DEVOLVED

By narasutan

10.7K 871 507

BERSERAH PADANYA. Diana, nenek berusia 60 tahun, merayakan ulang tahunnya bersama makhluk mengerikan yang sel... More

Null
Eins
Zwei
Drei
Vier
Fünf
Sieben
Acht

Sechs

393 49 20
By narasutan

Adolf Siebenkäs menunduk mengambil cerutu lowong yang menggelinding di bawah kursi gereja. Dengan putus asa tangan rentanya mencoba meraih sepotong surga Kuba. Oh, betapa dia ingin hentakan nikotin saat ini. Gusi dan bibirnya mulai gatal. Ia menunggu kalimat utama 'aku bersedia' selesai diucapkan oleh kedua mempelai sebelum akhirnya melangkah buru-buru ke luar gedung gereja dan menyalakan surganya sendiri. Asap putih mengepul, dan kesejukan mengalir deras dalam darahnya.

Dalam kepulan asap putih itu Adolf melihat dua bola mata menatap. Mereka pun mulai bersipandang.

"Kau akan mati tak bersisa kali ini jika berani kembali, Makhluk Pucat."

"Aku sudah lama tahu kalau kau sebenarnya bisa melihatku, Adolf. Aku juga sudah tahu rahasia kecilmu."

"Enyahlah! Kau sudah kalah, tunduklah pada yang mengalahkanmu!"

Mata itu terus memandangnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Lalu, seketika mata itu menghilang disusul oleh batuk yang memecah dari paru-paru Adolf.

"Kau tidak apa-apa, Opa Adolf?" Pertanyaan Oliver yang tiba-tiba muncul membuat Adolf terdiam sejenak. Ia ditenangkan oleh dua tepukan lembut di punggungnya.

"Terima kasih, Oliver," Adolf tua tersenyum dan kembali menikmati cerutunya, "aku tidak tahu kebinasaan macam apa yang akan kami alami jika kau tidak ada."

"Aku akan terus mengawasi kalian berdua, tenanglah, dan berhentilah merokok. Ada kata sambutan yang harus kau ucapkan di dalam sana."

"Oh, astaga. Aku lupa."

******

Pernikahan itu berlangsung normal di hadapan kamera-kamera bermerk Folica. Diana melempar buket bunga pada gadis bertangan buntung yang beruntung. Di sudut gereja berkumpul pria-pria hutan Fausteldorf yang sangat jarang terlihat di tengah kota. Undangan dari Dianalah yang membuat mereka mau repot-repot hadir. Terlihat para pria hutan membicarakan sesuatu, mereka tampak tidak suka pada Oliver.

Malam hari, lagi-lagi ribuan kilat kamera membanjiri ruang resepsi. Mereka yang terlalu peka cahaya bisa saja kejang jika melihat kilat sebanyak itu. Di luar hujan sedang lebat-lebatnya, dan di dalam politisi sedang sibuk dengan debat-debatnya.

"Oliver, kau mau pulang bersamaku? Malam ini aku sendirian di teater."

"Aku paham kalau Ibu dan lelaki itu tak ingin diganggu di malam pertama. Tapi, Opa, jangan lupa aku ini anaknya. Kenapa tidak Opa Adolf saja yang ikut tinggal di kediaman Krüger malam ini?"

"Oh, aku tidak bermaksud, Nak. Sebenarnya aku hanya ingin bicara sesuatu denganmu empat mata di teater nanti. Tapi, ya, dugaanmu tentangku ada benarnya. Menurutku pastilah tidak nyaman jika mendengar jeritan malam pertama mereka, sekecil apapun suaranya."

"Hmm, sebenarnya bukan itu maksudku, Opa Adolf. Ada hal lain yang kutakutkan terjadi di malam pertama mereka. Makanya aku ingin tinggal malam ini di kediaman Krüger, sekedar berjaga-jaga. Tapi ya sudahlah, aku ikut Opa saja. Mungkin saja firasatku salah."

"Maksudmu?"

