Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
22nd Floor
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

Surface - 2

5.9K 606 99
By Atikribo

PAK RUS BESERTA bapak paruh baya lain yang tengah bercengkrama sembari mengopi mengeluarkan suara heran serentak; tak terkeucali Raka. Raka kira ia salah dengar, tetapi kesungguhan dalam intonasi gadis itu membuyarkan spekulasi pemuda ini. Pak Rus membenarkan kopiahnya, menatap gadis itu dengan mata sayu yang penuh kebingungan sekaligus kengerian, "Neng kira ini tempat perdukunan, pakai jual jantung kucing segala?"

"Jantung ayam mah mungkin ada di pasar, tapi jantung kucing buat apa, Teh?" tanya seorang bapak-bapak berkaos tim sepak bola lokal yang duduk di samping Raka, "Kucing mah enggak dimakan!"

"Jadi salah tempat ya," gadis itu bergumam lebih ke dirinya sendiri. "Aku kira karena tempatnya gelap, maka menjual benda-benda seperti itu."

Raka mendengus, menahan tawa. Dapat pemikiran dari mana dia? Memang sih, pertama kali melewati tempat ini, Raka kira ini tempat yang terbengkalai. Tapi setelah ia menjelajah lebih jauh, tempat ini bagaikan timbunan harta karun. Melihat benda-benda mati yang tergeletak di sepanjang lorong semestinya bisa menggambarkan gadis itu dengan jelas bahwa tempat ini bukanlah sebuah pasar yang menjual jantung kucing, 'kan?

"Terimakasih, kalau begitu aku pergi dulu," ucapnya sekali lagi.

Sudah? Ia menanyakan jantung kucing kemudian pergi begitu saja? Raka tak bisa menahan dirinya untuk memanggil kembali gadis itu dan mengejarnya ketika dia melenggang acuh. Raka menenggak habis kopi hitam yang ia beli dan berpamitan pada sekumpulan bapak paruh baya itu.

Raka menyeringai ketika mendengar seorang pria —entah yang mana— bergumam singkat, "Duh, dasar anak muda. Sekalinya lihat yang cantik langsung pergi."

Gadis itu berhenti berjalan ketika Raka berhasil menggapai pergelangan tangannya. "Hey, untuk apa kamu mencari jantung kucing?"

Ia berbalik, mata cokelat terangnya menatap Raka jengkel. "Lepaskan tanganku."

Otomatis Raka meminta maaf dan mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia ditangkap basah oleh polisi hendak menculik orang. Ia tampak lebih muda dua-tiga tahun dari Raka; tubuhnya relatif kurus dan kecil.

"Dan kamu tidak perlu tahu," imbuh gadis itu datar.

"Ya, memang saya tak perlu tahu, tapi saya penasaran," Raka mengikuti gadis itu yang terus berjalan ke luar, "kamu mau memakannya? Atau kamu menggunakan itu untuk jampi-jampi mungkin? Kamu enggak berasal dari sini 'kan? Di sini orang-orang tidak pernah menanyai tentang jantung kucing. Kalaupun kamu mau cari jantung kucing, mungkin kamu harus membunuhnya sendiri, hm? Tapi kucing itu menggemaskan, kamu enggak mau membunuhnya 'kan?"

Gadis itu berhenti berjalan dan kembali menatap Raka. Ia tersenyum sembari mengatakan, "Bukan urusanmu."

Ketika Raka hendak membuka mulutnya lagi, salah seorang pria paruh baya yang tadi duduk bersamanya memanggilnya dari belakang. Ia mengatakan bahwa sepeda Raka tertinggal, membuat pemuda itu menepuk jidatnya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan benda krusial itu? Terpaksa, Raka harus mengambil sepedanya dan sebelum ia kembali ke kios sana, tatapannya bertemu dengan gadis itu lagi. Raka menyeringai sementara dia membalikkan badan, berjalan menjauh.

