The Prince's Escape [Season#2...

By RirisRF

50.2K 1.4K 2.6K

Karena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya y... More

WELCOME
SEASON 2
Prolog
Marsha's Bodyguard
Ketua OSIS
Double Date
Kabur
Bidadari dan Kurcaci
Keputusan
Arfin, I Love You
ARES
Karyawan Magang
Permohonan
Kakak Tiri
Puisi Rahasia untuk Arfin
Kesempatan untuk Rian?
Di Jalan Masing-Masing
Kunang-Kunang
Apa Kamu Bahagia?
Kamu cantik....
Happy Birthday, Mona!
Rahasia Mona
Abang...
Kamu kenapa, A?
Skorsing
Jangan Minta Lebih
Arfin
SEASON 3
Open PO

Simpul Tali Ruwet

750 27 141
By RirisRF

Monday. Hari yang bagi sebagian banyak orang tak menyenangkan. Karena setelah weekend berakhir, mereka harus menghadapi rutinitasnya kembali. Tapi Marsha tidak setuju, karena hari senin adalah hari dimana dia bisa bertemu dengan pangerannya kembali di sekolah. Jadi, menurut dia, hari senin itu hari paling menyenangkan dibanding hari-hari lain. Kecuali malam minggu sih, saat Arfin apel ke rumah.

Pagi ini, sebelum jam pertama dimulai, mereka harus mengikuti upacara bendera. Selain untuk mengucap cinta pada bangsa dan tanah air, upacara kali ini bertemakan semangat untuk meraih cita-cita. Pak Kepala Sekolah menggebu-gebu saat berpidato, merasa bangga karena sekolah yang dia pimpin berhasil menyabet medali emas Olimpiade Internasional untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Arfin yang disuruh maju ke depan untuk menerima piala dan medali tidak begitu antusias melakukannya. Tapi untungnya dia tidak kabur seperti yang sudah-sudah. Anak-anak satu sekolah bertepuk tangan meriah untuknya. Sampai akhirnya ada satu tepukan paling keras di deretan anak-anak paling depan. Pandangan Arfin menyapu lalu menemukan cewek itu. Marsha. Sorot mata cewek itu berbinar saat tanpa malu dia berteriak, "AILOPYU ARFIN!"

Mendapat teriakan itu, Arfin tertawa dan melambaikan tangan padanya. Reaksi semua anak bermacam-macam. Ada yang jengkel, ada yang mengatainya tidak tahu malu, ada yang ingin menimpuknya. Tapi kebanyakan mencie-cie dan melontarkan ledekan. Marsha tidak peduli dikata norak. Toh satu sekolah sudah tahu kalau dia pacar Arfin, bahkan sempat membullynya karena mengira dia selingkuh. Jadi apapun yang akan mereka pikirkan atau lakukan, udah masa bodohlah!

Sejak kejadian pengamanan Arfin untuk Marsha di pesta ulang tahun Mona, akhirnya kabar perselingkuhan Marsha terpatahkan. Buktinya mereka masih mesra-mesra saja. Rian juga sudah tidak kelihatan mendekati Marsha lagi akhir-akhir ini. Hidup Marsha kembali adem ayem sekarang.

"Sha! Mona kenapa nggak masuk?" tanya Lani ketika upacara sudah berakhir dan mereka menuju kelas masing-masing. Dapat pertanyaan itu, Marsha malah baru sadar dengan absennya sang sahabat. Dari tadi dia hanya fokus sama Arfin, jadi tidak begitu memperhatikan sekitar.

"Iya, ya. Mona nggak ngasih kabar sih."

"Kecapean kali karena pesta kemarin," sambung Rara.

"Coba gue telepon dulu." Marsha mengeluarkan smartphone lalu mencoba menghubungi nomor Mona. Nadanya tersambung tapi tidak juga diangkat. Mengernyit, Marsha mencoba sekali lagi. Hasilnya tetap sama.

"Nggak diangkat," ucap Marsha. Kedua temannya pun sama bingungnya. Tidak biasanya Mona tidak masuk tanpa kabar.

"Kalau pulang sekolah kita samper ke rumahnya gimana?" usul Lani.

"Yuk. Takutnya dia sakit. Kasihan. Mamanya kan sibuk." Marsha mengangguk setuju.

"Gue ikut," tambah Rara.

Mereka pun sepakat.

