Refrain

By Arthur_Darkschleger

13.8K 103 10

Pembunuh, kalung, militer, Jenderal Besar, organisasi teroris Akatsuki, dan Hyuuga Hinata. Naruto tidak tahu... More

1

3.6K 103 10
By Arthur_Darkschleger

IA terbangun dengan pisau tertodong pada leher. Tubuhnya gemetar, netra safir mengerjap cepat, berusaha menilik sedikit sosok yang kini berdiri di sisi ranjangnya. Siapa? Alis bertaut penuh konsentrasi. Peluh bergulir macam air terjun, bikin sensasi menggelitik di leher. Dari sudut mata, dengan pandang sembunyi-sembunyi, ia menilik raut wajah orang itu. Meneguk ludah kala bersitatap dengan sepasang netra lavender cerah tanpa emosi. Ia tidak bisa melihat wajahnya. Tertutup masker legam yang membekap sampai pangkal hidung.

"Aku tidak mengenalmu." Lirihnya, mengangkat tangan ketika bilah pisau mengiris kulit leher. Menumpahkan darah.   Naruto tidak menyangka akan terdengar begitu tenang, menghianati badai berkecamuk dalam benak. Bertolak belakang dengan lidah yang terasa kelu.

Yang tidak ia duga, adalah bagaimana orang itu meremas erat gagang pisau. Suaranya lembut, rendah, terlantun dalam gelap. "Mungkin sebuah tikaman di perut akan membuatmu ingat."

Naruto tertawa hambar, berupaya mencari cela dalam posisi orang itu. Nihil. Tangannya lembap oleh peluh. Jantung berdegup seolah tahanan minta dibebaskan. Darah berdesir dingin dalam pembuluh. Dalam hati bersikeras menerka siapa gerangan orang di hadapannya. Karena Naruto tidak ingat pernah berurusan dengan kriminal secara personal, atau melakukan hal yang bikin mereka marah. Mengabaikan denyut di areal kepala, Naruto meneguk ludah. "Oh ya? Lalu kenapa belum kau lakukan?"

Orang itu mengernyit. Tidak lolos dari pengamatan Naruto.

"Kau menginginkan sesuatu. Yang tidak bisa kau dapat bila aku mati." Kala mata orang itu memincing, Naruto tahu kalau ucapannya tepat—atau setidaknya dekat—dengan fakta sesungguhnya. Memberanikan diri, lelaki pirang dalam kondisi terdesak memutuskan bermain dengan api. Toh, bagaimanapun juga nyawanya tetap dalam bahaya.

Menarik napas dalam, Uzumaki Naruto, untuk pertama kali dalam hidupnya menyesal telah menolak pembelajaran dari Mitarashi Anko. Wanita sadis penghuni rumah tahanan kolosal Konoha yang beberapa bulan lalu sempat menawarinya cara mengulik informasi secara efisien. Kalau dia hidup setelah ini, mungkin akan didatanginya wanita itu dengan seboks penuh dango sambil memohon pengarahannya dalam seni introgasi. "Apakah seseorang dari keluargamu tertangkap olehku? Atau terbunuh?" Naruto melanjutkan. Menjilat bibir kering, lamat-lamat meminum pemandangan wajah orang itu. Yang pernapasannya mulai berat. Tepat sasaran.

"Siapa? Ibu? Ayah? Kakak? Atau," Naruto menjeda. Matanya berkilat kala gigi orang bermasker di hadapannya bergemeletuk. Perlahan, ia bangkit, berlagak kasual. Persetan dengan todongan pisau di leher. Persetan dengan kaki gemetar dan peluh yang menelusuri lekuk tulang belakang. Ia berdiri, menatap siluet figur yang ternyata lebih pendek darinya. "Adikmu?"