Meski hari sudah menjelang senja, pada akhirnya Raka kembali ke kampus. Tentu saja penghuni gedung tidaklah seramai siang hari. Sekelompok orang bercengkrama di pinggiran tangga. Raka tahu bahwa mereka adalah juniornya dan pemuda itu tidak berniat untuk menyapa mereka. Ia langsung menaiki tangga, menuju studio grafis yang terletak di lantai dua.

Studionya memiliki panjang lebih dari enam meter dengan langit-langit yang cukup tinggi untuk dibangun sebuah mezanin. Di area yang jauh dari pintu masuk terdapat beberapa sekat untuk membagi ruangan kerja dengan kesekretariatan. Raka melempar tasnya yang nyaris kosong ke atas meja kerja di tengah ruangan, mengejutkan tiga orang temannya yang tengah asyik menonton sesuatu, mendongak.

Air muka ketiga temannya itu cemas dan langsung memaki Raka karena telah mengejutkan mereka. Siapa sangka mereka sedang menonton temannya bermain salah satu game horror paling menegangkan yang mereka ketahui ulasannya melalui Youtube. Setelah sepuluh menit Raka ikut berteriak bersama mereka, akhirnya ketiga temannya menyudahi permainan itu dengan alasan lapar.

"Enggak, aku sudah makan," tolak Raka ketika diajak makan malam bersama.

Ia tidak menyadari ada seseorang yang duduk dekat sebuah meja pendek dekat berbagai mesin cetak. Perempuan itu menggulung rambutnya di atas kepala, membuat gumpalan rambutnya tampak sebesar jeruk bali berwarna hitam. Ia mengenakan masker dan tengah asyik menguasi plat tembaganya dengan aspal yang baunya cukup menyengat. Akan tetapi, karena Raka sudah cukup terbiasa, bau menyengat dari racikan aspal tersebut tidak ada bedanya dengan udara yang ia hirup.

Celemek berbahan jins perempuan itu kenakan di bagian depan dan Raka dapat melihat kabel earphone menuju telinganya. "Kuliah tuh siang 'kali, Ka," ucap perempuan berkulit kuning langsat itu.

"Iya, Ma," tutur Raka bercanda. "Lagipula hari ini aku hanya mau gerus batu."

Temannya yang bernama Cecilia itu menyipitkan mata, siap membunuh; tidak suka dengan panggilan 'Mama' yang melekat pada dirinya. Memasuki ruang lithografi [1] yang berada di sudut studio, Raka meminta Cel untuk membantunya mengangkat batu. Perempuan itu melirik ponselnya yang disandarkan di bagian belakang loker, meminta Raka untuk menunggu karena semenit lagi ia harus mengangkat plat tembaganya dari ruang asam. Cel melepas masker dan sarung tangan karetnya, kemudian masuk ke ruang lithografi di mana Raka tengah mencolokkan ponsel ke pengeras suara, menyetel radio.

Mereka mengambil batu datar berukuran 40x60 cm yang tak bisa diangkat sendiri dan sama-sama menghela napas setelah meletakkannya di atas jeruji datar tempat batu akan dibersihkan. Raka berterimakasih sementara Cel hanya mengangkat alis sambil meregangkan tangannya.

"Tadi siang ke mana?" tanya Cel, memerhatikan Raka yang mulai menyemprotkan air ke permukaan rata batu itu.

"Mau tahu aja," jawaban Raka mendapat kutukan dari perempuan itu; ia tertawa, "Keluyuran. Aku lagi bosan di kampus. Ada kabar baru enggak?"

"Enggak tuh. Sama saja. Paling anak-anak tadi main softball."

Raka menganggukkan kepala, tangannya terus memutar tuas untuk membersihkan batu litho yang berukuran cukup besar itu. Terpikirkan olehnya si gadis bermantel nila dan barang yang ia cari.

"Cel," panggil Raka, "menurutmu jantung kucing itu buat apa ya?"

"Jantung kucing?" ulang Cecilia, heran. "Jantung kucing buat apa? Kenapa nanya itu sih?"

