My Devil Husband

By demimoy

23.8M 1M 33.4K

Melody harus merelakan sisa hidupnya terampas karena dijadikan jaminan untuk menutupi hutang sang ayah. Tapi... More

Announcement!
Prolog
MDH - Chapter 1
MDH - Chapter 2
MDH - Chapter 3
MDH - Chapter 4
MDH - Chapter 5
MDH - Chapter 6
MDH - Chapter 8
MDH - Chapter 9
MDH - Chapter 10
MDH - Chapter 11
MDH - Chapter 12
MDH - Chapter 13
MDH - Chapter 14
MDH - Chapter 15
MDH - Chapter 16
MDH - Chapter 17
MDH - Chapter 18
MDH - Chapter 19
MDH - Chapter 20
MDH - Chapter 21
MDH - Chapter 22
MDH - Chapter 23
MDH - Chapter 24
MDH - Chapter 25
MDH - Chapter 26
MDH - Chapter 27
MDH - Chapter 28
MDH - Chapter 29
MDH - Chapter 30
MDH - Chapter 31
MDH - Chapter 32
MDH - Chapter 33
MDH - Chapter 34
MDH - Chapter 35
MDH - Chapter 36
MDH - Chapter 37
MDH - FLASHBACK
MDH - Chapter 38
MDH - Chapter 39
MDH - Chapter 40
MDH - Chapter 41
MDH - Chapter 42
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4
Extra Part 5

MDH - Chapter 7

583K 26.3K 1K
By demimoy

Setelah keributan antara Raga dan wanitanya tadi pagi, aku tak lagi mendengar suara pria itu dari luar kamar. Suara mobilnya pun tak terdengar. Terakhir yang kudengar hanya suara pintu yang di banting dengan keras.

Selesai membersihkan diri aku keluar dari kamar mandi, lalu berdiri di tengah-tengah ruangan, menyapukan pandanganku pada seluruh penjuru. Mau sampai kapan aku tidur di sini? Apa ini harus di biarkan? Atau aku harus berontak?

Aku menatap bayanganku di cermin, dan tentu saja terlihat tidak bagus. Berantakan, tidak ada raut kebahagiaan.

Setelah beberapa lama, tanganku meraba handuk yang melilit di kepalaku dan hendak aku keringkan, tapi ketika melihat meja rias ku aku tidak menemukan hairdryer dimana pun.

Aku menghembuskan napas ku lelah mengingat  benda itu pasti ada di kamarku yang sebelumnya.

"Kapan aku terakhir mengeringkan rambutku! Sial sekali!" Sambil mengacak rambutku yang basah aku berteriak kecil, frustasi.

Mau tak mau aku harus memberanikan diri membawanya di sana. Kamar Raga sekarang.

Aku terburu-buru melangkah menaiki tangga. Hingga tiba di depan pintu, tak ada yang kulakukan. Berdiri seperti orang bodoh. Aku benar-benar ragu apakah harus mengetuk pintunya dulu atau langsung menerobos masuk? Aku tidak tahu dia sedang apa di dalam.

Akhirnya setelah menghela napas beberapa kali aku memberanikan diri, memilih langsung membuka pintu dengan pelan-pelan.

Aku hanya berharap dia sedang tidur. Kumohon.

Aku menghela napas lega ketika kutemukan pria itu ternyata memang tengah tertidur tengkurap ranjang, hanya menggunakan celana piyamanya saja.

Dengan hati-hati aku melangkah ke arah meja rias dan terkesiap setiap Raga melakukan pergerakan kecil. Berdekatan dengan pria itu akan aku hindari untuk saat ini. Rasanya semua otot-otot ku berubah menjadi tegang jika aku berdekatan dengan Raga.

Setelah membuka laci meja rias, karena aku tidak menemukannya di atasnya. Aku tersenyum lega. Benda itu ada di sana. Buru-buru aku mengambilnya lalu hampir melemparnya ketika suara pria itu terdengar.

"Sedang apa kau di sini?"

