12:00 AM (c.h)

By xxonmymindxx

622 110 50

[ONESHOT] My soul are yours. ©Copyright by xxonmymindxx 2016. More

Prologue.
AUTHORS NOTE

ONE SHOT

250 39 40
By xxonmymindxx

"Ya, aku mengerti."

"Jangan ragukan aku soal ini, kau akan tercengang jika melihat hasilnya,"

"Kau bahkan tak tahu berapa ide yang ada didalam isi kepalaku ini,"

"Kau tak usah khawatir, berikan ini padaku dan akan selesai,"

"Baiklah, selamat malam."

Ia menaruh ponselnya diatas meja. Lalu, beralih menatap layar laptopnya dengan asyik. Sedangkan, jari-jarinya masih menari-nari di keyboard laptopnya. Sejenak, ia memijat pelipisnya pelan. Lalu, melihat kearah jam yang terletak dimeja kerjanya.

11:00 P.M.

Begitu angka yang tertera di jam tersebut. Lalu, ia bangkit berdiri dari meja tersebut. Niatnya yang akan membuat kopi agar terjaga semalaman untuk pekerjaannya tiba-tiba sirna. Ketika terdengar ketukan dari pintu apartemennya. Ketukan itu seperti terburu-buru. Pria itu bertanya-tanya siapa yang selarut ini masih mengetuk pintu apartemennya?

Dengan langkah kaki yang dipaksakan akhirnya ia menghampiri pintu tersebut. Dan membukanya perlahan. Setelah pintu terbuka. Hanyalah pintu apartemen lain yang tertutup. Tidak ada orang. Saat hendak menutup lagi pintunya, tiba-tiba perempuan salah alamat itu datang lagi. Dan menahan pintu yang akan ditutup pria itu.

"Hey," ia mencoba tersenyum pada pria ini.

"Kau?! Apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini?" terlihat pria ini sangat menahan amarahnya untuk kedua kalinya.

"Hmm, kita belum perkenalan. Aku, Samantha Miller, kau siapa?"

"Apa kau gila?! Kau mengetuk pintu seseorang ditengah malam dan hanya untuk perkenalan? Tidak ada 'kah pekerjaan lain untukmu? Atau kau tidak punya sopan santun? Hah?" Kini wajah pria itu memerah, karna berteriak dihadapan perempuan ini.

"Semestinya kau sadar apa yang telah kau lakukan. Itu sangat menganggu. Dan aku terganggu. Kau tiba-tiba menyelinap di apartemenku, lalu sekarang mengajakku berkenalan ditengah malam? Tidak cukup 'kah kau membuatku kesal dimalam ini?"

Samantha masih terdiam dengan kepala menunduk. Seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tuanya.

"M-ma-maaf... A-aku tidak bermaksud." katanya sambil menangis dan pergi dari hadapan pria tersebut. Ia berlari dan membuka pintu apartemennya sendiri. Ternyata, kamar apartemen gadis itu tepat disebrang pria tersebut. Sehingga, pria itu kini tahu dimana gadis itu tinggal.

Ada sedikit rasa bersalah menghinggapi pria tersebut. Setelah, membentak gadis tadi. Tapi, ia masih bertanya-tanya pada gadis yang ia lupa namanya tersebut. Gadis itu aneh. Pertama, ia memasuki apartemen yang sudah jelas bukan miliknya, terlihat dari perabotan pun pasti berbeda. Kedua, kini saat tengah malam ia mengajaknya berkenalan dan berakhir dengan menangis. Ini semua membuatnya bingung. Karna dirasa tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya. Akhirnya, ia menutup laptop tersebut dan menyesap cangkir kopi yang telah ia buat tadi walau sempat tertunda. Setelah menyesap kopinya, kini ia merebahkan dirinya diatas kasur. Dan mencoba memejamkan matanya. Tak terasa, ia mulai terlelap.

                           ***

Sinar matahari mulai bercahaya disekitaran kamarnya. Dia sedikit mencoba membuka matanya. Mencoba untuk menerima cahaya, yang masuk ke dalam mata berwarna cokelat mudanya. Ketika di lihat, jam menunjukkan 09:00 pagi. Ini dihari libur. Masih terlalu pagi untuk bangun dihari libur. Lalu, ia mencoba memejamkan matanya kembali. Ketukan sialan dipintu itu terdengar lagi. Kali ini ia berasumsi bahwa perempuan itu lagi yang mengetuk. Ketukan itu kembali bersuara. Membuatnya terbangun dengan kesal. Ia bangkit dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya. Menghampiri pintu yang sekarang diketuk pelan. Ketika, dibuka terlihatlah perempuan kemarin dengan dressnya dan rambutnya yang terlihat dikeriting.

