Jatuh Cinta Diam-Diam

By tearssayang

5K 65 10

Menceritakan tentang orang yang jatuh cinta diam-diam. Singkatnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya men... More

Part 2

Part 1

3.1K 36 4
By tearssayang




Orang yang jatuh cinta diam-diam itu seperti bintang kecil yang berusaha bersinar di langit yang gelap. Dia ada, namun tidak terlihat.

***

Dua tahun lalu saat ospek kampus. Seorang mahasiswi baru kena hukuman oleh senior karena warna name tag yang dia kenakan tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, warna biru.

Kala itu, dia dihukum menyanyikan lagu. Dan dia memilih lagu Christina Perri – A Thousand Years untuk dinyanyikan di depan barisan mahasiswa baru yang mengikuti ospek. Tak kusangka gadis itu mempunyai suara yang lembut dan indah, selain dianugerahi wajah yang cantik.

Semua mata yang tadinya sibuk memperhatikan senior yang sedang memeriksa kelengkapan ospek merubah arah fokusnya. Mereka langsung terpaku kagum menatap cara gadis itu bernyanyi, seperti diva terkenal yang beraksi di atas panggung. Semua telinga tertawan untuk mendegnar suaranya secara sukarela. Mic-nya hanya kipas plastik yang bergambar wajah tokoh kartun Rapunzel yang sedang tersenyum, dan gaun yang dikenakannya hanyalah jaket almamater kampus berwarna abu-abu.

Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid
To fall
But watching you stand alone
All of my doubt
Suddenly goes away somehow

One step closer

Gadis itu bernyanyi, meresapinya, seakan-akan dia sedang berada di atas panggung megah.

Dia berhasil menyedot seluruh perhatian barisan mahasiswa, termasuk aku, yang siang itu duduk dan terlihat sangat kelelahan mengikuti serangkaian kegiatan formalitas mahasiswa baru.

I have died every day
waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more

Semua orang yang mendengar suaranya terdiam, terpukau. Menunggu gadis itu melanjutkan tiap kata yang menjadi lirik lagu yang dia nyanyikan.

And all along I believed
I would find you
Time has brought
Your heart to me
I have loved you for a
Thousand years
I'll love you for a
Thousand more

Sesaat selesai dia bernyanyi, hening menjeda cukup lama sebelum digantikan sorak sorai yang berkolaborasi dengan tepuk tangan dan seruan.

"Gila, suaranya bagus banget!"

"WOW! Nyanyi lagi dong!" celetuk salah satu mahasiswa berkepala botak dengan wajah antusias.

"Lagi, lagi, lagi!" Seru beberapa mahasiswa baru lainnya yang menginginkan lagi aksinya. Namun dia hanya membalasnya dengan senyum malu ke arah para mahasiswa itu. Bibir tipisnya terbuka sedikit dan menunjukkan dua gigi gingsulnya. Ah, manis sekali.

Senior cewek berwajah galak yang tadi menghukum gadis itu bernyanyi, menghampirinya dan berkata, "Nama kamu siapa?"

"Aira Triaswari, Kak," jawab gadis itu.

Ah, nama yang cantik, ucapku dalam hati.

"Aira jomblo nggak?" goda seorang senior cowok berwajah Arab yang berdiri tidak jauh dari senior perempuan yang menghukum Aira.

"Umm..., harus banget dijawab ya, Kak? Hehehe." tanya Aira kikuk.

Senior cowok itu cengengesan. "Iya dong, harus. Udah banyak yang nungguin jawaban kamu tuh," ucapnya sambil melemparkan pandangan ke arah senior-senior cowok lain yang berada tidak jauh darinya. Aira meliriknya sekilas, lalu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu.

"Dasar ganjen lo, Onta!" bentak si senior cewek. Mahasiswa baru yang mendengarnya sontak tertawa.

"Yeee, elo, Na. Yang ditanya siapa, yang ngomel siapa. Dasar jomlo baru. Sensitif," balas senior cowok itu, meledeknya. Suara tawa pun menggelegar di udara.

"Oke, Aira, kamu sekarang boleh duduk. Oh iya, yang tadi kakak cuma becanda. Suara kamu bagus tuh, mending pas mulai masuk kuliah nanti, kamu ikut UKM Padus aja, " saran senior cowok itu.

"Iya kak, makasih buat sarannya," jawab Aira lagi dengan senyum manisnya.