Raka mengangkat batu pencucinya dan membilasnya dengan air. Gambar di batu besar belum hilang sepenuhnya. "Soalnya kau sepertinya tahu hal-hal yang berbau sihir dan guna-guna, makanya aku tanya. Lagipula karyamu juga engga jauh-jauh dari persoalan itu."

Cel mengerling, "Aku bahas ritual, bukan dukun-dukunan apalagi sihir-sihiran," gerutunya kemudian menghela napas. "Aku enggak tahu kalau jantung kucing, tapi —kamu mestinya tahu ini sih, Ka— di Aztec kita tahu mereka melakukan upacara pengorbanan manusia sebagai persembahan ke dewa-dewa supaya mereka dapat hasil panen yang bagus kalau tidak salah. Brutal sih, seperti film Apocalypto, darah di mana-mana, tetapi jantung menjadi komponen penting.

Proses pembalsaman orang-orang mesir kuno setahuku juga melibatkan jantung. Ketika semua organ dalam dikeluarkan, mereka membiarkan jantungnya tetap di sana. Seingatku —kalau tidak salah ini juga— jantung itu dianggap sebagai sumber kehidupan, jelas saja karena kalau tidak ada jantung semua makhluk pasti mati 'kan? Karena hal itu pula, orang mesir kuno membiarkan jantung di tubuh para mumi dengan anggapan jantung itu dapat semacam bekal di kehidupan untuk kehidupan yang akan datang."

"Bagaimana dengan upacara pengorbanan hewan?"

"Aku...," Cel mendecap, "belum banyak baca itu, tapi di Islam ada kurban 'kan? Bisa masuk ke sana 'kali ya. Di Hindu juga ada kalau tidak salah. Dan setahuku hewan yang dikorbankan ya hewan ternak, aku tidak pernah dengar tentang kucing."

"Huh. Omong-omong lu ini benar-benar seperti kamus aneh berjalan," Raka cukup takjub mendengar penjelasan temannya itu. "Jadi ada semacam dewa kucing dan sejenisnya?"

Cel mendengus. "Entahlah, aku bukan kucing. Mana kutahu mereka nyembah siapa."

"Judes amat sih, pantesan belum punya pacar."

"Berisik!"

Tanpa disadari malam kian larut; segmen radio yang Raka dengar telah berganti ke curhatan tengah malam. Raka berhenti menggambar dan melihat sekeliling, mendapati Cel yang tengah menonton laptop di meja tengah, menyudahi segala pekerjaan yang tadi ia lakukan. Pemuda itu menyulut rokok, keluar dari ruangan lithografi menghampiri temannya itu. Raka lapar dan ia mengajak Cel untuk makan, tetapi perempuan itu mengatakan bahwa ia mau pulang.

"Kalau gitu, sekalian kau balik, temani aku makan!" ucapan Raka hanya disambut dengan gelengan pasrah kepala Cel.

Mereka menghampiri pedagang kaki lima yang buka 24 jam tak jauh dari sana. Raka memesan nasi goreng gila, sementara Cel hanya memesan minuman hangat. Menunggu pesanannya, Raka merenung, tidak sadar bahwa Cel sedari tadi tengah memandanginya.

"Kamu enggak apa-apa?" Raka mengangkat alis; Cel menambahkan, "Aneh enggak mendengar kamu banyak omong."

"Kau ingin aku jadi komentator bola?" Raka balik bertanya, setengah berguyon.

Cel mendengus, "Maksudku, kemarin malam itu kamu agak... sentimental. Jarang aku melihatmu kayak begitu, Ka."

"Yah, enggak heran panggilanmu 'Mama Gothic', Cel. Suka banget ikut urusan orang; sudah gitu gothic lagi," Raka menatap temannya yang mengerenyit. Wajah judesnya menunjukkan kekhawatiran yang kentara.