***

Karena Mona tak kunjung memberi kabar sampai bel pulang sekolah berbunyi, akhirnya mereka bertiga memutuskan melaksanakan niat mereka untuk ke rumah cewek itu. Dengan berbekal buah-buahan yang dibungkus kotak cantik, di sinilah mereka sekarang. Di depan pintu gerbang rumah Mona. Halaman rumahnya sudah benar-benar bersih dari sisa-sisa pesta kemarin.

"Kalau ternyata Mona lagi pergi gimana?" tanya Rara yang ragu-ragu untuk memencet bel.

"Kita bagilah buah ini bertiga," jawab Marsha sekenanya.

"Yes!" Karena kelamaan, akhirnya Lani menggantikan Rara memencet bel. Dan ketiga kalinya bel itu dipencet akhirnya ada juga yang membuka pintu rumah. Surprisely, Mona yang muncul.

"Oh, kalian," desisnya. Dengan lesu dia menuju gerbang dan membukanya untuk mereka. Dengan wajah pucatnya, Mona memaksakan diri untuk tersenyum. "Masuk."

"Lo sakit, Mon?" tanya Marsha dengan kerut khawatir.

"Iya lo tumben banget nggak masuk, nggak ngasih kabar pula!" tambah Lani.

"Gue pikir malah lo lagi pergi." Rara nyengir.

Mendengar perhatian teman-temannya itu, Mona kembali tersenyum. Senyum tulus. Bukan senyum dipaksakan seperti tadi.

"Gue nggak papa kok. Makasih ya kalian mau datang..." ucapnya.

"Nggak papa gimana? Muka lo pucet tuh." Marsha menyodorkan buah-buahan di tangannya. "Nih ambil."

"Dimakan, ya. Jangan sampai nggak dimakan!" tandas Lani.

"Iya, iya..." Mona menerimanya dengan senang hati. "Nggak mau pada masuk nih? Mau di sini aja?"

"Yuk, yuk...." Akhirnya mereka mengikuti Mona masuk ke dalam rumah. Interior rumah Mona bertemakan scandinavian dengan perpaduan warna putih dan coklat yang hangat. Mirip rumah-rumah yang sering mereka lihat di drama korea.

Mona mengajak mereka langsung ke kamar. Betapa terkejutnya mereka saat melihat ada TV berukuran 50 inch berada di sana, menampilkan wajah Song Kang sedang beradu akting dengan lawan mainnya.

"Gila lo pasti nggak masuk sekolah gara-gara mau nonton ini seharian, ya?" gurau Lani.

"Mona nggak mungkinlah. Kalau lo gue sih percaya," balas Marsha.

"Berantem mulu kalian...." Rara yang sudah jengah dengan kebiasaan mereka hanya menghela napas panjang.

Sementara Mona yang sudah duduk di kasur hanya cengengesan. Seperti biasa, moodnya lebih bagus kalau sudah bersama mereka. Tahu begini sih mending dia berangkat sekolah tadi, pikirnya.

"Gue bikinin minum dulu ya? Kalian yang anteng lho, anak-anaak...." gurau Mona, meletakkan telunjuknya ke bibir.

"Siap Bu Mon...." Marsha mengangkat tangannya ke pelipis, membentuk tanda hormat.

"Minta es batunya yang banyak!"

"Gue jangan es ah, anget aja!"

Mona nyengir sebelum benar-benar meninggalkan kamar. Sepeninggalan Mona, mereka lanjut menonton aksi Song Kang di layar kaca.

"Ya ampun gue terSongkang-Songkang deh! Cakep banget sih!" Lani berdecak lalu menggeleng-gelengkan kepala karena terlalu kagum.

"Cakepan Lee Su Ho-lah!" bantah Rara tak mau kalah. Katanya ngefans, tapi saat Lani bertanya nama aslinya Lee Su Ho itu, Rara hanya garuk-garuk kepala, lupa katanya.

"Kalau lo, Sha?" Tiba-tiba Lani bertanya padanya.

"Apa?"

"Suka sama siapa?"

"Arfin." Setelah menjawab secara impulsif, Marsha langsung mengatupkan bibir rapat-rapat. Sungguh, dia benar-benar refleks menjawabnya. Mungkin karena apapun yang sedang dia lakukan, di manapun dia berada, cowok itu selalu mendominasi pikirannya. Lagian mereka langsung bertanya begitu. Harusnya kan lengkap, siapa aktor Korea yang dia suka, gitu kan pasti dia tidak akan refleks begitu. Marsha hanya nyengir sambil membentuk jarinya menjadi huruf "V" saat mendapat tatapan mencela dari mereka.

"Dasar bucin!" Lani maupun Rara kompak mengatainya.

