"Bagaimana kalau siang ini saja?"
Andreas Hutama menjepit ponselnya diantara bahu dan telinganya, karena kedua tangannya sibuk mengaduk kopi hitamnya bergantian sambil sesekali meluruskan dasi birunya. Lalu perhatiannya teralih dengan suara gaduh dari langkah sepatu Abby yang baru turun dari kamarnya, membawa glove dan topi baseball putih bercorak merah, serta tas olahraga yang disampirkan di bahu kirinya.
"Pagi, Pa!" sapa Abby riang. Mata bulatnya bersinar-sinar senang, sebab pertandingan finalnya akan diselenggarakan dua jam lagi.
Ayahnya cuma tersenyum sekilas sembari mengobrol dengan orang yang sedang diteleponnya lagi.
Abby mengangkat bahu dan duduk di kursi favoritnya di meja makan. Sebelumnya, ia merapikan seragam tim baseball sekolah yang dikenakannya. Lalu Abby mengambil gelasnya yang berisi susu segar dan meminumnya pelan-pelan.
"Oke, sampai jumpa nanti."
Klik. Telepon ditutup. Ayahnya menghela napas pendek dan mulai menyesap kopinya.
"Pa," Abby memanggil ayahnya yang duduk di depannya. "Papa nanti duduk di barisan depan, kan? I'll do my best in field. Abby nggak akan ngecewain Papa."
Gerakan tangan ayahnya yang sempat mau mengambil koran pagi terhenti. Beliau menatap Abby dengan pandangan bersalah. "Oh, itu..."
Abby menyipitkan matanya. "Apa lagi kali ini? Kemaren-kemaren Papa nggak nonton di semi final gara-gara meeting dan jangan bilang sekarang alasannya itu lagi atau kelupaan! Abby udah ingetin dari jauh-jauh hari!"
Ayahnya terdiam.
"Pa?"
"Oke, maaf, Abs—tapi pertemuan ini mendadak." jelas ayahnya dengan nada bersalah. "Papa akan nganterin Abby kesana, gimana?"
Abby mendecak kesal. Mood-nya berubah drastis pagi itu. "Whatever." gumamnya pelan tapi cukup menusuk, apalagi saat ayahnya melontarkan pertanyaan padanya seperti yang dilakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Abby malah pura-pura tidak dengar.
"Abs, I said sorry." ucap ayahnya lagi. "Jangan ngacangin Papa begini dong."
"Aku nggak butuh kata maaf, aku butuh Papa menonton pertandingan finalku pagi ini. Itu saja." kata Abby kemudian. Ia menatap ayahnya dengan sorot mata kecewa. "Papa selalu janji tapi janjinya pasti dilanggar terus. Memangnya Abby nggak boleh marah? Coba gimana kalau Papa yang ada di posisi Abby sekarang?"
Raut wajah tegas itu berubah muram. Andreas tidak tahu ini kali berapa ia melanggar janjinya pada Abby. Mulai hal sepele dari makan malam berdua dengan anaknya sampai yang terpenting seperti ini—sebuah pertandingan final dalam turnamen yang benar-benar besar. Dan Andreas tidak bisa menyangkal kata-kata anaknya yang sialnya benar sekali itu.
Dalam satu helaan napas, Abby beranjak dari kursinya. "Abby naik taksi aja."
Andreas hanya meringis, menyesali pilihannya.
*
Abby mencari keberadaan ayahnya di kerumunan penonton, tapi tidak bisa juga menemukannya. Hingga lima menit sebelum pertandingan dimulai, ayahnya belum juga datang
Dia serius.
Abby mendengus. Dimas juga tidak datang.
Terakhir Abby bertemu Dimas adalah tiga hari yang lalu, itu juga di kantin secara tak sengaja. Dan Dimas cuma menyapa ringan lalu pergi kembali ke kelasnya
Abby bisa mengerti kalau Dimas sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional yang akan dilaksanakan sebulan lagi.
Tapi Abby tak mengerti mengapa Dimas bahkan belum meneleponnya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak siang itu.
*
"Hai, By!"
Abby menghentikan langkahnya. Mengangkat salah satu tangannya untuk menghalau sinar matahari. Ia mendongak dan melihat sosok Vino di hadapannya.
"Hai... Vin." balas Abby. Matanya melihat sebuket bunga dalam genggaman Vino. "Nyari Tammie?"
Vino itu pacarnya Tammie. Oh, Tammie juga satu tim dengan Abby, dia ikut softball juga. Bisa dibilang mereka kenal pertama kali karena ikut di ekskul yang sama.
Vino mengangguk. "Lo liat dia, nggak?"
"Di ruang ganti kali."
"Oh, ya." Vino merangkul Abby cepat dan tersenyum lebar. "Selamat, ya! Walaupun nggak berhasil jadi juara satu, lo dan yang lain mainnya udah bagus banget. Apa lagi tadi waktu lo jadi pemukul pertama langsung home run, keren!"
Abby tersenyum simpul. "Thanks, Vin."
Vino melepaskan rangkulannya. "Sekarang mau pulang?"
Kali ini Abby yang mengangguk. Ia membenarkan tas olahraga yang dibawanya. "Udah ditungguin supir dari tadi."
Kedua alis Vino terangkat dan ia tertawa. "Wah, parah lo. Maksudnya... Dimas itu supir lo?"
