My Mina ✓

By SkiaLingga

3.9M 288K 13.6K

Chara memiliki mate, tapi karena kesalahpahaman, mereka berpisah. Jadi, Chara memutuskan pergi untuk menyelam... More

My Mina
Prolog
Tou Mina (1)
Tou Mina (2)
Tou Mina (3)
Tou Mina (4)
Tou Mina (5)
Tou Mina (6)
Tou Mina (7)
Tou Mina (8)
Tou Mina (9)
Tou Mina (10)
Tou Mina (12)
Tou Mina (13)
Tou Mina (14)
Tou Mina (15)
Tou Mina (16)
Tou Mina (17)
Tou Mina (18)
Tou Mina (19)
Tou Mina (20)
Tou Mina (21)
Tou Mina (22)
Tou Mina (23)
Tou Mina (24)
Tou Mina (25)
Tou Mina (26)
Tou Mina (27)
Tou Mina (28)
Tou Mina (29)
EPILOG
Q and A

Tou Mina (11)

141K 9.9K 387
By SkiaLingga

"Ketika cinta terjaga segeralah ikuti jalannya. Ikutilah sekalipun jalan itu sulit dan curam.

Dan ketika sayap-sayapnya mengepak berteriaklah kepadanya. Sekalipun pedang yang terselip di antara sayapnya akan melukaimu.

Dan ketika dia berbicara kepadamu, percayalah padanya. Meskipun suaranya mungkin meleburkan impianmu saat angin utara mulai menyapu taman itu."

_Kahlil Gibran

_____________________________________


Chara's POV

Sudah lebih dari dua minggu lalu sejak Lucian mengatakan dia mencintaiku. Tidak hanya itu, dia juga mengatakan dia mencintai diriku yang lain. Bahkan sebelum dia melihat wujudnya sekali pun. Jade ...

Hubungan kami baik-baik saja selama ini. Hanya saja, tiba-tiba dua hari yang lalu ada sedikit yang aneh dengan diri Lucian. Aku melihat matanya yang terlalu sering berubah-ubah warna. Dan itu sedikit membuatku khawatir. Juga, hampir selalu aku mendapati Lucian seperti seseorang yang sedang menahan emosinya sejak kemarin. Entah apa yang terjadi padanya. Aku ingin bertanya, tapi dia terus berusaha menghindariku.

Dan sejak dari dua hari yang lalu juga, Lucian tidak tidur di kamar kami. Dia lebih memilih mengurung dirinya di ruang kerja. Hanya pelayan yang keluar masuk mengantar kebutuhannya. Saat aku masuk, Lucian akan buru-buru menyuruhku keluar.

Kali ini entah apa yang terjadi ...

'Bruk!'

'Prang!!'

Aku terlonjak kaget mendengar suara berdentum dan disusul suara benda yang pecah itu, suara itu terdengar berbarengan dengan suara dari pintu utama yang terbuka. Mom, Dad dan Kaleela yang baru masuk ikut terkejut mendengarnya.

Suara itu berasal dari arah ruang kerja Lucian. Kami buru-buru menghampiri ruangan itu bahkan tanpa menyapa dulu satu sama lain, mengingat sudah lebih dari tiga minggu kami semua tidak pernah bertemu.

Kami sampai di depan ruang kerja Lucian, dan mendapati beberapa pelayan berlari keluar dengan wajah takut dan panik. Dad masuk lebih dulu tanpa bertanya pada pelayan itu. Saat aku hendak mengikutinya masuk, dad berbalik setelah melihat ke dalam sejenak dan menahanku di depan pintu. Wajahnya terlihat cemas.

"Kalian tunggu saja di sini." Kata Dad.

"Ada apa Dad?" Tanyaku ikutan cemas.

"Ada apa Ledarius?" Tanya Mom.

"Tenang saja. Yang pasti sekarang kalian tunggu saja di ruang tamu." Perintah Dad yang akhirnya kami angguki.

Aku kembali terlonjak saat mendengar suara teriakan yang sangat keras. Sesuatu seperti menyayat hatiku saat mendengar teriakan pilu itu. Itu suara Lucian. Teriakannya terdengar penuh dengan kesakitan dan amarah.

