawa.

Aku menepuk punggungnya. "Tegak!"

"Sori!" desisnya.

[.]

Setelah acara hari pertama selesai, anak-anak kelas sepuluh dibubarkan. Tapi anehnya, banyak anak yang masih betah di sekolah--termasuk Kalila (padahal tadi dia bilang kan, dia mau 'cabut').

"Lo enggak mau "cabut", Kal?" Aku menggunakan jari-jariku untuk membuat tanda petik di udara.

Kalila mengangkat bahunya. Sekarang, kami berada di pinggir lapangan basket, duduk-duduk tidak jelas seperti banyak anak lainnya. (Kalau aku adalah aku, sekarang aku sudah di rumah, dan bersiap-siap untuk membaca buku mitologi pemberian Mama.)

"Mager," jawab Kalila. "Di rumah kagak ada orang juga."

"Apa kata lo? Pagar?" tanyaku.

Kalila menoleh lalu mentapku dengan heran. "Ma-ger."

"Ma-ger?" ulangku dengan bingung.

Kalila menatapku dengan tatapan yang mengatakan "Ini orang aneh siapanya Mr. Bean?".

"Mager apaan?" tanyaku, berhubung Kalila sepertinya tidak berniat menjelaskan dengan sukarela.

"Oke, pertama cabut. Sekarang mager. Setahu gue, SMP lo bukan SMP yang diasingkan oleh negara, deh," kata Kalila sambil menatap nama SMP di seragamku.

Aku mengangkat bahu. "Mager apaan?" ulangku.

"Males gerak," jawab Kalila. "Lo beneran enggak tahu?"

Aku menggeleng. "Kenapa sih, emang? Kayak gue mau ujian pakai bahasa-bahasa begituan."

Kalila melongo. "Apa kata lo? "Bahasa-bahasa begituan"?" tanyanya, membuat tanda petik dengan tangannya. "Itu bahasa manusia! Lo kali, yang enggak bisa bahasa manusia."

Aku nyaris saja kelepasan berkata, kalau aku bisa berbicara dalam lebih dari lima puluh bahasa di dunia--kecuali yang satu itu. Dan lagi pula, kata 'cabut' atau 'mager' tidak ada di kamus mana pun.

"Terserah lo, deh," kataku sambil bangkit dari duduk.

"Lo mau ke mana?" tanya Kalila.

"Pulang," jawabku. "Capek."

Kalila mengerutkan keningnya. "Lo kayak enggak punya hidup deh, Ra."

Aku tertawa. Sebenarnya, aku mati-matian ingin membalas dengan berkata, "Semua orang jelas punya hidup. Halo? Gue masih bernapas. Bedanya, ada yang gunain hidup sebaik-baiknya, ada yang buang-buang waktu hidup--kayak kalian."

"Jangan-jangan, lo mau pulang, terus belajar?" tanya Kalila.

Aku mengangkat bahu. "Bukan. Gue mau baca buku mitologi." Lagi-lagi, aku harus menahan diriku untuk tidak berkata, "Belajar apaan? Gue udah belajar semua materi kelas sepuluh."

"Malah lebih parah!" seru Kalila sambil berdiri. "Ngebosenin banget, tau enggak?"

"Enggak."

Kalila menghela napas. "Ayo, gue kenalin lo sama anak-anak lain. Kayaknya, lo enggak punya temen."

Aku meninju lengannya pelan. "Enak aja! Lo juga kayak enggak punya temen--dari tadi sama gue terus."

Kalila mengangkat bahunya. "Soal itu, temen-temen deket gue enggak pada masuk SMA ini. Gue males aja sama anak-anak SMP gue yang enggak gue kenal banget."

"Terus, sekarang lo mau ngenalin gue ke siapa?" tanyaku.

Kalila mulai berjalan keluar dari lapangan basket. "Ayo, ikut aja. Pokoknya, seburuk apa pun ini, pasti bakal lebih baik daripada lo pacaran sama Persus."

