The Ex [Completed]

By rafixp

775K 65.2K 2.1K

"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak us... More

It's Over
Luna is....
Double Ex
Move On
Ask.fm
(Ir)replaceable
Once Upon A Day
Chemistry
Fall For Somebody Else
Holiday
Artara's 41th (1)
Artara's 41st (2)
Artara's 41st (3)
Sticky Notes
Love Will Find Its Way
There He Goes
One Step Closer
With You
Behind the Camera
Bike
Disaster
Flashlight
Here We Are
Firework
The More I Try to Stay, The More My Heart Bleed
Strange
A Piece of Cake
Against All Odds
Rollercoaster
The End?
How Are You?
It's not The End, It's The Ex
Extra Part
From The Very First
Fuschia
Can't Help Falling in Love
Between Us

Is it too late now to say sorry?

17.4K 1.5K 54
By rafixp


*

Pagi itu Luna duduk di bed sembari memfokuskan diri pada buku di pangkuannya. Malam ini dia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Otomatis, besok dia sudah bisa masuk sekolah dan mengikuti susulan UAS. Sesekali dia menguap membaca catatan Kimia Diandra yang sudah dibacanya berulang-ulang akan tetapi tidak menambah pemahamannya sama sekali.

"Kayanya gue salah masuk jurusan," ujarnya lalu meneguk susu hangat yang diletakkan di nakas.

"Hai!"

Luna tersentak, lalu cepat-cepat diletakkannya gelas susu kembali ke tempatnya.

"Astaghfirullah! Lo gila, ya, Yan?! Kalo gue keselek gimana?"

Adrian baru saja masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Untung saja sewaktu Adrian masuk tadi, Luna telah selesai meneguk susunya. Sementara itu, Adrian hanya meringis tanpa rasa bersalah.

"Nih, gue bawain makan--, wow," Adrian menghentikan kalimatnya. Ia menempelkan punggung tangan kanannya ke dahi Luna, membuat sang empunya menggeleng risih.

"Kemarin pas lo jatuh, cuma lutut lo kan yang luka? Kepala lo enggak?"

Luna mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian, ia memahami maksud tersirat Adrian.

"Lo kira gue semales apa? Gini-gini gue masih mikir belajar kali," tanggapnya.

Adrian tertawa kecil. "Kirain efek samping obatnya bikin lo 'sakit'."

"Tumben nggak sama Sasha? Biasanya lo kalo jengukin gue sama Sashaaa terus," cibir Luna.

Adrian mengedikkan bahu. "Tadi gue ngajakin, tapi katanya mau belajar. Bohong banget nggak? Dia kan bangunnya pas dzuhur kalo hari libur gini."

Luna mengangguk-angguk pelan mengiyakan. Entah kenapa ia agak risih mendengar Adrian membicarakan Sasha seolah-olah mereka begitu dekat. Meskipun kenyataannya memang demikian.

"Sendirian dong? Jomblo banget," ujar Luna sembari membuka kantong plastik yang Adrian bawa.

"Sama-sama." Sindir Adrian menyadari Luna sama sekali tidak berterima kasih padanya.

"Gue tanya sama siapa datengnya."

"Sama mama," jawab Adrian singkat.

"Terus, tante mana? Kok, nggak ikut masuk?"

Adrian terdiam sejenak. Ia melirik ke arah pintu, kemudian menatap Luna kembali. Senyum paksanya tersungging, meskipun Luna tidak menyadarinya.

"Lagi ngobrol sama nyokap lo."

*****

"Kenapa, sih, Mba? Itu sudah sangat lama bahkan mungkin mas Rama sudah melupakannya, kenap--"

"Disitulah posisi kalian," ujar Anastasia sambil tersenyum kecut. Matanya lurus-lurus menatap ke depan. Alih-alih menatap balik lawan bicaranya Ranti, ibu Adrian, ia justru menatap lantai putih yang sesekali diinjak oleh orang-orang yang lewat dihadapan mereka.

"Kamu nggak akan mengerti karena kamu nggak berada di posisi yang dikhianati. Dibohongi," lanjutnya.

Ranti bergeming. Matanya yang sedari tadi menatap Anastasia lambat laun beralih.

"Aku minta maaf, Mba. Untuk kesekian kalinya aku minta maaf," lirihnya.

Mereka sama-sama diam. Menyisakan langkah kaki orang-orang dihadapan mereka. Bernapas pelan-pelan merasakan bau khas rumah sakit sekaligus sesak yang mendera karena perasaan mereka yang tak kunjung membaik.

"Kalau kamu ingin minta maaf," Anastasia menoleh, "jauhkan Adrian dari Luna. Kali ini, aku yang memohon."