"Sudahlah, mari kita pulang. Bukankah ada hal pribadi yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Entah apa yang membuatmu bimbang, tapi baiklah, kita pulang sekarang."

Kuharap kau tidak menggunakan kekuatan bodohmu itu, Diana.

******

Di kediaman Kruger, Diana mendominasi malam. Pesta pernikahan yang baru saja dihelat kini disusul oleh perkawinan penuh hasrat. Geliat dua daging di atas surga syahwat memeras keluar minyak-minyak cinta yang menggebu. Victor bukanlah lawan yang sepadan bagi Diana, satu ronde sudah terlalu melelahkan untuknya. Namun, demi bini barunya Victor berusaha mengisi kembali kolam libidonya yang mulai kering. Diana memberi sedikit bantuan magis yang mengantar mereka menggeliat sampai pagi.

Dalam lembutnya pelukan selimut, Diana mengecup Victor. Ia menyentuh dahi suaminya cukup lama sebelum akhirnya membisikkan sesuatu.

"Jadikan Fausteldorf milikku..."

******

"Ginevra sudah pernah memberi tahukan soal dirimu kepadaku, Oliver. Tapi apakah Ginevra pernah menceritakan sesuatu tentang diriku? Atau masa laluku?"

"Hmm, tidak pernah. Ada apa sebenarnya, Opa?"

"Aku merasa aku ini bukan manusia. Entahlah aku ini apa, aku lupa. Aku selalu berharap Ginevra memberi jawabannya, dan mungkin menceritakan sesuatu padamu, tapi rupanya Ginevra tidak menceritakan apa-apa."

"Tak perlu Ginevra untuk mengetahui kau ini apa. Aku sudah tahu. Tapi kau sudah tidak mengingatnya bukan? Jadi biarkan saja tetap jadi misteri."

"Kau tahu aku ini apa?"

"Ya, dan kau tidak akan suka jika kuberi tahu."

******

Sebulan kemudian pemilihan telah mendapat hasilnya. Seorang Viktor Krüger berhasil memenangkan lima puluh dua persen suara. Unggul tipis atas lawan utamanya, Greta Neumann.

Diana menjadi ibu walikota sejak saat itu. Sibuk melakukan berbagai pertemuan mewah di tempat-tempat berkelas.

Suatu hari Diana memasuki ruang tamu dan mendapati Oliver sedang makan macaroni schotel di depan televisi. Sudah seminggu berlalu sejak pemilihan walikota.

"Lihatlah, hadiah dari Kegelapan ini tidak begitu buruk bukan?"

"Sebaiknya kau mulai mencari tahu, Ibu. Kau tidak sedang melihat kenyataannya, kau hanya melihat apa yang kau inginkan."

"Lalu apa kenyataan itu? Apa aku harus keluar dari kenyataan ini? Kurasa ini sudah jalanku, jalan kita."

"Aku tidak pernah ada di pihakmu, Diana Krüger, apalagi di jalanmu."

"Setidaknya aku ini ibumu, dan itu sudah cukup."

"Ya aku tahu. Tapi meski kau ibuku, kau tentu paham kalau aku bukan dari jenismu."

"Itu sudah jelas! Mungkin kau harus pergi berkelana dan menemukan jenismu!" Diana terlihat sangat marah.

Oliver tetap tenang dan meneruskan menonton siaran langsung konser salah satu band favoritnya, Nekrogoblikon. Suara kunyahan mulut Oliver membuat Diana makin kesal.

"Apa Ibu akan berdiri terus di situ? Aku ke konser saja, di sini membosankan. Bye, Diana Krüger."

"Pergilah!"

***

Malam hari, Oliver masih mengenakan kaus suvenir konser Nekrogoblikon dan menatap ke dalam cermin besar. Bertanya-tanya mengenai asal usulnya. Ia selalu penasaran, apa dia punya semacam 'dunia lain' yang menciptakannya? Karena dia terlalu berbeda untuk dunia ini, apalagi untuk Fausteldorf. Bahkan makhluk-makhluk supernatural yang mendiami kota ini takluk padanya. Ada keinginan dalam dirinya untuk menemukan sesuatu yang mirip dengan dirinya.

