The Chronicle Of Ugly People

By AYUTIEN

39.3K 4.7K 2.5K

Ketika orang-orang yang tak rupawan itu jatuh cinta... More

#1

39.3K 4.7K 2.5K
By AYUTIEN

FACE THAT ALWAYS COME FIRST
a y u t i e n

••

"JANGAN MIMPI, DEH!"

Di sebuah kantin yang ramai, Ani berteriak dengan suara lantang. Wajahnya yang cantik serupa bidadari memerah antara malu dan marah. Emosinya naik melihat Ega yang berlutut tepat di hadapannya--menyatakan perasaannya secara langsung dan meminta Ani untuk menjadi kekasihnya.

"Tapi aku sayang sama kamu, Ni."

"Tapi gue enggak!"

"Kasih aku kesempatan sekali aja ...," Ega seperti enggan menyerah.

"Apaan, sih?! Lo bikin gue malu tahu enggak!"

Orang-orang yang datang untuk makan siang kini memang lebih senang berkumpul di sekitar Ani dan Ega. Terutama saat wanita itu dengan tidak berperasaannya membuang bunga mawar yang Ega beri ke atas tanah. Padahal mawar itu terlihat sangat indah. Kembangnya yang merah segar merekah dengan batang kokoh dan daun yang hijau sempurna. Durinya bahkan sudah Ega patahkan agar Ani tidak terluka saat menerimanya. Sayang sekali jika Ani harus membuang dan menjadikannya sampah begitu saja. Jika aku jadi dia, aku akan tetap menerima bunga itu demi menghargai kerja keras Ega yang menanam langsung bunga itu sendiri dengan penuh cinta di halaman rumahnya. Ega bahkan rela diam berjam-jam di bawah hujan demi bisa melindungi mawar itu dengan payungnya. Ega sengaja menanam bunga itu sendiri karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk Ani. Sayang, pengorbanannya tidak berujung baik. Pria itu tetap ditolak pujaan hatinya hanya karena sebuah alasan sederhana;

"Lo tuh jelek! Aneh! Gue enggak mau sama laki-laki kuper kayak lo yang lemah dan enggak bisa diandalkan!"

Sebagai laki-laki berego tinggi, seharusnya Ega marah saat ini. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Ani, dan di depan banyak orang pula. Aku berharap Ega mengamuk dan mengatai Ani balik karena sudah bertingkah sombong dan semena-mena. Tapi ternyata tidak. Ega tidak marah sama sekali. Yang ia lakukan malah makin memperendah dirinya dengan menatap Ani lembut dan mulai meyakinkannya sekali lagi agar mau mempertimbangkan cintanya yang sudah ia pendam semenjak kelas satu kemarin.

"Pokonya, sampai kapanpun gue enggak sudi pacaran sama lo. Jadi jangan deket-deketin gue lagi. Lo udah bikin gue malu, Ga! Gue benci sama lo!"

Oh, ingin rasanya aku mencakar wajah mulus tanpa jerawatnya Ani dengan garpu batagor. Aku akan maklum jika ia menolak Ega di tempat, tapi tidak dengan cara sekasar tadi, membuatnya terlihat seperti wanita jahat yang hanya bagus di casing-nya saja. Hatinya, sih, sama buruknya dengan kutil ayam.

Bisik-bisik tetangga menguar tepat saat Ani pergi meninggalkan Ega yang masih tertunduk lemas di posisinya. Ia bahkan belum sempat berdiri saat suara tawa pecah di beberapa tempat. Kerumunan yang tadi sempat terbentuk juga sudah bubar sedari tadi. Aku memilih mendekatinya, menepuk pundaknya beberapa kali.

"Udahlah, Ga. Mungkin belum jodoh," kataku.

"Jangan kasihanin gue," Ega menyingkirkan tanganku lalu pergi begitu saja. Aku menghela nafas panjang.

"Ck... ck... ck... si Ega itu besar juga nylinya." Aku menguping suara yang datang dari meja sebelah. "Dia enggak sadar apa kalau nembak Ani di depan umum sama aja kayak nyari mati?"

"Namanya juga cinta." Yang lain menimpali.

"Cinta juga harus ngaca kali."

"Tapi kasihan Ega ditolak gitu,"

"Ya mau gimana lagi? Si Ani itu, kan, cantiknya gila-gilaan. Seksi. Anak orang kaya pula. Mana mau dia nerima orang kayak Ega yang dibedakin segimana juga, ya masih gitu-gitu aja mukanya."

Semuanya mengangguk setuju.