Setelah mengatakan kalimat itu, Aira berjalan menuju barisan kelompoknya diiringin dengan tatapan kagum dan penasaran para mahasiswa yang menyaksikannya. Bahkan, kulihat ada dua senior laki-laki yang sedang berbisik-bisik. Aku menduga mereka membicarakan Aira, dan akan mengajaknya berkenalan setelah acara ospek ini selesai.

Aku memperhatikan Aira yang terletak dua baris dari samping kanan barisanku. Meski terhalang dengan beberapa kepala mahasiswa lain yang sedang memperhatikan senior di depan, itu tak membuatku menyerah untuk melihatnya dari posisiku sekarang.

Gadis itu mempunyai rambut hitam yang panjang sesiku. Bentuk wajahnya oval dilengkapi hidung yang mancung, dan kulitnya putih bersih terawat. Aku baru benar-benar menyadari bahwa dia memiliki sepasang mata yang agak sipit dengan ekor mata yang meruncing. Sepertinya tanpa menggunakan eyeliner, sepasang mata miliknya itu tetap terlihat indah. Pipinya memiliki lesung di sebelah kanan, saat dia menghadirkan senyum. Sempurna.

Jantungku berdegup kencang saat tak sengaja dia menengok ke arahku. Mata kami beradu dalam hitungan beberapa detik. Dia tersenyum. Seakan ada kekuatan magis dari senyumnya, bibirku menghadirkan sebuah senyum dengan sendirinya.

Aku menyerah, Tuhan...

***

Aku melihat waktu di jam tangan Swiss pada lengan kiriku. Pukul setengah delapan pagi lewat. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah kelas dengan menaiki tangga ke lantai dua. Lorong gedung kampus yang kulewati sangat sepi. Hanya ada aku dan satu orang petugas kebersihan berbaju hijau yang sedang menyapu lorong itu.

Bodoh sekali, ini hari pertama aku masuk kuliah dan semalaman aku begadang menyaksikan pertandingan tim favoritku, Real madrid, melawan wilfburg, yang berakhir dengan kekalahan Real madrid. Ah, aku merelakan jam tidurku untuk sebuah hal yang sia-sia. Mungkin jika keluhanku terdengar oleh fans fanatik , mereka akan meledekku dengan sebutan 'karbitan', atau malah disuruh menggemari klub lain. Persetan lah.

Sambil berjalan ke arah kelas yang terletak tiga ruangan lagi, aku mengambil binder dari dalam tas gendong dengan sebelah tangan untuk melihat mata kuliah pada selembar kertas yang berisi jadwal kuliah satu semester yang kemarin sore aku print. Tiba-tiba...

DUG!

"Aduh!", ucapku spontan saat mendapati diriku jatuh terduduk di lantai. Keningku merasa menyut, secara reflek aku langsung mengusap keningku dan menyadari apa yang terjadi. Kepalaku membentur pintu. Tidak terlalu sakit memang, tetapi.... Eh? Aku menabrak pintu?

"EH! MAAF!" jerit seorang perempuan dari balik pintu dan melangkah keluar menghampiriku. EH, itu kan Aira? ucapku terkejut dalam hati saat melihatnya berdiri di hadapanku.

Dengan wajah bersalah, Aira berjongkok di sampingku. "Maaf ya, tadi gue buka pintu mau keluar kelas."

"I... Iya nggak apa-apa," balasku kikuk dan membuang muka. Sepertinya tanpa meminta maaf pun aku pasti memaafkannya. Wajahku merah padam seperti kepiting rebus. Sial. Aku tidak ingin terlihat konyol oleh Aira.

"Bagian mana yang sakit?" tanya Aira hati-hati dan memeriksa kepalaku. Dia memicingkan matanya. Lucu sekali wajahnya jika dia terlihat seperti itu.

"Nggak, nggak apa-apa kok, Aira."

"Loh, tau nama gue dari mana?" tanyanya heran.

Aku menggaruk-garuk rambut meskipun tidak terlihat gatal. "Kemarin kan lo nyebutin nama pas ditanya kakak senior. Yang pas selesai nyanyi itu."

Mendengar ucapanku, Aira langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan, dan kontras pipinya langsung merona merah. "Oh iyaaaa, berarti lo juga maba yah?"

"I.., iya," jawabku kembali dengan kikuk.