"Kau mau aku cerita? Mungkin dengan satu ember es krim sambil nonton serial TV drama?" Cel mengerling lagi; Raka tersenyum kecil, "Aku enggak apa-apa. Kau tahu bahwa aku percaya Jun meninggal bukan karena OD —apalagi bunuh diri— dan orang tuanya menolak untuk autopsi. Konklusinya tidak valid. Lagipula, sejak kapan dia ngobat?"

Pesanan Raka datang dengan piring plastik merah yang penuh dengan nasi dan mie serta suwiran ayam. Porsi pedagang kaki lima di tengah malam terkadang jauh lebih banyak jika sudah tiba jam malam —tidak masalah dengan kemapuan perutnya, tentu saja. Raka langsung mengambil sendok-garpu dan menyantap makanan itu, melupakan segala kegelisahan dalam benaknya.

"Lalu yang membunuhnya apa —atau siapa?"

Raka mengangkat bahu dan kembali menyuap. Teringat tabung yang ia temukan di dalam kamar Jun. Ia merogoh saku, mencari dompet.

"Aku nyaris lupa kalau punya ini," ia mengambil tabung plastik itu dari dalam dompet, menyodorkannya pada Cel. "Aku menemukan itu di kamarnya kemarin —di luar jendela lebih tepatnya. Kau tahu itu apa?"

"Jendela?" Cel membuat gerakan yang sama ketika Raka melihatnya untuk pertama kali: mengarahkannya ke sumber cahaya, membuka tutup botol itu kemudian menghirupnya. Raut kecut tergambar di wajahnya. "Apa —terlalu intens! Apa itu Raka? Apa itu yang membunuh Jun?"

Raka mengangkat bahu, tidak tahu. Lima suap lagi hingga pesanannya habis dan Raka kembali memasukkan botol itu ke dalam dompet. "Efektif, eh? Apalagi kalau lagi stress," komentar Raka, "Apa aku harus lapor ke polisi ya?"

"Dan berharap mereka percaya bahwa kamu menemukan benda itu di jendela kamar begitu saja. Mengesampingkan bahwa kamu telah menyimpan botol itu selama sehari dan mereka tidak akan menganggap kalau kamu seorang pengedar? Ya, polisi akan percaya dan mereka akan memberikanmu sebuah medal penghargaan akan hal itu," Cel meneguk minumnya hingga habis, "Keputusan yang sangat salah, Kawan, kayak kamu enggak tahu kerja polisi saja."

"Apa orang-orang tahu ada —apa— inhalan seperti itu ya?" Raka telah menyelesaikan makan tengah malam itu dan membayar porsinya.

Cel mengerucutkan bibir, "Jangan tanya aku. Aku bahkan enggak merokok, Ka."



Dari mana tabung itu berasal masih menjadi misteri. Beberapa kali ia mendongak ke jendela kamar Jun dan tak habis pikir kenapa botol itu bisa ada di sana. Pohon yang tumbuh di pekarangan depannya tidak setinggi itu untuk mencapai jendela kamar Jun. Sudah sekian lama sejak ia memanjat pohon untuk terakhir kalinya. Siang yang telah berganti dengan malam membuatnya cukup kesulitan untuk memanjat pohon itu.

Sampai Raka dapat mendengar suara sepupunya dari bawah, meneriakinya, "Ka, lo ngapain dah?" Ia hanya bisa menyeringai jelek. Dugaannya memang benar, pohon yang ia panjat takkan sampai pada kamar Jun. Batangnya terlalu rendah.

Raka tahu, Iyas sudah terbiasa dengan kelakuan bodohnya. Tapi melihat Raka memanjat pohon rumahnya sendiri di malam hari membuat perempuan itu tak kuasa ingin membawanya ke rumah sakit jiwa.

"Aku lagi membuktikan sesuatu, Yas," Raka membela dirinya sendiri ketika ia sudah di dalam rumah, "Ada sesuatu di kamar Jun—"

"Cukup Raka, Jun sudah meninggal."