"Perseus," koreksiku.

"Apalah."

[.]

Oke, ini gila.

Kalila berjalan ke arah sekumpulan anak cewek yang sedang mengobrol di kantin. Anak-anak cewek itu berambut panjang, dengan gelang, tas, sepatu yang mirip punya Hera, dan oh tunggu, semua anak cewek itu mirip Hera!

"Kalila!" seruku pelan sambil menyambar lengan Kalila. "Lo mau ngenalin gue ke orang-orang itu?" tanyaku sambil menunjuk cewek-cewek itu.

Kalila mengangguk.

"Emang, lo kenal mereka?" tanyaku.

Kalila tertawa. "Beberapa dari mereka, dari SMP gue. Beberapa lagi, bukan dari SMP gue, tapi mereka kenal gue," jawabnya. "Kalau menjawab pertanyaan lo, enggak, gue enggak kenal mereka. Tapi, mereka kenal gue."

"Kok bisa?" tanyaku.

"Gue itu di SMP dulu semacam, em apa, ya namanya? "It girl" gitu, deh," jawab Kalila.

Aku mengerutkan keningku. "Serius? Terus, kenapa "It girl" di sekolah, mau aja disuruh-suruh pacar kakaknya? Lo kan, harusnya berkuasa dan sebagainya."

Kalila memajukan bibirnya. "Sekolah sama rumah, itu dua hal yang beda. Makanya, gue bete abis waktu gue dipaksa satu sekolah sama kakak gue di SMA. Dan gue enggak bakal bisa jadi "it girl" lagi di SMA, tanpa kakak gue ngadu macem-macem ke orangtua gue."

"Makanya lo temenan sama gue?" tanyaku.

"Ya enggak gitu juga," jawab Kalila. "Lagian, ini masih hari pertama. Siapa tahu aja, besok kita musuhan."

Aku memerhatikan Kalila. Sebenarnya, tidak heran juga sih, kalau dulu dia semacam "it girl". Gayanya memang semacam Hera, bedanya, dia tidak mengenakan gelang, tas, sepatu, baju, atau apa pun yang mirip Hera. Jadi, oke, dia tidak mirip Hera. Tapi ada sesuatu dari Kalila, yang membuatku berpikir dia mirip Hera--mungkin, caranya membawa diri.

Maksudku, caranya membawa diri sekarang. Bukan caranya membawa diri saat di depan Viara tadi.

Tiba-tiba, salah satu cewek dari sekumpulan 'Hera' di dekat kami, menoleh. "Kalila! Sini yuk, gabung!" serunya.

Kalila tersenyum tipis ke arah mereka, kemudian berjalan ke sana. Karena aku yakin, berdiri saja di sini bukan tindakan yang biasa dilakukan orang-orang, aku mengikuti Kalila.

"Halo, lo siapa?" sapa salah satu cewek itu kepadaku. Aku mengamati cewek-cewek itu. Total ada enam cewek.

"Ini Aira," sela Kalila.

Cewek itu tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya. "Gue Kesha," katanya.

Aku menyambut uluran tangannya. Setelah beberapa detik, Kesha melepaskan tangannya.

Itu adalah salah satu dari beberapa hal aneh yang sudah kucoba hari ini.

"Aira," kata salah seorang cewek lainnya. "Gue Vanessa. Omong-omong, kok, lo enggak kayak temen-temennya Kalila di SMP dulu?"

Aku memerhatikan seragam si Vanessa ini--dia berasal dari SMP yang sama dengan Kalila.

"Karena, temen-temen gue enggak sekolah di sini, dan ya kali ada kloningannya mereka di sini. Kalau ada juga gue ogah. Serem kali, sama gitu. Lagian mereka emang kambing apa, pake dikloning segala," balas Kalila asal. "Gue sama Aira boleh duduk di sini?"

Yang barusan itu bukan pertanyaan. Kalila lebih seperti menantang mereka untuk mengatakan tidak.

