ST [4] - Tibby's Journal

بواسطة wulanfadi

1M 73.7K 3.1K

Disclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) ... المزيد

Prolog
Journal - 1
Journal - 2
Journal - 3
Journal - 4
Journal - 6
Journal - 7
Journal : (8) Baru Dimulai
Journal - 9
Journal - 10
Journal - 11
Journal - 12
Journal - 13
Journal - 14
Journal - 15
Journal - 16
Epilog

Journal - 5

57.3K 4K 266
بواسطة wulanfadi

  “Jadi gitu?” sahut Landon akhirnya.

Aku menghela nafas lega. Melirik Rico yang tengah menyesap jus apel buatanku. Tadi mereka berempat memberondongi kami pertanyaan seperti ‘kok kalian kenal?’ atau ‘lo kenal Babu ini?’ yang lebih parah, ‘mungut di mana lo, Co, sampe bisa nemu yang antik kayak gitu?’ (ya, berempat, termasuk Hillary. Mungkin gen kepo mereka berlebih)

  “Iya, gitu. Udah ‘kan? Udah puas pasti. Oke, gue pulang dulu. Capek banget dengerin kalian ngoceh,” cerocosku sambil mengambil tas gendong.

  Tapi sebelum aku bisa mengiranya, seseorang menarik tanganku. Rico. “Gue yang anterin?”

Dengan mata hazel lembutnya, wajah imut, dan rambut model spike, siapa yang bisa melupakan spesies ini? Meskipun dia dulu menjadikanku taruhan, dia bukan cowok beringasan atau … apa ya. Maksudku, dia selalu ngomong seperlunya. Seperti robot. Dia manis, tentu saja (mana aku mau dulu berpacaran dengannya jika tiap hari dibuat kesal). Rico selalu memenuhi kebutuhanku. Tapi saat dia ke rumah ‘mungil’ keluargaku, waktu itu juga aku tahu ternyata hanya dijadikan bahan taruhan.

Aku langsung memutuskannya. Semudah itu. Secepat itu. Meski malamnya aku terus menangis, tapi besok, aku menjadi Tibby yang dulu.

Itulah aku, cewek yang didalemnya lemah, diluarnya kuat. Tipe orang yang gak suka ada yang melangkahi teritorialnya.

Stop melankolis ini. Aku harus menjawab pertanyaan spesies di depanku atau tidak sama sekali.

  “Gue bisa kok pulang sendiri,” kataku sambil melepas tangannya cepat-cepat.

Demi seluruh pantat lenggak-lenggok Bu Hilda, aku tidak pernah segugup ini di hadapan Rico!

  “Tapi udah malem, Tibs. Gue anterin ya?” tawarnya lagi.

  “Udah sana, mau dianterin juga. Malah ngeyel,” sahut Kurt tiba-tiba, mendorong punggungku menuju pintu keluar bersama Rico, “ati-ati, ya.”

Dengan kekesalan terpendam (aku bersumpah akan membunuh Kurt besok), aku membuka pintu mobil Rico. Gerakanku terhenti ketika Landon keluar dari mansion dan menghampiriku.

  “Begs, lo lupa ini,” katanya sambil menyorongkan buku jurnal obralan 80% milikku.

Omaigad, kenapa ada di tangan orang laknat ini?

  “Ma-ka-sih,” aku mengambil buku jurnal itu kasar, “lain kali gak usah diingetin. Buang aja bukunya. Oke?”

Landon hanya mengangkat kedua bahunya, lalu masuk ke dalam mansion dengan wajah tanpa ekspresi.

  “Kakak gue, jangan ambil hati,” seru seseorang tiba-tiba, siapa lagi kalau bukan Rico. Tidak mungkin sosok ‘itu’ yang bersuara selembut miliknya. Kadang aku berpikir sebenarnya Rico dan aku jenis kelaminnya tertukar.

Rico seorang cewek.

Dan aku sebenarnya cowok.