"Kau? Mau apa lagi dipagi hari ini?" Kata pria itu dengan malasnya.

"Kau tidak menyuruhku sekedar masuk saja ke apartemenmu?" Ia masih bisa tersenyum seakan-akan kejadian semalam tidak membuatnya kapok.

"Baiklah, masuk." Pria itu mempersilahkan gadis ini masuk. Ini semua karna ia merasa bersalah setelah membentaknya semalam.

"Kau minum apa?" Pria itu menatap malas dihadapan gadis ini.

"Softdrink?"

Lelaki itu menghampiri kearah dapur dan membuka kulkasnya. Ia mengambil softdrink sebanyak dua. Untuknya satu. Gadis itu sekarang terlihat memandang seisi apartemen miliknya.

"Ini, silahkan diminum," Ucap Calum dengan sedikit malas.

"Terima kasih," ia masih tersenyum.

Suasana hening. Gadis ini tidak mengucapkan sepatah katapun. Pria itu juga tidak mau memulai pembicaraan terlebih dahulu. Alhasil, keduanya kini terdiam. Menciptakan suasana yang tak nyaman diantara hati masing-masing.

"Kau belum mengucapkan namamu,"

Seketika pria itu menoleh dan menatap gadis ini tak percaya. Ia masih saja penasaraan dengan namanya.

"Untuk apa kau tahu namaku?" Tanya pria itu dengan menaikkan alisnya yang tebal.

"Untuk perkenalan? Huh?" Ia terkekeh.

"Itu tidak penting," Jawab lelaki itu.

"Penting, bagiku."

Pria itu kini benar-benar menatapnya dengan seksama. Gadis ini memiliki mata yang biru, hidung yang memancung, bibir yang tipis dan terlihat pucat.

"Jadi, siapa namamu?"

Gadis itu membuyarkan lamunan pria tadi yang menatapnya tak percaya.

"Aku bilang itu tidak penting,"

"Penting, please," Pintanya dengan memohon.

"Calum," Jawabnya dengan nada yang sangat pelan.

"Apa?" Wanita itu benar-benar tak mendengar apa yang dikatakan pria itu.

"Aku sudah mengatakannya,"

"Tapi, aku tak mendengarnya,"

"Kau dengar,"

"Tidak, coba ulang sekali lagi?"

"Ck, Calum,"

Terukir senyum dari wajah sang gadis itu yang tengah menatapnya girang sekarang. Mengetahui namanya membuatnya senang bukan kepalang.

"Aku Samantha,"

"Aku sudah tahu, kau mengucapkannya berkali-kali," Kata Calum dengan mendengus kesal. Tetapi, Samantha hanya tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.

"Nama panjangmu, siapa?"

"Calum Hood," Jawab Calum dengan sekenanya. Sembari ia menyalakan televisinya.

"Wah, nama yang bagus,"

"Biasa saja, kau yang berlebihan,"

"Omong-omong, kau tinggal sendirian disini?" Tanyanya.

"Menurutmu? Apa ada orang lain disekitar kita?" Jawab Calum dengan nada kesalnya.

Merasa hening Calum mengarahkan kepalanya melihat perempuan itu. Calum kira gadis itu akan menangis lagi. Ternyata ia masih tersenyum karna Calum yang mengucapkan kata kita. Wajah itu, untuk kesekian kalinya membuat Calum melamun. Merasakan ada sesuatu yang janggal dihatinya. Tapi segera ia tepis perlahan dan bangkit dari sofa nya meninggalkan Samantha yang masih terus saja menatapnya dengan senyum. Ia jadi sedikit tahu fakta tentang gadis itu. Ia sedikit tidak waras.

Samantha masih berada diruang apartemen milik Calum. Ia sedang memegang remote tv dengan tidak semangat. Sudah beberapa menit yang lalu, Calum memutuskan pergi ke kamarnya dan meninggalkan ia yang kini tengah duduk sendiri. Tidak ada satupun acara televisi yang menarik hatinya untuk saat ini. Merasa bosan, ia membuka ponselnya yang berada dikantung celananya. Lalu, ia menyentuh gambar yang berbentuk kamera tersebut. Langkah kakinya menuju ke kamar Calum yang kini tengah tertidur dengan pulasnya. Dan ia membuka pintunya sangat benar-benar pelan.

