My Unplanned Husband

By Happiness_sugar

1.5M 36K 583

Takdir tak akan pernah ada yang tau kecuali sang maha kuasa. Ada yang bilang, batas antara cinta dan benci it... More

Welcome
Part 01
Part 02
Part 03
Part 05
Part 06
Part 07
Part 11
Part 12
Part 13
Part 16
Pengumuman
Part 17
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27 Bab 2
Part 28
Welcome back
Kabar Bahagia!!!
VOTE COVER
Akhirnyaa

Part 04

61.2K 2.2K 27
By Happiness_sugar

"Astaga Nata! Apa yang kau lakukan Kak Ramiro! Menyingkir!" Risa mendorongku menyingkir, kemudian menangkup wajah Nata yang masih tetap saja memejamkan matanya dan berteriak.

"Ambilkan MP3 dan headphone dikamar Nata. Pasangkan ditelinganya, aku yang akan menahannya." Sesuai dengan isntrukturnya, aku pun berlari memasuki kamar yang sama dan mengambil MP3 beserta headphone di atas meja belajar kemudian bergegas memasangkannya ketelinga Nata. Setelah beberapa menit musik dalam MP3 kuputar, Nata mulai tenang dan membuka matanya.

"Astaghfirullah, Ana. Dia.. dia tadi disini An. Dia.. dia kembali. An dia.."

"Stt.. tenanglah. Tak ada dia disini, dia tak akan pernah kembali. Kau percaya padaku kan? Aku pasti akan menjagamu. Tenanglah, aku akan melindungimu. Ayo kekamarmu, bersihkan dirimu dan kemudian pergilah bersama Kak Ramiro.Kau butuh udara segar Nat." Mereka berdua pergi memasuki kamar dan meninggalkanku yang masih berjongkok disebelah sofa sambil termenung menelaah percakapan mereka. Siapa dia yang mereka bicarakan itu?

Dia masih saja diam membisu tanpa menoleh padaku. Sejak 15 menit yang lalu, kami sudah berada didalam mobil menuju ke tempat untuk memilih baju pengantinnya. Wajahnya tampak pucat dan kurang tidur. Jelas saja kantung matanya sangat terlihat, dia tidak tidur selama 2 hari. Apakah karena mimpi itu? Mimpi apa yang bisa membuatnya sekacau ini?

"Maaf sudah merepotkanmu." Suaranya terdengar sangat lirih dan serak. Kemana Nata yang bermulut tajam? Dia benar-benar sangat berbeda.

"Oh tak apa, kau baik-baik saja?" Dia tersenyum kecut sambil menundukkan kepalanya. Memperhatikan jari-jarinya yang saling bertautan diatas pahanya.

"Aku harap begitu.."

Renata POV

Ahh kenapa Ramiro melihat kejadian itu. Kejadian yang selalu kubenci hampir 7 tahun ini. Mimpi terburuk yang pernah ada, selalu menghantuiku sejak ulang tahunku yang ke-15. Hanya ada 2 orang yang mengetahui mimpi itu. Ana dan dia, ya dia seseorang yang sangat berharga untukku. Dia adalah teman, sahabat, kakak, ayah, keluarga sekaligus pemilik ruang khusus dihatiku. Ku harap dia segera kembali, aku sangat membutuhkannya. Duniaku telah hancur tak tersisa dan hanya dialah yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini.

Rendra Ramiro Dhananjaya adalah cinta pertamaku. Mungkin kalian akan berpikir bahwa cinta pertama itu sangatlah menggelikan. Tapi bagiku, hal itu sangatlah berharga. Ramiro adalah anak dari sahabat papa dan mama, Om Dhananjaya dan Tante Sylvia. Om Dhananjaya dan Tante Sylvia adalah sahabat karib papa dan mama sejak SMA. Selain itu, rumah kami yang bersebelahan membuatku sering bertemu dan bermain bersamanya. Umur kami hanya berjarak 2 tahun.