"Boleh, lah!" seru Kesha.

Aku dan Kalila pun duduk di salah satu kursi yang ada di sana.

"Jadi, ada apa?" tanya seorang cewek yang lain. "Kok tiba-tiba nyamper?"

"Bosen aja," jawab Kalila.

"Temen-temen lo enggak pada ke sini?" tanya Vanessa kepada Kalila.

"Lo ngebet pengen ketemu temen gue apa gimana, sih?" tanya Kalila. "Lo tahu kan, temen-temen gue pasti ngacangin lo juga kalau ada di sini?"

Vanessa terdiam. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Aira, lo dari SMP mana?" tanya Kesha berbasa-basi.

Aku menunjuk seragamku. "Nih, ada tulisannya."

Kalila tertawa.

"Oh, iya!" kata Kesha, lalu tertawa kecil. Terdengar sekali dipaksakan. "Berarti, lo kenal sama Tasya. Tahu, kan? Anastasya Anjani itu?"

"Enggak," jawabku.

"Hah? Masa, sih?" seorang cewek lain tiba-tiba bergabung. Dari ekspresinya, dia terlihat kaget sekali. Seolah-olah Anastasya Anjani itu Oprah Winfrey dan aku orang tolol karena tidak tahu dia siapa.

"Kalau Olive tahu, enggak?" timpal cewek yang lain.

Aku menggeleng. Dan lagi-lagi, mereka tampak terkejut.

"Emang kenapa, sih? Mereka kan bukan presiden, dan gue enggak mau ikut pemilu," kataku akhirnya.

Kalila terkekeh pelan. "Udah, lah. Dia kayaknya enggak kenal siapa-siapa," katanya.

"Oh, oh!" seru Kesha. "Terakhir, nih! Lo pasti tahu Rio, kan?"

"Yang jualan bubur ayam di SMP gue namanya Suprio," balasku malas. Ini orang-orang maunya apa, sih? Lagian, kalau aku kenal sama salah satu orang yang mereka sebut, terus kenapa? Mau didiskusikan? Apa yang perlu didiskusikan? Memangnya mereka siapa?

"Eh, itu Rio!" seru Kesha tiba-tiba. Matanya menatap sesuatu di belakangku.

Aku menoleh, dan melihat beberapa anak cowok berjalan memasuki area kantin. Beberapa di antara mereka mengenakan seragam SMP yang sama denganku.

"Rio!" seru Kesha.

Salah satu dari cowok-cowok itu menoleh, ia kemudian mengangkat tangannya.

"Sini!" seru Kesha lagi.

Hah? Ini si Kesha maunya, apa?

"Lo ngapain manggil dia? Dia bukan Rio yang tukang bubur. Kalaupun iya, dia juga enggak lagi bawa gerobaknya," kataku asal. Apa sih, yang mau dilakukan Kesha? Kurang jelas apa, kalau aku tidak kenal dengan si Rio ini?

Kalila lagi-lagi tertawa. Aku menoleh cepat ke arahnya.

"Apa-apaan?" kataku tanpa suara.

Kalila mengangkat bahu, kemudian bersandar di tempat duduknya, seolah-olah mengatakan, "Gue mau nonton, ah!"

"Udah lo diem aja," kata Kesha kepadaku.

Beberapa saat kemudian, cowok yang tadi dipanggil Kesha sampai di depanku.

"Rio," sapa Kesha sambil tersenyum lebar.

"Kenapa, Sha?" tanyanya.

"Ini nih, lo kenal dia enggak?" tanya Kesha sambil menunjukku.

Tatapan mata Rio berpindah kepadaku. Ia kemudian mengangkat bahu. "Gue enggak kenal."

"Lo pas SMP ngapain aja, sih?" tanya Kesha kepadaku. "Sembunyi di toilet?"

"Ya, sekolah aja, kayak pada umumnya."

Rio tertawa kecil. "Kok gue enggak pernah lihat lo?"