Tak menunggu lama, akhirnya Mona masuk membawa nampan berisi minuman dan cemilan keripik kentang.

"Pengertian banget sih lo, Mon...." ujar Lani kesenangan, bukan hanya karena Mona membawa minuman sesuai pesanannya, tapi karena Mona juga membawa cemilan untuk bekal mereka melanjutkan menonton. Porsinya banyak lagi. Cukuplah untuk berempat sampai sore nanti.

"Iya dong, kalian udah jauh-jauh datang ke sini, masa mau gue anggurin?" tandas Mona, "Kalian pasti kelaparan juga, kan? Tenang, gue udah suruh Bibi buat masak."

"Duh, Mon, Nggak usah repot-repot! Tiap hari gue ke sini, ya?" cengir Marsha.

"Kalau tiap hari Mah, mending lo bawa bekal sendiri ke sini," balas Mona.

"Ssssttt..." Lani menyuruh mereka diam karena tak mau suara mereka mengganggu konsentrasinya menonton.

"Duileh, segitunya." Rara menoyor kepala Lani. Tapi Lani yang sedang larut, tak mau mempedulikan ataupun membalasnya.

Sampai akhirnya mereka berempat pun diam, ikut menonton. Emang ya, drama Korea itu tidak ada matinya. Ceritanya kreatif, apalagi didukung oleh aktris dan aktor yang sedap dipandang mata. Nontonnya jadi selalu pengen maraton.

Saat sedang larut melihat adegan menyedihkan karena Na-Bi ditinggal begitu saja oleh Hye Joon, Marsha, Lani, Rara dikejutkan oleh Mona yang tiba-tiba menangis. Langsung sesenggukan.

"Kenapa, Mon?" Marsha bertanya menghampiri Mona yang duduk di tempat tidurnya, lalu mengelus punggungnya. Lani dan Rara pun ikut menghampiri dengan ekspresi khawatir.

"Itu..." Mona menunjuk layar TVnya. "Cowoknya bangsat banget langsung ninggalin si Na-Bi... mau enaknya doang.... Kasihan banget si Nabi...." Mona lanjut menangis.

"Ya ampun, Mon. Kayak gitu doang lo nangis?" Lani menggeleng-geleng heran. "Belum nonton Stairway to Heaven sih ya, pasti nangisnya bakal 3 hari 3 malam."

Karena ternyata masalah sepele, akhirnya Lani dan Rara kembali lagi duduk di depan TV. Tapi Marsha tidak. Dia tahu ada yang Mona sembunyikan. Ada yang tidak bisa Mona ceritakan. Hal yang berhubungan dengan alasannya tidak masuk sekolah hari ini. Tapi dia juga tidak ingin bertanya mencecarnya. Biarlah Mona yang punya hak preogratif untuk cerita. Yang bisa Marsha lakukan sekarang hanyalah memeluk sahabatnya itu, menenangkan hatinya.

"Pokoknya kalau lo butuh tempat cerita, dateng aja ke gue, ya? Rumah gue terbuka buat lo kapan pun lo mau. Kalau perlu kayak UGD 24 jam gue buka."

Mona tersenyum menyeka air matanya kemudian mengangguk. "Thank's, Sha."

"Udah ya, jangan nangis lagi." Marsha mengusap punggung Mona lembut. Dia curiga, kegalauan Mona kali ini ada 2 kemungkinan. Kalau tidak karena mamanya berarti karena Bintang.

Smartphone Marsha mendadak bergetar di balik sakunya. Gadis itu menahan senyum saat mengetahui Arfin yang mengirim pesan.

Jadi jenguk Mona, Sha?

Dengan kecepatan penuh, jari Marsha mengetik balasan : Iya ini malah lagi pada nonton drakor di rumahnya

Arfin :

Udah makan?

Mona mengerling Marsha yang tidak bisa berhenti tersenyum. Ikut bahagia melihat sahabatnya menemukan cowok yang begitu perhatian. Dalam hati dia berdoa, semoga Marsha tidak mengalami hal yang serupa seperti apa yang dialaminya.

Di seberang sana, Arfin tidak bisa menyembunyikan senyum saat membaca pesan terakhir Marsha yang menyemangatinya yang diberi bumbu emoji kiss. Dia memasukkan smartphone ke saku kemejanya lalu mengeluarkan jas Pak Ares -yang dia pinjam kemarin malam saat menemani bosnya itu melobby salah satu perusahaan Fintech- dari tumpukan seragam sekolah serta baju-bajunya yang tertata rapi di gantungan lemarinya. Dia harus tetap menjaga kerapian itu kalau tidak mau mendapat omelan dari sang Nyonya.