  Mengkhayal lagi, Tibs? “Gue udah biasa digituin,” kataku, tak perduli Rico sekarang bertindak gentle dengan membuka pintu mobil untukku. Aku menatap mata hazel itu datar, “pas SMP juga. Sama aja. Mau di mana juga gue selalu dihina.”

  “Tibs …”

  “Udahlah, Co. Enough is enough. Kali ini aja gue mau ngobrol sama lo. Besok? Lusa? Gak ada. Udah gak ada kita. Dari dulu juga gitu,” aku tersenyum sinis, masuk ke dalam mobil tanpa berbicara apa-apa lagi.

Ya, my own fairytale … is over.

Gak ada Rico di pikiran Gue.

Gak ada Gue di pikiran Rico.

Gak ada kita.

*

  “Cantik.”

Baru saja pagi ini kakiku melangkah di lantai marmer milik keluarga Hamardean, ketika Kurt bersandar di kusen pintu. Mengaduk cangkir berisi cokelat panas sambil menyeringai. Sangat ketahuan dari tampangnya, orang ini leader dari segala leader di dunia player.

Berbahaya. Jangan sampai terjatuh. Misalkan aku tidak menepis pesonanya, mungkin aku akan berakhir menjadi kupu-kupu malang lainnya yang tidak berarti bagi Kurt.

Well, jadi, hati-hati.

  “Cot,” aku melewati Kurt dan berjalan cepat-cepat, sesekali melirik peta rumah ini yang ada di tangan kiriku.

Lucunya, aku tidak pernah hafal jalan di mansion sesat ini. Kadang, aku bingung. Buat apa punya rumah segede monas tapi yang tinggal hanya empat cowok ABG dan satu perempuan ngocol maniak permen? Maksudku, ya ampun, lebih baik mansion ini dijadikan tempat panti asuhan. Atau rumah sakit. Atau panti jompo. Atau … terserah.

Rumah seharusnya tidak perlu besar-besar, yang penting nyaman dan hangat. Dan aku tidak menemukan kehangatan apa-apa di mansion ini. Meski dalam kasusku, aku ingin rumahku sedikit diperbesar.

  “Kok baru muncul, sih, lo?” semprot Landon langsung ketika aku sampai di ruang makan.

Di sana sudah berkumpul semua anggota keluarga, ditambah Kurt yang ternyata mengekoriku dan duduk di tempatnya.

  “Lo kira sekarang jam berapa, heh?” aku menggerutu sesaat ketika mereka semua terdiam, “masih jam lima. Lo semua bangun jam berapa, sih?”

  “Kata Lance, kita harus bangun jam empat biar segar,” Hillary menyahut sambil mengemut permen yupi yang kemarin kukasih.

  Aku langsung melihat Lance dengan mata malas, “rajin.” Yang dibalas cengiran lucu miliknya.

Ya, ampun! Pernahkan aku bilang kegantengan cowok meningkat saat bangun tidur?

  “Iya, lo juga rajin, Tibs. Jam segini udah dateng ke rumah.”

Hening.

Oke, bagi kalian yang tidak tahu, seseorang yang membuat kecanggungan ini ke permukaan bukan Lance. Tapi, si Laknat Rico. Aku tidak menggubris apa-apa, hanya melewati mereka. Kudengar Kurt berbisik seperti; ‘makanya, cewek susah buat dapet kepercayaan kalo udah dimaenin. Seenaknya aja sih, lo.’

Sial.

Aku memasak beberapa makanan yang beda dari kemarin. Ini hasil latihan Mama tengah malam kemarin. Aku beralasan ada tugas kelompok dan harus membawa makanan sendiri-sendiri. Jadi, aku meminta bantuan beliau.

Sampai sekarang, Mama dan Papa tidak tahu pekerjaan sambilanku. Hebat.

  “Abis ini, lo sekolah ‘kan?” tanya Kurt ketika makanan sudah kusajikan di atas meja.

  “Iya, kenapa?”

  “Mau bareng?” tawarnya lagi santai.