Aku menoleh ke arahnya yang sudah duduk di tepi tempat tidur. Dan mataku terkunci pada tubuhnya yang setengah telanjang. Dia terlihat lebih seksi sekarang dan tentu saja tampan, tidak peduli dengan rambutnya yang berantakan. Itu malah menambah kesan seksi itu.

Setelah beberapa saat aku tersadar, cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Ada apa dengan wajahku yang memanas.

"Aku hanya membawa ini," aku menunjukan hairdryer yang aku bawa tadi.

"Akan pergi lagi?" tanyanya, dia bangkit dan melangkah ke arahku. Refleks aku melangkah mundur.

"Ya, aku akan ke rumah sakit."

"Tunggu aku, aku akan mengantarmu."
Setelah itu ia menghilang di balik pintu kamar mandi. Meninggalkan aku yang tertegun seorang diri. Apa katanya? Sekarang apalagi? Aku bahkan asal menyebut akan ke rumah sakit. Aku tidak benar-benar akan pergi kesana.

Setelah bermenit-menit aku menunggu. Duduk di tepi ranjang, akhirnya pria itu keluar dari kamar mandi. Hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Tangannya sibuk menggosok rambutnya yang basah.

Pemandangan indah macam apa ini?

Tapi, aku kemudian sadar. Bukan waktunya untuk terpesona.

"A...aku akan berangkat sendiri saja. Aku tidak ingin merepotkanmu." Rasanya pasti sangat tidak nyaman sekali jika harus berduaan dengannya.

Pria itu diam, menatapku. Tidak ada reaksi apapun. Aku tidak tahu apa yang tengah ia pikirkan. Ia tidak terlihat marah atau tidak terima akan ucapan ku.

"Aku yang mengangarmu atau tidak sama sekali," pungkasnya ketika ia bejalan ke arah deretan baju-baju nya.

"Tapi... Aku mau bertemu dengan teman dulu."

"Selingkuhanmu maksudmu?"

"Maksudmu apa berbicara seperti itu?" Aku sedikit menaikkan nada bicaraku, protes pada ucapannya. Selingkuh katanya? Apa yang ada di dalam pikirannya? Tidak sedikitpun aku memikirkan tentang berselingkuh.

"Pria yang mengantarmu, bukankah dia selingkuhan mu?" ucapnya, ia menatapku dengan tatapan menuduh dan mencela.

"Dia temanku, bukan selingkuhan! Aku bukan dirimu. Aku bahkan tidak berpikir untuk berkhianat," jawabku kesal dengan nada menyindir. Berharap ia tahu apa maksud dari ucapan ku. Mengingat, dia berkhianat padaku tadi malam.

Ia berbalik ke arahku, satu alisnya terangkat. Lalu ia tersenyum meremehkan. Aku benar-benar benci raut wajahnya. "Kau menyindirku?"

"Aku tidak bermaksud—"

"Aku tidak peduli. Turunlah, tunggu aku di bawah." Sebelum aku selesai berbicara ia menyela terlebih dulu.

Dengan cepat aku bangkit dan keluar dari kamar. Lagipula aku masih menggunakan batrobe. Jadi, aku akan bersiap.

Mungkin aku bodoh, tapi jujur tidak sedikitpun dalam benakku untuk berkhianat seperti dirinya. Perlakuan baiknya sebelum menikah masih melekat indah dalam ingatanku dan aku merindukannya.

Otakku menginginkan aku untuk berhenti, dan pergi meninggalkannya atau setidaknya tidak memperdulikannya. Tapi hatiku menginginkan aku tetap berada di sisinya. Mengembalikan kembali dirinya yang dulu. Aku ingin berusaha mendapatkan kembali perhatiannya yang dulu. Kemana sosok itu pergi? Sosok yang ada ketika ia mengambil hatiku.

Aku selesai dengan bajuku juga rambut dan riasan ku. Ketika, aku keluar kamar pria itu sepertinya belum selesai. Jadi, aku lebih dulu menunggunya di halaman rumah.