Karena kesal tak kunjung menemukan jawaban, Oliver naik ke rumah kaca di lantai teratas kediaman Krüger dan berbaring di antara pot-pot besar bunga Petunia. Ia memandangi lautan bintang di atas dan merenung.

***

Akhirnya, Oliver mencoba untuk mengabaikan pertanyaan besar itu dan kembali tenggelam ke dalam dunia lukis. Mengabadikan aneka model terkenal dari agensi dan majalah mode ternama telah jadi rutinitas baginya. Sampai akhirnya dunia itu menjadi begitu membosankan. Wajah-wajah itu tak bernyawa, terlalu mulus untuk diceritakan, terlalu bersinar untuk dimeriahkan, terlalu palsu untuk dipertontonkan. Rasa bosan yang sedari dulu ada sejak menyaksikan drama-drama Diana, kini malah terasa lebih pekat dan lekat.

Maka kuas-kanvas di hadapannya berpaling pada tetua di pinggiran kota. Ia berkendara jauh ke Selatan untuk menemui penghuni pantai yang didominasi para pensiunan dan veteran perang. Wajah mereka tidaklah sempurna, banyak bercak dan noda melanin di sana sini, seperti sebuah peta akurat yang menggambarkan nyawa dan hidup itu sendiri. Peta-peta ekspresi para manusia pantai itu menetap dalam kepalanya untuk dibawa pulang. Tercipta ratusan lukisan dari figur, postur, dan gestur mereka. Diana sampai menyediakan ruangan khusus untuk memuat lukisan buatan tangan Oliver yang digilai kolektor seni.

"Anda jangan bergerak ya? Kumohon, ada detail leher Anda yang perlu kuperbaiki."

Tak hanya para lansia yang jadi targetnya. Gelombang pengungsi dari negara tetangga juga menjadi inpirasi teranyar. Lukisan paling baru adalah potongan besar kanvas putih yang dituangi proyeksi kehidupan gadis kecil pengungsi dari bekas jajahan negara tirai besi yang harus berjalan bermil-mil menembus gurun Selatan sambil menggendong adiknya. Kedengaran sangat impraktikal memang, tapi gadis itu tidak punya pilihan lain. Oliver menemukannya tertidur di barak pengungsi nomor dua enam di pinggir kota Athena, dengan kondisi kulit yang buruk akibat terlalu lama dehidrasi dan terpapar matahari. Gadis itu ia sketsa dalam posisi berbaring menyamping memeluk adiknya di bawah hangatnya selimut hijau muda, pembagian dari penampungan. Berbekal sorot sinar matahari terbenam dan latar belakang perawat-perawat yang bertugas, ia menyelesaikan sketsa kasar gadis itu untuk dibawa ke studio lukisnya.

Seminggu kemudian, seperti yang disaksikan oleh sekian banyak penghuni barak pengungsi, Oliver membawa gadis kecil beserta adik laki-lakinya untuk tinggal bersama. Oliver membeli sebuah rumah di dekat hutan setelah diguyur hujan uang dari pameran terbarunya, agar terisolasi dari hiruk pikuk hidup Diana yang penuh bualan sofisme dan segala luksuri kelas atas.

Dua anak imut itu telah membuat kemagisan dirinya terkunci rapat. Kekakuannya mencair jika sedang bersama mereka. Kini ia begitu terbiasa dengan kesederhanaan, membumi bersama dua manusia ini. Bahkan merambat sampai ke tetangga terdekat. Tersenyum, suatu hal yang jarang dilakukannya, kini mulai mendarah daging. Perubahan radikal bukan lagi semata jargon, ia benar-benar menghidupinya. Oliver telah lupa pada pencarian akan jati diri dan jenis-nya. Oliver memanusiakan dirinya.