"Mungkin itu kali ya, yang bakal terjadi kalau ada itik buruk rupa yang naksir putri raja?"

Ya... mungkin saja.

Π

Sepulang sekolah, Ega memintaku menemaninya makan siang. Karena ingin menghibur sahabat yang sedang patah hati, maka aku mengiyakan ajakannya. Kamipun pergi menuju sebuah kedai kecil yang menjual segala macam jenis Bakso dan Mie Ayam di pinggiran kota. Ega memesan sepiring bakso urat dan es teh manis. Sedangkan aku hanya memesan secangkir es jeruk tanpa makan.

"Tumben," ujarnya heran.

"Lagi malas makan bakso," jawabku dan dia tidak bertanya lebih jauh.

Sambil menunggu pesanan, Ega curhat soal Ani dan perasaannya kini setelah ditolak mentah-mentah. Dia merasa aneh karena wanita tersebut menolaknya hanya karena wajahnya yang kurang tampan.

"Padahal gue tulus sama dia," katanya sedih. "Apa itu enggak cukup? Gue enggak bohong waktu gue bilang jatuh cinta sama dia. Gue beneran serius sama dia, dan dia nolak gue cuman karena gue jelek. Aneh enggak, sih?"

Aku hanya diam mendengarkan. Bukan karena aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku tidak ingin membuat pria ini sadar bahwa dia juga sama bodohnya dengan Ani.

Ega sungguh naif jika menurutnya Ani akan menerima cintanya hanya karena ia tulus pada wanita itu. Ega juga naif jika ia berpikir cinta tidak seharusnya memandang fisik di saat ia sendiri masih suka menolakku hanya karena aku tidak memliki wajah secantik Ani.

Ya, aku menyukai Ega dan dia sudah tahu soal itu. Aku pernah mengatakan padanya secara langsung dan dia menolakku atas alasan yang sama, namun dengan kalimat yang lebih lembut dan secara tidak langsung;

"Gue udah nganggep lo sebagai adik gue sendiri, As. Jangan aneh-aneh, ah. Kita enggak mungkin pacaran."

Aku ingat nadanya yang setengah geli. Aku ingat hari itu adalah Rabu yang sore. Aku ingat dia membelikanku sepotong cokelat setelahnya dan memintaku untuk tidak lagi membicarakan soal ini. Aku ingat, itu adalah hari dimana untuk yang pertama kalinya, aku menangis hanya karena seorang anak laki-laki.

Aku menyukai Ega setulus ia menyukai Ani, tapi Ega masih tidak mau menyadari itu. Dia menyadari hal-hal kecil yang pernah ia lalui dengan Ani tapi lupa dengan apa yang sudah aku lakukan padanya; dia ingat dulu Ani pernah meminjamkan pulpen padanya, tapi lupa bahwa aku sering membawakannya makan siang ke sekolah; dia ingat bagaimana Ani tersenyum padanya saat selesai mengerjakan tugas bersama, tapi lupa sama sekali bagaimana kedinginannya aku sore itu saat menemaninya melindungi mawar peliharaannya di bawah hujan. Intinya, Ega bodoh. Dan aku lebih bodoh karena tidak bisa membencinya sama sekali.

"Gue enggak akan nyerah gitu aja. Gue yakin Ani jodoh gue. Lo dukung gue, kan?" Ega bertanya. Aku tersenyum lalu menganggukan kepala.

"Kalau itu bisa bisa bikin lo bahagia, kenapa enggak?"

"Yes! Lo memang sahabat gue yang paling ngerti, As!" Katanya sambil merangkul pundakku erat.

Dan juga yang paling sayang, tambahku dalam hati.

Aku pernah membaca sebuah status dari seorang teman yang aku temui di dunia maya. Persisnya, aku lupa seperti apa, tapi intinya, wanita tidak semestinya merendahkan dirinya sendiri hanya untuk seorang pria. Wanita adalah mahluk yang istimewa, yang seharusnya bisa menghargai dirinya sendiri tanpa harus menggantungkan kebahagiaannya pada sebuah mahluk bernama laki-laki.

Otakku setuju dengannya.

Tapi hatiku rupanya tidak.

Setelah ditolak dan di-sister zone-kan oleh Ega, aku tidak merasakan sakit hati sama sekali ketika itu. Aku tidak marah padanya. Atau pula membencinya dan mengatainya pria bodoh. Yang aku lalukan saat itu justru malah memperendah diriku sendiri dan mulai berpikir, mungkin saja memang salahku yang terlahir seperti ini. Mungkin jawaban Ega akan berbeda jika aku tidak segendut ini. Mungkin Ega akan menganggapku sebagai wanita jika saja wajahku tidak sejelek ini. Mungkin sekarang aku bisa saja menjadi pacarnya Ega jika kulitku tidak sehitam ini.