Ranti terkejut, bukan karena kalimat yang terlontar dari mulut Anastasia, tapi ketika wanita itu menoleh sambil mengucapkan kalimat itu, wajah keras dan dingin itu berubah. Matanya berkaca-kaca dan cairan bening menetes. Memilukan.

******

"Kakak calon dokter tapi malah nggak bisa ngerawat kamu, ngerawat adeknya sendir--"

Kalimat Zahira terpotong begitu saja oleh isakan tangisnya sendiri. Luna hanya menatap Kakaknya di layar ponsel sambil tersenyum menahan tawa.

"Raka aja yang kuliah di Australi bela-belain pulang. Masa kakak yang cuma di Jogja--"

Lagi, tangis itu meredam kalimatnya. Luna tidak bisa menahan tawanya lebih lama lagi.

"Kajah, gue ada Mama, Papa dan sahabat-sahabat gue di sini. Gue bahkan nggak perlu repot-repot buat ngupas kulit jeruk," ujar Luna sambil melirik Raka di sebelahnya.

"Nah itu makanya. Semua orang ada di situ, kamu separah apa, sih?"

"I'm good. Perfectly good. Nggak usah kepo lah. Kalo lo pengen tau kondisi gue, pulang. Buruan!"

Dengan kalimat bernada ancaman sekaligus candaan itu, Zahira mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia tundukkan ke meja putih di depannya. Senyumnya mengembang. Kemudian, ia melirik jam tangannya.

"Jam istitahatnya udah mau selesai. Pegang janji Kakak, akhir bulan ini kakak akan pulang. See you."

"Gue tunggu," Luna menutup video call itu dengan senyuman.

"Akhir bulan nanti mungkin justru gue yang bakal balik lagi ke Aussi," ujar Raka dengan mimik kecewa.

"Alhamdulillah."

Raka mengernyit, lalu memutar bola matanya kesal. Ia melemparkan jeruk yang telah dikupasnya.

Baru akan menyuapkan sepotong buahnya, ketukan pintu membuat Luna menoleh ke arah Raka, menyuruhnya membukakan pintu.

"Dokter Alia?"

Alia tersenyum dan mengangguk sopan pada Raka. Kemudian, ia mendekat ke arah Luna sambil mendorong kursi roda yang dibawanya.

*****

"Seneng nggak?"

Luna menghirup udara bebas. Ia menoleh sekilas ketika Alia menghentikan kursi rodanya, kemudian ia sendiri duduk di salah satu bangku taman. Rambutnya diikat tinggi menyisakan helaian-helaian pendek yang menangkup pipi dokter muda itu.

"Gimana, ya," Luna tampak berpikir sejenak. "Lebih ke lega, sih, Dok. Seneng tuh kalo...." Luna mengedik pada kakinya yang masih belum bisa berjalan.

Meski terdengar sedih, namun mimik wajahnya tampak tersenyum samar sehingga Alia pun tersenyum lega.

"Dokter dengar kamu suka nari, ya?"

"Cheerleading," ralat Luna.

"Aku suka cheerleading, dari situ, barulah aku jadi suka nari," jelas Luna. Ia menoleh, ingin mengetahui ekspresi Alia. Ternyata Dokter itu ingin tahu lebih lanjut tentang cerita Luna.

"Aku nggak pinter di kelas, mungkin setengah ke bawah kali, ya," lanjut Luna sambil terkekeh. "Karena itu, aku gabung cheerleading. Aku pikir kalo aku nggak bisa seneng-seneng di masa SMA dengan jadi anak pinter dan selalu dapet nilai bagus, kenapa nggak jadi anak yang bisa mengekspresikan apa yang aku punya?"

Alia mengangguk-angguk mengerti.

"Piano?" Sebutnya. Salah satu keyword inti dalam hidup Luna.

Luna menyunggingkan senyum. "Seberapa dekat Dokter Alia dengan Mama?"

Alia tidak menjawab. Ia hanya melemparkan senyum sambil mengarahkan matanya ke bawah. Menatap rumput kecil yang terselip di antara dua sepatunya.

"Aku nggak bisa jelasin apa-apa tentang piano. Aku bisa kapan aja datang ke piano. Nggak seperti cheerleading yang bisa aku datengin untuk seneng-seneng aja. Aku bisa datang pada piano saat aku seneng, sedih, kecewa, bahkan marah.

"Jadi, kalo sampe...." Luna meremas-remas fingergrip di tangannya. "Kalo sampe tanganku yang luka, aku nggak ngerti lagi, Dok. Nggak ngerti gimana caranya untuk tetap hidup. Untuk tetap bisa bernapas. Bayanginnya aja nggak bisa."