Gadis itu rupanya punya bakat. Oliver mengajarinya piano dalam waktu singkat. Gadis yang diberi nama Hilda itu sudah mempelajari partitur-partitur etude Chopin yang sulit. Sungguh ramai rumah itu dengan badai nada yang mentransformasi.

Sementara adiknya, Hans, sibuk bermain dengan cat akrilik di ruang tamu, menggoreskan warna hitam, putih gading, dan merah tua dalam satu kanvas. Hasilnya abstraksi yang mudah dipahami pada pandangan pertama, namun berubah membingungkan pada pandangan berikutnya. Seni yang menekan batin, kata Oliver sendiri.

Oliver terlihat bersyukur dengan hadirnya dua anak itu. Dia bisa punya sumber perenungan yang menarik hanya dengan membiarkan dua anak itu hidup apa adanya. Kebahagiaan mereka terpercik dalam gejolak cat akrilik dan nada simfonik hampir setiap hari. Adegan demi adegan dalam keseharian mereka kini terekam ke dalam setumpuk karya yang menunggu untuk berpindah ke tangan kolektor.

Namun, seiring waktu, kedua anak itu menyatakan secara jujur kekecewaan atas hidup mereka yang terlalu teduh. Mereka merindukan petualangan dan luka-luka sayat dari alam, seperti yang ada di daerah asal mereka. Maka tanpa pikir panjang, Oliver mengajak Hilda dan Hans tinggal di pantai para tetua, tempat ia menemukan kembali hasrat melukisnya. Iklim yang lebih hangat mengusir melankoli dari hati mereka. Hilda dan Hans berteman dengan kerang, bintang laut, ubur-ubur, kepiting, dan masih banyak lagi. Mereka berpindah dari pelukan nenek kurus hingga nenek gemuk di sepanjang pesisir yang dipenuhi rumah berwarna putih, tanpa ada rasa cemas meskipun Oliver tak menjaga mereka. Mereka suka surga baru mereka.

Namun, surga itu harus segera berubah menjadi neraka. Saat salah satu pelukan tua penghuni pantai menjelma menjadi nafsu birahi pubertas kedua. Dua anak itu menjadi korban intensi nista lelaki beruban yang kesepian. Oliver sedang di Pusat Seni Fausteldorf saat bencana itu terjadi.

Sehari kemudian, dua anak itu sudah menjadi mayat. Oliver dikabari lewat telepon bahwa dua anak itu kemungkinan besar tersengat Portuguese Man O' War saat berenang. Tapi, entah mengapa ia merasa kalau itu hanya usaha untuk menutupi penyebab kematian sesungguhnya.

Oliver membangkit, bergejolak dalam ketidakpercayaannya, hampir-hampir menjadi dirinya yang lama, bersiap menyingkap selubung karma. Ia melintasi kontinuum ruang-waktu dengan sangat cepat menuju ke kamar mayat tempat dua anak itu berbaring saat ini. Baru kali ini Oliver menangis-- Ia merasa terpukul, bahkan tertikam oleh tombak realitas bahwa dua anak kesayangannya harus meregang nyawa di saat dia sedang menikmati ketenaran di Fausteldorf. Oliver kacau balau. Ia bahkan tidak dapat memakai kekuatannya untuk membangkitkan mereka. Sesuatu yang salah terjadi.

"Mengapa aku tidak bisa membangkitkan mereka?" Oliver tersedu di kamar mayat. Berkali-kali ia mencoba kekuatannya yang lain, mulai dari berpindah tempat, sampai mondar-mandir menembus materi masih dapat dilakukannya. Tapi yang satu itu-- membangkitkan organisme mati, tak bisa ia lakukan.