"Oke, maaf ya. Duh, maaf lagi gue harus buru-buru fotokopi materi kuliah karena sebentar lagi kelas gue dimulai. Maaf banget ya, next time mungkin kita bisa ngobrol lagi," ucap Aira tergesa-gesa dan kemudian berlari ke arah tangga. Aku memperhatikan setiap langkahnya hingga sosoknya menghilang.

Ah sial, aku belum sempat berkenalan dengannya.

***

Seminggu telah berlalu semenjak kejadian itu, dan aku belum melihat Aira lagi. Beberapa teman di kelas sempat membicarakan Aira. Reyhan, salah satu teman baruku, malah terang-terangan bilang bahwa dia menyukai Aira. Mengetahui hal itu, aku, Ryan, dan Zaky terus meledekinya.

"Yakin lo suka sama Aira, Rey?" tanya Zaky sambil menoyor kepala Reyhan. Kelihatannya mereka sudah akrab.

Reyhan cengengesan dan berkata, "Iya, kalo bahasa lebainya mah jatuh cinta pada pandangan petama."

Zaky dan Ryan memandang jijik ke arah Reyhan. "Lo percaya sama hal gituan? Dih...", ledek Ryan.

"Percaya. Lo pada kan nggak tau isi hati gue kayak gimana. Aira tuh indah bagaikan bulan di langit malam, dan bikin hati gue tertawan," kata Reyhan puitis. Aku, Ryan, dan Zaky tertawa mendengar ucapannya. Teman-teman baru lainnya yang sedari tadi memperhatikan hanya memandang aneh ke arah Reyhan.

Aku sedikit tersentil dengan ucapan Reyhan yang seperti orang yang mendadak jadi pujangga karena jatuh cinta. Aku pun merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Reyhan, bedanya, aku tidak berlebihan seperti itu. Saat jatuh cinta, semua terasa indah seperti kuncup bunga yang mekar. Semangat hidup juga meningkat drastis, dan rasa senang yang segar menjalar di hati.

Meski aku sangat tau, tidak semua jatuh cinta berakhir manis.

***

Tidak butuh waktu lama untuk seorang gadis cantik seperti Aira berstatus single. Ah, menurutku, istilah jomlo tidak elegan bila Aira yang menyandangnya. Oh iya, tiga bulan telah berlalu, dan aku mendengar kabar bahwa dia sekarang telah mempunyai pacar.

Pacarnya adalah salah satu kakak senior saat ospek dulu. Namanya Firza, dia ketua UKM basket fakultas kami. Cowok itu sangat populer seantero fakultas ekonomi. Jelas, sebagia anak basket, dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis. Aku melihat semua itu saat demo UKM saat ospek. Wajah maskulinnya membuat para cewek rela mempercantik diri demi mendapat perhatiannya. Meskipun mereka semua tau itu semua sia-sia, karena perhatiannya kini tercurah hanya untuk seseorang. Ya, orang itu adalah Aira.

Sejujurnya, aku merasa cukup kecewa saat mendengar kabar itu dari Reyhan. Ternyata dia benar-benar niat untuk mencari informasi tentang Aira.

Oh iya, aku belum bercerita bahwa Aira satu fakultas denganku, hanya berbeda kelas saja. Aku di EA05, Aira di EA11. Aku cukup menyesalkan letak kelas kami yang berjauhan sehingga jadwal kuliah kami pun terlongkap jauh. Tetapi, saat hari Kamis dan Sabtu, kami mengikuti kuliah lab di kampus sehingga kelas kami satu jadwal. Saat-saat itulah yang membuatku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melihatnya, tanpa harus berbicara atau menyentuhnya.

Bukan, bukan aku takut untuk melakukan dua hal itu. Aku terlalu sadar diri melihat siapa diriku. Pernah suatu kali kami tidak sengaja berpapasan saat mengantri untuk memasuki lab, dan dia hanya melihatku sekilas tanpa benar-benar mengenaliku, sebagai seseorang yang pernah dibuatnya menabrak pintu. Jika saja waktu dapat terulang lagi, aku ingin sekali kejadian itu terulang meski yang kutabrak adalah pintu gerbang kampus yang terbuat dari besi baja.

"Hoi, Demas. Ngelamun aja lu!" Suara Zaky tiba-tiba mengagetkanku yang sedang melihat Aira dari kejauhan di kantin kampus yang suasananya sedang sangat ramai.

