My Unplanned Husband

By Happiness_sugar

1.5M 36K 583

Takdir tak akan pernah ada yang tau kecuali sang maha kuasa. Ada yang bilang, batas antara cinta dan benci it... More

Welcome
Part 01
Part 02
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 11
Part 12
Part 13
Part 16
Pengumuman
Part 17
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 26
Part 27 Bab 2
Part 28
Welcome back
Kabar Bahagia!!!
VOTE COVER
Akhirnyaa

Part 03

71.6K 2.4K 29
By Happiness_sugar

         Seorang pelayan meletakkan sebuah cangkir berisi kopi didepanku. Ramiro masih saja menatapku dan kemudian mengambil cangkirnya. Aku merasa sangat gerah dengan tatapannya yang tajam, tatapan itu bisa membuat kerja jantungku menjadi kacau. Dia meminum kopinya namun tak mengalihkan tatapannya dariku. Kemudian dia melatakkan cangkirnya dan memainkan jari telunjuknya mengitari mulut cangkir.  

 “Apa yang ingin kau katakan sayang?” Instruksinya membuatku segera tersadar dan mengalihkan tatapanku kearah lain selain menatapnya. Dia sedikit tersenyum mengejek mengetahui sedari tadi aku terpaku menatapnya. Betapa bodohnya aku bisa terpedaya dengannya.  

 “Apakah kau tak ingin membatalkan pernikahan ini? karena kau pasti kecewa jika mendapatkan istri yang sudah tidak virgin sepertiku. Aku sudah membawa surat dokter, jika kau tak percaya kau bisa mengantarku untuk melakukan tesnya lagi. Ada rumah sakit didekat cafe ini.Dan kuperingatkan padamu Tuan Ramiro, jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan itu.” Skakmat. Dia menghentikan jari telunjuknya dan bisa kulihat badannya menegang dengan tatapan mengernyit kearah cangkir didepannya.    

“Sudah berapa kali kau melakukannya? Kau milikku, jadi itu hakku untuk memilih panggilan untukmu”  

 “Ehm.. satu kali. Kau gila, aku bukan barang .” Dia mengangkat kepalanya dan kemudian bersedekap menyamankan posisi duduknya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Bisa kulihat gurat meremehkan diwajahnya.  

 “Apa peduliku yang jelas kau milikku. Kau hanya melakukannya sekali, sedangkan aku sudah tidur dengan banyak wanita sebanyak aku mengganti pakaianku. Tapi kau berhasil membuatku terkejut dengan pernyataanmu, gadis ah kau sudah tidak gadis aku hampir saja melupakannya. Wanita berkerudung dan bertata krama sepertimu ternyata tak sebaik yang kukira. Tapi dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap melanjutkan pernikahan ini sayang. Jangan membantah dan dengarkan dengan baik. Sampai kapanpun KAU MILIKKU” Keringat dingin mengalir deras didahiku yang tertutup kerudung. Baru saja aku mengungkapkan hal yang paling buruk dalam hidupku dengan harapan dia bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi yang kudapatkan adalah sikap remehnya dan keputusannya untuk meneruskan pernikahan ini.    

“Ahh iya, ini undangan milikmu. Kau bisa mengundang siapa saja. Jika masih kurang, telfon saja aku. 2 hari lagi aku akan mengambilnya untuk diantarkan oleh asistenku.” Dia meletakkan kotak berisi undangan berhiaskan lukisan bunga itu diatas meja. Aku masih saja menundukkan kepalaku tanpa ingin menatapnya. Didalam kepalaku terus saja berputar-putar sebuah pertanyaan, apakah keputusan yang kupilih ini benar?    
“30 menit lagi aku ada meeting, kau mau kuantar pulang?”  

 “Aku bisa pulang sendiri. Aku harus pergi ke suatu tempat.” Setelah itu dia berdiri dan menatapku lama tanpa mengucapkan apapun. Sontak saja aku menengadahkan kepalaku dan menatapnya yang berdiri menjulang didepanku.    