Ya, dia harus pergi. Pergi dalam kemagisannya yang telah bangkit. Dalam cengkeraman frustrasi, Oliver sudah memegangi kepala pelaku yang ia temukan sedang duduk tenang minum bir sambil menonton acara demo masak di televisi. Oliver mengubah tangannya menjadi seperti pisau dan mulai memotong beberapa bagian tubuh pria itu seakan mengikuti gerakan koki demo masak. Pria tua itu mati tanpa kepala di atas karpet beruang yang hangat. Ia terus terbaring di situ, sampai akhirnya polisi menemukan mayatnya beberapa hari kemudian saat darah sudah mengering. Alat kelamin pria itu hilang. Setelah otopsi dilakukan, benda malang itu ditemukan tersangkut di dalam kerongkongannya. Seakan memberi peringatan keras bagi siapa saja yang ingin mengulangi kekejian segila itu.

***********

"Kau tidak dengar beritanya, Oliver? Seorang pria tua mati di rumah pantai Santorini. Polisi mengaitkan dia dengan berbagai kasus pedofilia beberapa tahun belakangan."

"Aku tidak mau membicarakannya, Nyonya Krüger. Aku hanya ingin makan sesuatu dan pergi berpesta di balaikota."

"Oke, tuksedomu sudah dikirim dari binatu. Kau akan temukan setumpuk irisan lechon di dapur. Ah, bisakah kau ganti wujudmu ke usia yang pas? Rasanya aneh melihatmu berhenti tumbuh. Dan ngomong-ngomong siapa pula yang mengadakan pesta di balaikota? Setahu ibu tidak ada pesta, Oliver."

"Aku tidak mau berubah wujud. Aku tidak peduli apa pendapatmu. Aku makan dulu... setelah ini ada pesta tiga orang yang harus kuurus."

************

Malam itu, Oliver menyerang dua politikus yang menurutnya sudah bermain-main di balaikota terlalu lama. Atas nama pelampiasan dan permainan keji yang sudah lama tak dilakukannya, ia memotong tangan kanan politikus wanita berkulit pucat lalu membuatnya menyaksikan seorang pria sesama politikus dibunuh dengan cara yang sadis. Tubuh kawannya itu dibalik, dari dalam ke luar, seperti membalik baju saat akan dijemur. Semakin mencekam bagi mata si politikus wanita, karena pelakunya tidak terlihat.

"Rakus," kata Oliver sebelum membuat si politikus wanita pingsan.

Oliver mengangkat pria yang sudah mati mengenaskan itu ke udara lalu melemparkannya ke dalam perapian yang menyala-nyala. Tapi, ia membiarkan politikus wanita itu tetap hidup dan jadi saksi.

************

"Semalam ibu ke rumah sakit dan menyambung kembali tangan seorang politikus yang terpotong. Apa ada yang kaulakukan di balaikota? Apa itu yang kau maksud dengan pesta?"

"Mereka sudah terlalu lama berada di sana. Apa ibu tidak bosan dengan penjilat tua seperti mereka?"

"Kau bukan hukum, Oliver. Kau tidak bisa seenaknya mengadili orang."

"Aku bukan hukum. Aku adalah vonis, kolasis, katarsis."

"Jangan kau ulangi lagi hal itu, atau..."

"Atau apa, Diana?" Mata Oliver mengencang. Tatapan mengancam dihunjamkannya ke jantung Diana.

Diana terdiam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Membeku di hadapan mata Oliver yang sedang duduk santai minum teh dekat perapian. Diana tak bisa bergerak selama beberapa menit.

"Aku sudah kembali. Itu 'kan yang kau mau? Meski kau bilang kau takut padaku, kuyakin dalam hati kau ingin melihatku memakai kekuatanku lebih jauh, karena kekuatan gelapku ini sangat menarik buatmu. Iya kan, Bu? Siapa sih yang tidak senang jika elang-elang Bavaria itu dihukum mati? Siapa yang tidak senang kalau pemuka agama yang korup itu terbunuh? Dalam hati kau menikmati semua ini. Berhentilah menguliahiku, lagipula ini menguntungkanmu. Sainganmu politikmu berkurang."

Diana terus memelototi Oliver tanpa bisa bergerak. Jadi kau yang membunuh pendeta baru itu?

Ya, sesuatu yang wajar, bukan?