Mungkin....

Π

"Lupain Ega!"

Dia Natasha. Perempuan yang berteriak di balik meja itu adalah sahabatku yang lain. Dia tampak begitu histeris saat aku mulai mengganti topik pembicaraan ke arah Ani dan Ega yang ditolak cintanya pagi ini.

"Dia bego. Kenapa masih suka, sih? Cowok tuh banyak di luar yang lebih baik. Yang lebih ganteng!"

"Yang gini aja gue enggak dapet, gimana yang ganteng?"

"Jangan ngerendah! Lo cantik, Asih." Natasha mencoba menghiburku, dan itu berhasil. Aku tertawa memang, tapi bukan karena tersanjung melainkan karena merasa lucu.

"Please, Nat, lo tahu kalau gue itu jelek. Enggak usah muji. Lo bakal tetep dapet Cookies buatan gue, kok." Balasku lalu kembali sibuk dengan adonan. Kami sedang ada di rumahku, by the way. Aku memasak, dan Natasha yang akan jadi kelinci percobaannya nanti.

"Oke, lo jelek. Fine! Tapi bukan berarti lo bisa ngerendahin diri lo sendiri gitu aja, kan?"

Natasha melanjutkan, "Lo pinter masak. Lo baik hati. Lo setia. Lo tulus. Lo enggak pernah jahat. Lo segalanya. Lo bisa dapetin siapapun, As. Satu-satunya cara yang harus lo lakukan adalah move on."

Mudah baginya mengatakan itu. Natasha itu cantik, belasteran Jerman-Jawa dan punya tubuh yang semampai. Wajahnya cantik seperti boneka. Senyumnya manis seperti gula. Secara teknik, dia tidak tahu seperti apa rasanya jatuh cinta pada pria yang menganggapnya jelek. Itu mengapa kadang aku tidak mendengarkannya. Bidadari tidak pernah tahu derita kecoa yang selalu dihina, kan?

Satu-satunya hal yang membuatku masih mempertimbangkan usulnya hanyalah karena Natasha tidak pernah menilai orang dari sampulnya. Dia selalu mau mengenal orang, karena menurutnya, jiwa yang cantik jauh lebih menyenangkan untuk diajak bicara daripada yang tidak. Itupula mengapa pacarnya yang sekarang sangat jauh dari kata tampan. Aku bukan jahat, tapi aku bisa membedakan mana tampan dan mana yang tidak. Reza, kekasih Natasha, memang tidak tampan. Tapi perangainya bahkan jauh lebih baik dari seorang pangeran. Dia pribumi, berkulit gelap, kurus kering dan berambut tipis, tapi sangat ramah dan luar biasa pandai. Senyumnya hangat dan tatapan matanya sangat damai. Aku menyukai Reza (sebagai calon pacar sahabatku) di hari pertama kami bertemu. Terutama saat sekilas aku menilik pandangannya yang penuh cinta pada Natasha. Tidak ada yang lebih indah dari sepasang mata yang jatuh cinta. Ah, andai saja aku dan Ega bisa seperti itu juga...

"Biar gue kenalin lo sama temen-temennya Reza. Dia banyak kok kenalan yang jauh lebih baik dari Ega," tambah Natasha tiba-tiba. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu di sana. Mungkin SMS.

"Enggak perlu, Sa. Percuma. Gue enggak akan tertarik,"

"Percuma gimana, sih? Lo, kan, belum kenalan. Mana tahu bisa tertarik atau enggak?"

"Karena lo tahu hati gue ada di mana sekarang," aku mengingatkan. "Gue enggak mau kenalan sama orang dan jadiin mereka pelampiasan. Itu jahat, Sa."

"Halah, lama kelamaan juga lupa, kok." Natasha tidak mendengarkan.

"Natasha Hariawan..."

"Ugh, fine!" Natasha melempar ponselnya ke atas meja makan, "gue enggak ngerti kenapa bisa lo suka sama Ega, dan tahan segitu lamanya. Tiga tahun, Asih! Gue jadi lo, sih, mending pergi dari pada cape hati," lanjutnya sebal.

Aku tersenyum, "lo tahu kenapa, Sa."