Ckrek.

Ia mengutuki dirinya yang lupa akan silent mode pada ponselnya. Berharap, Calum tidak bangun dengan suara bising tadi. Cepat-cepat ia melangkahkan kakinya menuju keluar. Tapi, tiba-tiba pandangannya teralihkan ketika melihat bingkai foto yang tertaruh rapih diatas meja tersebut. Foto itu menampakkan laki-laki muda yang kini tengah tertidur pulas dengan seorang perempuan yang bersandar pada bahu lelaki tersebut sambil tersenyum senang. Ia mengambil foto tersebut agar bisa melihat sedikit lebih jelas. Oh, tidak ini sudah sangat jelas. Terlihat disini Calum dengan senangnya memberi sandaran pada perempuan ini. Pasti ia sangatlah spesial mengingat Calum yang mempunyai sifat cuek. Sedikit rasa iri terpancar dari wajah Samantha saat ini. Kecewa, marah, sedih, iri, semua ada diperasaannya kali ini. Tak terasa ia mengeluarkan cairan bening dari matanya yang berwarna biru tersebut. Mencoba tak terisak dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ia dengan cepat menghapus air mata tersebut dengan tangannya. Dan sedikit kasar. Ia menaruh kembali foto tersebut dengan pelan. Masih mencoba hening agar Calum tak melihatnya yang sekarang berada dikamar tidurnya. Setelah, itu ia mematikan televisi yang ada diruang tamu tersebut. Lalu, dengan langkah kaki yang lemas ia membuka pintu keluar dengan pelan. Mungkin, ini artinya ia sudah tak bisa mengenal Calum lebih dalam lagi.

                           ***

Dering ponselnya yang terdengar nyaring membangunkan sang pemilik dari tidur pulasnya. Segera ia mengambil benda tersebut dan mengambilnya dengan mata yang masih menutup. Walaupun, tangannya masih sedikit meraba-raba. Akhirnya, ia mendapatkan ponsel itu dan mengangkatnya dengan malas. Ia masih tak sepenuhnya sadar.

"Halo?" Terdengar suara perempuan dari sebrang sana.

Dengan nada yang masih serak ia mencoba menjawabnya, "Ya? Ada apa? Ini siapa?"

"Apa kau baru saja terbangun, Cal? Ini aku Claire,"

"Ya, kau benar, ada apa?"

"Apa kau tidak mengingat sesuatu? Seperti ada janji?"

"Benarkah? Aku rasa tida- APA? OH MY! Aku lupa! Maafkan aku. Aku akan segera kesana sebentar lagi. Tunggu aku 10 menit. Oh tidak 15 menit. Ya, 15." Segera ia menutup telepon tersebut secara sepihak. Dengan cepat ia bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman itu dan segera menghampiri lemari pakaiannya. Setelah, dirasa selesai ia lalu meraih kunci mobil yang tertaruh dimeja kecil. Ia juga lupa akan Samantha yang tadi bertamu disini.

Perjalanan tadi memakan waktu setidaknya duapuluh lima menit dari yang diperkirakan Calum. Wanita itu dengan wajah masamnya yang menunduk dan masih terduduk manis disana. Calum menghampiri wanita tersebut dengan tersenyum yang kini merekah diwajahnya. Dan mengucapkan salam kepadanya.

"Hello swettie," Ucap Calum dengan senyum tulus.

Yang dipanggil tadi pun menengok keatas. Dan tersenyum dengan senangnya. Seakan hadiah yang ditunggu nya kini sudah didepan mata.

"Kau lama sekali, Cal," Sambil berpura-pura mengerucutkan bibirnya yang mungil.

"Ya, maafkan aku. Baiklah, bagaimana kalau sekarang kita makan bersama?" Ucap Calum dengan antusiasnya.