Pertama kali akau bertemu dengannya saat aku bermurur 5 tahun, saat itu keluarga Om Jaya sedang mengadakan pesta peresmian rumah baru mereka. Ramiro yang saat itu masih berumur 7 tahun sangat lucu dan menggemaskan. Seingatku dia adalah anak kecil yang sangat periang, berbanding terbalik dengan dia yang berumur 24 tahun.
Ramiro atau aku sering memanggilnya Miyo karena dulu aku belum begitu fasih berbicara, dia menggunakan tuxedo hitam. Dia mengampiriku dan memberiku sebuah permen kesukaanku. Kami mulai akrab sejak saat itu. Ramiro sering menginap dirumahku, begitupun juga aku sering menginap dirumahnya. Saat hari minggu, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama mulai pagi hingga malam.

Ada satu kenangan yang tak pernah kulupakan darinya.

Flashback

Nampak dua anak kecil yang sedang duduk dibawah naungan pohon diatas bukit menghadap kearah matahari yang mulai terbenam. Anak kecil itu adalah Nata yang berumur 10 tahun dan Ramiro yang berumur 12 tahun. Mereka sedang menunggu malam menjelang untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

"Nata, kau mau berjanji padaku?" Ramiro menarik tangan Nata dan membuat tubuh mereka saling berhadap-hadapan. Saling menatap kedalam mata mereka masing-masing.

"Tentu saja, tapi janji untuk apa?"

"Janji untuk menikah denganku dimasa depan nanti. Kita akan membangun rumah yang kau inginkan, pergi kesemua tempat yang kau inginkan, membeli semua barang yang kau inginkan dan mewujudkan semua keinganmu." Nata mengerutkan dahinya tanda tak setuju dengan pernyataan Ramiro. Dia melepaskan genggaman tangan Ramiro dan kembali menatap kearah matahari terbenam tanpa menghiraukan Ramiro yang kaget dengan responnya.

"Aku mau menikah denganmu, tapi tidak dengan ide mewujudkan semua keinginanku. Kita harus mewujudkan keinginan kita, bukan keinginanku saja Miro." Terselip nada geli dalam ucapan Nata. Dia sangat hafal dengan sikap Ramiro. Ramiro yang selalu ambisius, tak ingin dibantah, semaunya sendiri dan egois.

"Kita tinggal mewujudkan keinginanmu Nata, karena keinginanku sudah terpenuhi. Yang kuinginkan adalah hidup denganmu selamanya." Mereka saling tersenyum dan menatap satu sama lain. Tak menghiraukan angin yang menerbangkan dedaunan dan rambut mereka. Mereka sedang berada didunia mereka sendiri, dunia yang tak akan ada seorang pun bisa menyentuhnya. Karena dunia itu terbungkus rapi didalam balutan-balutan cinta abadi dari dua insan dengan ikatan benang merah mereka.

Flashback End

Saat itu kami masih kecil, tapi entah mengapa aku bisa merasakan bagaimana rasanya mencintainya. Namun saat aku berumur 11 tahun, Ramiro harus pindah keluar kota-entahlah kota yang mana aku pun tak tau- karena kepentingan bisnis keluarga mereka. Tapi, sejak ulang tahun Ramiro yang ke-13 dia menjadi orang yang sangat berbeda. Ramiro yang hangat dan periang berubah menjadi Ramiro yang dingin, pendiam, egois dan tak pernah lagi peduli padaku. Aku juga tak tau apa penyebabnya dan aku juga tak sempat untuk mencari tau karena keluarga mereka harus pindah.

10 tahun berlalu, tiba-tiba saja Ramiro kembali ke kota ini. 1 tahun yang lalu, dia datang bersama Om Jaya untuk melamar Kakakku. Dia terlihat sangat tampan dan lebih dewasa, mungkin karena umurnya yang sudah menginjak 23 tahun. Tak ada lagi Ramiro dengan pipi chubby kemerah-merahan yang tertawa padaku. Kami seperti orang asing yang tak pernah bertemu sama sekali.

Pertunangan Kakak dan Ramiro tentu saja membuatku sedih, karena selama 10 tahun itu aku masih saja mencintainya walaupun aku sudah mencoba untuk melupakannya. Entah mengapa dia selalu memiliki tempat tersendiri didalam hatiku, dan siapapun juga tak bisa menggantikannya.

