Descendants Of The Sun 2 (고원이...

By ikedesyaaa

9.7K 299 34

Kami telah membangun hidup yang baru setelah ayahku memberi restu pada kami. Aku dan dia berhasil membuat kel... More

I Love You, Iji marayeo

9.7K 299 34
By ikedesyaaa


"Dia masih belum mengangkat telfonmu?", tanya Si Jin Sunbae di telfon sana. "Belum, rasanya seperti kembali ke masa lalu ya kkk", jawabku. "Kalian ini apa-apaan. Sudah menikah masih saja bertengkar karna masalah sepeleh". Aku memanyunkan bibir mendengar celotehan Kapten Pansus itu. "Dia baik-baik saja, sedang ngopi bersamaku", lanjutnya lagi. "Dia sehat kan? Aku sudah tidak sabar memberitahunya sesuatu". "Dia sehat, tidak terluka satupun". Lalu aku mematikan sambungan telfon kami. Tsk suami macam apa dia. Andai dia tau aku sedang ngidam karena hamil dia pasti tidak marah waktu itu.

"Yoon Myeong Ju!". Aku menoleh ke asal suara. "Ya! Kang Moyeon!". Aku memeluk sahabat lamaku itu. Kami memang sebelumnya telah janjian untuk makan siang berdua di kantin rumah sakit Haesung. Aku sengaja mengunjunginya karena merasa kesepian. Suamiku yang sersan itu sedang tugas ke luar negri bersama tim alpha. Agaknya kesepianku bertambah karena aku belum sempat memberi tahu si wolf itu perihal kabar bahagia bahwa aku akan melahirkan dua minggu lagi. Tak kusangka sahabatku inilah orang yang pertama tahu kabar bahagianya, tentu karena dia yang memeriksaku.

"Barusan kau telfon siapa?". "Bigboss!". Ia mendengus kecil sambil melanjutkan, "Apa kau tidak bisa menelfon suamimu sendiri?". Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Kalau wolf mau mengangkat telfonku aku akan menelfonnya setiap saat". "Tunggu! Apa kalian sedang bertengkar?". Aku mengangguk ragu sambil menyeruput tehku. "Aigoo kapan kalian dewasa".

"Dia yang salah, aku hanya minta ke Urk tapi dia tidak mau temani", sanggahku. "Micheosseo? Disana sedang marak Ebola jelas saja suamimu melarangmu. Kau ini ada-ada saja", kata sahabatku yang sekaligus dokter itu. "Tidak peduli. Siapa tahu disana sedang turun salju. Lagipula saljunya indah, aku rindu saat-saat itu!". Berbincanglah kami kesana kemari tanpa topik yang jelas. Tak lupa ia menceritakan putra pertama mereka, Yoo Siyeon yang perkembangannya semakin baik saja. Aku juga menceritakan masa-masa hamilku lengkap dengan proses ngidamnya. Setelah melahap makananku hingga habis, aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Karena tidak bisa tidur aku memutuskan untuk melihat-lihat kondisi Urk dari internet. Benar apa kata Kang Moyeon, disana Ebola menjadi epidemik yang menjadi bencana nasional. Bisa ku bayangkan betapa sibuknya keadaan rumah sakit dengan jumlah pasien yang bertambah setiap menitnya. Pastinya sangat merepotkan. Dulu aku pernah terjangkit virus ini, meski aku tertular virus yang dibawah virus Ebola yang asli, pengangannya saja sudah genting. Hatiku terketuk melihat laporan di internet ketika wabah ini tidak sebanding dengan jumlah rumah sakit dan dokter yang ada disana.

"Appa, aku ingin bergabung dengan misi kemanusiaan di Urk", ucapku sesaat ayah menerima telfonku.

Kini aku telah berada di bandara untuk bergabung dengan relawan yang lain menuju Urk. "Omo! Nyonya Seo Daeyoung. Hormat", ucapa seorang laki-laki yang telah ku kenal dengan baik. "Eoremaniya Kibom ssi", balasku dengan mengenakan sabuk mengaman helikopter.