"Aku bahkan belum selesai bicara, Yas," cibir pemuda itu, "Aku tahu dia sudah mati —aku yang menemukan jasadnya, ingat?— tapi apa kau betulan percaya dia mati karena bunuh diri? Ada barang ini di kamarnya dan kupikir ini bisa menuntun kita ke kematian Jun yang enggak normal itu," Raka merogoh saku dan menunjukkan tabung itu ke Iyas.

Sepupunya mengenakan kacamata untuk meneliti benda itu lebih lanjut. Iyas melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Raka dengan alis berkerut, "Apa kamu enggak merasa kalau kamu ini terlalu terobsesi dengan kematian Jun? Kamu terus bilang kalau Jun tidak mati bunuh diri; lantas apa? Aku khawatir lho, Ka."

"Yas, aku memang bukan orang yang taat agama, tapi aku mengerti. Orang yang meninggal karena hal-hal rancu seperti itu pasti masih ada di sini. Setidaknya aku mau membuatnya istirahat lebih tenang," Raka menghempaskan bokongnya di atas sofa tak jauh dari sana dan berkata, "Dia sudah kayak saudara sendiri, kau pasti paham 'kan?"

Iyas menggigit bibir. "Tapi kalau sampai akhirnya kamu tahu benda apapun itu nantinya, terus apa?"

Raka tidak punya jawaban.

*

Jika kemarin ia pergi ke pusat kota karena jenuh dengan suasana kampusnya, hari ini ia sedang tidak ada jadwal apapun dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang sama. Mungkin ia akan menemukan barang bagus jika sedang beruntung. Seperti hari-hari sebelumnya, terik sang surya tampak terlalu berlebihan sampai-sampai bisa membuat seseorang dehidrasi jika tidak minum lebih dari tiga hari. Meski peluh bercucuran dari dahi, Raka tak mengeluhi siang itu.

Roda sepedanya berputar menuruni jalan arteri. Beberapa kali ia nyaris terserempet kendaraan roda dua dikarenakan orang-orang yang beringas akibat cuaca yang terbilang ganas. Ia terpaksa bersepeda di trotoar dan mendapat tatapan jengkel dari para pejalan kaki, sementara Raka sendiri hanya bisa tersenyum sambil permisi dan meminta maaf. Tak lama, ia terjebak kemacetan.

Raka tahu daerah pusat kota baik pagi, siang, maupun sore hari pasti selalu dipenuhi dengan kendaraan bermotor. Akan tetapi, Raka tidak pernah terjebak di kemacetan hebat yang mana sebuah sepeda saja tak bisa bergerak. Klakson yang memekakkan telinga terdengar nyaring, membuat lagu yang terputar di earphone-nya tak lagi terdengar. Ia berdecak, melongokkan kepala mencari-cari penyebab kemacetan itu. Susah payah, pemuda itu berhasil keluar dari tengah jalan setelah mendapat tatapan sinis dari sana-sini.

Pengendara sepeda motor beberapa kali mendesis dan berdecak kala Raka mencoba untuk bergerak melewati mereka. Sepeda yang ukurannya tidak kecil itu sesekali menyenggol motor mereka. Seorang pengemudi Yaris menekan klakson panjang ketika Raka secara tidak sengaja menyenggol mobil merahnya. Seorang pria berkacamata hitam melongokkan kepala dari dalam jendela mobil, menegurnya dengan nada jengkel yang kentara.

"Hati-hati, woy! Gimana sih," Raka dengan buff yang menutupi mulutnya, hanya bisa mengangguk dan meminta maaf. Senggol sedikit tidak akan membuat mobil itu baret-baret kan?

Menyipitkan mata, ia memandang apa yang terjadi di hadapannya. Aneh melihat banyak orang di sana meskipun bukan akhir pekan, bahkan beberapa orang akhirnya keluar dari mobil untuk melihat apa yang menghambat lalu lintas di hadapan mereka. Klakson di sana-sini, umpatan, makian dan segala kutukan yang keluar dari bibir mereka membuat siang itu terasa semakin panas. Tak terlihat satu pun rompi kuning polantas di jalan raya maupun motor-motor yang mengamankan jalan karena ada seorang pejabat hendak lewat.