Alia tersenyum mendengar kekehan di akhir kalimat Luna. Meskipun ia mengerti ada banyak kekhawatiran sekaligus rasa syukur dalam suara Luna karena bukan jarinya yang cedera.

"Begitu, ya.... Ngomong-ngomong, Dokter Anastasia pernah bilang padaku, dia ingin putri-putrinya... melanjutkan pengabdiannya," ujar Alia tanpa basa-basi. "Bagaimana menurutmu?"

Luna mengangguk-angguk pelan. Ia menarik napas berat. "Aku juga mau, Dok, menjadi seperti Dokter Alia.

"Tapi sekarang, masalahnya bukan aku mau atau tidak, Dok. Aku bisa, atau tidak?"

Alia tidak lagi tersenyum mendengar kekehan di akhir kalimat Luna. Kekehan yang membawa segala keputus-asaan. Merasa tidak berhak menasihati Luna lebih jauh, Alia memilih diam. Ia kecewa ketika ia sama sekali tidak bisa memotivasi Luna. Seperti ketika Anastasia begitu memotivasinya dulu.

******

"Kak Luna udah pulang dari rumah sakit kemarin malem, Bang?" Tanya Revan ketika ia dan Juna tengah duduk-duduk di depan TV meskipun keduanya sama-sama mengabaikan tayangan TV dan malah sibuk dengab ponsel masing-masing.

"Hah? Serius? Oh, bagus, deh," tanggap Juna. Tangannya sibuk membuka aplikasi lain untuk menutupi bahwa dirinya diam-diam tengah membuka akun snapchat Sheila yang tengah berada di rumah Luna yang ramai oleh sahabat-sahabat dekatnya itu.

"Btw, lo tau darimana?"

"Nih, si Dinka update ask.fm. Bacot abis dia kaya yang paling deket sama Kak Luna aja."

Belum sempat Juna menanggapi, pintu depan terdengar terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam dengan menenteng beberapa plastik berisi belanjaan.

"Juna, kamu apa kabar studytour-nya? Kok belum minta uang buat bayar-bayar?"

"Waalaikumsalam," sindir Juna.

Ketika dilihatnya mamanya hanya meringis sambil mengucap salam dengan pelan, Juna berdeham.

"Kayanya Juna nggak ikut tournya, Ma."

Revan menepuk lengan Juna keras. Matanya melotot sambil mulutnya menggumamkan 'Serius lo, Bang?'. Sementara Juna hanya menanggapinya dengan melirik malas.

"Lho, kenapa? Ada masalah sama temen, ya?"

"Bukan gitu, Ma.... Aku males aja. Jauh."

Revan menepuknya sekali lagi. "Terus oleh-oleh gue gimana, Bang?!" Kali ini Revan setengah berteriak dengan alis yang hampir bertaut dan kernyitan di dahinya.

Sementara itu, Juna hanya membalasnya dengan gerakan mulut, 'bodo amat', yang membuat Revan berdecak kesal.

"Ya udah. Toh, yang mau seneng-seneng kamu. Jadi, terserah kamu aja."

Senyum Juna mengembang. Sepersekian detik kemudian, raut wajahnya berubah serius. Sekilas tampak ragu, kemudian berangsur yakin.

"Tapi, boleh nggak, Ma, Juna minta setengah uangnya buat traveling sendiri?"

*****


Haiiii!
Maaf yaa baru bisa update sekarang karena kemarin kemarin tuh sibuk dan sekalinya gabut rasanya mager bgt pgnnya tiduran doanggg.
Btw aku kn udh gaapdet sekitar 4 bulanan ya jd mohon dimaklumi klo ada bagian yg mungkin beda. Yg salah nama lah, atau yang alurnya kurang pas sama part kemarin. At least aku udah reread 2-3 part sebelum ini dan semoga alurnya tertata =]

Makasih ya buat yang masih nunggu, mau baca, nagih, komen, segala macem. I really appreciate it❤

Nggak janji kapan lg bisa update yaa. Oh ya buat yang sedang berpuasa, selamat berpuasa dan semoga berkah puasanya!

Love you xoxo

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 962 26
Sejak menjadi murid di SMA Sarasvati, Kalani sudah mengagumi Baskara, kakak kelas satu tingkat di atasnya. Rasa kagumnya bertambah bahkan berubah men...
786K 53.4K 57
Tidak ada yang tahu jika gadis biasa seperti Guinina Larasati adalah istri dari seorang Menteri Pertahanan negara ini. C'mon apa sih hebatnya Guin? N...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.1M 66.8K 33
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
366K 29.9K 38
Faula, atau biasa di panggil Fau adalah seorang asisten dari Hilmi, artis yang sedang naik daun. Hilmi banyak di eluh-eluhkan orang karena kemampuann...