Perjalanan dimulai dari Seoul ke Mohuru ibu kota Urk. Rencananya setelah sampai disana aku akan mengabari Daeyoung soal keputusanku ini. Ku harap dia tak bosan mengkhawatirkanku. Tak ada niatan untuk mengganggu pekerjaannya, hanya saja seorang istri haruslah banyak-banyak melapor pada suami sedang ada dimana dan dengan siapa, benar kan? Setelah perjalanan yang melelahkan itu, sampailah aku bersama relawan yang lain di bandara Mohuru.

Aku menekan nomor suamiku yang jarang pulang itu. Lama ia tidak mengangkat. Ku coba menghubinginya lagi, tak diangkat lagi. Aku menelfon lagi untuk yang ke tiga kali. Dan hasilnya? Diangkat! "Yeobo… kenapa tidak mengangkat telfonku? Apa kau baik-baik saja? Maaf jika waktu itu aku menelfon Si Jin seonbae daripada menelfonmu. Lagi pula aku tahu kau tidak akan mengangkatnya…". Sunyi, itulah yang aku dengar beberapa saat setelah ia mengangkat telfonku. "Kenapa kau diam saja? Apa kau masih marah padaku? Arasseo, tidak apa jika begitu. Langsung saja, ku harap kau tidak marah dan terus berdoa untukku. Aku baru saja sampai di Urk. Wabah disini nampaknya makin buruk jadi aku meminta ayah untuk mendaftarkan aku jadi relawan. Sudah dulu ya, aku harus ke barak". Ketika aku akan menutup telfonku terdengar suara dari Daeyoung. "Myeongju… jika sesuatu terjadi padamu, aku akan menyeretmu pulang". Aku tersenyum dan segera menutupnya. Aku bisa menduga bahwa dia akan khawatir padaku.

Sesampainya di barak aku mengepak barang-barangku ke lemari dan menyimpan beberapa obat di rak. "Perlu ku bantu Letnan Yoon?", Kibom mengagatkanku. Aku menolaknya halus sambil melanjutkan pekerjaanku.

"Aku merindukan salju di Urk…", kata Kibom membayang. Mendengar itu aku berhenti dari aktivitasku memindahkan barang. Aku menoleh ke jendela dan menuju ke arahnya. Ku pandang sejenak udara di Urk yang waktu itu memang sedikit panas. Aku berjalan menuju teras barak, lalu tersenyum.

Disinilah ia kembali, pujaan hati yang tadinya sempat dianggap gugur oleh rekan-rekannya. Ia kembali dengan tangan kanan terbebat perban dan diiringi oleh hujan salju yang hanya 100 tahun sekali jatuhnya. Kembali aku tersenyum mengingat itu. Suasana dimana sedih bercampur haru dan syukur. Dicampur lagi dengan melting yang tinggi karena dia menciumku dan diakhiri dengan rasa rindu yang membuncah yang akhirnya bisa tersalurkan. Jujur saja waktu itu aku yakin ia masih hidup makanya aku tidak membaca surat wasiatnya. Yah itu membuktikan kalau instingku masih kuat. Tak dapat kupungkiri itu adalah hari paling ku tunggu. Aku tidak tahu apa jadinya kalau hari bersalju tidak pernah datang.

••••


Hari pertama di Urk, rasanya tubuhku terpanting kesana kemari karena aku harus turun langsung ke lapangan untuk memberi vaksin. Aku datang ke kota dan ke desa-desa untuk memberi pertolongan. Perjalananku di mulai dari ke sebuah distrik di pusat kota. Orang-orang sudah mengantre. Aku dibantu dokter dan beberapa dokter relawan lainnya menyuntikkan vaksin secara bergiliran.

Ketika seorang laki-laki mendapat giliran untuk divaksin, aku menaruh kecurigaan karena ia batuk-batuk dan wajahnya pucat basi. Kecurigaanku benar ketika ia tiba-tiba pingsan dan darah tumpah dari tangannya karena ketika aku dengan menyuntiknya vaksin ia terkapar dan itu melukainya. "Siapkan ruang karantina!", seruku.