Meladeni rasa penasaran, Raka menggiring sepedanya mendekati kerumunan. Memperkecil jarak ke pusat kejadian, ekspresi orang-orang yang berada di sekitarnya berubah dari kesal dan kebingungan menjadi kengerian seolah-olah melihat sesuatu yang lebih menakutkan daripada hantu. Tak sedikit pula warga yang mengarahkan kamera ponsel mereka ke sana, merekam maupun memotret adegan itu; berharap viral. Raka yakin sosok gadis yang kamera itu tangkap adalah sesosok gadis yang ia temui kemarin. Dia mengenakan mantel nila yang sama.

Seseorang meringis, tak lama terdengar rengekan. Mereka yang menonton mulai membalikkan tubuh; tangan menutupi mulut, menahan isi perut yang hendak keluar. Seiring ia mendekat, Raka dapat melihat gadis itu tengah membuka sebuah toples berisikan cairan merah, memasukkan jari ke dalam sana dan melumuri wajahnya dari hidung sampai bibir. Jika ini memang salah satu bentuk seni pertunjukkan, Raka merasa bulu di tengkuknya berdiri.

Hal yang dilakukan gadis itu benar-benar banal dan terlalu frontal. Komentar dan pertanyaan saling tumpuk, memperkeruh keadaan. Meskipun banyak orang yang pergi menjauh, Raka tak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu. Ia sangat yakin, dia bukanlah seseorang yang berkecimpung di dunia yang sama dengan Raka dan pemuda itu tidak melihat wajah-wajah familiar di sekitarnya kala ada suatu seni performans atau semacamnya. Suara klakson semakin nyaring, tak ada orang pula yang berani berjalan mendekati gadis itu. Menggiring sepedanya, Raka berjongkok tepat di belakang sang gadis bermantel nila; penonton mulai berbisik.

"Pertunjukkanmu terlalu banal, tahu," ujar Raka dari belakang membuat gadis itu terkejut, "Kamu mahasiswa seni juga?"

Ia berbalik, alis berkerut, "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Apa yang kamu lakukan di sini?" balas Raka mengangkat alisnya. Ia mencengkram pergelangan tangan gadis itu, mengajaknya pergi dengan sedikit memaksa. Raka sadar mereka berdua telah menjadi tontonan publik sehingga ia membalikkan tubuhnya, tersenyum lebar, dan berkata cukup lantang, "Pertunjukkan berakhir, Saudara-saudara! Berikan tepuk tangan meriah untuk...gadis ini!"

Sedikit kebingungan, orang-orang akhirnya bertepuk tangan juga. Meninggalkan Raka yang membungkuk dan memaksa gadis itu untuk membungkuk. Raka dapat mendengar gadis itu mendesis, "Apa yang kamu lakukan?"

"Menjauhkanmu dari masalah," jawabnya berbisik. Ketika ia mengangkat wajahnya, Raka kembali berkata dengan lantang, "Maaf telah mengganggu kenyamanan Anda, kalian bisa beraktivitas seperti sedia kala. Selamat siang!"

Masih dengan wajah kebingungan, orang-orang mulai bubar. Pengendara mobil yang keluar dari kendaraannya hanya bisa menggelengkan kepala dengan wajah kesal. Raka menarik pergelangan tangan gadis itu dan membawanya ke trotoar setelah ia mengemasi barang yang dijajakan di tengah jalan.

"Kau menghancurkan ritualnya," gerutu si gadis. Rambutnya yang terkena matahari tampak merah keunguan. Berbeda ketika Raka bertemu dengannya untuk pertama kali, warna rambut gadis itu seperti cokelat gelap karena tempat yang remang.