Tapi sekarang dia akan menikah denganku. Tentu saja aku sangat bahagia, tapi masih saja ada yang mengganjal dalam hatiku. Apakah dia juga mencintaiku? Apakah kakak benar-benar merelakan Ramiro untukku? Apakah pernikahan ini akan berjalan dengan baik? Banyak sekali pertanyaan yang selalu menganggu ketenanganku. Membuatku bimbang sekaligus takut. Tapi aku tak akan menyerah walaupun nantinya pernikahan ini mengalami banyak halangan, karena aku harus mewujudkan janji kami dulu.

"Hei, kau dengar aku? Kita sudah sampai." Ramiro mengembalikan kesadaranku dan membuatku agak linglung karena terseret begitu saja kembali kedunia nyata.

Tak terasa entah berapa lama aku melamun karena sekarang mobil Ramiro telah berhenti didepan sebuah butik ternama di kota ini. Dia menarikku keluar dari mobil kemudian melenggang masuk kedalam butik meninggalkanku yang masih berdiri disamping mobilnya.

"Aku sudah memilihkanmu 6 gaun, semuanya bisa kau pakai dengan kerudung. Kau tinggal mencobanya saja, dan ku mohon cepatlah. Aku harus pergi kekantor setelah ini." Ramiro mendudukkan dirinya di sofa dengan nyaman kemudian memfokuskan pandangannya pada tablet yang berada ditangannya.

Aku mencoba keenam gaun itu. Sangat indah dan begitu pas ditubuhku. Dia tau darimana ukuran tubuhku? Aku hanya bisa menerka-nerka dan mengbaikan pertanyaan konyolku itu begitu saja. Setelah mencoba keenam gaun itu, kami kembali kedalam mobil untuk pergi ke apartemenku. Sekali lagi, hening menjadi latar belakang suasana dalam mobil yang melaju cukup cepat ini.

"Bolehkan saat akad nikah nanti aku memakai kebaya rancanganku sendiri?" Tanyaku sambil mencoba sedikit memperhatikan wajahnya yang terlihat tampan walaupun hanya terlihat setengah bagiannya saja.

"Terserah, yang penting kau tidak membuatku malu itu saja." Kami kembali sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Namun, dering handphoneku membuatku dan Ramiro sedikit kaget karena volumenya yang agak keras begitu mendominasi suasana didalam mobil yang sangat sepi.

"Waalaikumsalam, ada apa?"

"................."

"Tidak, aku tidak jadi pergi ke Paris. Besok pukul 9 aku akan ke basecamp untuk menjelaskannya Kak, aku tak bisa menjelaskannya lewat telfon."

".................."

"Aku saja yang belanja, hanya ada kalian saja?."

".................."

"Ohh, jangan pergi kemana-mana besok. Oh satu lagi, jangan beritau El tentang ini. Aku yang akan melakukannya"

"..................."

"Waalaikumsalam."

"Mau kemana kau besok?" Dia bertanya tanpa menoleh padaku.

"Ke basecamp NoLaFo, kau ada waktu? Aku ingin mengenalkanmu pada mereka."

"Ya, tunggu aku didepan apartemenmu. No.. NoLa.. apa tadi?" Wajahnya terlihat sangat menggemaskan saat bingung. Ternyata masih ada Ramiro yang kukenal dulu didalam dirinya.

"NoLaFo, itu nama klub danceku. Aku akan mengenalkanmu ke mereka semua. Bagaimanapun juga mereka sudah seperti keluargaku sendiri, jadi setidaknya kau harus mengenal mereka walaupun tak akan akrab."

Setelah mengantarku kembali ke apartemen, Ramiro melesat pergi begitu saja dan akan menjemputku untuk pergi ke basecamp NoLaFo besok. Ku putuskan untuk mengistirahatkan tubuhku yang agak demam ini. Apartemen terasa sangat sepi karena Ana harus menemui dosennya. Selain itu, Ana tak akan pulang ke apartemen malam ini. Ku lihat jam didinding menunjukkan pukul 8 malam. Kenapa waktu berjalan begitu cepat?