Setelah makan malam mereka selesai. Calum harus mengantar Claire menuju kerumahnya. Suasana dimobil masih hening. Tak ada percakapan apapun diantara kedua pemuda-pemudi tersebut. Terkadang, hanya suara berdeham dan semacamnya. Calum sedikit melirik Claire yang kini tengah menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil. Matanya masih menahan kantuk yang sedari tadi melandanya. Ia masih menguap tetapi, tidak tidur. Setelah sampai Claire mengucapkan salam perpisahan dan berterima kasih kepada laki-laki itu. Calum hanya membalasnya dengan tersenyum.

Ponselnya kini berdering. Ia masih mengendarai mobilnya yang kini akan mengarah pada apartemennya. Ia mengutuk siapa yang menelponnya ditengah berkendara saat ini. Lalu, ia mengambil ponsel tersebut dengan kasar dan hendak membentak saat terdengar suara perempuan disana.

"Ha-halo?"

"Kau siapa?"

"I-ini a-aku Samantha."

"What the- kau tahu darimana nomorku?"

"Itu tidak penting, Cal. Sekarang aku benar-benar membutuhkanmu. Aku sedang dalam bahaya. Tolong aku, cepat,"

Calum menatap ponselnya tak percaya dengan ucapan perempuan itu, namun ia menaruhnya lagi ditelinga, "Apa? Apa kau bilang? Kau melakukan hal gila apa lagi, Samantha?"

"Bukan aku yang melakukannya! Kau harus segera datang, atau kau akan menyesal!"

Tut.

Percakapan tersebut berakhir dengan Samantha yang mengakhirinya. Calum menjambak rambutnya pelan. Frustasi dengan tingkah perempuan yang kini mulai mengusik ketenangan hidupnya. Calum bisa saja mengabaikan pesan dari Samantha jika ia tega. Diulangi, jika ia tega. Tapi, sekarang Samantha memohon pertolongannya yang sangat mendadak tersebut kepadanya, membuat ia menjadi seperti dilibatkan dalam suatu masalah. Calum benci melibatkan dirinya dimasalah orang lain. Ia tak suka hal itu. Wanita yang  menyebalkan itu yang membuat Calum semakin percaya bahwa ia membencinya sekarang.

Calum telah tiba diparkiran apartemennya. Sekarang ia menuju ke lift dengan terburu-buru. Ia sedikit takut dengan perkataan Samantha tadi. Takut jika perempuan itu melakukan hal gila lainnya. Yang lebih menakutkan lagi jika gadis itu masuk lagi ke apartemennya. Mungkin itu alasan terbesarnya. Dan satu hal lagi, Calum lupa mengganti kuncinya. Sesampainya dilantai 12 ia langsung berlari menuju apartemen Samantha. Pintu depannya kini dibiarkan terbuka, seakan tahu bahwa Calum akan datang untuknya. Tetapi, fakta itu benar. Calum masih mengetok pintunya dan tidak ada jawaban dari sang pemilik. Merasa, janggal ia memasuki apartemen milik Samantha. Tapi, ia tidak menemukan apapun disana. 

Calum mencoba memanggilnya, "Samantha? Kau dimana?"

"Samantha? Ini aku, Calum," ia masih mencari diruang balkon dan tak menemukan sosok gadis itu disana.

Jantung Calum kali ini benar-benar tak karuan. Ia masih mencari Samantha di apartemen ini. Lalu, ia mencari kesekitarnya. Kamar mandi, dapur, ruang tamu, balkon semua tidak menampakkan sosok adanya Samantha disana. Bahkan, di lemari pun tak menampik jika ia menyembunyikan dirinya disana. Tiba-tiba Calum melangkahkan kakinya menuju satu-satunya ruang yang belum ia lihat.  Kamar tidur. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang itu. Masih dengan jantung yang berdebar-debar. Ia perlahan memegang kenop pintu itu. Setelah meyakinkan dirinya bahwa tak ada apapun yang harus di takuti. Dengan tangan yang gemetar, dan otaknya yang sudah membayangi hal-hal yang tidak-tidak. Akhirnya, kamar tersebut tidak terkunci. Ia membukannya pelan dan tidak menemukan apapun disana. Yang terlihat hanyalah bingkai foto Samantha yang cantik dengan memakai gaun putih sambil tersenyum tulus. Senyumnya sama persis ketika ia melihat Calum beberapa waktu yang lalu. Tetapi, ada sepucuk surat putih rupanya yang tergeletak diatas ranjang bersama dengan bingkai foto tersebut. Calum mencoba membuka isi surat tersebut. Dibacanya kata itu satu persatu dengan was-was.

