SURVIVRE

By griffonner_

699K 33K 1.6K

Ketika hidup yang Vanessa jalani terlalu sulit, lamaran Gilbert terasa seperti satu-satunya hal terindah yang... More

SURVIVRE
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50

3

20.5K 1K 22
By griffonner_

Vanessa berbalik dan mendapati bosnya tengah membukakan pintu untuk dua pengunjung terakhir yang baru saja meninggalkan meja. "Merci, de visiter Sargent!"

"Monsieur Zey, Anda sudah kembali?" tanya Evariste menengadahkan kepalanya dari balik meja kasir.

Ya, Zeyran baru kembali dari Paris karena ada urusan mendadak yang membuatnya harus pergi selama tiga hari. "Kau tahu, aku tidak pernah bisa meninggalkan tempat ini lebih lama lagi," jawab Zeyran bergabung bersama Evariste di balik meja kasir.

Pria berkacamata persegi itu melirik Vanessa yang hendak berjalan menuju dapur, dan hal tersebut tidak luput dari perhatian Zeyran. Ia meringis secara dibuat-buat. "Mungkin memang itu alasanku." Kemudian menyeringai lebar sebelum menghampiri Vanessa.

"Hai, Vanes! Kau lupa menyambutku atau bagaimana?"

"Oh... salut, Monsieur! Comment ça va?" sambut Vanessa terlambat.

Zeyran tersenyum gemas. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang!"

"Kalau begini terus, kau akan menjadi sopir pribadiku alih-alih atasanku."

"Aku tidak masalah kau menganggapku apa, selagi aku bisa melihatmu pulang dalam keadaan selamat."

"Tapi orang-orang belum pulang."

"Tapi ...." Zeyran menjeda kalimatnya untuk mencolek hidung Vanessa. "Bosmu sudah menyuruhmu pulang, Mademoiselle."

Vanessa mencubit perut Zeyran, membuat pria itu mengaduh. "Kau menyakitiku!" gerutunya pura-pura kesakitan. Padahal baik dirinya maupun Vanessa sama-sama tahu cubitan tersebut tidak cukup keras.

"Jangan menggunakan kekuasaanmu, Zeyran Diori Sargent!" ingatnya.

"Aku tidak menggunakan kekuasaanku," elaknya membela diri. "Kalian memang sudah harus pulang setengah jam lalu, dan semua orang telah mengetahuinya terkecuali kau."

Vanessa paham mengenai perkataan Zeyran barusan, apalagi melihat Isaak dan tiga orang patissier lainnya sudah hendak bergegas meninggalkan dapur.

"Baiklah, aku akan menemuimu di parkiran."

"Tidak. Aku akan menunggumu di sini."

Vanessa mendengus. "Terserahlah." Lalu melangkah ke lorong loker. Tahu betul dirinya tidak akan menang jika berdebat dengan Zeyran.

Sepuluh menit kemudian, gadis itu keluar dari ruang loker dan menemukan Zeyran masih berdiri di dapur bersama Evariste. Menyadari kehadiran Vanessa di sana, keduanya menoleh.

"Sudah selesai?" tanya Zeyran.

Vanessa mengangguk. "Tunggu sebentar, aku harus mengambil sepedaku dulu."

"Tidak perlu, tadi aku sudah memindahkannya dan menyimpannya di bagasi mobilku."

Vanessa tak bisa protes. Bukan Zeyran namanya kalau tidak sering membuatnya merasa tak bisa melakukan apa pun sendirian.

Karena tak ada lagi yang perlu diperbincangkan, Zeyran menepuk-menepuk lengan atas Evariste. "Aku pulang duluan. Selamat malam."

"Permisi, Monsieur," tutur Vanessa sebelum menyusul Zeyran keluar dari dapur.

"Oui, sampai jumpa!"

Sepanjang perjalanan, tak ada perbincangan apa pun di antara keduanya, tak seperti biasa. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian Zeyran, entah kenapa ia merasa Vanessa menjadi sangat tertutup dan pendiam belakangan ini.

"Ada apa?"

Vanessa menoleh ke samping sembari mengulas senyum tipis. "Hanya mengantuk."