"Sibuk belajar kali si Aira," timpal Kalila dengan cuek.

"Belajar?" tanya Kesha dengan heran. Seolah-olah, 'belajar' adalah kata yang asing di telinganya. "Emangnya, nilai lo jelek?"

Sebelum aku bisa menjawab, Rio menyela, "Serius? Lo enggak kelihatan kayak orang yang nilainya jelek."

Aku baru akan menjawab kalau nilaiku biasa-biasa saja, ketika Vanessa angkat bicara, "Ri, lo bilang, lo nyari kelas tambahan belajar gitu, ya? Ada enggak? Kali aja si Aira bisa ikut."

"Oh, iya, iya!" kata Rio. Ia merogoh sakunya kemudian mengeluarkan sebuah ponsel. "Gue udah dapet nih, dari kakak kelas. Katanya sih, kelasnya asyik dan ngebantu banget. Lo mau ikut, em, siapa nama lo?"

"Aira," kataku. "Tap--"

"Oh, Aira," sela Rio. Ia mengulurkan ponselnya kepadaku. "Masukkin ID LINE lo ke situ, deh. Nanti gue kasih tahu lebih lanjut tentang kelas tambahannya."

Aku melirik orang-orang di sekitar. Mereka semua memerhatikanku.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengambil ponsel Rio dan mengetik ID LINE-ku di sana. Yah, padahal aku juga jarang menggunakan aplikasi itu. Mau ngobrol sama siapa, memangnya?

"Duluan, ya semua," kata Rio setelah mendapatkan ponselnya kembali. Ia pun berlalu pergi.

Aku menatap punggung sialannya pergi menjauh. Sial. Aku memang berniat jadi manusia normal, tapi kan, tidak begini juga.

"Aira, kayaknya, si Rio modus sama lo, deh," kata Kesha tiba-tiba.

"Nilai terbanyak?" tanyaku.

"Hah?"

"Modus," ulangku, menatap Kesha dengan bingung.

Kalila mendadak tertawa. "Udahan yuk, Aira. Ntar lo makin bingung karena enggak ngerti bahasa manusia." Kalila pun bangkit dari duduknya. "Ayo, Ra."[]



a.n
halo semuaa! sebenernya ini chapter udah mau di-post dari kapan tau, cuma akhirnya aku pendem dulu dan baru aku rombak sekarang karena yang sebelumnya, cacat parah. wakak. maaf update-nya lamaa, nih kukasih chapter yang lebih panjang dari biasanya wkwk. Daan, berhubung aku udah selesai un, bisa sering-sering update yeyy.

btw, ada trailer di chapter 0 : ) silakan ditonton. tapii, karena cerita ini belum sampai ke intinya dan trailer itu isinya inti cerita, jadi mungkin kalian enggak akan terlalu ngeh sama trailernya. Dan bisa ke-spoiler juga sih. Jadi ya, terserah mau diliat apa enggak.

satu lagii, cast-nya Kalila si Ashley Benson yaa (yha dari PLL lagi). btw, dia yang ada di mulmed dan yaampun I LOVE HANNA MARIN < 3

12 Mei 2016

Continue Reading

You'll Also Like

203K 16.6K 15
(Cerita sudah lengkap di KaryaKarsa @ Junieloo) Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat...
Stuck By Stephanie

Teen Fiction

148K 10.9K 14
[Series 1] Genre: Young Adult SEBAGIAN PART DAPAT DIBACA DI APLIKASI FIZZO (Akun Stephanie Budiarta) *** -Sesi wawancara organisasi- 🙎🏻‍♂️: Keku...
59.5K 18.2K 67
Tahun ajaran baru, seorang pemain saxophone bergabung dalam klub band sekolah dan berhasil menyita perhatian semua orang. Selain sifatnya yang supel...
266K 42.6K 62
[The Jakarta Series 1.5] ✦ written in lowercase ✦ seandainya bukan karena proposal kegiatan classmeeting yang harus diajukan esok harinya, jaka yakin...