To: Calum Thomas Hood.

Jika kau membaca ini, itu berarti aku sudah tak bernafas. Tak perlu takut. Aku takkan menghantuimu. Mungkin sedikit. Hehehe. Omong-omong jika kau bertanya padaku kenapa aku bisa mengetahui nama tengahmu itu karena aku melihat dokumenmu. Ya, kau ingat tidak kau mencangkok jantungmu? Itu adalah jantungku, Cal. Mungkin kau tidak tahu rupaku seperti apa, namaku siapa, berasal darimana. Terserah. Tapi, saat kau mengalami gangguan pada jantungmu aku yang menyumbangkannya untukmu. Tak usah khawatir, aku menderita Systemic Lupus Erythematosus/biasanya orang mengatakan penyakit Lupus. Ya, jika kau tak tahu, sistem kekebalan yang tadinya untuk melindungi tubuhku sudah tidak berfungsi lagi, maka anti imun itu berbalik menyerang tubuhku. Hingga, aku bisa merasakan ngilu yang luar biasa pada tulangku. Aku juga merasakan sakit pada ginjalku. Tekanan darahku yang rendah, serta demam yang tinggi, terkadang kepalaku juga merasa sakit sekali. Suster juga kewalahan denganku. Sampai suatu saat aku tidak bisa melihat lagi. Semuanya gelap. Tubuhku tak berfungsi. Kalau kau bertanya darimana aku tahu kau, jawabannya adalah saat kau berteriak frustasi dan tidak ingin saat semuanya itu terjadi. Aku mendengarnya, Cal. Kau sangat ingin hidup. Berbeda denganku yang sudah pasrah akan semua nya. Toh, lama-lama tubuhku ini akan melemah sendiri. Dan pada akhirnya akan meninggalkan dunia ini juga kau. Melihatmu seperti itu aku rela memberikan jantungku padamu. Dokter juga tadinya menolak jika aku menyumbangkannya. Aku tak punya pilihan lain. Ini jalan terakhirku. Selain, itu juga ini cara satu-satunya agar aku dapat terus disisimu. Mungkin juga terkenang. Jaga baik-baik jantung-ku,Cal. Kau tak perlu berterima kasih padaku. Karna aku mencintaimu, sejak pertama melihatmu. Jika kau selesai membaca surat ini berarti itu tepat jam 12 malam. Karna saat aku memberi jantungmu itu saat operasi tepat jam 12 malam. Selamat malam, Calum.

Lots of love,
Samantha Miller.

Calum terkaget dengan apa yang dibacanya saat ini. Tangannya tambah bergetar memegang surat itu. Terasa kini air matanya berlinang deras di pipinya. Ia sungguh kecewa dengan dirinya sendiri.
                          ***

Calum terbangun dari tidurnya. Mimpi tadi membuatnya keringat dingin disekujur tubuhnya. Cepat-cepat ia berlari ke kamar mandi dan mencuci muka. Ia mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas. TV tersebut masih menyala menampilkan adegan komedi didalamnya. Sejenak ia menghampiri sofanya dan hendak mengambil remotenya. Calum berpikir tadi Samantha sempat kesini dan mengajaknya mengobrol. Dan teringat kalau ia meninggalkannya diruang tamu. Ia terdiam sebentar dengan amplop putih yang tergeletak dimeja kecil tersebut. Wajahnya kini memutih dan tak bisa bergerak. Setelah melihat nama yang tertera pada amlop tersebut yang mirip dengan mimpinya. Tulisannya sama persis.

To: Calum Thomas Hood.

Tiba-tiba, jam berbunyi menunjukkan bahwa sekarang jam 12 malam. Tepatnya, tengah malam. Dan pintu yang terbuka.

Continue Reading

You'll Also Like

194M 4.6M 100
[COMPLETE][EDITING] Ace Hernandez, the Mafia King, known as the Devil. Sofia Diaz, known as an angel. The two are arranged to be married, forced by...
16.4M 546K 35
Down-on-her-luck Aubrey gets the job offer of a lifetime, with one catch: her ex-husband is her new boss. *** Aubrey...
97.7K 1.3K 23
មើលអោយការទទួលខុសត្រូវ។ 🔞
91.8M 2.9M 134
He was so close, his breath hit my lips. His eyes darted from my eyes to my lips. I stared intently, awaiting his next move. His lips fell near my ea...