Pikiran para Head dan Sidekick gila melemparku ke Kali Ciliwung jika melihat kami berangkat bareng cukup untuk membuatku berkata, “ogah.”

  “Ayolah. Ngirit ongkos.”

  “Ogah is Ogah. Gue gak mau dicakar fans lo. Harga diri gue terlalu tinggi buat diremukin massa.” Hillary bergumam ‘lebay,’ begitu mendengar nada dramatis yang keluar dari mulutku.

Ini anak …

  “Kamu sekolah juga? Kelas berapa?” tanyaku sambil tersenyum lembut pada Hillary.

Seperti yang kuduga, tidak mempan sama sekali. Kurasa tidak ada yang namanya ‘pesona’ dalam diriku. Maksudku, ayolah, nenek-nenek juga tahu kalau aku bukan tipe mempesona seperti kelima orang gila ini.

  “Iyalah aku sekolah, emangnya kamu.”

Tuh ‘kan? Nyesek.

  “Hill emang gitu, jangan diambil hati,” Lance lagi-lagi menengahi pertengkaran kami, dia bertepuk tangan dua kali,  “udah kita sarapan aja dulu, yuk. Ayo, Tibs, ikut makan.” Katanya lagi sambil menepuk tempat duduk di sebelah yang masih kosong.

Aku langsung tersentak. Menatap mereka aneh, aku malah mengangkat bahu bukannya duduk di sebelah Lance.

  “Gue … udah makan.”

  “Lo makan sebelum jam lima?” sambar Landon di sela dentingan sendok yang menari, “rajin.”

Dia membalas kata-kataku. Dasar iblis …

  “Karena gue jadi koki kalian, gue perlu lebih ‘rajin’ dari biasanya,” kataku sinis sambil masuk ke dalam dapur lagi.

Sial, perutku akan konser selama jam makan siang.

*

Aku tidak tahu kenapa keberuntunganku pergi setelah aku pindah ke NB dan malah kesialan menimpaku berkali-kali. Dari pagi hingga siang perutku selalu menyebarkan gunturnya. Diperburuk oleh Bu Hilda yang ternyata tak sengaja mendengar dan menceletuk.

  ‘Sepertinya ada yang mengadakan konser tunggal di kelas ini?’

Parahnya lagi, semua orang yang tadi tidak terlalu perduli dengan gerungan perutku mulai tertawa.

  Ditambah suara Tiffany di kepalaku, ‘kau terlalu miskin sehingga tidak bisa membeli makan, ya?’

Menyebalkan, keluhku sambil mempercepat laju lari. Melewati para cowok-cowok atlit dari kelas sebelah dan para cewek ganjen yang hanya bisa memakai pom-pom mereka. Untuk urusan lari, aku orang yang paling nomor satu. Lihat wajah pongo cowok-cowok itu, benar-benar menggelikan.

  “Itu PS dari kelas 11-A ‘kan? Jir, cepet banget larinya.”

  “Eh woy! Orang yang tadi ngadain konser perut larinya kenceng banget.”

  “Bukannya Tibby belom makan? Kok bisa kuat gitu … makan siang kan masih lama.”

  “Tibby siapa?”

  “Gila, malu gue jadi cowok. Ada juga yang lebih cepet larinya. Ya, gak?”

  “Iya banget, jir. Kita harus berguru ke dia.”

  “Heiii! Kenapa gue dicuekkin? Tibby siapa?”

  “PS elah! Kudet lu.”

Persetan dengan suara-suara dan lingkaran laknat ini, aku hanya ingin; LARI!

Aku ingin lari dari kenyataan. Rasanya, dengan melakukan ini aku bisa menggenggam dunia. Membiarkan kedua kakiku berpijak kuat sementara pikiranku melayang-layang. Lalu, rasa sakit ini perlahan menghilang. Bisa kuluruhkan kepedihan saat semuanya berjalan cepat.

Aku benci hidupku.

Aku benci semuanya.

Aku benci kenyataan kalau sekarang aku curcol.