Orang itu menggeram. Dan baru kali ini ia sadar, penyerangnya tak bukan adalah seorang wanita. Kedua mata beriris biru membola kala pisau dalam genggaman penyerangnya dihunus tanpa ampun. Dugaannya benar! Walau cuma terka tanpa dasar, entah bagaimana Naruto bisa menembak tepat sasaran. Ia, dengan refleks semata, menepis tangan si penyerang. Kaki dibuka selebar pundak sementara si penyerang melayangkan tinju penuh tenaga ke wajahnya. Meliuk, Naruto menghindar. Dengan cepat naik ke atas ranjang dan melompat turun, menerjang menuju pintu. Gawat. Ia harus kabur.

Tapi kapan takdir pernah berpihak padanya? Si penyerang, cuma dalam hitungan detik sudah ada di belakangnya. Menendang kaki Naruto. Keras. Bikin pria bermarga Uzumaki jatuh dengan seuntai kutuk lolos dari bibir. "Sial!" Tubuhnya berdebam keras menyeruduk lantai keramik. Belum sempat bangkit, penyerangnya menindih Naruto. Dengan lutut menekan perutnya.

Naruto mendorong. Menarik lengan si penyerang ke sisi, bikin orang itu oleng. Dengan segenap tenaga, Naruto merenggut  pisau dari tangan si penyerang, menebas pada lengan orang itu. Siap menerjang lagi kala sakit menjalar di rahangnya. Orang itu menyikut Naruto, terlalu cepat untuk dilihat. Pusing menjalar di kepala. Bangkit dengan langkah mabuk, pria pirang melangkah mundur. Napasnya habis. Ruangan serasa berputar sementara penyerangnya berdiri anggun tanpa luka.

Dari pandang buram, ia cuma bisa menatap bagaimana si penyerang melayangkan tinju. Tidak sempat bereaksi kala kepalan tangan itu berkontak dengan perutnya dalam kecepatan penuh. Naruto terempas mundur, pinggangnya terantuk nakas, menjatuhkan botol birnya sisa semalam dengan bunyi nyaring. Pecahannya bercecer sekitar tubuhnya.

Sekali lagi, Naruto bisa merasakan bilah pisau mengancam tepat semili dari leher. Dan untuk pertama kali di malam itu, ia dapat menatap wajah penyerangnya jelas. Telusup sinar bulan lewat sesekat jendela sebelah ranjang jatuh pada sosok di hadapannya, menegaskan sepasang lavender yang menatap intens ke arahnya. Untuk pertama kali dalam malam itu pula, Naruto, merasakan tarikan aneh dalam dada. Yang menjeritkan seutas kalimat. "Apa aku mengenalmu?"

Hal terakhir yang dapat dilihat Naruto adalah bagaimana kedua netra lavender membola. Penuh kejut. Sebelum pintunya didobrak terbuka, lepas dari engselnya. Di mulut pintu berdiri tiga sosok tegap berseragam biru rapi, menodongkan pistol. "Diam di tempat!"

Tapi si penyerang tak mendengar. Ia sudah berdiri, berlari zigzag menghindari peluru, menerjang menuju jendela. Genma Shiranui, masih mengulum jarumnya, mengejar. Sementara dua rekannya, Izumo dan Kotetsu, menghampiri Naruto. Tembakan dilepas, menghujam penyerangnya yang baru saja lompat ke luar jendela. Dari posisinya, Naruto bisa mendengar Genma mengumpat marah. Alis pria itu berkedut kala memasukkan pistol ke balik saku.

"Maaf terlambat, tuan."

Naruto cuma bisa mengangguk. Malam yang panjang, pikirnya. Melirik kalung kecil dalam genggaman. Yang terjatuh dari leher si penyerang dalam perkelahian tadi.  Siapq sebenarnya gadis itu? Untuk kesekian kalinya, ia bertanya. Tanpa jawaban.

***

Reaksi Sasuke kala pertama kali melihat Naruto, pagi itu, dengan lebam di sekitar rahangnya adalah tertawa. Tawa merendahkan yang sudah dikenal persis dari rivalnya. Mata gelap pria itu menekuk jenaka, rambut hitam berpotongan aneh disisir dengan jemari sementara pekerjaan di meja terabai sejenak. Naruto mengumpat, menarik kursinya tepat di sebrang penerus keluarga Uchiha seraya berdecak kasar. Kakinya sakit. Kepalanya sakit. Rahangnya sakit. Tubuhnya sakit. Dan hal yang paling diinginkannya sekarang ini adalah melayangkan bogem mentah ke wajah aristokratis Sasuke yang menyebalkan.

"Jadi, siapa yang bisa meninggalkan memar di wajah Letnan Kolonel Uzumaki yang katanya super mengagumkan?" Sasuke menyandarkan dagu pada kepal tangan. "Aku tidak menyangka kau punya fetish macam itu, Pecundang."

Debam keras melanda ruangan bukan karena tempramen Naruto yang biasanya melunjak. Pagi ini, si pirang tampak lesu membenturkan kepala pada mejanya. Bikin rivalnya angkat sebelah alis. "Diamlah, Brengsek. Aku terlalu lelah untuk menanggapi candamu yang tidak lucu."

Respon Naruto, seperti bensin pada kobaran api, malah memancing ejekan lain dari Uchiha muda yang kini berkilat jahil matanya. Sambil memutar pena di tangan, pria berambut hitam mendengus. "Oh? Kegiatanmu semalam benar-benar menguras tenaga, ya?"

Sumbu Naruto terbakar habis. Sisa kesabarannya menguap macam alkohol pada paparan udara. Letnan kolonel muda menggebrak meja. Menggeram dengan mata menyalak garang. "Brengsek!" Secepat kilat, ia berdiri di depan meja Sasuke yang ada di seberang ruangan. Menarik kerah pria bersurai hitam yang tidak menunjukkan ekspresi berarti. "Asal kau tahu, tamuku semalam  adalah pembunuh bayaran."

Mencengkram pergelangan tangan Naruto, Sasuke menyentaknya terlepas. Merapikan kerah kusut sebelum menatap dingin, "Bodoh, kau tidak pernah berubah. Suatu saat, emosi itu akan jadi pembunuhmu." Ia mengabaikan geram rival pirangnya, berjalan santai menuju jendela lebar di sisi ruangan. Kedua netra hitam menyapu taman berhias air mancur dan bebunga merah di halaman markas. "Lalu? Tidak berniat menjelaskan?"

Amarah diteguk susah payah. Naruto duduk di meja si rambut hitam, menyingkirkan beberapa berkas belum tuntas. "Aku lengah," kurangnya respon dari Sasuke membuat Naruto agak risih. Tapi tetap melanjutkan, "Kau tahu, semalam."

"Perayaan ulang tahun Letnan Dua Konohamaru?" Mendapati afirmasi dari Naruto, alis Sasuke terangkat tinggi. "Kupikir kau tidak jadi ikut."

"Itu dia, Brengsek. Konohamaru memaksa aku ikut." Mengacak surai pirangnya, Naruto mengerang jengah. "Aku minum terlalu banyak."

Tidak perlu kata untuk mengerti apa yang Sasuke ucap padanya. Tatapan malas dan alis yang jatuh bosan cukup membuat Naruto memekik frustrasi. "Aku tahu! Aku bodoh!" Mengumpulkan napas, ia melempar tangan ke udara. Langit-langit ditatap dongkol. "Saat pesta selesai, aku tidak ingat apapun!" Sekarang netranya jatuh pada Sasuke, bibir menganga seakan tak percaya pada dirinya sendiri. "Lalu bayangkan saja aku terbangun dengan pisau di leher! Mabukku benar-benar habis menguap kala itu, Brengsek."

Sasuke mengembus kasar. Tiba-tiba lelah oleh cerita rival bodohnya. Ia menjilat bibir, bingung bagaimana menamparkan akal sehat pada lelaki yang dari orok sudah tumbuh denganya, terimakasih pada Kushina dan Mikoto yang dulu katanya sahabat baik. "Kemana ilmu bela diri yang selama ini dicecarkan Letnan Jenderal Jiraiya pada otak bebalmu?"