Mom mengusap punggung tanganku. "Tenang saja Chara, Lucian pasti baik-baik saja." Kata Mom berusaha menenangkanku.

Aku coba untuk tersenyum. Tapi tidak dapat dipungkiri jika aku memang tetap saja masih cemas saat ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada Lucian?

Dad akhirnya datang setelah hampir satu jam. Satu jam yang rasanya seperti setahun. Penampilan Dad tampak kusut. Bajunya sudah acak-acakan dan keringat menetes dari dahinya.

"Bagaimana Dad, apa Lucian baik-baik saja?" Tanyaku khawatir ketika melihat wajah cemas Dad Ledarius.

"Dia tidak apa-apa. Chara, bolehkah Dad bertanya sesuatu?" Tanyanya.

Aku mengangguk bingung. "Ya."

"Apakah hubunganmu dan Lucian baik-baik saja?"

Kenapa Dad bertanya seperti itu? "Ya, kami baik-baik saja. Memangnya ada apa Dad?"

"Maaf jika ini menyinggungmu. Apakah ... Lucian sudah menandaimu?" Tanya Dad sedikit was-was.

Aku menggeleng. "Belum. Mengapa Dad menanyakan hal itu?" Dad menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan gusar.

"Lucian belum menandaimu Chara?" Kali ini Mom yang bertanya dan aku kembali mengangguk.

Wajah Mom terlihat bingung dan cemas sambil menatap ke arah leherku. Dan wajahnya tampak kecewa saat melihat apa yang dicarinya tidak ada di sana. Tidak ada tanda kepemilikan Lucian di leherku.

"Ada apa?" Tanyaku semakin khawatir.

"Chara, Dad tahu kau memiliki masa lalu yang berat. Tapi ... akan sangat tidak adil jika kau belum bisa membuka dirimu dan menerima Lucian seutuhnya di saat Lucian sendiri sudah menerimamu dengan hatinya."

Aku mengernyitkan dahiku. Dan Dad kembali berbicara. "Chara, kau harus tahu jika werewolf  yang telah bertemu dengan mate-nya dan mereka belum melakukan proses sebagaimana mestinya, itu sangat salah. Akan ada yang menderita dari salah satu di antara mereka. Seperti kau yang menderita karena mate-mu dulu, dan ini berlaku pada Lucian sekarang."

"Ke-kenapa bisa begitu Dad?" Tanyaku cemas dan takut. Lucian menderita, mendengar itu membuatku seperti dihantam palu tepat di dadaku.

Dad menarik napasnya sejenak. "Werewolf, mereka membutuhkan mate-nya lebih dari apa pun Chara, Dad kira kau tahu itu." Aku mengangguk. "Dan Lucian membutuhkanmu, tapi kau menolaknya."

"Aku tidak menolaknya Dad." Kataku.

"Tidak dengan ucapanmu sayang. Tapi dengan kau yang tidak mau dia menandaimu, itu sudah lebih dari penolakan untuknya. Dan itu akan menyakitinya perlahan."

Aku merasakan dadaku sesak. Astaga, apa yang telah kulakukan selama ini?

"Wolf  dari seorang Alpha dan Luna akan sangat lebih posesif dari pada wolf  biasa Chara. Semakin kuat wolf  itu, akan semakin besar penderitaan dan kesakitan yang dia rasakan saat mate-nya menolaknya. Dan kau harus tahu Chara, Lucian adalah salah satu dari Alpha terkuat di seluruh pack." Ujar Dad pelan.

Aku menahan napasku mendengar penuturan Dad barusan. Itu artinya, rasa sakit yang diderita Lucian saat ini benar-benar lebih dari sekedar menyiksanya.

"Mungkin selama ini Lucian berusaha menahan dirinya Chara. Tapi hari ini, barusan lebih tepatnya, dia sudah tidak dapat menahannya. Lucian ... dia sudah kehilangan kendali atas dirinya." Kata Dad tampak khawatir.