Angin dingin berhembus membuatku memejamkan mata menikmati belaiannya yang membuatku kedinginan. Apa aku harus kembali dan membawa jacket? Batinku, tanganku sibuk menggosok lenganku untuk menghangatkan.

"Mau sampai kapan kau berdiri di sini?" Aku terlonjak kaget saat suara Raga tiba-tiba menyadarkanku.

Aku membuka mataku dan langsung menatap pria itu berjalan ke arah mobilnya. "Cepat!" serunya, dan tanpa harus diminta dua kali aku bergegas melangkah masuk ke dalam mobil.

Di jalan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku terlalu segan, dia terlihat tidak tertarik memulai suatu percakapan. Ia fokus mengemudi, sedang aku fokus menerawang pada kejadian beberapa bulan lalu. Setiap kali kami dalam satu mobil. Raga selalu menggenggam tanganku, tak jarang ia menatapku dengan senyuman di kedua matanya. Tapi, saat ini? Bahkan tatapan hangatnya saat itu seakan sirna tertutup oleh kabut pekat dan tak terbaca. Aku tidak merasakan kehangatan itu, hanya hampa dan dingin.

Hatiku terasa perih saat semua bayangan itu berkelebat dalam ingatanku.

Beberapa kali aku melirik padanya yang sedang sibuk dengan jalanan di depan. Lalu kembali kualihkan pandanganku pada luar jendela. Kuhela napas dan beberapa kali, mengerjapkan mata, mencoba mengusir rasa sakit yang menyerang dan menahan air mata yang sudah ingin keluar.

Hujan mulai turun di tengah perjalanan. Udara dingin di dalam karena AC, kini bertambah dingin. Beberapa kali aku menggosok-gosok lenganku. Berharap rasa dingin itu hilang. Aku bahkan tidak tahu, tubuhku atau hatiku yang merasakannya.

Tanganku bersentuhan dengan tangan miliknya ketika aku akan menaikan suhu mobil agar lebih hangat. Buru-buru aku menarik tanganku, dan membiarkan dirinya melakukannya.

Tidak berniat mengatakan apapun, aku kembali fokus ke arah pohon-pohon yang berjajar di tepi jalan. Pandanganku kosong, terlalu banyak yang aku pikirkan.

Sampai di rumah sakit aku langsung membuka pintu mobil dan berlari menerobos tirai hujan tanpa menunggu pia itu keluar.

Aku menggosok lenganku yang basah saat sampai di loby rumah sakit. Sudut mataku menangkap ia berjalan terburu-buru mengerjarku dengan payung miliknya, yang aku tidak tahu ia dapat dari mana. Mungkin memang selalu ada di dalam mobil.

"Kenapa kau lari? Kau buta? Hujannya deras! Aku tidak mau repot mengurusimu jika kau sakit!" Ia menggerutu.

Aku menatapnya lekat, lalu mengernyit, apa pedulinya, jika aku sakit? "Aku bisa mengurus diriku sendiri." kataku datar lalu berbalik dan melangkah panjang-panjang ke arah ruangan yang ku tuju.

Ketika aku hendak masuk, dokter baru saja selesai memeriksa. Pria dengan jas putih itu tersenyum melihatku.

"Kau datang," sapa nya.

Aku mengangguk, melihat apa yang terjadi di dalam. "Papa baik-baik saja, Dok?" tanyaku khawatir.

"Ya, dia baik-baik saja. Beberapa hari lagi mungkin ia bisa pulang. Beritahu Papa mu jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu, jika ia ingin sembuh," jelasnya dan aku hanya mengangguk.

"Akan kuberi tahu, terima kasih, Dok."

Dokter itu menepuk pundak ku dua kali, dia memang sudah mengenalku, karena saking seringnya aku datang ke rumah sakit ini karena kondisi Papa.

Ia membungkuk sopan ke arah Raga ketika ia melihatnya berdiri di belakangku.

"Tuan," sapa nya sebelum dokter itu pergi meninggalkan kami.