Zeyran merasakan ketidakjujuran dalam jawaban gadis itu. Ia tampak berpikir sebelum akhirnya bertanya, "Apa kau berusaha menghindariku?"

Bukan tanpa sebab Zeyran mengajukan pertanyaan tersebut. Sejak dirinya mengaku sebagai pemilik Sargent dan mengisi bagian manager yang kosong di cabang Alsace, Vanessa seperti menciptakan jarak di antara mereka.

"A-apa?"

"Kau tidak seterbuka sebelumnya. Kau bahkan tidak pernah lagi bercerita padaku. Oh! Jangankan bercerita, kau tidak pernah menjawab pertanyaanku."

"Tadi aku menjawab pertanyaanmu."

"Tidak. Kau membohongiku."

Vanessa mengurut pelipisnya yang mulai berdenyut. Menghadapi temannya yang posesif ini memang perlu kesabaran ekstra. Perlahan, Vanessa menatap pria itu sembari tersenyum menenangkan. "Kau tahu, kan, aku sangat senang bertemu denganmu?"

"Itu meragukan."

"Astaga," gumam Vanessa. "Aku benar-benar beruntung bisa mengenalmu, Zey."

Ketika tak ada balasan dari Zeyran, Vanessa pikir mungkin ini waktu yang tepat untuk membicarakan unek-uneknya. "Saat orang tuaku meninggal, aku merasa telah kehilangan segalanya. Aku hampir putus asa. Kemudian, aku bertemu denganmu. Kau selalu ada untukku dan hidupku terasa mudah setelahnya. Seperti sudah direncanakan," tuturnya sembari tersenyum mengenang pertemuan pertamanya dengan pria ini.

Sementara itu, Zeyran merasa jantungnya terempas jauh dari rongga dada begitu Vanessa membicarakan orang tuanya. Ada rasa sakit yang menyergap, menyiksanya melalui berbagai bayangan. Seharusnya, Vanessa tidak berkata demikian. Dan seharusnya, Vanessa tidak tersenyum seperti itu. Kebenaran yang berusaha ditutupinya kian menakutkan untuk dibicarakan. Zeyran takkan pernah siap jika suatu saat nanti gadis itu meninggalkannya dengan rasa benci yang menyertainya.

"Kau selalu membantuku, selalu menjagaku dalam keadaan apa pun. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikanmu, jadi kumohon mulai saat ini, izinkan aku untuk tidak menjadi beban bagimu."

Zeyran mendengus kesal. Lagi-lagi Vanessa mengatakan hal tersebut padanya, hal yang selalu membuatnya tersenyum miris. "Kau sama sekali bukan beban untukku, Vanes. Kau temanku dan aku menyayangimu."

"Ya, kau adalah teman terbaikku dan aku juga tahu kau menyayangiku. Tetapi, terkadang aku merasa kau sudah melangkahi batas pertemanan kita."

Zeyran merasakan jantungnya berdebar kencang, cemas dengan apa yang dibicarakan gadis ini. Tidak... jangan....

"Aku minta maaf kalau kau merasa tidak nyaman dengan sikapku."

Vanessa menggeleng. "Tidak, Zey. Bukan salahmu. Kau hanya melakukan apa yang menurutmu baik untukku. Hanya saja ... setelah kau pindah—"

"Vanes!" potongnya. "Aku tidak pindah ke sini karenamu, jangan dengarkan gosip itu," lanjut Zeyran buru-buru. Persetan, ia bahkan membohongi perasaannya sendiri. Tentu saja ia pindah kemari karena ingin selalu berdekatan dengan gadis ini.

"Terima kasih," ungkap Vanessa. Setidaknya, ia bersyukur Zeyran tidak menaruh perasaan lebih terhadapnya, karena ia takkan pernah bisa membalasnya.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya."

"Kau berkata seolah-olah kau akan meninggalkanku."

"Bagaimana mungkin aku meninggalkan teman terbaikku," seloroh Vanessa sembari menyikut lengan atas Zeyran.

Zeyran baru saja merasa lega selama beberapa menit sebelum Vanessa kembali mengangkat suara, "Aku akan resign dari pekerjaanku," Butuh beberapa minggu baginya mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal ini kepada Zeyran.