"Apa ... apa yang harus aku lakukan Dad?" Tanyaku bingung. Aku benar-benar cemas saat ini. Aku tidak ingin Lucian merasakan sakit. Aku tidak ingin dia menderita lagi karena aku.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan sayang." Jawab Dad pelan sambil tersenyum.

Aku menatap ke arah Mom dan Kaleela yang balas menatapku penuh harap. "Di mana Lucian, Dad?"

"Di kamar kalian." Jawabnya.

Aku buru-buru bangkit dan berlari menuju kamar. Baru saja saat aku akan menapaki anak tangga pertama, Dad kembali memanggilku.

"Berhati-hatilah Chara. Dia sedang kehilangan dirinya saat ini." Kata Dad yang tidak bisa menutupi rasa cemasnya.

Aku mengangguk dan kembali menaiki tangga. Aku tidak takut sedikit pun, yang aku tahu saat ini adalah aku harus menolong Lucian.

Aku mendapati Zenas, Beta Lucian berdiri di depan pintu bersama dua orang lainnya. Mereka menunduk saat melihat aku mendekat.

"Sebaiknya Anda jangan masuk saat ini, Luna. Alpha sedang tidak terkendali." Kata Zenas. Penampilannya tidak kalah kacau dari Dad. Sepertinya Lucian benar-benar mengamuk tadi.

"Tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya." Kataku yakin.

Zenas tampak cemas. "Tapi bagaimana jika Alpha akan melukai anda, Luna?"

"Dia tidak akan melukaiku. Jadi, biarkan aku masuk." Perintahku padanya. Sebenarnya aku juga tidak yakin, tapi aku tetap harus melakukannya.

Zenas masih tampak menimbang-nimbang, tapi kemudian akhirnya mengangguk. Dia menyerahkan sebuah kunci yang cukup besar kepadaku. Seolah mengerti dengan tatapan bingungku, Zenas menjelaskan kunci apa itu.

"Alpha dirantai, Luna." Ucap Zenas pelan.

Aku membelalakkan mataku terkejut saat mendengar apa yang Zenas katakan, dan dengan terburu masuk ke dalam kamar. Aku menarik napas sejenak, optimis jika apa pun yang terjadi, aku tidak akan lari. Dan, percaya jika aku pastu bisa mengatasinya.

Tapi, sepertinya pemikiran itu tidak akan bertahan lama, jika yang kudengar selanjutnya adalah suara anak kunci yang diputar.

Aku membeku sejenak, sebelum berbalik ke belakang. Dan di sana, aku melihat Lucian tengah memutar anak kuncinya, bahkan sekaligus mengaitkan kunci slot dan rantainya, namun mata lelaki itu tak berpaling dariku.

"Lucian ..." Lirihku yang memancing picingan mata darinya.

"Kesalahan besar kau masuk ke kamar ini sendirian saat aku sedang dalam kondisi seperti ini." Lucian berjalan ke arahku dengan langkah pelan. "Apa tidak ada yang memperingatimu untuk tidak masuk?"

Aku berjalan mundur menjauhinya, sambil melirik cemas ke arah pintu. Zenas bilang Lucian dirantai, sehingga membuatku panik dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke sini. Tapi, yang kulihat malah sebaliknya. Apanya yang dirantai jika Lucian dapat bergerak bebas seperti ini?!

"Itu, aku ... aku ... "

Mata lelaki itu menajam saat aku bergerak menjauhinya, "Kau menjauhiku?" Terdengar nada tak suka dari suaranya. Dia melirik ke arah tanganku, kemudian tersenyum sinis. "Mate yang baik. Kau berniat melepaskan ikatan rantaiku ya?" Tanyanya yang kuangguki walau aku bingung mengapa dia tidak menyebut namaku dan lebih memilih memanggilku dengan mate. "Mereka itu lugu sekali." Lucian berdecak, "Memangnya mereka kira aku selemah apa sampai berpikir dapat mengekangku dengan rantai itu?"

Aku meneguk ludah saat melihat Lucian menyeringai ketika aku tersudut di dekat ranjang. "Lucian, dengarkan aku. Kita--"

"Aku bukan Lucian."  Desisnya marah, mata itu berkilat saat menunduk ke arahku. "Kau tidak bisa mengenali aku siapa?"