"Ngeliatin siapa sih?" tanya Zaky sambil celingukan melihat ke arah sekitar dan duduk di sampingku. Sepertinya dia mengetahui bahwa aku sedang melihat seseorang.

Aku membetulkan posisi kepalaku yang sedang ditopang dagu. "Enggak, gue lagi mikirin tugas akuntansi dasar."

Zaky memandang kagum ke arahku. "Gaya lo segala mikirin tugas. Eh, nanti malam ke kosan Reyhan yuk. Tuh anak lagi banyak makanan, nyokapnya kemarin ke sini," ajaknya dengan mata berbinar.

"Perut mulu yang diurusin, otak lo tuh diisi biar nggak kosong-kosong amat," ledekku. Zaky tersenyum masam mendengarnya. "Yeee, kalo perut kosong kan otak gak jalan." Oke, alasan yang cukup masuk akal.

Sepertinya untuk seorang Zaky, sudah menjadi insting mempertahankan hidup jika melihat sepiring siomay milikyang masih utuh terletak di meja.

"Ini makanan lo, Mas? Gue sikat ya? Hehehe." Zaky menatap penuh harap.

"Iya, sikat deh. Gue juga mendadak nggak laper gara-gara elo datang ke sini," jawabku sekenanya agar Zaky tidak lagi mengajukan rentetan pertanyaan lain.

Sebenarnya perutku keroncongan, namun rasa lapar itu menguap begitu saja saat melihat Aira duduk di meja lain yang terletak sekitar dua puluh meter dari mejaku. Dia sedang makan bersama teman segengnya. Tidak satu pun dari tujuh teman Aira yang satu meja dengannya ada yang kukenal. Mungkin, jika aku mengenal salah satunya, bisa saja aku meminta tolong untuk membantuku dekat dengan Aira. Tetapi jika hal itu memang terjadi, aku tidak akan melakukannya. Biarlah, Aira sudah bahagia bersama Firza. Aku tidak ingin mengganggunya.

Setelah Zaky menghabiskan siomay milikku dalam waktu kurang dari lima menit, dia mengajakku masuk. Sebelum benar-benar meninggalkan meja kantin, aku memalingkan wajahku ke arah meja Aira. Dia masih di sana dan bercengkrama dengan teman-temannya. Aku tersenyum tanpa sadar. Dan tiba-tiba entah dari mana asalnya, Aira menoleh ke arahku, dan aku langsung membuang muka sebelum gadis itu menangkap basah aku yang sedang melihatnya.

***

Hari ini adalah tanggal 21 Mei, berarti sore nanti konser musik tahunan kampusku diselenggarakan lagi. Aku juga mendengar desas-desus bahwa Aira nanti akan bernyanyi di panggung pukul delapan malam. Aku memang sudah menebak Aira pasti mengisi panggung dengan suara indahnya. Apalagi teman-teman yang seangkatannya sudah pernah mendengar suara Aira saat ospek dulu.

Setelah menyelesaikan kelas Ekonomi Makro tepat pada pukul empat sore, aku mengabari Reyhan untuk nongkrong di kosnya. Sekadar membuang waktu menunggu malam tiba, daripada aku menghabiskannya di kampus. Bosan sekali rasanya jika menghabiskan waktu di lorong kelas atau di kantin dengan pemandangan orang yang berlalu lalang.

Sesampai di gerbang kos Reyhan yang terletak tidak jauh di belakang kampus, aku melihat motor Zaky, Ryan, dan Ghani sudah terparkir di depan pintu kamar Reyhan. Menurutku, kos tempat Reyhan tinggal ini cukup bagus. Dari pintu gerbang berwarna hijau kos ini, kita akan melihat sebuah lapangan basket kecil yang dikelilingi kamar kos yang kurang lebih berjumlah sekitar 30 kamar.

Jejeran kosnya terbagi menjadi empat seperti persegi, satu jejeran memiliki lima kamar dan mengelilingi lapangan basket itu. Seluruh kos dicat putih dan memiliki pintu dan jendela yang berwarna hijau. Perpaduan warna tersebut sepertinya berguna untuk memperkuat kesan teduh, karena ada beberapa pohon mangga besar yang berada pinggir lapangan.

Eh tapi tunggu dulu, motor Ninja 250cc warna merah milik siapa yang ikut parkir berjejer di samping tiga motor tematku itu? Aku memicingkan mata dan memperhatikan baik-baik. Plat nomernya 'BP 4591 MP'. Sepertinya aku pernah melihatnya.