“Tentu saja, suatu tempat... calon istriku yang misterius. Apakah kau tak ingin memberitau calon suamimu ini dimana suatu tempat itu sayang? Tapi biar ku tebak, pasti jawabannya tidak.” Iris matanya yang keabu-abuan itu menatapku dengan jenaka seakan aku sedang melakukan aksi komedi didepannya. Baru sekarang aku bisa menemukan makhluk secerewet ini dalam bentuk laki-laki. Inilah yang disebut laki-laki bermulut perempuan.  

 “Apakah kau gila atau bodoh? Kau membuat pertanyaan dan menjawab pertanyaan itu sendiri. Lebih baik kau segera pergi TUAN RAMIRO YANG SUPER SIBUK semua uang itu sudah menunggumu.”   

 “Hahaha, kau benar-benar bermulut tajam. Ya pasti aku akan segera pergi karena uang itu untukmu, tapi sebelumnya...” Ramiro menundukkan dirinya hingga kepalanya tepat berada disebelah kepalaku membuat wajahku berada dekat dengan lehernya. Aroma maskulin yang bersumber dari tubuhnya entah mengapa membuatku merasa nyaman. Namun dengan segera kuenyahkan perasaan aneh itu dan mencoba mundur untuk menghindar. Usahaku berbuah sia-sia, karena tangan kanannya menahan pinggangku dengan kuat untuk tetap berada didekatnya.

   “Lain kali jaga mulutmu agar tak mengucapkan kata-kata menyakitkan seperti itu. Karena aku semakin ingin menyumpalnya dengan bibirku. Menciummu mungkin akan menjadi hobiku..” Dia melenggang pergi setelah mengusap puncak kepalaku dengan tangan kanannya sambil tersenyum manis kepadaku. Punggung tegapnya mengalihkan duniaku yang sekarang seakan-akan terpusat padanya. Apakah aku bisa hidup dengannya? Sebuah pertanyaan baru muncul begitu saja diotakku.

          Setelah punggung tegap itu menghilang dibalik keramaian kota, aku segera memasukkan novel serta undangan tadi kedalam tasku dan pergi mengendarai motor matic kesayanganku. Tujuan selanjutnya adalah apartemen yang kutinggali bersama sahabatku. Untuk saat ini aku sangat membutuhkan ketenangan.    

         Setelah mengendarai motor selama 10 menit, akhirnya aku bisa memakirkannya dibasement dan segera  masuk kedalam lift yang akan membawaku ke lantai 5 dimana apartemenku berada. Apartement nomor 20 sesuai dengan tanggal lahirku itu yang selama ini sering kutinggali.

        Segera saja aku memasukkan kombinasi kode pembuka pintu, setelah pintu terbuka bisa kudengar suara musik salah satu boyband korea menyambutku. Didalam apartemen ini sepertinya sedang digelar konser tunggal oleh makhluk yang tengah berjoget-joget gila sambil memegang botol plastik sebagai michrophonenya, dia terlihat begitu mendalami perannya saat ini.  

“Assalamualaikum..”    

“Astaga.. waalaikumsalam. Sejak kapan kau disitu? Kau mengganggu konserku... dan aku merindukanmu.” Dengan wajah cemberut dia mendatangiku kemudian memelukku.

        Inilah yang kubutuhkan saat ini, sebuah pelukan hangat dari seseorang yang telah menemaniku selama 16 tahun. Adriana Carissa Prasetya, dengan nama panggilan Risa. Seorang gadis berumur 21 tahun yang sedang menamatkan kuliahnya dibidang fashion. Kami bersahabat sejak TK hingga sekarang memutuskan untuk tinggal bersama. Dia seseorang yang protektif dan keras kepala, tapi keras kepalanya itu tak berlaku untukku. Baginya aku adalah kakak yang paling mengerti dirinya hingga dia memutuskan untuk masuk ke SD, SMP, SMA dan Universitas yang sama denganku. Untungnya saja dia tak ikut-ikutan satu jurusan denganku, karena bisa dibilang dia tak begitu berbakat dibidang interior design.  