Ban mobil berdecit, Zeyran menginjak rem secara mendadak sampai-sampai membuat kepala Vanessa terbentur sandaran kursi. Gadis itu meringis, tapi Zeyran tak menghiraukannya. "Apa kau bilang?"

"Mon dieu! Bisakah kau mengemudi dengan benar? Untung saja tidak ada kendaraan di belakang kita."

"Kau ingin berhenti karena pria kemarin, bukan? Apa kalian memiliki hubungan tanpa sepengetahuanku, hah?" bentaknya marah.

Vanessa sangat terkejut mendapati respon Zeyran seperti itu. Ia tak paham kenapa Zeyran beranggapan demikian.

"Yang benar saja! Aku baru mengenalnya kemarin, dan kau tahu itu."

"Kau selalu membohongiku! Aku tahu, Vanessa! Aku tahu!"

"Zey!" jerit Vanessa spontan. "Kau keterlaluan!"

Zeyran menggeleng, seakan dengan begitu ia bisa menepis pikiran negatif yang bersemayam dalam kepalanya. "Tidak. Aku takkan membiarkanmu berhenti."

"Ini sudah menjadi keputusanku. Aku tak bisa terus-menerus bergantung padamu. Pun beberapa hari lagi kontrak kerjaku sudah selesai, kau tak perlu repot-repot memperpanjangnya."

"Berapa kali kubilang kalau aku tidak keberatan dengan itu!"

"Tapi aku keberatan, Monsieur! Kau harus memilih, menjadi bosku atau temanku!"

"Kau tahu, Vanes, sikapmu sangat kekanakkan dan tidak masuk akal. Kalau kau merasa terganggu dengan gosip itu, aku akan meluruskan hubungan kita kepada semua orang dan mengatakan dengan tegas bahwa kau adalah teman terbaikku. Itu 'kan yang kau mau?"

Vanessa tersenyum kecut. "Aku tak menyangka kau akan bersikap seperti ini."

Ia hendak melepas sabuk pengamannya, namun dengan cepat Zeyran meraih pergelangan tangannya dan mencekalnya. Membuat Vanessa memekik. "Apa yang kau lakukan?" Tatapannya berubah ngeri.

"Seharusnya aku yang tanya padamu, apa yang kau lakukan? Kita belum sampai. Kau mau kabur dariku? Di tengah pembicaraan begini?"

"Zey, kau benar-benar—"

"Aku membutuhkan penjelasan darimu, Vanessa!"

"Tidak ada yang harus kujelaskan. Aku hanya ingin berhenti dan mencari pekerjaan lain. Itu saja."

"Katakan, kau tidak akan pernah meninggalkanku, bukan?" Ada ketakutan nyata dalam suaranya.

"Aku takkan ke mana-mana."

Zeyran menatap gadis itu tepat di kedua bola matanya. Butuh beberapa saat sampai ia yakin dengan jawaban Vanessa. "Maaf." Kemudian melepaskan lengan gadis itu.

"Kenapa kau begitu takut aku pergi?" tanya Vanessa setelah Zeyran kembali melajukan mobilnya.

Zeyran tampak berpikir. Haruskah ia mengatakannya? Mengatakan perasaannya sekarang? Tetapi ia baru saja mengelaknya beberapa menit lalu di hadapan Vanessa, dan ia tak mau menambah permasalahan lain saat ini.

Mereka sudah sampai di halaman depan rumah Vanessa. Gadis itu turun lebih dulu, disusul oleh Zeyran. Ia membantu Vanessa mengeluarkan sepeda lipatnya di bagasi.

"Mau mampir?" tawarnya setelah ia berhasil mendapatkan sepedanya.

Zeyran menggeleng. "Tidak. Aku ingin segera istirahat."

"Kalau begitu, selamat malam." Kemudian ia melangkah ke jalan masuk rumahnya.

Vanessa sedang berusaha membuka pintu yang dikunci ketika Zeyran memanggil. "Vanes!"

Gadis itu menoleh dan mendapati Zeyran tengah berlari ke arahnya. Sejurus kemudian, Zeyran memeluk tubuhnya begitu erat seakan tak ada hari esok untuk melakukannya lagi.