Tanganku terciprat darah laki-laki itu. Segera saja aku membilasnya dengan alkohol dan memakai alat perlindungan diri. Ketika selesai mencuci ceceran darah itu aku menghadap dokter utusan PBB untuk di cek apakah aku tertular Ebola atau tidak. Seorang perawat asal Swiss telah selesai mengambil darahku. Kini aku dikarantina bersama pasien itu sampai hasil itu keluar. Ku sempatkan mengirim pesan pada Daeyoung.

"Mianhae"

Tapi aku tetap berpikir positif tidak tertular. Aku menunggu dengan tenang sambil membantu perawat memasangkan infus pada pasien yang terkena virus tadi. Tiba-tiba pintu karantina terbuka keras. "Yoon Myeongju kau sudah gila!". Kang Moyeon, disini dia rupanya. Kembali menjadi relawan persis di masa lalunya. "Apa kau sudah gila? Ha?". Aku tetap terdiam dan tidak bergeming. Dari cara bicaranya sih aku yakin kalau aku tidak tertular.

Namun aku salah, aku tertular virus ini untuk kedua kali. Sial. "Sudah kubilang kan? Disini sedang wabah virus berbahaya. Kenapa kau tidak mau mendengarkanku? Kalau sudah begini mau apa? Kau harus berobat bagaimana ha? Kau mau membunuh bayimu? Hah aku tidak percaya kau seperti ini".

Tentu saja aku tidak mau membunuh bayiku. Aku harus segera di vaksi agar virusnya tidak menyebar dan menulari bayiku. Bergegaslah aku ke ruang vaksin yang ada di depan. Tapi Moyeon menghalangiku. "Menyuntikkan vaksin itu tidak akan memberi efek apapun. Vaksin itu hanya untuk pencegahan". Sialan. Lalu bagaimana aku dan bayiku bisa selamat? Kenapa jadi begini? Padahal awalnya aku ingin membantu, malah hasilnya begini. Menambah pekerjaan orang-orang yang ada disini saja.

••••

Akhirnya mau tidak mau aku harus di karantina seperti pasien yang lain dan pasien yanh kemarin menulariku. Berbaring di ranjang sepanjang hari, tidur, makan semuanya di ranjang. Tentunya itu membuatku bosan. Akhirnya sedikit-sedikit aku membantu orang-orang yang sudah kurepoti. Kadang jika pasien yang ada di sebelahku ini sudah waktunya diberi obat, aku membantu menyuntikkan obatnya untuk keamanan dokter yang menyuntikkannya juga.

Hari itu Moyeon kembali menjengukku. "Bagaimana keadaanmu?", tanyanya. Aku tersenyum lalu menjawabnya, "Aku baik-baik saja. Rasanya hasil tes itu salah". "Bicara apa kau ini. Pada ibu hamil memang tidak terasa gejalanya". Moyeon lalu memeriksa pasien yang ada di sebelahku. Ia bertanya apakah dia yang menulariku. "Tak ada yang menulariku. Aku tertular bukan ditulari".

Ponselku berbunyi setelahnya. Ku baca layar yang menampilkan nama si penelfon, sebuah panggilan dari Daeyoung. Aku melirik Moyeon sebentar dan mengangkatnya. "Yoon Myeongju! Kau harus siap-siap mengemas pakaianmu", ucap suamiku itu diujung telfon. Aku lemas seketika. Bagaimana jika dia tahu aku hamil dan ia memutuskan untuk menggugurkan kandunganku karena virus ini? Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku mengingat vaksin virus ini sama saja membunuh bayiku. Setetes air mata mengalir di pipiku. Dan semuanya menjadi gelap.