Beberapa waktu lalu, saat Marsha pertama kalinya main ke sini, dia langsung mendapat omelan begitu cewek itu melihat lemarinya kacau balau. Tapi meski sambil ngomel, Marsha tetap membantu merapikannya, sih. Bukan cuma itu. Ternyata kasur lantai butut milik sang ibu kos pun tidak luput dari perhatian Marsha. Gadis itu datang lagi membawa satu set seprei beserta sarung bantal keesokan harinya. Sejak itu, Arfin jadi ogah-ogahan menerima Awan ataupun Didi untuk masuk kamarnya. Karena yang dipasang Marsha adalah seprei berwarna pink dengan motif Hello Kitty. Bisa-bisa hidupnya tidak akan pernah tenang kalau sampai mereka melihatnya.

Arfin sudah selesai siap-siap dan saat membuka pintu, dia terkejut karena tahu-tahu ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Hermawan, Papa tirinya, seseorang yang paling ingin dia hindari itu tersenyum padanya. Hal yang susah dilihat di wajah beliau.

"Arfin. Gimana kabarmu, Nak?" sapa Hermawan.

Mau tidak mau, Arfin mempersilakan beliau duduk di kursi plastik teras lalu mengabari salah satu rekannya kalau dia akan sedikit terlambat.

"Langsung aja, ada perlu apa Papa ke sini?" tanya Arfin begitu mereka duduk. Tidak mau berbasa-basi, pun tidak mau repot-repot menawari beliau minum. Herwaman yang terbiasa dengan sofa hotel dan kursi direktur kesayangannya, terlihat tidak nyaman duduk di kursi itu.

"Papa nggak mau apa-apa," Hermawan menghela napas, mencoba menekan harga dirinya serendah mungkin. "Papa cuma mau kamu pulang, Nak. Cuma dengan kamu pulang, Mama kamu juga mau pulang."

Oh, jadi itu masalahnya!

"Papa mau minta maaf dengan segala kelakuan papa yang sudah-sudah. Sebenarnya waktu itu Papa memang nggak bener-bener mau ngusir kamu. Papa pikir kamu nggak akan bisa bertahan tanpa Papa sama Mama. Ternyata Papa salah. Papa menyesal usir kamu dan biarin Mama kamu pergi. Papa nggak bisa hidup kayak gini. Sendirian. Kamu pulang, ya?"

Enak banget dia ngomong, pikir Arfin. Tapi karena Hermawan mengatakannya dengan suara tulus, Arfin jadi sedikit melunak. Dia memang tidak bisa menerima alasan apapun dari perlakuan Hermawan padanya. Meski mereka sering perang dingin begitu, Beliau tetap papanya. Papa yang sudah ikut andil membesarkannya. Arfin tetap harus menghormatinya.

"Bukan aku yang bikin Mama pergi, tapi Papa sendiri alasannya." Ucapan Arfin membuat kening Hermawan berkerut bertanya-tanya. "Coba Papa temui anak papa, minta maaf, ajak dia ketemu Mama. Mama ingin minta maaf, tapi belum berani." Arfin memutuskan untuk memberitahu.

"Tapi...." Hermawan menggeleng menolak usulan itu. "Anak Papa cuma kamu!"

Ternyata watak tetaplah watak, tidak bisa kita mengubahnya semudah membalikkan telapak tangan.

"Papa yang menciptakan keadaan seperti simpul tali ruwet, jadi Papa sendiri yang harus melepasnya dengan hati-hati, biar nggak putus."

Arfin berdiri lalu meninggalkan Hermawan begitu saja yang masih merenung, mencerna makna kata-kata yang baru saja dia lontarkan.

Continue Reading

You'll Also Like

89.1K 2.8K 30
[ONGOING 🔞] #8 insanity :- Wed, May 15, 2024. #2 yanderefanfic :- Sat, May 18, 2024. After y/n became an orphan, she had to do everything by herself...
30.6K 1K 26
Atsushi has been having an headache but he never tell anyone about it. Soon he's found out something through his memories... But what is it? Will the...
17.1M 654K 64
Bitmiş nefesi, biraz kırılgan sesi, Mavilikleri buz tutmuş, Elleri nasırlı, Gözleri gözlerime kenetli; "İyi ki girdin hayatıma." Diyor. Ellerim eller...
14.3K 1.1K 16
When you have mistaken him as an escort after having an one night stand ~ him as a rich ceo Achievements! #1 17 - june 6, 24 #6 hansol - june 6...