 “Aku juga merindukanmu..” Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Dia melepaskan pelukanku kemudian mendudukkan diri kami di sofa ruang tengah yang sangat nyaman. Sesaat setelah kami duduk, dia menatapku dengan penuh tanda tanya dan aku selalu tak ingin dipandang seperti itu. Ku letakkan kepalaku dipangkuannya dan menidurkan diriku sambil menutup mata dengan lengan kiri membiarkan tangan kananku berada diatas perutku.  

 “Bisakah kau tak menatapku seperti itu. Kau tau aku tak menyukainya An.” Ana mengelus puncak kepalaku yang tertutup kerudung dengan lembut. Bisa kudengar helaan nafas yang cukup panjang darinya.    

“Kau selalu seperti ini. Apa yang mengganggumu kali ini? Sejak kemarin kau membalas pesanku dengan dingin tak seperti biasanya. Kau bahkan batal pergi berbelanja untuk merayakan keberangkatanmu ke Paris. Sekarang kau terlihat sangat murung, wajahmu bahkan menua 20 tahun lebih cepat Nata. Katakan padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik dan tak akan memutusnya ditengah-tengah seperti biasanya, aku janji.”    Rasanya sangat menenangkan bisa mendapatkan sahabat ah bisa dibilang keluarga seperti Ana, nama panggilan khususku untuk sahabat cerewetku ini.

       Dia sudah hafal dengan sifatku, tapi aku selalu menyembunyikan banyak hal darinya. Aku selalu merasa bersalah saat dia sudah ingin mendengarkan ceritaku tapi aku memilih untuk menyembunyikannya.  

 “Aku akan menikah 6 hari lagi, kau harus datang ya. Untuk jadi bridesmaidku, kau bisa memakai kebaya rancangan kita kemarin.” Setelah aku berhasil mengucapkan kata-kata yang sedari tadi menyangkut ditenggorokanku, dia menarikku untuk duduk dan menatapnya.    

“Apa.. siapa yang menikah? Bukankah Kak Niken yang akan menikah dan kita yang menjadi bridesmaid? Bukankah kau akan pergi ke Paris untuk kuliah? Jangan bercanda Ta, ini sangatlah tidak lucu.” Aku tersenyum kecut menanggapinya. Andaikan saja ini memang lelucon yang biasanya ku lontarkan untuk menggodanya. Tapi ini kenyataan, kenyataan pahit yang menghancurkan mimpiku dalam satu kedipan mata.    

“Kak Niken pergi entah kemana dan aku menggatikannya untuk menikah 6 hari lagi. Paris dan kuliah, hancur sudah. Aku tak akan bisa pergi dan mewujudkannya.” Ana memelukku lagi kemudian menyembunyikan kepalanya diantara lekuakan bahu dan leherku yang membuatku agak geli. Tapi suara isakan itu membuatku enggan untuk melepas pelukan hangat darinya dan memilih untuk membalas pelukannya.

        Dia yang akan menangis menggantikanku saat aku hancur, karena entah mengapa aku sangat susah untuk menangis didepan orang lain walaupun orang itu keluargaku sendiri. Aku memiliki kenangan buruk tentang menangis dihadapan orang lain.    

“Kenapa kau harus mengalah lagi? Hiks..hiks.. seharusnya.. seharusnya kau.. egois untuk semua ini. Ini tentang.. masa depanmu Nata. Kau.. akan.. hiks.. menghabiskan sisa umurmu.. bersamanya. Tidak puaskah mereka.. merenggut semua keinginanmu.. duniamu.” Ya allah aku sangat berterima kasih kepadamu karena telah mengirmkan malaikat cantikmu ini untuk menemaniku. Aku terus mengelus punggungnya yang bergetar untuk menenangkannya.

   “Aku tak mengalah An, aku hanya berusaha membahagiakan dan melindungi orang tuaku. Mungkin ini semua rencana Allah dan aku memang ditakdirkan untuk menjalaninya. Rencana Allah lebih baik An, lebih indah dari segalanya. Lagi pula, calon suamiku orang yang baik. Dia sukses, baik, rajin dan pastinya bisa membahagiakanku. Selain itu, aku mencintainya. Dia cinta pertamaku. Kau ingatkan? Aku pernah menceritakannya padamu.”  