••••

Aku terbangun karena perbincangan dua orang di sebelahku. Bisa kurasakan suhu tinggi di badanku. Kepalaku juga sedikit pening. "Dia belum memberitahumu jika perkiraan dia akan melahirkan minggu depan?", sepertinya suara Moyeon. "Sejak kapan kabar itu diberikan?", suara… suamiku? "Sudah seminggu yang lalu". "Ya Tuhan…", aku mendengar suamiku mendesah sesaat. "Bagaimana prosentasi selamatnya?", suamiku melanjutkan lagi. "Dibawah 40% akibat janin yang ia kandung. Bisa saja virus itu menyerang ibunya atau bayinya dulu, bisa juga secara bersamaan". Apa? "Dan di kasus ini virusnya menyebar secara bersamaan". Tidak mungkin. "Jadi bayi dan ibunya sudah pasti tidak terselamatkan? Tidak ada pilihan begitu maksudmu?", ku dengar suara suamiku meninggi. Aku berusaha tetap tenang agar mereka tidak tahu jika aku bisa mendengar mereka, terutama diagnosisku.

"Kita tidak tahu berapa lama Myeongju bisa bertahan. Tentunya semakin lama itu akan semakin baik". "Kau yakin tidak ada cara lain? Memisahkan janinnya misalnya?", suara Sijin sunbae terdengar dengan ide gilanya itu. "Itu sama saja menggugurkan bayinya. Kita tidak bisa memaksanya lahir sebelum waktunya. Tapi disisi lain, dengan cara begitu ku pikir itu bisa menaikkan prosentasi Myeongju bisa diselamatkan".

"Kalau begiti gugurkan bayinya". Apa? Suamiku berucap begitu? Suamiku sendiri tak menginginkan anaknya? Apa hanya karena ia mengancam nyawaku dia begitu tidak menginginkannya? Tidak tahukah dia aku sanggup mati agar putraku bisa hidup? "Itu bisa melukai perasaannya". "Ku mohon, aku lebih tidak bisa kehilangan dia. Kumohon selamatkan dia… Dokter Kang… selamatkan istriku".

Jangan sayang, jangan suruh mereka mengambil putra kita, selamatkan putra kita. Ku mohon dengarkan suara hatiku ini, selamatkan putra kita.

••••

Aku merasakan sebuah remasan di tangan kananku. Remasan hangat itu membangunkanku dari tidur yang panjang dan kata-kata bagai mimpi buruk yang ku dengar tadi. Aku tersenyum, ternyata benar suamiku telah hadir disampingku. Aku tak tahu kenapa, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. "Uljima…", kataku. Tapi ia tidak mau berhenti menangis. "Kenapa… kenapa kau membuatku merasa bersalah?". Aku terdiam. Aku tidak mengerti kenapa dia biacara seperti itu. "Putra kita… kenapa kau tidak memberitahuku?". Aku menangis. Menangis karena merasa bersalah juga karena telah menaruhnya diposisi yang sulit untuk memilihku atau anak kita.

Ia lalu mendekapku. Lalu kita menangis bersama-sama. Jika disisi lain ia berjuang untuk bisa menyelamatkanku, maka aku akan berjuang untuk menyelamatkan putraku. Itulah janjiku sebagai seorang ibu.

Aku terbaring lagi. Nampaknya virus ini menggerogoti semua staminaku, infuspun tak mempan. Lemas sekali rasanya tubuhku. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya berat sekali, seperti terbelenggu. Samar-samar aku lihat Moyeon memeriksaku. Dengan mengerahkan semua tenagaku, ku sentuh tangannya yang sedang berdiri disebelaku sebelum ia pergi. "Tolong aku, tolong selamatkan putraku…". Tak tahu apakah ia akan menurutiku atau tidak tapi aku berharap ia bisa mengerti perasaanku dan menyelamatkan bayiku. Aku harus terus meminta, "Ku mohon Moyeon, selamatkan bayiku… selamatkan bayiku… arrghhh!", belum sempat aku memohon perutku terasa sakit. Sakit sekali, ada yang mendesak pula. Ku lihat air ketubannya sudah pecah. Apakah kau akan lahir nak?

"Siapkan ruang oprasi. Cepat!"

••••

Bius telah bekerja di bawah bawah tubuhku. Tapi bisa kurasakan lemas diseluruh tubuhku. Aku tidak sadarkan diri setelah itu.