Aku mengernyit melihat tingkah dokter itu. Mengapa terlihat sopan sekali. Tapi, aku tidak mau memperdulikan hal itu. Aku membuka pintu kamar lebih lebar dan tersenyum ketika Papa mengalihkan pandangannya terhadapku.

"Dokter memberitahuku agar Papa tidak banyak pikiran!" seruku.

Papa terkekeh ringan, sementara aku berjalan ke arahnya dan duduk di tepi ranjang.

"Papa hanya memikirkan mu."

"Aku sudah besar. Papa tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja."

"Tentu, Sayang. Lagipula sekarang kau sudah ada suami. Dia yang akan menggantikan Papa untuk menjagamu," katanya ketika kedua matanya menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan. " Bagaimana hubungan kalian? Papa tidak menyangka kau akan kembali hari ini bersama suamimu. Apa ada kabar bahagia yang harus Papa dengar?"

"Kabar bahagia apa maksud, Papa?"

"Ya, tentang kalian yang memberikan Papa seorang cucu?"

Aku langsung menoleh ke arah pria itu, entahlah aku hanya terkejut juga penasaran bagaimana reaksi pria itu.

Cucu? Menyentuhku saja dia tidak. Jangankan menyentuh, kami bahkan tidak berbagi kamar yang sama.

"Kami baru saja menikah beberapa hari lalu. Satu minggu saja belum."

Papa kembali terkekeh ringan lalu membelai wajahku. "Tolong jaga dia," pintanya, dan Raga hanya menatap tanpa ekspresi. Seperti biasa, tidak ada yang tahu apa yang tengah dipikirkannya.

"Papa harus cepat sembuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Jangan meminta siapapun untuk menjagaku. Papa adalah orang yang terbaik dalam hal itu."

"Apa yang kau katakan? Kau sudah punya suami, Sayang. Ia yang akan bertanggung jawab menjagamu sekarang. Bukan begitu, Nak? Kau akan menjaganya bukan?"

"Tentu. Aku akan menjaga dan melindunginya sekarang," jawab pria itu. Dan apa-apaan usapan tangannya di kepalaku.

Apa maksud dari kata-katanya? Mengapa terdengar seperti dia menyumpahi Papa agar cepat meninggal.

Mataku menatapnya protes akan apa yang dia ucapkan. Tapi, ia membalasnya dengan tatapan yang hangat dan penuh cinta yang biasa dia berikan padaku dulu. Sesaat hatikupun merasa hangat melihat tatapan itu lagi. Tapi, lagi-lagi ini bukan waktunya aku terpesona dan bahagia. Pria itu hanya ber-acting. Dan aku tidak tahu apa tujuannya melakukan itu.

Papa sepertinya masuk ke dalam permainannya, terlihat bagaiman Papa tersenyum bahagia mendengar jawaban pria itu.

Apa-apaan! Aku ingin sekali berteriak memberi tahu, dia bukanlah sosok yang akan menjaga dan melindungi. Dia iblis jahat yang akan membuatku mati secara perlahan.

Andai saja, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menambah beban pikiran Papa.

Tidak lama aku berada di rumah sakit karena Raga tiba-tiba saja memberi tahuku jika hari ini adalah hari ulangtahun perusahaannya. Dan aku mau tak mau ikut ketika ia menarik ku untuk pulang. Bersiap-siap untuk nanti malam. Aku harus ada di sana karena aku istrinya. Setidaknya itu yang ia katakan, ketika aku hendak menolaknya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 36.7K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
18.8K 1K 15
Setelah kepergiannya Don Armage,Bumi kembali dalam ancaman makhluk/monster luar angkasa. Pasukan Jark Matter kini telah berada di dekat Planet Bumi...
4.5M 27.3K 6
#1 in Action 06-12-2017 (Completed) Mode Private Menceritakan tentang kisah Juan Miller yang merupakan seorang Mafia yang terkenal akan kekejamannya...
10.8K 2.9K 26
❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang...