My Unplanned Husband

By Happiness_sugar

1.5M 36K 583

Takdir tak akan pernah ada yang tau kecuali sang maha kuasa. Ada yang bilang, batas antara cinta dan benci it... More

Welcome
Part 01
Part 02
Part 03
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 11
Part 13
Part 16
Pengumuman
Part 17
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27 Bab 2
Part 28
Welcome back
Kabar Bahagia!!!
VOTE COVER
Akhirnyaa

Part 12

36.9K 1.4K 8
By Happiness_sugar

Hari ini saya akan mengupload 2 part sekaligus karena minggu depan kemungkinan saya tak bisa mengupload atau melanjutkan cerita ini. Tapi tenang saja, ini hanya akan berlaku sekitar 1 atau 2 minggu. Oleh karena itu hari ini saya akan mengupload 2 part sekaligus untuk menggantikan hutang saya minggu depan. Oke, sekian dari saya. Selamat membaca dan votment bagi yang ikhlas dan baik hati.

---***---

Aku mengerjapkan mataku, menahan amarah yang menguasai otakku saat ini. Berusaha dengan keras untuk meraup semua persediaan oksigen disekitarku untuk menetralkan rasa panas yang menjalar dalam tubuhku. Setelah dirasa cukup, aku pun beranjak untuk menemui semua pelayan yang sedari tadi menunggu dalam posisi yang sama. Apa mereka sebegitu takutnya hingga sepertinya tak ada yang bergerak seinchi pun. Aku berdiri tepat dihadapan mereka kemudian meneliti semua wajah-wajah yang akan mengisi hari-hariku mulai saat ini. Ku suguhkan sedikit senyumanku untuk sedikit menetralisir ketakutan mereka akibat pertengkaranku dengan Ramiro tadi.

"Ehm.. maaf jika perdebatan kami tadi membuat kalian sedikit kurang nyaman." Aku bisa melihat ekspresi kaget mereka sebagai jawaban atas permintaan maafku, apa ada yang salah dengan permintaan maafku tadi? Mengapa mereka kaget seperti ini?

"Tidak Nyonya, kehadiran kami yang menyebabkan anda kurang nyaman. Maafkan kami Nyonya." Semua orang membungkukkan setengah badannya kearahku. Mereka semua terlalu formal, ini yang kubenci jika harus menjadi istri dari seseorang yang kaku dan diktator seperti Ramiro.

"Ahh tidak-tidak. Aku malah terbantu dengan kehadiran kalian di rumah ini. Namaku Renata, kalian bisa memanggilku Renata atau terserah kalian. Jangan memanggilku Nyonya, itu terlalu berlebihan."

"Tidak Nyonya, ini peraturan dari Tuan Ramiro dan kami semua harus mematuhinya." Eva sebagai ketua pelayan menjadi perwakilan untuk menjawab keluhanku. Apakah wajahku setua itu hingga dipanggil Nyonya. Ahh terserahlah, aku sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan mereka yang telah disetting sedemikian rupa oleh Tuan Arogan itu.

"Terserah kalian saja lah. Aku menyerah. Emm, kalian bisa kembali mengerjakan pekerjaan kalian dan ehm.. aku harus memanggil ibu siapa? Bukankah sangat tidak sopan jika memanggil ibu dengan nama tanpa embel-embel apapun?" Kataku pada Eva yang sedang menundukkan kepalanya. Eva sepertinya sudah berumur sekitar 40 tahun, itulah sebabnya aku tak berani memanggil namanya tanpa embel-embel ibu ataupun yang lainnya.

"Anda bisa memanggil saya Eva, Nyonya."

"Oke, E-Eva tolong antar aku ke kamarku ya. Aku lelah. Mulai hari ini mohon bantuannya ya semua." Mereka hanya menyunggingkan sedikit senyum kemudian berjalan meninggalkanku bersama Eva di ruangan ini.

Eva membawaku ke lantai 2, di lantai 2 ini terdapat 4 ruangan dan ruang keluarga yang dilengkapi dengan LCD TV yang menggantung indah di dinding. Selain itu, beranda yang memanjang dari ujung keujung menjadi pelengkap keindahan rumah ini. Eva membukakan sebuah pintu kayu berwarna coklat kemudian mempersilahkanku untuk masuk. Sepertinya ruangan itu adalah kamar yang akan ku tempati.

Kamar dengan dinding bercat warna abu-abu dilengkapi dengan sebuah ranjang kinq size bersprei biru dan hitam tepat di tengah-tengah ruangan, sebuah lukisan abstrak campuran warna biru, hitam dan merah menggantung dengan indah didinding tepat diatas kepala ranjang. Selain itu terdapat sebuah almari dengan banyak laci berwarna hitam yang terletak di dinding sebelah kiri ruangan, diatasnya menggantung sebuah lukisan abstrak berwarna hitam dan putih. Kamar ini begitu menampilkan sisi maskulinnya, namun entah mengapa suasana nyaman juga begitu mendominasi didalamnya. Karpet bulu berwarna abu-abu yang menjadi alas ruangan juga menambahkan kesan hangat.

Eva menutup pintu kamar setelah mempersilahkan beberapa pelayan membawa kardusku masuk. Aku hanya bisa melihat mereka bekerja karena sedari tadi Eva terus saja melarangku untuk membantu. Tapi aku segera menghentikan mereka yang akan membantu untuk menata barangku setelah itu meminta mereka untuk keluar dan melanjutkan pekerjaan mereka. Aku berjalan mengitari ruangan ini, kemudian tertarik untuk menarik gorden yang menyebar dari ujung dinding sebelah kanan ke ujung dinding sebelah kiri. Gorden berwarna putih yang menggantung dengan indah itu ternyata menutupi dinding kaca tebal yang menyajikan pemandangan taman serta kota yang tampak kecil dari sini. Aku berdecak kagum dengan keindahan ruangan ini. Siapa pun yang mendesainnya pasti begitu menyukai suasana rumah yang elegan dan maskulin namun tetap hangat dan nyaman.

Setelah selesai dengan acara mengobservasi kamar baruku, aku pun memutuskan untuk mulai menata barang-barang yang kubawa. 3 kardus telah terbuka menampilkan pakaian-pakaian yang telah ku tata dengan rapi didalamnya. Ku ambil beberapa pakaian kemudian membawanya masuk kedalam walk in closet yang dihubungkan dengan sebuah pintu berwarna putih. Berjejer-jejer lemari pakaian tinggi menjulang berderet rapi dibagian kanan dan kiri ruangan. Bisa kulihat sederet lemari berwarna putih yang kosong, aku pun berinisiatif untuk menaruh pakaianku disitu. Aku mengamati pakaian Ramiro yang tergantung dengan rapi dilemari berwarna hitam itu. Ramiro sepertinya begitu mencintai kerapian, terlihat dari penataan pakaiannya yang dipisah sesuai dengan jenis dan warnanya.

Tak terasa aku menghabiskan 3 jam waktuku untuk menata barang-barang yang ku bawa. Ku rebahkan tubuhku yang kelelahan di ranjang empuk ini. Ahh aku benar-benar menyukai kamar ini, rasanya begitu nyaman. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 siang. Aku merasa sangat lelah sekaligus mengantuk. Mungkin karena terlalu nyaman aku pun tertidur tanpa mengganti pakaianku terlebih dahulu.

Sebuah goncangan lembut membuatku sedikit terbangun dari tidur nyenyakku. Saat aku membuka kedua kelopak mataku, pemandangan sebuah ruangan yang asing membuatku sedikit mengernyit. Ahh aku lupa jika aku sudah pindah ke rumah Ramiro. Aku pun bangkit dari tidurku sambil meregangkan tubuhku yang kaku.

"Nyonya, ini sudah pukul 6 malam. Anda dipersilahkan makan malam di ruang makan." Eva berbicara dengan volume yang sangat lembut. Aku pun hanya mengangguk untuk mengiyakan perkataannya tadi.

Sesaat setelah Eva keluar dari kamar, aku pun bergegas masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhku yang lengket karena keringat. 15 menit berlalu, aku segera mengambil mukenah dan melaksanakan sholat maghrib dikamar ini. Setelah sholat, aku turun dan berjalan menuju ke ruang makan. Di sana terdapat sebuah meja panjang dengan 8 kursi mengelilinginya. Berbagai jenis makanan telah tersaji diatas meja panjang itu. Aku tak menemukan kehadiran Ramiro sejak tadi. Kemana dia?

Jam telah menujukkan pukul 10 malam dan Ramiro masih saja belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Sedari tadi aku duduk di beranda sambil menatap kelangit dan sesekali menyesap coklat hangat buatan Eva. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi Ramiro, tapi hasilnya adalah jawaban dari seorang wanita operator. 2 jam lagi aku akan tetap menunggunya, jika hingga tengah malam dia masih saja belum pulang. Maka aku akan mencoba untuk mencarinya, entah kemana aku harus mencarinya. Aku mungkin bisa bertanya pada Kak Andre yang notabene teman dekat dari Ramiro.

Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar. 5 menit lagi, jam akan menujukkan tepat pukul 12 malam. Sebuah dering telfon mengagetkanku, namun aku segera menghampiri handphoneku yang tergeletak begitu saja diatas kasur. Sebuah nama yang ku nanti-nanti terpampang dilayar handphoneku. Segera saja ku geser tombol berwarna hijau itu dan menempelkan handphone putih itu ke telingaku.

"Siapa kamu?"

"............"

"Oke aku akan segera kesana."

Aku menyambar dompet serta jaket abu-abuku kemudian berlari keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Aku berlari masuk kedalam garasi kemudian mencoba mencari dimana letak kunci-kunci semua mobil yang tertata dengan rapi didalam garasi ini. Tepat saat aku berkeliling mencarinya, Dani-supir pribadiku-sedang mengelap salah satu mobil koleksi Ramiro.

"Nyonya.. Ada apa Nyonya tengah malam seperti ini didalam garasi? Apakah anda ingin pergi kesuatu tempat?"

"Antarkan aku, cepat. Akan ku beritahu alamatnya nanti."

Dani pun membawaku masuk kedalam mobil Pajero yang tadi pagi ku pakai karena hanya mobil ini saja yang berada di luar. Akan terlalu lama jika harus menunggu Dani mengeluarkan mobil yang dibeli Ramiro untukku dari dalam garasi. Mobil ini melaju dengan cepat membelah jalan yang tampak sepi. Perjalanan yang harusnya memakan waktu 30 menit terpotong menjadi 15 menit karena kecepatan mobil yang Dani kendarai.

Suasana kota yang ramai dan sedikit padat menyambutku. Aku tak memikirkan hal lain selain Ramiro saat ini. Tadi, Ramiro menelfonku. Hanya saja, bukan Ramiro yang berbicara padaku.

FLASHBACK

"Bisakah kau datang menjemput pemilik handphone ini ke Club Star?" Terdengar jelas suara seorang laki-laki yang tak kukenal dari handphoneku. Siapa dia? Kenapa dia yang membawa handphone Ramiro?

"Siapa kamu?"

"Aku bartender disini, dia terlalu mabuk dan sedari tadi meracau tidak jelas."

"Oke aku akan segera kesana."

FLASHBACK END

Aku sudah masuk kedalam club yang telah disebutkan oleh bartender tadi. Asap rokok dan dentuman musik dengan volume yang keras membuatku merasa tak nyaman. Semua orang didalam club ini menatapku aneh. Jelas saja, aku berkerudung dan para wanita disini rata-rata memakai pakaian kekurangan bahan yang menampilkan hampir semua bagian tubuhnya. Aku seperti seorang kucing yang masuk kedalam sebuah kandang yang penuh dengan anjing. Karena cahaya ruangan yang begitu temaram dan berkelip-kelip membuatku harus memicingkan mataku untuk mencari keberadaan Ramiro. Selain itu, beberapa gangguan dari laki-laki hidung belang membuatku risih.

Aku berdiri di lantai 2, tempat dimana banyak sekali meja dan kursi yang dipenuhi dengan para pemabuk. Jujur saja aku sangat lelah mencari keberadaan Ramiro. Aku sudah menemui bartender tadi dan dia bilang jika Ramiro naik ke lantai 2. Tapi aku sudah mengelilingi dan mencari Ramiro ke seluruh bagian dari club ini. Tetap saja aku masih belum bisa menemukan Ramiro. Jujur saja aku sangat tak tahan harus berlama-lama berada didalam tempat ini, asap rokok, musik dan para penghuninya membuatku risih.

Ku tolehkan kepalaku kesudut ruangan yang tampak gelap. Namun mataku menangkap bayangan sepasang wanita dan laki-laki yang tengah saling berciuman dengan panas. Sebenarnya aku sama sekali tak ingin mendekati mereka, hanya saja aku mengenal jam tangan yang dipakai oleh laki-laki itu. Jam tangan itu limited edition, jadi bisa disimpulkan bahwa hanya ada beberapa orang saja yang memilikinya. Aku penasaran bukan karena limited edition, tapi aku tau Ramiro tadi juga memakai jam tangan itu.

Semoga saja bukan Ramiro. Kumohon, orang itu bukan Ramiro. Aku berjalan perlahan ke arah sudut ruangan itu. Dua sejoli itu tampak masih saling menggerayangi tubuh pasangan mereka dan tetap saling melumat bibir satu sama lain dengan rakus. Bahkan saat ini, sang wanita telah terhimpit ke dinding dengan kaki yang menggantung pada pinggul sang pria.

Aku semakin mendekat dan semakin bisa melihat mereka berdua. Aku bisa melihat setengah bagian wajah dari laki-laki yang memunggungiku itu. Degup jantungku terhenti. Tanganku yang memegang dompetku pun terasa kaku dan membuatku menjatuhkan dompet beserta handphoneku kelantai menimbulkan suara yang mengganggu pasangan itu. Mereka dengan terpaksa menghentinkan kegiatan mereka dan beralih menatapku yang menganggu kegiatan mereka. Wanita itu turun dari gendongan laki-lakinya kemudian sedikit merapikan bajunya yang tersingkap. Laki-laki itu pun melakukan hal yang sama. Aku mengambil dompet dan handphoneku kemudian berjalan untuk mendekati mereka dengan wajah dingin dan datarku.

"Pulanglah, ini sudah malam. Aku tak ingin ada orang yang mengenalmu tau jika kau sedang berada disini. Mereka bisa saja menyebarkan berita itu dan Papa serta Ayah akan mendengarnya. Aku menunggumu di tempat parkir. Dan kau, pulanglah juga. Aku akan membicarakan ini denganmu besok." Dengan itu pun aku meninggalkan mereka dan berjalan dengan cepat menuju tempat parkir dimana Dani memakirkan mobilnya tadi.

5 menit setelah aku masuk ke dalam mobil, Ramiro juga masuk kemudian mendudukkan dirinya disebelahku. Bau parfum wanita yang menempel pada tubuh Ramiro begitu menyengat membuatku sedikit mengernyit menahan baunya. Segera saja aku membuka jendela mobil membiarkan angin malam yang dingin menabrak wajahku.

"Bisakah kau tutup jendelanya aku masih sedikit mabuk. Anginnya terlalu dingin membuatku sedikit mual." Aku tak memperdulikan perkataan Ramiro kemudian beralih untuk memejamkan mataku menahan kekecewaan beserta kemarahan yang sudah menumpuk dalam hati dan otakku saat ini. Apa yang harus kau kecewakan? Bukankah kau sudah tau konsekuensinya jika menikah dengan seorang player seperti dia. Kata batinku terus saja menyerangku tanpa henti.

15 menit berlalu. Kami telah sampai di rumah. Aku segera turun dan masuk kedalam rumah. Lampu semua ruangan tampak padam kecuali dapur. Ku langkahkan kakiku menuju dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Setelah matang kubawa teh itu ke kamar dan meletakkannya pada meja yang terdapat tepat didepan dinding kaca.

"Minumlah, mungkin bisa sedikit menghilangkan mual dan mabukmu." Ramiro meraih cangkir tersebut kemudian meminumnya dengan sekali tegukan.

Dia kembali berbaring tanpa mengganti pakaiannya. Aku pun menaruh dompetku kemudian mengambil bantal dan selimut dari tempat tidur serta satu selimut dari lemari penyimpanan. Ku tata benda-benda itu di sofa hitam yang berada dibagian kanan ruangan menghadap ke ranjang. Ramiro telah tertidur sambil menggumam tak jelas. Ini masih malam kedua kami, tapi sudah seperti ini. Entah akan bagaimana lagi untuk malam-malam selanjutnya.