"Maafkan aku!" Sekali lagi, hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Kalimat yang tidak pernah Vanessa sadari mengandung arti luas di dalamnya.

***

"Vanessa Jeane-Leibert. Lahir di Beacon Hill, Boston, Massachusetts pada tahun 1995. Sejak kecil tinggal bersama kedua orang tuanya di sana. Ayahnya—Cyrille Hugo Leibert—mengajar sebagai guru Bahasa Prancis di SMA, sementara Sahira Ava Leibert ...." orang itu menghentikan kalimatnya untuk berdeham. "Seorang makelar."

Ia membenarkan letak kacamata bulatnya dan melanjutkan. "Tidak ada yang mencolok dari Vanessa Leibert. Dia tidak memiliki prestasi apa pun di sekolahnya. Dia bahkan tidak mengisi kolom cita-cita ketika SMA—"

"Benar-benar anak tak berguna," komentar laki-laki di depannya. Ia mengisap rokok di sela jarinya dan mengembuskan asapnya secara asal. "Lanjutkan!"

"Di tingkat akhir SMA-nya, Vanessa mengikuti kursus memasak yang diadakan setiap liburan musim panas di Allston dan terus berlanjut sampai dirinya memasuki perguruan tinggi.

"Di usianya yang ke-20 tahun, Vanessa mendapat kabar dari Paris kalau orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Vanessa berusaha memperpanjang kasus tersebut ke meja hijau, namun semua pihak yang terlibat—pemilik perusahaan taksi serta keluarga sopir taksi yang ditinggalkan—memilih jalan musyawarah. Vanessa Jeane kalah suara. Di samping itu, pengusaha taksi tersebut membuat pihak kepolisian terpaksa harus memilih melindungi warga negaranya sendiri dibanding turis. Vanessa Jeane diberi uang ganti rugi, meskipun beberapa kali dia menolak dengan alasan nyawa orang tuanya tidak dapat digantikan oleh lembaran uang, dia harus tetap menerimanya.

"Sejak kematian orang tuanya, dia berhenti kuliah."

Orang itu menyodorkan beberapa foto gadis yang tengah mengenakan sweater putih serta celana jins hitam, tengah menenteng sebuah buku dari pengarang Antoine De Saint-Exupéry. Bermacam-macam pose diambil di tiap tempat yang berbeda. Ketika gadis itu keluar dari motel. Ketika gadis itu duduk di sebuah Boulangerie. Ketika gadis itu tengah menaiki perahu di sungai Seine.

"Foto-foto itu diambil hari pertama ketika Vanessa Jeane mendarat di Perancis."

"Kau sudah mengintainya sejak lama?"

"Hanya untuk berjaga-jaga."

Pria itu tampak menyeringai. "Bagus!" Kemudian ia mengamati kembali foto-foto tersebut dengan intens. "Aku bisa merasakan ekspresinya," ujarnya tanpa menggubris perkataan asistennya barusan. "Aku benar-benar bisa merasakan ekspresinya!" Lantas, sebuah seringai muncul di antara bibirnya.

"Vanessa Jeane-Leibert. Aku akan membuat hidupmu seperti berada di neraka!" janjinya di balik sinar rembulan yang mencuri intip melalui celah jendela dalam ruangan gelap tersebut.

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 248K 51
Omar Barack tidak bisa bersentuhan dengan wanita sama sekali karena trauma yang dia derita. Hingga dia bertemu dengan Yuki Page dari aplikasi dating...
1.8M 14.1K 7
✨✨ Cerita pindah ke Dreame ✨✨ Meski sepuluh tahun telah berlalu, tapi kenangan itu akan selalu menjadi mimpi buruk setiap kali Zeefaya Hawkins memeja...
185K 4.6K 57
Be careful with what you wish for. Bagi Dylan, hidup itu hanya berisi kesenangan. Hidupnya kurang lebih sesuai dengan keinginannya, tantangan berat t...
11.4M 353K 56
!CERITA PINDAH KE KUBACA! cari akunku di Aplikasi Kubaca @motzky [ CERITA SEBAGIAN SUDAH DI HAPUS ] Also Known As HEARTBEAT Menceritakan tentang seor...