Di luar, kerumunan serigala bukit mulai melolong. Entah apa yang mereka bicarakan dalam kungkungan malam yang kelam seperti ini. Sementara itu di teater, Adolf sibuk mengasapi Ginevra dengan sejenis rempah Asia. Ginevra terlihat cukup senang.

"Sudah cukup, Adolf. Aku sebaiknya pergi sekarang."

"Kembalilah saat bulan baru, Ginevra. Kau tahu aku tidak aman di sini."

"Aku mempercayakanmu pada Oliver. Biar dia saja yang menjagamu selama aku pergi. Lagipula dialah orang yang membuat ramalanku soal kematianmu gagal terwujud."

"Baiklah. Aku sudah siapkan beberapa tikus untukmu."

"Terima kasih, Adolf. Aku pergi sekarang."

Ginevra membuat mata indahnya bersinar, ia mengepakkan sayap sekali dan mulai melayang di udara. Ia mengepakkan sayap dua kali dan melesat hingga tak terlihat lagi.

Terdengar lolongan serigala dari bukit. Adolf memandangi bukit gelap asal suara itu.

"Sepertinya kalian benar-benar kesepian..." kata Adolf sambil melangkah masuk ke dalam teater. Entah kenapa dia seolah bisa merasakan kesedihan dari bukit para serigala.

************

Dunia cermin terguncang hebat baru-baru ini. Ada hentakan kemarahan dari sana. Oliver sedang duduk santai, meminum sejenis tonik, dan menonton proses menyakitkan yang Frau alami.

"Hai, Frau. Bagaimana kabarmu?"

"Terkelupas. Seperti maumu. Sudah rutinitas."

"Siksaan ini tidak akan membunuhmu. Kau masih punya masa depan, setidaknya ada dalam genggamanku."

"Apa tujuanmu melakukan ini padaku? Kenapa bukan Diana?"

"Tidak ada. Aku hanya senang menyiksamu. Selamat menikmati, Frau."

"Kau sama saja dengan Kegelapan."

Oliver tersenyum.

"Anggap saja aku lebih jahat daripada dia."

"Lalu mengapa makhluk sejahat dirimu menyelamatkan hidup banyak orang? Untuk apa semua curahan moralmu belakangan ini?"

"Itu hanya sebuah proses. Hanya benih yang sedang tumbuh. Hanya makhluk yang memanifestasikan keadaan dirinya apa adanya."

"Gila adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirimu."

"Ah, itu akan jadi judul halaman depan surat kabar yang menarik, bocah gila nan jahat telah menyelamatkan banyak nyawa."

"Bunuh saja aku. Aku sudah muak menghadapi makhluk macam kau dan Kegelapan."

"Kelak kau memang akan terbunuh. Tapi bukan olehku."

Frau terkejut, ia teringat satu fragmen masa lalu.

"K-kau bertemu kaum serigala bengis dari hutan? Bukannya mereka sudah musnah?"

"Kebetulan aku tinggal dengan raja mereka yang amnesia. Tunggulah, saatnya akan tiba. Kau akan jadi doppelgänger terakhir di dunia ini."

"Aaarrgh... mati saja kau, Oliver!!"

"Hahaha, mungkin kita berdua adalah yang terakhir dari jenis kita. Bersulang untuk kepunahan kita!"

Continue Reading

You'll Also Like

165K 471 6
(FIKSI) Vivi terbangun dari tidurnya dalam kondisi tanpa busana... cairan lendir yg masih merembes dari Lubang surgawi miliknya membuat gadis itu pah...
5K 566 8
FIKSI100% | HiyChkkk™ Menceritakan ketiga Saudara yang suka dengan akan misteri, Gita salah satunya Semenjak pulang menonton bioskop waktu itu, dia d...
1M 74.5K 31
Setelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membe...
33.2K 962 45
•BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA• Setelah meninggalkan tempat dirinya di lahirkan, Erlang pergi nge-kost. Tidak di sangka juga, Tetangga nya adala...