Pertanyaan Vino membuat Abby tertohok. Kapan Dimas bilang mau menjemputnya? Kenapa tiba-tiba begitu?
"Eh... Dimas di depan?" Abby bertanya balik, membuat Vino kebingungan.
"Iya," Vino berdeham. "kalau gitu gue nyari Tammie dulu deh." katanya sambil meremas pundak Abby dan berlalu pergi.
Abby makin tak mengerti dengan jalan pikiran Dimas.
*
"Dims,"
Dimas mengangkat wajahnya dan menatap Abby sambil tersenyum. "Oh, hei."
Abby diam-diam mengumpat dalam hati. Vino saja mau ribet-ribet membeli bunga untuk Tammie meski tim mereka gagal mempertahankan gelar juara selama empat tahun berturut-turut. Vino saja menonton Tammie saat laki-laki itu juga disibukkan dengan banyaknya try out dan les yang harus diikutinya.
Sudut bibir Dimas berkedut. "Maaf, aku telat... tapi, katanya tim kalian mainnya bagus, kamu juga sempet home run sekali. Selamat, ya."
Abby menaikkan sebelah alis matanya, seolah berkata aku nggak peduli. Nada bicara Dimas yang datar dan tidak terdengar tulus itu, lho. Abby tidak senang mendengarnya.
Genap seminggu Abby berpura-pura tidak tahu tentang apa yang terjadi antara Tammie, Dimas dan Rhea. Ia berencana menahannya dulu sampai Dimas selesai ujian. Ia juga tidak punya keinginan sama sekali untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi diantara ketiga orang tersebut.
Karena yang Abby pikirkan selama ini adalah Dimas. Dimas yang dikenalnya seumur hidupnya, yang baik, yang pengertian dan yang tak pernah mengecewakannya. Tapi sebaik-baiknya manusia, pasti mereka berbuat kesalahan juga, bukan?
Dimas mengusap bagian belakang lehernya. "Bisa bicara sebentar, Abs? Tapi bukan disini."
Abby menggigit bibir bagian bawahnya. Ia menggeleng. "Lain kali," katanya, meninggalkan Dimas. Melangkah mundur, dan berjalan cepat mencari letak dimana mobilnya terparkir.
Dan Abby betul-betul tidak sanggup kalau apa yang ada di bayangannya itu seratus persen akurat. Abby belum mau kehilangan Dimas, sekali lagi. So, she played innocent.
Amarahnya sampai ke ubun-ubun. Jadi, sekarang Dimas datang kepadanya kalau cuma ada perlunya saja?
*
Abby menyantap makanannya di salah satu foodcourt siang itu tanpa nafsu. Rentetan kejadian dari mulai pagi hari hingga yang baru saja terjadi, membuat perutnya mual.
Mengapa semuanya berjalan diluar kendalinya? Abby benci mengatakannya, tetapi ia tidak suka jika apa yang ia harapkan dan terealisasi dalam kehidupan nyata berbeda adanya.
Siapa Rhea?
Pertanyaan itu kembali terngiang-ngiang dalam kepala Abby. Siapa si Rhea ini yang membuat Dimas menjaga jarak darinya sekarang? Apa yang... mereka telah perbuat? Dan kenapa ada Tammie juga yang Abby yakini memprovokasi Dimas untuk tidak mengatakan apa-apa soal "malam itu"?
Malam apa itu? Apa yang terjadi?
Jika dipikir-pikir, bohong kalau Abby tidak ingin tahu apapun. Ia cuma menghibur dirinya sendiri. Ia cuma pura-pura kuat.
Abby memijit keningnya. Masalah demi masalah akhir-akhir ini datang menghampirinya. Belum lagi hubungannya dengan Tammie yang belum juga membaik. Cewek itu masih dingin padanya dan kelihatan menjaga jarak juga.
Abby meminum jus jeruknya dan nyaris tersedak saat melihat bayangan seseorang yang sudah sangat tidak asing baginya. Ia tidak tahu pasti, tapi kemungkinan salah sangka itu benar-benar tipis.
Itu Papa. Ngapain dia disini? Abby menebak-nebak.
Ia mengamati ayahnya yang sepertinya baru kembali dari wastafel. Abby terpaku sejenak di tempat duduknya, mengira-ngira kemana ayahnya akan pergi. Abby mengamati sekelilingnya, bukankah ini masih jam kantor? Dan bukankah tadi ayahnya bilang dia ada rapat penting?
Dan Abby melihat ayahnya. Tidak sendirian.
Ayahnya kembali ke salah satu meja yang cukup jauh dari meja Abby, duduk saling berhadapan dengan seorang wanita muda dengan riasan wajah yang cukup tebal. Wanita itu membisikkan sesuatu di telinga ayahnya, hingga membuat ayahnya tertawa terpingkal-pingkal dan tidak menyadari bahwa Abby semenjak tadi memperhatikan mereka berdua.
Kalau wanita itu cuma rekan kerja, mengapa ayahnya harus mencuri kesempatan untuk menyentuh tangannya?
Abby tersenyum sinis, pipinya memanas. Oh, jadi ini rapat penting yang Papa maksud...
Memilih kencan bersama wanita lain dibandingkan menonton pertandingan anaknya sendiri.