Ku buka mataku dengan susah payah. Ternyata aku tertidur disofa ruang keluarga tanpa mengganti pakaianku. Ku lihat jam dinding menujukkan pukul 5 pagi. Sepertinya aku tidur terlalu nyenyak. Aku bergegas membersihkan diriku dan mengahabiskan 3 jam untuk mencuci baju, membersihkan apartemen dan meneruskan pekerjaanku yang sempat terbengkalai begitu saja. Tugas terakhir adalah pergi ke supermarket di depan apartemen untuk membeli kebutuhan dibasecamp.

Tak terasa aku menghabiskan waktu selama 30 menit untuk berbelanja sehingga saat aku keluar dari supermarket, bisa kulihat Ramiro yang sedang bersandar pada kap mobilnya menatapku yang memegang 2 kantong plastik besar pada masing-masing tanganku. Jika kalian berpikir bahwa Ramiro akan mendatangiku dan kemudian mengambil alih barang bawaanku seperti tokoh pria dalam film. Maka akan kunyatakan bahwa kalian salah besar dan berhentilah berharap. Dia hanya menatapku kemudian masuk kedalam mobilnya begitu saja. Aku pun harus berjalan tak seimbang kearah mobilnya dan disambut dengan gerutuan dari beruang pemarah dari kutub utara itu.

"Kau itu berjalan seperti ibu hamil, sangat lambat." Dia menggerutu sambil menghidupkan mesin mobilnya kemudian menatapku dengan tajam.

"Dimana tempatnya?" Jika saja dia tak tampan dan bukan calon suamiku, maka jangan harap aku dengan senang hati tetap berbicara pada seorang beruang kutub pemarah seperti dia.

"Perumahan Griya Permai, nomor 15. 30 menit dari sini. Aku sedang tak ingin berdebat dan membuang-buang waktuku denganmu, jadi dengan hormat kumohon segera jalankan mobil ini."

"Haha kau selalu saja seperti ini, very bossy girl."

Setelah perdebatan kecil itu, suasana hening menjadi musik pengantar perjalan kami. Dia fokus dengan jalan didepannya dan aku terus bergelut dengan pikiranku. Bagaimana caranya aku menjelaskan pernikahan ini pada mereka? Bagaimana jika mereka kecewa dengan keputusanku?

NoLaFo singkatan dari Now, Later and Forever adalah sebuah klub dance kecil-kecilan beranggotakan 10 orang. Kami membentuk klub ini kira-kira 4 tahun yang lalu. Berawal dari hobi kemudian kami berkumpul dan mengembangkan hobi kami dengan kebersamaan. Kami bersepuluh, tidak menjadikan NoLaFo sebagai prioritas. Karena tak akan menjamin masa depan jika kita mengandalkan NoLaFo yang hanya bisa masuk kekejuaraan tingkat kebupaten/provinsi saja. Selain itu, kami juga memiliki kehidupan dan pekerjaan kami masing-masing.

"Ku harap kau meninggalkan kebiasaan melamunmu itu. Aku sangat membencinya." Suara geraman Ramiro menyadarkanku yang sedang melamun sambil menyender ke pintu mobil. Ah Tuhan, kebiasaan melamunku selalu saja membuat semua orang marah.

"Dan aku juga berharap kau berhenti menggeram seperti beruang kutub sedang datang bulan. Tak bisakah satu hari saja kau menjadi orang yang baik dalam artian yang sesungguhnya?" Sekali lagi, kami selalu berdebat saat berada dalam satu lingkup ruangan yang sama.

Entah mengapa dia selalu saja bisa membuatku merasa tak ingin dikalahkan, padahal biasanya aku tak pernah berdebat dengan orang lain seperti ini-kecuali dengan El.

Ramiro memberhentikan mobilnya tepat didepan pintu masuk melewati pagar yang terbuka lebar. Kemana semua orang? Mereka selalu saja membuka pintu pagar selebar mungkin dan meninggalkannya begitu saja. Apakah mereka sedang menarik perhatian para perampok atau memang mereka yang terlalu baik hingga ingin beramal kepada para perampok itu.