"Aku masih dalam efek minum, Sasuke!" Untuk pertama kali dalam obrolan, Naruto menyebut nama lawan bicaranya. Membentak dengan sudut mata berkedut. "Dan lagi, orang itu sangat cepat." Gumamnya.

Duduk kembali ke kursi putarnya, Sasuke membuka laci meja perlahan. Dalam diam merasakan tatapan Naruto. "Jenderal Besar Sarutobi memanggilmu." Ia melempar sebuah amplop putih pada Naruto yang kelabakan. "Sekarang juga."

Panik menjalar ke sekujur tubuh, Naruto melompat turun dari meja dengan pekik tidak maco. Ia menjambak rambutnya sendiri, buru-buru merapikan seragam kusutnya. Dan berlari menuju pintu.

"Naruto." Si pirang berhenti di depan pintu. Langkahnya membantung, tidak berkutik, tapi tidak pula menoleh. "Ingat kematian dia? Mungkin kau sudah lupa karena itu kejadian lama. Tapi kuingatkan, kau, aku, kita punya musuh."

Naruto tidak menjawab. Melangkah keluar tanpa jeda. Meninggalkan rivalnya dengan debam pintu di koridor sepi. "Aku tahu, Brengsek."

***

Mengenal baik Jenderal Besar militer Konoha tidak membuat Naruto kebal terhadap intimidasi lelaki sepuh yang tengah mengisap cerutunya ini. Naruto meneguk ludah, memberi hormat. "Jenderal Besar Sarutobi." Dan berdiri tegak kala lelaki tua itu menggestur padanya.

"Duduklah, Letnan Kolonel." Suaranya tegas, tidak peduli berapa banyak rambut putih menghias kepala, memerintah.

Naruto tidak bisa melakukan apapun kecuali menurut. Duduk di sofa kulit depan meja kerja Sarutobi. Dengan lirikan lelaki sepuh itu, sekretaris dengan bekas luka horizontal di hidung dan rambut terikat, Umino Iruka, pamit keluar ruangan. Meremas celananya, Naruto menatap tegang. Mengamati bagaimana Sarutobi mengetukkan cerutu pada asbak dengan detak keras. Asap mengepul dari belah bibir sementara ia membaca berkas di meja, santai. Adrenalin terpacu naik ke kepala, Naruto gigit bibir serasa menunggu vonis mati.

"Kapten Shiranui melapor soal peristiwa malam tadi." Ia menatap dari balik lensa bening kacamata. Bibir menipis tak puas. "Tidak perlu bersikap formal. Naruto."

Letnan kolonel pirang mengembus lega. Kakek yang dulu mengasuhnya sudah melepas topeng Jenderal Besarnya, bikin beban yang semula terakumulasi di pundak menguar tanpa jejak. Naruto bersandar lelah. Menikmati sofa kulit tempatnya duduk sementara mata tak lepas dari langit-langit. Seakan itu adalah benda paling menarik di dunia. "Tidak Kakek atau si Brengsek sama berisiknya soal masalah ini."

Alis Sarutobi terangkat tinggi, menambah kerut pada wajah. "Oh ya? Dalam kamusku, nak, percobaan pembunuhan bukanlah perkara ringan." Ia menaruh kembali berkas dalam genggaman. "Apalagi dilakukan pada cucuku."

Sejenak, sorot mata Naruto melunak. Hatinya terasa hangat mendengar ucapan Sarutobi. Tidak sering dia bisa menghabiskan waktu dengan pria tua ini, mengingat posisi Sarutobi sebagai Jenderal Besar dan kepala negara Konoha. Pasalnya, Konoha adalah negara berbasis militer. Ia menegakkan badan, mengusap tengkuk dan tersenyum tipis. "Terima kasih, kek. Maaf aku lengah."