Ah palingan pikiran gue doang, ucapku dalam hati.

"Hoy!" Seseorang menepuk pundakku dengan kencang dari belakang. Aku terkejut dan reflek menjitak kepala Reyhan yang ternyata adalah tersangkanya. Dia malah cengengesan.

Aku mengatur napas sejenak. "Elu ngapain ngagetin gue, setan!" omelku pada Reyhan.

Reyhan menatapku dengan tatapan menyelidik. "Lagian elu mindik-mindik kayak maling gitu. Ya iseng aja gue kagetin, gue kirain elu mau nyolong sendal."

"Ya enggak lah!" ucapku sebal. "Eh itu motor ninja siapa, Rey? Punya lo? Perasaan motor lo Supra butut deh."

"Yeee biarin, gitu-gitu gue beli pake duit sendiri. Oh, itu motornya si Firza, senior kita itu loh. Dia kan ngekos juga di sini sejak sebulan yang lalu, kamarnya tiga petak dari kamar gue," jelas Reyhan sambil menunjuk pintu berwarna hijau yang berada tiga puluh meter dari arahku.

Aku bengong sebentar mendengar ucapan Reyhan. "Lo kenapa nggak bilang, Nyet?"

"Lah elo nggak nanya, Pret!" balas Reyhan. "Lagian buat apa juga lo harus tau?"

"Eh iya juga ya, buat apa juga kalo gue tau," jawabku. Hampir saja aku keceplosan ingin bertanya, 'Berarti ada si Aira dong di sana? Kan nanti malam dia mau manggung.'

Selesai ledek-ledekan, kami berjalan ke kamar Reyhan. Pintu kamar Firza yang disebutkan Reyhan tadi terbuka dan aku melihat seorang perempuan dengan rambut panjang yang keluar dari pintu. Pasti itu Aira!, teriakku dalam hati.

"Rey, gue mendadak sakit perut nih. Gue ke kampus bentar ya," ucapku tiba-tiba dan langsung melangakah keluar gerbang.

Reyhan menggelengkan kepalanya, lalu membalas, "YEEE PLAUT! Di kos gue kan ada kamar mandi!" Kemudian dia masuk ke kamar kosnya.

Entah kenapa setiap kali aku melihat Aira, selalu saja aku ingin menghilang seakan-akan tidak ingin dilihatnya. Padahal jelas aku ingin sekali melihatnya dari jarak yang sangat dekat. Semacam rasa takut yang dibuat sendiri. Rasa takut yang menjadi pedal rem agar aku berhenti di suatu batas tertentu supaya aku tidak terlampau jauh dan menabrak dinding. Dinding yang dinamakan 'sadar diri'.

***

Acara konser musik tahunan kampusku pun dimulai. Aku berdiri di tengah kerumunan para penonton bersama Reyhan, Zaky, Ryan, dan Ghani. Mereka terlihat sangat menikmati sekali penampilan dari Efek Rumah Kaca yang menjadi guest star, dan sedang membawakan lagu Cinta Melulu. Sang vokalis yang merangkap gitaris, Cholil, mengajak para penonton untuk bernyanyi bersama.

Panggung acara ini cukup besar untuk seukuran acara kampus, sound system yang digunakan juga sangat memperantarai suara alat musik ke udara, sehingga suara yang dihasilkan nyaring namun tidak pecah. Di pinggir panggung, para panitia terlihat enjoy mengontrol acara karena sejauh ini kerumunan para penonton tetap tertib. Setelah lagu Cinta Melulu berakhir, aku memutuskan untuk menepi ke pinggir kerumunan untuk duduk menunggu aksi dari Payung Teduh. Ya, aku suka sekali dengan band ini, terlebih Is, sang vokalis adalah orang yang ramah dengan para fans.

Saat aku sedang berjalan ke tepian, aku melihat Aira dan Firza sedang bergandengan tangan menikmati musik di sudut salah satu pohon yang tidak jauh dari muka panggung. Aira mengenakan kemeja pendek merah dipadukan dengan jeans biru muda dan sepatu Converse putih. Sedangkan Firza mengenakan kaos hitam dan celana chino krem dengan warna sepatu yang sama dengan Aira. Mereka berdua kompak sekali. Keningku mengerut, membayangkan betapa bahagianya Firza mempunyai Aira.