  “Tibby!”

Kepalaku berkunang-kunang, semuanya terasa samar. Langkah kakiku melemah. Semua orang menyebalkan langsung terlihat kabur. Tak banyak yang kuingat saat semuanya menggelap selain genggaman hangat seseorang.

Baguslah kalau aku mati.

Tapi, siapa orang yang menggenggam tanganku?

*

  “Lo udah bangun?” tanya seseorang ketika mataku mulai terbuka.

Aku mengernyit sesaat ketika cahaya lampu di langit-langit ruangan ini menusuk retinaku. Kutolehkan kepalaku ke samping. Sial, rasanya ada yang salah dengan sistem kerja otakku. Ah, ya, mataku juga ikut berperan.

Maksudku, sangat tidak mungkin seseorang bernama Raga ada di sampingku sekarang.

Di sini, di tempat yang baru kukenal bernama UKS. Gila, mimpi aja enggak.

  “Tibs?”

  “Hah? Kenapa?” aku tersentak, mengusap leher belakangku kikuk. “Kok lo di sini, Ga?”

  “Tadi lo jatoh, masa gak inget.”

  “Gue lupa.”

  “Lo tadi pagi belom makan ya sampe bisa jatoh pingsan gitu? Anak-anak pada kaget tau. Mereka ngira lo tiba-tiba mati,” kata Raga ringan sambil menuang air ke dalam gelas.

  “Mati kedengerannya bagus,” kataku pelan.

  “Hah? Apa?” tanya Raga cepat.

  Aku meliriknya sekilas, cepat-cepat membuang muka. “Gak-gak-gak apa-apa.”

Ini bukan aku. Sial. Aku tidak mungkin gugup karena ada seorang cowok di radius kurang dari satu meter. Astaga, kembalikan ‘aku’ yang dulu!

Untungnya, Raga tidak membahas lebih lanjut. Dia malah menyorongkan gelas berisi air mineral dan mengamati wajahku. Diperhatikan seperti itu, aku hanya bisa melihat poster Empat Sehat Lima Sempurna dengan pandangan tertarik. Padahal nyatanya, aku tidak akan suka pada hal membosankan seperti itu.

  “Mata lo cokelat,” sahut Raga tiba-tiba, mengisi kekosongan yang canggung di ruangan ini.

  “Oh,” kataku salah tingkah, menaruh gelas di atas nakas dan menarik selimut lebih dekat.

Semakin canggung saja.

  “Kepala lo masih sakit?” tanya Raga.

  Aku langsung gelagapan (lagi), “enggak, udah … biasa aja.”

  “Cepet sembuh ya,” kata Raga sambil tersenyum.

Jir. Manis. Banget.

  “Makasih,” kataku kikuk.

  “Berhubung lo udah bangun, gue ke kelas lagi, ya? Apa lo juga mau ke kelas?” Tanya Raga yang siap-siap berdiri.

  Tanpa sadar aku langsung meloncat dari tempat tidur, “gue ikut a—“

  “Oups.”

  “Wah.”

  “Mika, jangan lihat! Kamu belum cukup umur.”

Tepat ketika sudah menapakkan kaki di lantai, kepalaku langsung berkunang-kunang dan hampir terpeleset. Andai saja Raga tidak melingkarkan lengannya di pinggangku, wajah unyuku ini siap-siap mencium lantai.

Tapi dia melakukannya. Lengannya benar-benar melingkar di pinggangku. Dan wangi jeruk dari tubuh Raga mulai menyeruak dalam hidung. Semuanya langsung terasa aneh. Sedetik kemudian pintu UKS terbuka dan wajah-wajah penghancur suasana menyembul.

  “Padahal kita ke sini pengen jenguk Tibby,” kata Tiffany kelewat datar, “tapi kayaknya mereka lagi asik.”

SIALAN.

  Cepat-cepat Raga melepaskan rengkuhannya, otomatis aku tersungkur ke lantai. Ini double sial. “Eh? Sori, Tibs. Refleks.”

  “Gak apa-apa,” aku menyambut tangan Raga yang terulur dan mencoba berdiri. Mataku menatap sinis mereka bertujuh, “sialan lo semua.”

  “Wiii ngeri,” kata Carmen, terbahak, dan mereka langsung kabur dari UKS tanpa mendengar balasanku lagi.

Kalau bisa, aku ingin memasukkan mereka semua ke kuali besar berisi air mendidih.

  “Mereka temen-temen lo?” tanya Raga ketika kondisi sudah aman dan terkendali.

Bahasa gue apaan banget sumpah.

  “Iya, emang kenapa?”

  “Seneng, ya, punya temen perhatian,” kata Raga, sekarang pandangannya menerawang.

  “Maksud lo?”

  Dia tersentak sedikit, menatapku sekilas sebelum menjawab pelan, “gak apa-apa.”

Ada pemandangan janggal ketika Raga tengah menatap pintu UKS yang masih terbuka. Seolah dia berharap ketujuh temanku berada di sana. Menyapa kami dengan kekonyolan mereka. Bermaksud menjengukku dan malah membuat kacau suasana.

Atau, dia berharap seperti itu. Tapi pelakunya bukan temanku.

Tapi, temannya.

*

  “Hillary, jangan nulis sambil makan,” sahut Lance tegas ketika melihat Hillary tengah menulis sesuatu di bukunya, tidak memperdulikan masakan yang kubuat.

  “HILLARY!”

  “Lance! Bisakah kau diam?! Aku sedang kebingungan dan kau membentakku!” Balas Hillary lebih keras, dia berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke lantai atas dengan langkah menghentak.

Dan dia meninggalkan buku tadi di meja. Seperti berharap ada yang membacanya. Karena keempat cowok yang paling tidak berperasaan ini malah sibuk dengan makan malamnya, aku mengambil buku tulis itu. Sedetik aku mengira Hillary hanya menulis sesuatu yang anak empat tahun lainnya lakukan. Atau menulis alphabet dari A sampai Z. Tapi perkiraanku salah ketika menatap deretan tulisan rapi Hillary (bahkan tulisannya lebih bagus daripada milikku, hm).

  “Kenangan Bersama Bunda?” dikteku tanpa sadar, “kolom PRnya kosong, hm.”

  Yang tidak kukira, keempat cowok itu langsung menatapku serentak.

  “Maksud lo?” tanya Lance tampak was-was.

  Aku membalikkan buku tulis Hillary agar mereka bisa melihatnya, “Kenangan Bersama Bunda, judulnya begitu. PR Hillary. Dia sudah TK, ya?”

  “Gue baru tahu dia udah TK,” sahut mereka serempak.

Dasar, cowok-cowok kurang ajar.

  “Terserah lo pada deh, gue mau nengok Hill dulu,” kataku sambil memberengut.

Mereka hanya mengangkat bahu dan melanjutkan aktivitas masing-masing.

Dari pertama aku menginjakkan kaki di sini, sudah banyak keanehan yang terjadi. Rumah ini terlalu banyak pelayannya. Hanya ada lima orang keluarga. Kaku dan tidak pernah terasa hangat. Banyak sosok ‘itu’.

Dan terpenting, tidak ada orangtua.

  “Hill?” aku mengetuk pintu kamar bermotif bunga-bunga merah dan pink lucu. Karena sama sekali tidak ada jawaban, aku membuka pintunya. Jantungku langsung mencelus melihat Hillary sedang melukis sesuatu (dan percayalah, lukisannya lebih bagus daripada gambar abstrakku). Tapi bukan masalah itu yang kupikirkan, melainkan lukisan yang ia buat.

Lukisan keluarga. Lengkap. Ada ayah. Ibu. Hillary dan keempat kakaknya.

  “Aku tidak menyuruhmu ke sini!” Bentak Hillary kacau sambil menyembunyikan lukisan itu di bawah tempat tidur, persis seperti Harry Potter yang menaruh perkamen dan tinta hitamnya.