"Dalam kamusku artian orang baik yang sesungguhnya berbeda dengan artian orang baik yang sesungguhnya dalam kamusmu. Bagiku, orang baik yang sesungguhnya adalah orang yang bisa menyenangkan semua wanita diatas ranjang sayang."

Aku hanya bisa bergidik ngeri dengan penjelasannya yang mulai aneh. Kami pun turun dari mobil dengan aku yang membawa dua kantong belanjaan dikedua tanganku. Dia malah dengan santainya menatapku yang kewalahan kemudian mengikutiku berjalan masuk kedalam rumah.

Ramiro POV

Dengan tubuhnya yang terbilang kecil, dia mengangkat dua kantong belanjaan sekaligus. Aku berniat membantunya tadi, tapi dia tak memintannya dan malah membawa keduanya secara langsung. Kurasa dia memang bertenaga baja, sungguh menarik.

Aku bisa melihatnya berjalan dengan agak limbung tapi tetap kubiarkan saja, dia tak memintaku membantunya bukan.

Rumah ini cukup mewah jika dijadikan basecamp sebuah klub dance. Saat aku masuk kedalamnya, sebuah ruang keluarga yang luas dengan sofa melingkar ditengahnya menghadap kesebuah TV flatscreen besar yang menggantung didinding menyambutku.

"Assalamualaikum, Kak Bagas?" Nata meletakkan kantong belanjaan itu diatas sofa kemudian masuk kesebuah ruangan yang kutebak adalah sebuah dapur. Dia meninggalkanku yang berdiri ditengah ruangan ini begitu saja. Karena lelah berdiri aku pun mendudukkan diriku disofa tanpa izin-persetan dengan izin mereka, aku tak peduli-.

Sepersekian menit setelah aku duduk diam di ruang tamu ini, sebuah tepukan dibahuku membuatku menoleh kebelakang. Berdiri seorang laki-laki dengan iris mata berwarna hitam dengan setelan celana jins hitam dan kaus putih tersenyum padaku.

"Hai, aku Bagas. Kamu Ramiro kan?" Dia cukup sopan berbanding terbalik dengan penampilannya yang terbilang cukup urakan. Aku hanya membalas jabatan tangannya sambil menganggukkan kepalaku sebagai jawabannya.

Kami kembali terdiam menghadap kedepan, sebuah dinding yang penuh dengan coretan dan foto mengalihkan perhatianku. Banyak sekali foto yang ditempelkan disana dengan berbagai kata-kata yang menghiasinya. Aku beranjak mendekatinya dan meneliti satu persatu foto tersebut.

Foto pertama yang kulihat adalah foto seorang perempuan dengan rambut panjang berwarna hitam didampingi seorang laki-laki bermata sedikit keabu-abuan dengan rambut coklat kehitaman yang merangkul bahunya. Foto kedua menampilkan kedua orang difoto pertama tersebut ditambah satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan lainnya. Foto-foto selanjutnya juga menampilkan orang yang sama hanya saja semakin bertambah hingga berjumlah sepuluh orang.

Tapi, perempuan dengan rambut panjang sepuluh senti dibawah bahu itu menarik perhatianku. Dia memiliki pipi sedikit chubby, dua lesung pipi, hidung mancung dan mata lebar dengan iris berwarna hitam. Sangat mempesona walaupun kebanyakan dalam foto-foto ini dia hanya sedikit tersenyum. Aku sangat mengenali mata itu dan lesung pipinya, bahkan wajahnya sangat tidak asing bagiku.

"Kau pasti sedang meneliti siapa perempuan bermabut hitam itu, dia Renata. 4 tahun yang lalu dia belum berkerudung saat kami membuat klub ini."

Aku hanya diam sambil terus melanjutkan pengamatanku. Banyak sekali foto yang ditempelkan, namun aku selalu mendapati Nata yang dekat dengan laki-laki berambut sedikit agak coklat kehitaman tadi. Dalam setiap foto, mereka selalu berdampingan. Bahkan disini terpampang banyak sekali foto mereka berdua, hanya berdua saja. Entah mengapa kedekatan mereka membangkitkan sedikit rasa kemarahan dalam hatiku.