Ramiro POV

Aku terbangun karena sinar matahari dari dinding kaca yang tak tertutupi dengan gorden. Siapa yang membuka gorden itu? Tak taukah jika aku masih sangat ingin melanjutkan tidurku. Dengan kepala yang berat dan rasa pusing yang begitu memenuhi kepalaku, aku terpaksa mendudukkan diriku. Sesaat setelah aku berhasil mengumpukan kesadaranku, bisa ku lihat sisi lain tempat tidur yang kutempati begitu rapi dan dingin seakan-akan tak tersentuh sama sekali. Pandanganku beralih pada tumpukan selimut, bantal dan guling disofa hitam yang tepat berada di sebelah kanan ranjang. Ahh dia tidur di sofa tadi malam. Aku hanya bisa mengingat dia yang menjemputku kemudian membuatkanku secangkir teh yang membuatku tidur nyenyak. Sekarang kemana dia?

Tubuhku terasa lebih segar setelah mandi walaupun masih sedikit pusing. Sedari tadi aku masih saja belum menemukan kehadiran Nata di kamar. Apakah dia pergi untuk mengadukan tingkahku pada Ayah atau Papa? Ahh betapa kekanakannya dia. Aku berjalan dengan santai menuruni tangga untuk sampai ke meja makan. Tampak tersaji beberapa hidangan diatas meja makan. Namun sosok wanita yang tengah memasak sambil memunggungiku membuatku tertegun.

"Apa yang kau lakukan?" Kataku dengan volume sedikit keras membuat para pelayang pergi memberikan kami ruang privasi.

"Anak berumur 1 tahun pun tau jika saat ini aku sedang memasak, kau ini buta atau bodoh. Duduklah dan makan dengan tenang. Ada sup ayam yang bisa meredakan pusingmu." Sebenarnya dia ini cenayang atau apa? Kenapa dia bisa menebak semua yang kualami.

"Kenapa kau tidur di sofa?" Nata tampak menghentikan kegiatannya kemudian kembali melanjutkannya.

"Aku tak suka bau parfum yang ada pada bajumu. Terlalu menyengat."

Aku duduk dan makan dengan tenang sesuai dengan perintahnya. Nata pun mendudukkan dirinya dikursi yang tepat berada didepanku. Dia hanya meminum segelas susu sambil mengutak-atik handphonenya. Sesaat setelah aku selesai menghabiskan makananku, Nata mengambil semua piring yanga ada kemudian beranjak menaruhnya di wastafel tempat cuci piring. Namun, niatnya terhenti karena kehadiran Eva yang dengan cekatan mencegahnya. Nata pun hanya menggeleng sembari kembali meletakkan piring yang akan dia cuci tadi.

Aku masih saja heran dengan respon Nata pada kejadian tadi malam. Kenapa dia tak terlihat marah atau kecewa sama sekali? Bahkan dia membuatkan sarapan untukku. Tadi malam dia juga melepaskan sepatu, dasi dan sabukku bahkan membuatkanku secangkir teh. Sebenarnya dia itu berhati batu atau memang tak merasa sakit hati sama sekali. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, membuang semua spekulasi yang berputar-putar dalam otakku.

"Bisakah kau pergi ke basecamp bersamaku? Mereka mengundangmu ke acara perayaan pernikahanku." Nata nampak sangat menghindariku. Sedari tadi dia berbicara tanpa menatap mata ataupun wajahku. Aku pun hanya menganggukkan kepalaku sambil beranjak ke kamar untuk mengganti pakaianku.

Kami telah sampai di rumah yang dulu pernah kudatangi. Rumah yang dianggap sebagai basecamp mereka. Mereka benar-benar menyambut kami dengan meriah. Berbagai hiasan memenuhi ruangan. Nata pun tampak kagum dan menenjukkan senyum lebarnya kepada semua manusia yang hadir disini. Aku hanya mendudukkan diriku disebelah Bagas karena hanya dia yang kukenal disini. Tapi Bagas segera mengenalkanku pada Koko, Geffie dan Leo yang juga termasuk dalam kelompok ini. Mereka juga hadir di acara pernikahanku.

Entah karena suasana bahagia yang begitu membuatku terhanyut atau memang aku tak menyadari jika aku sudah berada disini hampir selama 5 jam. Jam tanganku telah menujukkan pukul 11.30. Tapi aku juga tak merasa selama itu berada disini. Jujur saja aku sudah tak pernah berada ditengah-tengah perkumpulan orang-orang seperti mereka. Teman-teman Nata begitu hangat dan ramah, berbanding terbalik dengan dunia malam yang selalu kukunjungi. Teman-teman Nata begitu konyol memang, mereka bermain kartu sambil menyoret wajah pemain yang kalah dengan bedak basah membuat wajah mereka berwarna putih seputih hantu. Setelah itu mereka berfoto bersama termasuk aku dengan wajah-wajah hantu mereka kecuali aku. Aku begitu pandai bermain kartu hingga tak sedikitpun tetesan bedak aneh itu menempel diwajah tampanku ini.