"Karena dia baik? Bleh!" cibir Natasha. "Karena dia satu-satunya orang yang lihat lo waktu semuanya memutuskan untuk balik badan? Cih!" dia masih mencibir. "Tai kucing."

"Ada satu lagi, kok."

Natasha mengerutkan dahi, "apaan?"

"Ekspresi frustasinya waktu lagi ngerjain tugas hitungan," jawabku. "Dia seksi kalau lagi bingung."

"Lo sakit!" desis Natasha lelah. Aku hanya tertawa.

Selama beberapa menit kami diam. Bagiku ini selesai. Natasha tampaknya sudah tidak ingin memperdebatkan soal Ega. Which is good. Aku sungguh-sungguh waktu bilang bahwa aku sedang tidak ingin kenal dengan orang lain. Setidaknya jangan sekarang, karena kepala dan hatiku masih penuh dengan pria itu. Tapi rupanya aku salah. Rupanya aku lupa bahwa Natasha bukan tipikal orang yang menyerah dengan mudah.

"Enggak bisa, ah!" Natasha menggebrak meja, "pokoknya lo gue kenalin sama temannya Reza. Dia ada, kok, temen lamanya. Pinter sumpah. Lo pasti suka." Dia meracau dengan sepasang mata di atas ponsel.

"Sa..."

"Baik, kok, Asih. Orangnya baik. Gue kenal. Lo harus ketemu dulu." Dia kekeuh.

"Natasha!"

"Apa?! Lo harus move on, darling! Kalau lo enggak bisa, biar gue yang bantu lo!"

"Astaga, Natasha." Aku mengusap wajahku. "Gue enggak bisa move on. Enggak sekarang, Sa," lanjutku.

Dengan cepat aku masukan adonan cookies-ku ke dalam oven dan mendekatinya. Dalam kurun waktu satu menit saja aku menjelaskan soal rencanaku yang akan mulai diet dan melakukan beberapa perawatan tubuh agar bisa jadi sedikit lebih enak dipandang. Reaksinya mengejutkan. Natasha marah luar biasa.

"Jangan aneh-aneh, deh!" raungnya. "Gue bukannya enggak suka lo berubah. Gue dukung kalau itu memang buat kebaikan lo. Tapi nyiksa diri sendiri sekeras itu demi Ega? I don't think so."

Natasha belum selesai, "Gue ngerti perasaan lo ke Ega, tapi bukan berarti lo harus ninggalin semua hal yang bikin lo bahagia cuman buat dia. Kayak Memanah. Gosh! gue tahu secinta apa lo sama olahraga itu. Dan sekarang lo mau berhenti cuman karena lo enggak mau kulit lo hitam? Cuman buat orang yang bahkan enggak pernah liat lo sebagai perempuan? Itu tolol namanya!"

"I know. But i have to di this, Nat." Aku melanjutkan, "mari akui ini; sudah menjadi bawaan alam kalau pria memang lebih menikmati petualangan tubuh ketimbang pikiran. Mereka melihat fisik sebelum akhirnya jatuh cinta dengan kepribadian kita. Dan kalau gue memang harus nyiksa diri sendiri dulu agar Ega bisa lihat gue, then be it. Gue enggak masalah sama sekali, karena gue suka sama dia."

"Terus kalau dia masih nolak lo?"

"Seenggaknya gue enggak akan nyesel karena udah pernah coba."

"Tapi pasti patah hati lagi, kan?"

Aku tidak bisa menjawab. Natasha berdecak sebal.

"Mungkin lebih baik manusia lahir tanpa mata aja biar enggak ada orang yang kesakitan satu pihak gini."

Aku menghela nafas.

Ya, mungkin benar kata Natasha. Mungkin lebih baik Tuhan tidak memberikan manusia mata saja saat ia menciptakan mahluknya. Agar manusia buta saja. Agar manusia bisa lebih menghargai cinta ketimbang rupa.

Mungkin...

Π e n d Π

Continue Reading

You'll Also Like

622K 1.2K 33
Kumpulan cerpen bertema dewasa
28.4K 5.5K 23
KUSUS BXB !! jangan nyampah !! salah lapak block account !! jangan cerewet sama alurnya ! ini dunianya author ! riders hanya perlu menikmati ! saran...
42.2K 4.2K 14
donghyuck seorang raja di kehidupan nya malah mendapatkan musibah, dimana dirinya di tikam oleh pelayan nya sendiri dia pikir itu akhir dari hidupnya...
57.6K 11.8K 41
Tidak ada yang istimewa tapi aku berharap pantengin storynya sampai End.