"Heh, anak bodoh." Terkekeh, wajah Sarutobi kemudian berubah serius. "Apa kau mengenal siapa pelakunya? Ciri-cirinya?"

Pikiran Naruto terseret kembali pada malam tadi. Kilas lekuk wajah penyerangnya yang tak begitu kentara mampir sesaat. Rambut gelap yang terikat rapi, pakaian serba hitam, dan netra lavender yang menatap tajam. Mengingat tinggi si penyerang yang cuma sampai pertengahan lehernya, dan suara lembut tajam, Naruto berasumsi penyerang misterius itu adalah wanita. Sekitar dua puluh tujuh tahun, seumuran dengannya. Tanpa sadar, tangannya terkepal, sementara yang kiri menelusup ke saku. Meremas kalung si penyerang yang jatuh tertinggal. Gestur yang tidak lolos dari pengamatan tajam Sarutobi. Naruto menelan ludah. Tenggorokannya sempit seolah tersumpal bola bisbol. "Aku tidak tahu." Diantara gemertak gigi ia mendesis. Gagal, sekali lagi, mengontrol buncah emosi.

Otaknya, akal sehatnya, menjerit marah. Apa yang dia lakukan? Kenapa dia tidak memberitahunya pada Sarutobi? Naruto tidak paham. Yang ia ketahui saat ini adalah rasa gelisah dalam hati. Menahan. Memohon pada Naruto untuk tidak bicara lebih jauh soal penyerangnya.

"Apakah dia meninggalkan barang bukti?"

Pandangan Sarutobi jatuh pada tangan Naruto yang semakin erat terkepal dalam saku. Pemuda pirang itu menggeleng, tidak menatap mata Sarutobi. "Tidak. Tidak ada bukti apapun, Jenderal Besar."

Naruto tahu Sarutobi curiga padanya. Karena itu ia tak berani mengangkat kepala. Kembali pada nada formal sambil berusaha mengontrol wajah. Ketika pria tua pemimpin Konoha mengembus, memutuskan untuk membiarkan Naruto dan kebohongannya, si pirang cuma bisa mendesah lega.

"Letnan Kolonel." Sarutobi memanggil tegas. Naruti berdiri tegak. "Besok, akan diadakan pertemuan dengan keluarga Hyuuga. Aku mengutusmu untuk hadir dengan dua orang anak buah." Mengisap kembali cerutunya, "Ini perihal warisan keluarga bangsawan itu. Kau dan anak buahmu akan menjadi saksi pembacaan wasiat. Entah warisan itu jatuh pada Brigadir Jenderal Hyuuga, atau sepupu wanitanya, Kapten Hyuuga."

Sebuah kertas disodorkan pada Naruto, menampakkan wajah dua orang personil militer. Salah satunya wanita, dengan nama Hyuuga Hinata terbordir di seragamnya. Naruto mengangguk. Memberi hormat, dan pergi keluar ruangan. Menggenggam erat kalung dalam saku, ia bergumam. "Hyuuga, ya?" Ia merasa besok akan jadi hari yang panjang. Lebih panjang dari semalam. Sial.

TBC

Ini cerita lama yang saya tulis ulang dengan konsep sama namun berbeda latar dan plot. Hahaha. Mohon kritik dan sarannya. Kalau anda tidak suka membaca cerita ini maka tolong, jangan dibaca. Menyiksa diri sendiri, kan :(

Sat. 16. 2. 20

Continue Reading

You'll Also Like

34.1K 5.1K 19
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
Tentang Takdir By

Fanfiction

42K 3.3K 55
Ayoooo siapa yang dari kemaren nungguin season 2 nya MARIALINO. ini adalah kelanjutan dari MARIALINO, jangan lupa baca dulu yaa bagian cerita MARIALI...
78.5K 9.2K 13
Misi pertama gue udah berhasil bikin ka gita mencair, sekarang misi gue selanjutnya adalah bikin ka gita nikahin gue! - Kathrina.
183K 28.7K 52
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...