  “Oke, kau memang tidak menyuruhku, aku hanya ingin kau ke bawah dan makan bersama kakak-kakakmu,” kataku tegas sambil mendekatinya.

  Dia terduduk tegak di pinggir tempat tidur, sementara aku di hadapannya, berjongkok. Menatap mata hazel yang sekarang hanya memalingkan wajahnya dariku.

  “Kamu kangen mereka?” tanyaku, berusaha sebisa mungkin tidak terlihat kepo.

Aduh, ya, ampun! Aku benar-benar kepo!

  “Siapa? Siapa rindu siapa?” nada sinis dari pertanyaan Hillary cukup membuatku paham sesuatu.

Anak ini tidak pernah bertemu orang yang melahirkannya, atau terlindungi oleh sosok paling tegar sedunia. Maksudku, aku tak mencoba lebay, tapi serius. Bocah ini benar-benar … apa, ya, kata yang cocok.

Kurang kasih sayang.

  “Tibby, kenapa kamu mau menjadi koki di sini?” tanya Hillary tiba-tiba.

Pikiranku langsung membuyar jadi serpihan-serpihan kata yang teringat di otakku. “Karena aku butuh uang.”

  “Apa kamu akan bahagia kalau kuberi uang?”

Aku terdiam.

  “Aku punya uang lebih dari satu milyar di tabungan. Kamu mau?”

Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab.

  “Uang itu tidak berguna untuk anak umur empat tahun sepertiku, kupikir kau bisa memakainya.”

Anak ini benar-benar …

  “Apa kalau aku memberi semua yang aku punya, Ayah dan Bunda bakal ada untukku? Lebih dari pekerjaan mereka?”

Aku masih mematung.

  “Jawab aku! Jawab! JAWAB! KAU PUNYA MULUT ‘KAN?! JAWAB PERTANYAANKU, BABU!”

  “Hillary,” aku membawanya ke dalam dekapanku, “tenang.”

  “Bisakah aku tenang jika semua orang tidak pernah ada untukku?! Aku tidak punya kenangan apa-apa dengan Bunda. Tidak pernah berada di atas gendongan Ayah seperti anak-anak sebayaku yang lain. Aku tidak punya siapa-siapa!”

  “Hillary, kau memilikiku. Tenanglah,” tanganku mulai mengusap punggung Hillary yang bergetar menahan isak tangisnya.

Ya, ampun, aku tidak pernah menyangka ada seorang bocah yang ternyata lebih menderita daripadaku. Ini kasus.

Dan ini awal di mana aku memutuskan untuk mengetahui lebih lanjut tentang kelima bersaudara ini.

Lance, Landon, Kurt, Rico dan Hillary Hamardean.

Kekepoanku meningkat, eh?

*

Kalian sebel ga sih kalo ada yang nyakitinsahabat kalian?

Emang bukan masalah gue sih, tapi, gue juga marah kalo ada yang ngehina karya temen gue. Oke, buat sebuah karya itu gak gampang. Jadi, hargain ya karya orang lain^^

Buat yang kepo sama wajahnya Hillary Hamardean, bisa dilihat di sebelah c:

Thankyou yang udah ngevote, comment dan follow gue di twitter! Love you, guys <3

Regards,

LolittleAvery

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Love Without Words بواسطة Dhey

قصص المراهقين

3.3M 204K 75
[COMPLETE, TELAH TERSEDIA DI GRAMEDIA] Seperti kisah romansa remaja pada umumnya, tentang remaja badung bernama Kevin Andreas yang hobi menjahili gur...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
10.6K 284 7
Sebuah rumah yg berada lumayan jauh dari lingkungan masyarakat yg sudah lama tdk ada penghuni atupun pemilik selama bertahun-tahun, Tiba-tiba seseora...
Somebody Else بواسطة Maharani

قصص المراهقين

265K 28.5K 30
#16 In Teen Fiction (17/12/2016)