       Andaikan memang calon suamiku seperti itu, aku terpaksa membohongi Ana. Aku tak ingin membuatnya khawatir. Cukup aku saja yang menderita, tidak untuk orang yang kusayangi.  

          Setelah momen penuh tangis itu, aku memutuskan untuk tinggal diapartemen dan meneruskan pekerjaanku yang seharusnya selesai 1 bulan lagi. Sedangkan Ana, dia sedang sibuk dengan kuliahnya dan terpaksa membiarkanku sendirian di apartemen ini. Tapi setiap malam dia pasti akan pulang dan menghiburku dengan celotehannya tentang dosen tampan atau dosen menyebalkannya. Sudah 2 hari ini aku tak bisa memejamkan mataku untuk tidur baik malam maupun siang. Sepertinya insomniaku kambuh dan semakin parah. Kantung mata yang hitam menghiasi mataku dengan cantiknya. Mungkin sebentar lagi mata panda akan tersaingi dengan mataku.  

Ramiro POV  

        Sudah 2 hari berlalu sejak pertemuanku dengannya di cafe itu. Seperti janjiku, aku akan mengunjunginya untuk mengambil undangan sekaligus mengantarnya untuk menyewa baju pernikahan. Karena sebelumnya baju pengantin yang dipesan kakaknya tak berkerudung dan dia pasti akan menolaknya.

        Ku kendarai mobil BMW X6 hitam milikku memasuki perumahan asri ini. Ku hentikan mobilku tepat didepan sebuah rumah yang tampak sepi dengan pagar besi yang tinggi menjulang didepannya. Ku datangi security yang sedang berjaga di pos kecil dekat pagar. Dia menoleh padaku dan kemudian keluar dari posnya.  

 “Eh Den Rendra. tuan sama nyonya keluar kota Den, besok baru pulang.” Semua asisten rumah tangga dan security di rumah ini sudah mengenalku dengan baik. Karena aku calon keluarga dalam rumah ini sebagai menantu.  

 “Ah aku gak nyari papa sama mama Mang, aku nyari Rena. Dia di rumah?” Mang Ujang, security berumur 30 tahun ini terlihat sedikt mengerutkan keningnya dan kembali menatapku.    

“Ah Non Rena udah 3 hari Den gak pulang. Non Rena udah jarang pulang ke rumah mulai kuliah Den, tapi semua asisten rumah tangga sama saya juga gak tau Non Rena tinggal dimana. Cuma Tuan sama Nyonya yang tau. Katanya sih di apartemen deket kampusnya.”  

 “Oh ya udah aku pergi dulu mang.” Dia punya apartemen. Aku bergegegas mengendarai mobilku dengan kecepatan sedikit diatas standar melewati jalanan kota yang agak sepi karena ini masih pagi.

        Ku ambil handphoneku untuk mencari tau data Rena lewat asistenku. Tak sampai 10 menit nomor unit apartemen Rena beserta passwordnya telah sampai ditanganku. Uang memang bisa mengendalikan segalanya.    

        Perjalanan dari rumah hingga apartemen memang cukup jauh karena letak rumah Rena berada di kota yang berbeda dengan apartemennya. Rumah Rena berada didaerah yang bisa dibilang masih setengah kota dan setengah desa karena memang daerahnya masih agak penuh dengan lahan hijau. Sedangkan apartemen Rena berada tepat dipusat kota yang dekat dengan universitasnya. Perjalan ini hampir memakan waktu 30 menit. Mungkin alasan dia memilih untuk membeli apartemen karena jarak antara rumah dan universitasnya yang jauh dan setauku dia tak punya mobil. Dia menggunakan motor matic yang sudah ketinggalan jaman itu sebagai alat transportasinya, tapi apa peduliku.  