"Kau harusnya berterimakasih padaku. Orang-orang kesal dengan kemacetan yang kau buat, lima menit lagi pasti kau bakal ditabrak truk." uar Raka ketika mereka sudah berada cukup jauh dari kerumunan. Pemuda itu mengerjapkan mata, mengingat barang yang gadis itu cari kemarin. "Jadi kau dapat jantung kucingnya?"

Ia mengangguk singkat tanpa penjelasan lebih lanjut.

"Bagaimana caranya?"

"Bukan urusanmu," mata cokelat terangnya menatap pemuda itu dengan intens. Wajahnya masih tergambar bekas cairan merah dari toples itu —darah? Raka tidak tahu. Ia berbalik dengan niatan meninggalkan Raka, tetapi pemuda itu lagi-lagi meraih pergelangan tangannya, enggan untuk melepasnya.

"Eit, tunggu. Saya penasaran, kau bukan orang sini 'kan?"

"Bukan," jawabnya singkat, lagi-lagi, "Bisa lepas tanganku sekarang?"

Ketika Raka hendak membuka mulut, pemuda itu dapat mendengar perut meraung nyaring. Ia sadar suara itu bukan berasal dari perutnya. Raka tak kuasa untuk tersenyum lebar.

Restoran cepat saji yang mereka kunjungi berjarak sepuluh menit berjalan kaki dari tempat mereka berdiri. Semua pengunjung juga pegawai memandangi gadis berambut burgundi itu dari atas ke bawah. Di samping pakaiannya yang mencolok, wajahnya pun belum dibersihkan dari cairan merah itu. Raka merogoh tas ranselnya, mencari tisu basah yang seingatnya pernah tersimpan di sana cukup lama. Jelas saja, ketika ia berhasil menemukannya, tisu basah itu sudah kering. Alkoholnya sudah menguap, parfumnya sudah bercampur aduk dengan bau tas pemuda itu. Raka memberikannya kepada si gadis setelah membasahinya ke wastafel terdekat.

Mereka mengambil meja di pojok. Untungnya saat itu bukanlah malam minggu, restoran cepat saji ini tak seramai seperti biasanya. Gadis bermantel nila itu duduk di hadapan Raka dengan paket burger lengkap beserta kentang goreng juga soda. Ia tidak memakan santapan itu hingga gadis itu bertanya, "Apa ini?"

"Cheeseburger? Aku yang traktir —mumpung ada uang. Kau lapar 'kan? Aku dengar perutmu keroncongan." Raka tersenyum tipis dan memakan pesanannya sendiri yang porsinya diperbesar.

"Namamu siapa?" tanya Raka.

Ia memakan kentang goreng dan mengalihkan pandangannya ke bawah, tidak berkata lebih lanjut. Raka pikir gadis itu cukup cantik. Di samping kulit pucat serta mata cokelat terangnya, rambut burgundi dengan panjang melebihi bahu ia arahkan di sisi kiri, menunjukkan leher yang tampak jenjang. Di lehernya tergantung sebuah liontin berbentuk lingkaran dan terbuat dari perak dengan ukiran rumit yang mengelilingi sebuah batu berwarna biru di tengah. Tubuhnya relatif kecil dan kurus, Raka dapat melihat tulang selangka gadis itu yang menonjol dan bra hitam yang ia kenakan tampak dari balik gaun berwarna gadingnya.

Raka menopang dagu, menatap gadis itu, "Jadi?"

"Namaku?" gadis itu balik bertanya, "Kamu tidak perlu tahu."

Raka menaikkan alis, menyeruput soda dari gelas kertas dan memakan burgernya lagi, "Baiklah, bocah" geramnya, "Saya Raka —kalau kau mau tahu. Kau bilang kau bukan dari sini, dari mana?"

"Suatu tempat."

"Oke...kenapa kau ada di sini, kalau begitu?"

"Kenapa kamu banyak tanya, sih?"

Raka menaikkan alisnya, menunjuk burger yang hendak gadis itu santap. "Karena kita tengah makan bersama, gratis pula!"