Kang Moyeon, aku mempercayakan semuanya padamu… aku percaya bahwa kita sama-sama perempuan dan sama-sama mengerti apa yang kita mau. Sekali lagi aku mohon selamatkan putraku agar kelak bisa menjadi kebanggaan ayahnya. Tak usah pikirkan aku, beginilah seharusnya seorang ibu.

Aku tertidur dan tidak bisa merasakan apapun. Ku pasrahkan semuanya pada dokter yang bertugas waktu itu. Rasanya lega jika mereka sukses melakukan oprasi dan menyelamatkan putraku.

"Yoon Myeongju putriku…". Aku menoleh mendengar suara itu. Suara yang tidak asing yang pastinya sudah hafal di telinga. "Eomma!". Ku peluk ibuku yang sudah lama meninggalkan aku dan ayahku itu. "Eomma sehat kan?". Tapi, ibuku itu tidak menjawab. Beliau hanya tersenyum, senyum yang sama dulu ketika aku mendapat gelar dokter di akademi militer dulu. Aku tidak tahu itu tempat apa. Tapi yang pasti aku senang bisa bertemu ibu. Aku juga mengenakan gaun putih sama dengan gaun yang dikenakan ibu waktu itu. Ibu lalu berbalik dan meninggalkanku. "Eomma! Eomma!", teriakku. Aku terus berteriak dan mengikutinya. Hingga aku terjatuh pada sebuah lubang besar.

####

Tiiiiiiiit.

"200 Joule! Start!… Ulangi! 200 Joule! Start!"

Tiiiiiiiiiiiiiiiiittt.

"Yoon Myeongju! Myeongju! Dengarkan aku! Bertahanlah… hiks… jangan bersama anakmu! Kembali lah! Yoon Myeongju!! Aku akan menyelamatkanmu! Myeongju!"

"Yeobo… yeobo! Jangan tinggalkan aku! Hiks hiks"

"Kembalilah! Ku mohon kembalilah!"

"Waktu kematian…". "Tutup mulutmu! Dia akan kembali! Istriku akan kembali!"

"Waktu kematian… 06.45 pm… waktu Urk"

~~~~~
Seoul Newspaper

Putri Komandan Yoon Gilnam, Letnan Yoon Myeongju tutup usia

Letnan Yoon Myeongju meninggal dunia di Urk akibat Ebola yang menyerangnya

Sang suami tidak mengetahui Letnan Yoon menjadi relawan di Urk

Letnan Yoon dan bayinya terjangkit Ebola setelah memberi vaksin pada warga sipil Urk

Sersan Seo Daeyong, hormat! Sengail chukkahae, ne sarangeun.…
Aku sengaja tidak memberimu hadiah-hadiah unik seperti yang rutin setiap ulang tahunmu kuberikan padamu selama delapan tahun karena aku punya sesuatu yang berharga untukmu
Menurut Dr Kang putra kita akan lahir minggu depan, itu tepatnya di hari ulang tahunmu

Aku lega ini akan segera menjadi kenyataan. Kau ingat kan bagaimana dulu ayahku menentang hubungan kita? Bersamamu sekarang dengan lengkap memakai seragammu membuatku tenang dan aku tidak pernah menyangka ini sebelumnya.

Setelah putra kita lahir nanti, aku harap kau bisa memberikan waktu yang banyak untuk mendidik memperhatikannya. Appanya lah yang harus mengajarinya memegang senapan dan menggendong beban berat serta tegas seperti kau sedang mendidik prajurit lain. Sementara aku akan mengajarinya menggunakan stetoskop dan mess.
Ku harap kita bisa bekerja sama untuk membesarkan anak kita. Tentunya aku berdoa bagi kesehatan dan keselamatanmu dalam bertugas agar impian kita pada putra kita terwujud.

Hormat!

Continue Reading

You'll Also Like

542K 88.4K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
233K 3.6K 4
Beberapa kali #1 horor. #1 horror Februari 2022 Versi lengkap Bisa di baca di Dreame/Innovel. Jangan lupa tap Love untuk dukung Author. Sebelum baca...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...