          Sesaat setelah aku sampai didepan pintu apartemennya, ku tekan bel di samping pintu itu dengan malas. Sesosok perempuan dengan rambut panjang agak kacau memakai kaos putih kebesaran dan celana jeans selutut muncul dari dalam apartemen.  

 “Loh Kak Rendra tau dari mana aku disini? Kak Andre nyuruh Kakak nyari aku?”      

“Kamu ngapain disini? Andre sibuk dan gak punya waktu buat nyariin adik durhaka kayak kamu Risa. Nata ada kan?”

        Aku berusaha masuk kedalam apartemen dengan sedikit mendorong makhluk menyebalkan itu. Setelah ini dia pasti akan mengeluarkan kekuatannya untuk menulikan telingaku. Untung saja dia adik sahabatku, jika tidak pasti dia sudah ku teleport ke kutub utara.  

         Kesan pertama yang kudapatkan saat mengamati apartemen ini adalah nyaman dan hangat. Memang apartemennya tidak begitu besar, hanya ada 2 kamar tidur, dapur rangkap dengan bar dan satu ruang keluarga dengan sofa besar sebagai tempat duduk. Warna hitam dan putih begitu mendominasi di apartemen ini.



         Sesosok manusia yang tengah terlelap disofa mengalihkan perhatianku. Seorang wanita dengan rambut hitam dengan panjang kira-kira 10cm dibawah bahu yang menutupi sebagian wajahnya itu tengah terlelap dengan damai. Wajahnya sangat cantik dan damai walaupun tanpa make up menghiasinya. Dia menggunakan celana training panjang warna biru yang diapadukan dengan kaos kebesaran berwarna putih. Dia Nata, aku tak pernah melihatnya tanpa kerudung dan saat ini dia terlihat sangat cantik. Pengamatanku terganggu karena tiba-tiba saja Risa menutupi wanita yang terlelap itu dengan selimut besar yang menutupi hampir seluruh tubuhnya kecuali wajah.  

 “Kakak tau ini tidak sopan. Ada apa kemari? Kenapa Kakak mencari Nata?” Suaranya berbisik sangat lirih sambil menarikku untuk pergi ke balkon demi tidak mengganggu kenyaman makhluk yang tertidur itu.  

 “Aku akan mengajak calon istriku melihat baju pengantin.” Bisa kulihat ekspresi datarnya berubah menjadi ekspresi terbodoh yang pernah kusaksikan.  

 “Jadi Kakak yang akan menikah dengan Nata. Tapi aku tak bisa membangunkan Nata, dia tidak tidur 2 hari ini dan baru tidur jam 5 pagi tadi. Badannya juga agak demam, mungkin nanti aku yang akan mengantarnya memilih baju pengantin.”  

“Terserah, aku juga tak ingin repot. Kau tau dimana dia menaruh undangan yang akan dia sebar? Aku hanya akan mengambil itu kemudian pergi.” Risa menunjuk pintu berwarna putih dengan stiker Happiness Delight berwarna hitam kemudian bergegas pergi menghampiri Nata untuk memeriksa suhu tubuhnya.    

“Astaga kau panas sekali Nat, aku akan pergi ke apotik sebentar untuk membeli obat.” Risa seakan melupakan keberadaanku yang sedang membuka pintu yang ia tunjuk tadi. Aku segera masuk kedalam ruangan itu yang ternyata adalah sebuah kamar tidur yang juga didominasi warna hitam dan putih.

        Karena mendengar pintu apartemen terbuka kemudian tertutup dengan agak keras aku segera keluar dari kamar itu setelah mengambil tumpukan undangan di sebuah meja kerja.    Risa pergi begitu saja tanpa khawatir aku berada didalam satu ruangan dengan sahabatnya. Apakah dia melupakan keberadaanku? Dasar teledor berbeda jauh dengan Kakaknya yang super teliti itu.