"Dia Azka, tapi Renata memanggilnya El atau Elha. Mereka berdua-Renata dan Azka-adalah pendiri klub ini. yang bergabung dengannya untuk pertama kali adalah Aku-Bagaskara-,Misha dan Maria. Kemudian disusul dengan kembar bersaudara Koko dan Kiki. Yang terakhir adalah Geffie-laki-laki dengan anting ditelinga kanannya-, Arvita dan Leo. Kami semua berkenalan secara tidak sengaja, kemudian bergabung dan menjadikan rumah Azka sebagai basecamp. Sekarang, ya beginilah. Aku, Leo dan Geffie tinggal disini sebagai penjaga rumah. Sedangakn Azka, dia sedang sibuk mengembangkan perusahaan keluarganya."

Orang disebelahku ini, sekali lagi menjelaskan pertanyaan dikepalaku tanpa menungguku untuk bertanya. Mungkin dia cenyang, bisa membaca pikiranku begitu saja.

"Azka dan Rena, mereka sangat dekat. Bahkan kukira mereka akan menikah nanti saat mereka berdua pergi ke Paris setelah ini. Tapi kenyataannya, Rena menikah denganmu. Asal kau tau saja, semua laki-laki dalam klub ini pernah menyuakinya. Siapa yang tak menyukai wanita pendiam, baik hati, mandiri dan menyenangkan seperti Rena. Tapi, karena Azka yang selalu berada di sekitar Rena membuat kami susah mendekatinya. Pernah dulu Leo masuk rumah sakit karena mendapatkan hadiah pukulan dari Azka. Penyebabnya adalah Leo hampir saja mencium Rena yang sedang tertidur di sofa ruang keluarga."

Penjelasan Bagas semakin membuatku merasa enggan dengan kehadiran Azka. Siapa dia hingga bisa berada disekitar Nata? Seingatku Nata tak pernah ingin dekat dengan siapapun.

BRAKK!!

Suara pintu terbuka dengan kasar menghentikan pengamatanku dan membuatku membalikkan badan untuk melihat siapa dalang dari pembuat onar itu. Seorang laki-laki berambut coklat kehitaman sedang berdiri menatap kami dengan tajam. Dia memakai celana kain berwarna hitam dan kemeja putih dengan 2 kancing teratas yang terbuka dan lengan yang telah digulung sesiku. Dia menatap kearah kami sambil memicingkan matanya, aku tau dia sedang mengamatiku.

"DIMANA NATA?"

Laki-laki itu berteriak sambil berjalan kearah kami. Wajah dengan rahang tegas dan bibir tipis itu terlihat sedang menahan amarahnya.

"BRENGSEK. BAGAS! JAWAB AKU! DIMANA NATA!"

"Elha,a-aku disini." Nata datang dari arah dapur sambil menundukkan kepalanya menghindari tatapan dari laki-laki didepanku, yang bisa kutebak dia adalah Azka.

"SIALAN! APA YANG KAU PIKIRKAN NATA! KAU AKAN MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI BRENGSEK INI! DIMANA OTAKMU HAH!"

Suasana diantara kami berempat sangat tak nyaman. Azka dengan kemarahannya, Nata dan Bagas dengan ketakutannya dan aku dengan kebinganku sekaligus kemarahanku yang mulai tersulut karena ucapan Azka tadi.

Continue Reading

You'll Also Like

10.5M 784K 56
Alika Syakilla, gadis polos dan ceroboh yang terpaksa tinggal di rumah keluarga Devin karena sebuah perjodohan. Devin Arya Mahesa, sepupu jauh sekali...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
5.8M 337K 17
"Ayang pelukkk" "Yang kenceng meluknya" "Ayang mau makannn" "Ayangg ciummm" "Ayanggg ikutt" "Ayanggggg" Pertamanya sok-sok an nolak.. Ujung-ujun...
9.8M 636K 30
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...