Aku memberanikan diri untuk duduk tidak jauh dari belakang mereka, dan tampaknya Aira pun tidak menyadari keberadaanku. Dengan jelas aku memperhatikan siluet tubuh mereka yang berdiri dengan dua tangan yang sedang bergenggaman erat. Kepala Aira disandarkan ke pundak Firza, sesekali, cowok itu mengusap lembut rambut panjang Aira.

Tiba-tiba napasku terasa sesak, sepaket dengan rasa perih yang menjalar di hatiku. Entah rasa perih ini berasal dari mana. Perasaan yang aneh. Terlebih saat kulihat siluet kepala Firza berhadapan dengan Aira. Sebuah kecupan lembut baru saja tercipta di sana. Aku memejamkan mataku menikmati rasa sesak ini.

Setengah jam lebih telah berlalu, Payung Teduh pun menaiki panggung. Seperti biasa, Is menyapa para penonton dan bercengkrama sebentar. Aku mengurungkan niat untuk kembali ke tengah kerumunan penonton dan memilih untuk tetap di sini. Karena selain terlihat semakin ramai, tubuhku terasa berat sekali. Kedua kakiku seperti tidak mempunyai tenaga untuk melangkah. Kusandarkan tubuhku di tembok gedung.

Dari jauh aku melihat tangan Firza merangkul Aira dari belakang setelah Is menginstruksikan personil lainnya untuk memulai musik. Lagu Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan pun dinyanyikan.

Tak terasa gelap pun jatuh
Diujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Suara ramah Is terdengar mengalun di udara beserta suara gitar yang dia petik. Para penonton menikmati lagu itu dengan khusyuk sambil sesekali menggerakkan tubuh mereka ke kiri dan ke kanan pelan-pelan mengikuti tempo lagu. Aku terpejam membayangkan wajah Aira yang sedang memandangku sambil tersenyum. Kau memang sedang cantik-cantiknya, Aira.

Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya

Rasa perih semakin terasa di hatiku. Sudah dua tahun berlalu dan aku hanya bisa melihat Aira dari kejauhan dan menghindar setiap kali dia melihatku. Aku seperti seorang pria penguntit yang hanya bisa memperhatikan gadis pujaannya lewat jarak yang dia ciptakan sendiri. Setiap kali ada kesempatan untuk berpapasan, aku lebih memilih berlari. Tak ada keberanian yang kupunya meski hanya untuk memperkenalkan diri atau sekedar menyapa. Tidak. Tidak pernah berani.

Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya

Malam semakin melarut. Rasa cemas di dadaku akan kehilangannya semakin besar seiring dengan rindu yang tak pernah tersampaikan. Aku harus mengumpulkan keberanian untuk berkata bahwa aku menyayanginya. Meski dengan risiko akan dihajar, ditusuk, atau dibunuh oleh Firza. Tak apa. Daripada aku terus menerus merasakan perih yang semakin menyiksa hatiku. Karena semakin hari luka yang kubuat sendiri akan terus bertambah lebar hingga aku tak kuat lagi menahannya

Mungkin aku harus segera mengakhiri perasaan ini tanpa benar-benar pernah memulainya.

Continue Reading

You'll Also Like

Fate By v xxxiri v

Short Story

22.9K 1.7K 13
"𝚆𝚑𝚎𝚗 𝚠𝚒𝚕𝚕 𝚝𝚑𝚎𝚢 𝚜𝚝𝚘𝚙 𝚑𝚊𝚝𝚒𝚗𝚐 𝚖𝚎 ?" 𝙰 𝟷𝟻 𝚢𝚎𝚊𝚛 𝚘𝚕𝚍, 𝚅𝚒𝚜𝚑𝚗𝚞 𝚊𝚜𝚔𝚎𝚍 𝚌𝚛𝚢𝚒𝚗𝚐 𝚑𝚒𝚜 𝚑𝚎𝚊𝚛𝚝 𝚘𝚞𝚝. "𝚆...
28.9M 916K 49
[BOOK ONE] [Completed] [Voted #1 Best Action Story in the 2019 Fiction Awards] Liam Luciano is one of the most feared men in all the world. At the yo...
55.1M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...
474K 1.5K 47
🔞🔞🔞 warning sex!! you can cancel if you don't like it.This is only for the guys who have sensitive desire in sex.🔞🔞