        Saat aku ingin membuka pintu apartemen, sebuah rintihan menghentikan langkahku. Rintihan bercampur dengan geraman yang berasal dari seseorang yang tertidur itu membuatku mengurungkan niatku untuk segera pergi. Aku berjalan menghampirinya dan kemudian berjongkok didepan wajahnya yang terlihat agak memerah walaupun sebagian tertutupi dengan rambutnya yang hitam. Ku singkirkan surai hitam itu dan sedikit menyentuh dahi penuh peluh itu yang memang terasa panas.    

“Hentikan.. Jangan menyentuhku.. Kumohon..” Dia bergumam dan mengerutkan dahinya. Apakah dia sedang mimpi buruk? Apa yang ada dalam mimpinya itu.  

        Dia terus saja menggumamkan kata-kata yang sama tanpa membuka matanya. Posisinya yang miring menghadapku berubah menjadi terlentang sambil mengayunkan tangannya dan menendangkan kakinya keudara didepannya seperti mencoba untuk melawan sesuatu. Dia mimpi buruk, dan mungkin akan lebih buruk lagi jika aku tak segera menghentikannya.  
 
         Aku segera menangkap tangannya dan mencoba menhentikannya. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Semakin aku menghentikannya, maka semakin kuat juga dia mencoba melawanku. Segera saja aku memeluknya dan pelukan ini membuat perlawanannya sia-sia, karena kedua tangannya yang  berada disamping tubuhnya kukunci dengan lenganku yang melingkar dari pinggang hingga punggungnya. Sesaat dia tampak kelelahan dan agak sedikit melunak.  

 “Lepaskan aku.. kumohon.. lepaskan aku..” Dia benar-benar mencoba lepas dari pelukanku. Matanya masih saja tertutup rapat. Tapi air mata terlihat menetes dari kedua matanya yang tertutup rapat itu. Apa yang dia mimpikan?    

“Aaaaaaaaaaa!! lepaskan aku! lepaskan aku!” Teriakannya seakan memekan telingaku. Dia semakin brutal mencoba melepaskan tubuhnya dariku. Teriakannya semakin lama semakin kencang dan membuatku semakin bingung harus melakukan apa. Aku mencoba untuk membangunkannya tapi sepertinya usahaku sia-sia. Karena dia semakin brutal dan berteriak lebih keras.    

“Hey bangunlah! Ini aku, Ramiro! Buka matamu Nata! Hey!”  

 “LEPASKAN AKU BRENGSEK! LEPASKAN AKU!” dia berhasil melepaskan tangannya dan memukulku dengan keras. Tapi pukulan itu seakan tak menimbulkan rasa sakit sedikit pun pada tubuhku. Yang kupikirkan saat ini adalah bagaimana cara membangunkannya dari mimpi sialannya itu.

       Jujur saja baru saat ini aku melihatnya sebegitu takut dan kacau seperti ini. Wajahnya yang datar dan biasanya hanya dihiasi dengan senyum kecil itu sekarang dipenuhi dengan ketakutan dan air mata. Entah mengapa hatiku merasakan sedikit rasa aneh yang membuatku seakan-akan berhenti untuk bernafas.

       Rasa itu hadir saat aku melihatnya dalam keadaan seperti ini, dan aku membenci perasaan ini. Aku tak boleh sedikit saja mengasihaninya. Ya, aku tak boleh mengasihaninya ataupun tertarik padanya. Tak akan pernah dan tak akan pernah bisa.

Continue Reading

You'll Also Like

Agandra By ArzD

Fanfiction

6.1K 564 9
Sampai kapanpun tamu tidak bisa menjadi tuan rumah. Anggap saja begitu dalam memperlakukan hati. Agatha berperan sebagai tamu sementara tuan rumahnya...
909K 85.3K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
44.7K 3K 26
Sequel (Si Om Cuek) *WAJIB FOLLOW DULU YA* Menjalin hubungan cinta dengan sang kakak yang memiliki perbedaan usia 17 tahun. Perbedaan umur yang sanga...
Kylena By Shaal

General Fiction

3.7M 134K 41
[COMPLETED] Bagaimana jika tiba-tiba kau diajak menikah oleh seseorang yang bahkan baru kau kenal? Bagaimana kehidupanmu selanjutnya? Bahagiakah, ata...