Kami semua sedang duduk disebuah sofa panjang sambil menonton film ditemani berbagai snack yang berada diatas meja. Nata duduk dengan tenang disebelahku. Dia tampak begitu pendiam hari ini, sangat pendiam malahan. Sesekali dia akan mengerutkan dahinya sambil melamun. Apakah dia memikirkan ulahku semalam? Memang aku sedikit kaget dengan responnya. Ku kira dia akan menamparku atau setidaknya memakiku saat dia memergokiku berciuman panas dengan seorang wanita yang kutemui di club tadi malam.

Suara deringan beberapa handphone membuat 7 orang yang sedang fokus ke film itu beralih untuk mengecek handphone mereka kecuali aku. Aku bisa melihat Nata membuka sebuah aplikasi dan masuk kedalam sebuah obrolan grup yang sedang menampilkan sebuah foto. Foto itu masih tampak kabur karena masih dalam proses mendownload. Sesaat setelah foto itu tampak lebih jelas, semua orang mengalihkan tatapannya padaku dan Nata. Mereka menatap handphone mereka dan aku bergantian. Sedangakn Nata malah meatikan layar handphone itu berniat menyembunyikannya dariku. Karena penasaran, aku pun merebut handphonenya dan menghidupkannya. Nampak fotoku yang tengah berciuman dengan wanita tadi malam yang tak sengaja kutemui. Sialan, siapa yang mengambil foto ini.

"Ini benar kau kan Ramiro. Dan wanita ini.." Bagas menjadi orang pertama yang membuka mulutnya.

"ASTAGA!! INI MARIA!" Suara wanita yang cempreng itu membuatku sedikit mengernyit. Kalau aku tak salah tebak, dia adalah adik dari si Azka itu.

Suara pintu yang terbuka dengan sedikit keras mengalihkan perhatian kami. Disana berdiri seorang wanita dengan pakaian minim yang sedang tersenyum lebar pada kami. Wanita itu adalah wanita yang kutemui di club tadi malam dan dia juga wanita yang berada pada foto itu. Dia berjalan dengan anggun seakan-akan tak memperdulikan tatapan tajam dari semua orang yang hadir kecuali aku dan Nata. Kami semua telah berdiri dan tersisa Nata yang masih saja termenung dan masih dengan posisi duduk yang sama.

"Hai tampan, thank's for your hot kiss. Dan hai juga untuk kalian semua. Oh kau juga gadis kecil, apa kau membutuhkan tisu? Tampaknya kau akan menangis meraung-raung setelah ini." Suaranya begitu centil. Bagas maju untuk mendekatinya tapi terhenti karena Nata yang berdiri menghalanginya.

Ohh Tuhan, aku benar-benar tak tau jika wanita yang kutemui tadi malam adalah teman Nata. Wanita itu sendiri yang menawarkan tubuhnya padaku. Waktu itu, aku sedang mabuk dan dikuasai oleh amarah membuatku tanpa sadar menyetujui ajakannya begitu saja.


Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 147K 31
Erlyna Puri Ramadhani Bagaimana aku bisa masuk dalam keadaan ini. Anisa pergi ketika hari pernikahannya akan berlangsung,dan hal yang membuatku terke...
12.9K 436 28
cinta tidak datang terlalu cepat dan tidak datang terlambat. cinta datang tepat pada waktunya dan untuk jatuh cinta pada mu tidak perlu terburu-buru ...
87.2K 3.9K 34
🍒🍒 "Cherry, Kami ingin kau menggantikan kakakmu, mengenakan gaun pengantin dan.." Menikah dengan calon iparmu?!! Apakah itu masuk akal? Tentu saja...
1.5M 125K 50
dr. Sasa Ayuwandira Prawirohardjo dokpol, spesialis forensik, anak sultan dijodohkan dengan Edwin Chandra, S. Ked. Ceo perusahaan P-Farma. Edwin itu...