Gadis itu membelalakkan mata, meletakkan kembali burger itu dan mendorongnya menjauh. Alisnya berkerut, jelas sekali tampak kesal. Ketika ia hendak bangkit dari duduknya, Raka cepat-cepat meraih tangan gadis itu. "Saya bercanda, oke? Bercanda! Duduklah, habiskan makanannya. Ya ampun."

Ragu-ragu, gadis itu kembali memakan santapannya, menatap Raka dari balik bulu mata. Sementara Raka tinggal menyeruput habis sodanya saja. Waktu yang berputar terasa sangat lambat dan canggung luar biasa. Setiap kali Raka mencoba bertanya, gadis itu selalu memberikan jawaban singkat. Pemuda itu hanya bisa menunggu dan pembicaraan yang tak kunjung terucap diisi dengan lantunan lagu pop masa kini yang diputar di restoran cepat saji itu.

"Sahabatku meninggal seminggu yang lalu," tutur Raka spontan. Raka tidak yakin bila ini merupakan keputusan yang tepat, mengingat Iyas yang perlahan menganggapnya mulai gila karena kemantian Jun.

Ketika Raka menjelaskan kematian Jun dan bagaimana Raka pikir itu tidaklah normal, mulut gadis itu tetap terkatup rapat, membukanya jika hendak menyuap kentang goreng saja. Namun mata cokelat terang gadis itu menatap Raka dengan intens, ia yakin gadis itu mendengarkannya. Ia pikir setelah ia berbicara seperti ini, gadis itu akan membuka dirinya, tapi tentu saja tidak ada perubahan. Si gadis berambut burgundi tetaplah membisu.

Menghela napas, pemuda itu mengambil dompet untuk memeriksa uang yang tersisa. Botol kecil bercairan bening itu terjatuh dan gadis itu sontak bertanya, "Dari mana kamu dapatkan itu?"

"Kamar teman saya," dia mengulurkan tangan dan mengambil botol kecil itu. Dengan kerutan di dahi, Raka berkata, "Jangan dihirup."

"Ini bukan untuk dihirup." Terdengar suara 'pop' kecil ketika tutup tabung itu terbuka. Ia mengarahkan botol itu ke dalam minumannya. "Hanya satu tetes dan benda ini bisa menghilangkan kecemasanmu secara instan. Orang-orang menyukai ini."

"Apa-apaan?" desis Raka.

"Benda ini, ruska," ucap gadis itu serius, Raka dapat menyadari raut wajahnya tampak sedih meskipun hanya sesaat, "adalah benda yang ayahku teliti selama bertahun-tahun. Itu berasal dari tempatku, di bawah sana."

*

Footnote:

[1]lithografi: Salah satu teknik cetak seni grafis dengan cara menggambar di atas batu yang kemudian dicetak ke atas kertas. Adegan di atas adalah salah satu proses membersihkan batu sebelum dipakai untuk menggambar (yang mana harus digerus bersamaan dengan batu lagi). Untuk mengetahui proses lebih lanjutnya silakan google : lithography art, dan atau printmaking. Karena kalau jelasin ini doang bisa menghabiskan satu halaman sendiri hehe.

*

//UDAH BISA! UDAH BISA, MULTIMEDIA UDAH BISA HAHAHA. Masih nyoba2 bisi salah fokus.

dan beneran salah fokus. maap ya kamu jadi ngabisin kuota hahaha.

Raka jadi dikelilingi banyak perempuan ya *terus malah kebayang bikin harem /plak*. Dia memang chick magent sepertinya. Well, terimakasih sudah membaca! Ayo ditunggu kritik saran beserta jejak lainnya, it means a lot lho hihi.//

Continue Reading

You'll Also Like

366K 26.9K 58
[COMPLETED] Terperangkap dalam obsesi yang menjerat membuat Sora, seorang perempuan yang mengalami potongan kejadian demi kejadian buruk yang mengali...
105K 15.7K 61
[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta k...
HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.6K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...
5.7K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...