Apa maksudnya?

Aku mengernyit, dan tersentak kaget saat menyadari ada yang berbeda dari dirinya. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari, mata itu, bukanlah warna mata Lucian.

"A-Alec ... ?" Tanyaku.

Kulihat sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas, menampilkan sebuah senyuman yang berbeda dengan senyuman milik Lucian. "Ya Sayang, ini aku ... Alec." Jawabnya.

_______


Aku masih duduk mematung saat mendengar Lucian menyebut dirinya Alec. Aku melihat sekali lagi ke arah matanya yang berwarna coklat terang dengan pendar emas. Seharusnya aku ingat pernah melihat bola mata itu saat dulu Lucian menunjukkan sosok serigalanya. Dan suaranya ... suara Lucian terdengar menjadi lebih berat dan serak. Jadi, ini suara Alec?

"A-Alec, ha-hai ... " Ujarku gugup sambil melirik dari sudut mata untuk mencari celah agar dapat menghindar darinya. Bukan karena aku takut, namun, sepertinya akan lebih bijak jika aku tidak sedekat ini dengannya jika kutahu yang berada di tubuh itu adalah Alec, bukan Lucian.

"'Hai?' " Lucian, ah ... maksudku Alec meniruku, setengah mengejek kurasa. "Itukah kata pertama yang terpikirkan olehmu saat bertemu denganku?" Tanyanya. "Chara, tahukah kau aku sangat ingin bertemu denganmu?" Lagi, Alec bertanya dan aku hanya menjawab dengan gelengan. "Karena itu, saat kau dekat denganku seperti ini, aku jadi tidak ingin membiarkanmu pergi."

Aku melirik ke arah tangan Alec, dan tersentak saat melihatnya tengah memegang rantai yang sebelumnya tergeletak di kaki ranjang. Kapan dia mengambilnya?

"Alec, kau ... kau mau apa?"

"Mau apa?" Alec mengangkat rantai itu dan meregangkannya di depan wajahku. "Menurutmu aku mau apa jika sudah memegang rantai seperti ini?" Bibirnya menyeringai ke arahku.

"Alec, jangan!" Aku memperingatkan.

Serigala ini kenapa berbeda sekali dengan bayanganku? Dulu saat pertama sekali bertemu, dia kelihatan sangat baik dan manis. Tapi sekarang, mengapa jadi menakutkan seperti ini? Apakah ini ada hubungannya dengan kondisinya dan Lucian?

"Alec, aku bilang jangan!" Aku beringsut mundur saat Alec semakin mendekat.

"Ayo kita lihat, apa yang bisa kau lakukan untuk menghentikanku." Ujarnya sambil meraih tangan kananku dan hendak merantainya ke tiang ranjang. "Tenang saja Chara, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya akan melakukan hal yang seharusnya dilakukan Lucian sejak dulu. Tapi si bodoh itu terlalu pengecut dan takut." Sambung Alec.

Tepat saat rantai itu hendak digembok, aku yang panik tak tahu lagi harus melakukan apa selain berteriak. "Alec!" Teriakku di depan wajahnya. "Hentikan, kataku!!"

Alec tersentak, wajahnya menatap terkejut ke arahku. Dan beringsut mundur saat dilihatnya aku masih melotot tajam untuk memperingatkannya. Cepat-cepat kutarik tanganku yang masih setengah terikat, dan rantai itu jatuh ke atas lantai dengan suara berat yang berisik.

Tanganku sedikit memerah walau tidak terasa sakit. Aku kembali menoleh ke arah Alec, dan terlihat kepala itu tertunduk tidak berani menatap ke arahku.

"Alec ... "

"Kau tidak suka padaku." Gumamnya pelan yang membuatku terkejut.

"Apa maksudmu? Aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu." Tanyaku tak mengerti.

"Barusan kau membentakku." Kepalanya mendongak, menatapku kesal dari sudut matanya. "Kau tidak pernah membentak Lucian. Tapi barusan, kau membentakku."

Ah, aku mengerti sekarang. Jadi, yang Alec maksud aku tak suka padanya adalah karena aku melarangnya untuk merantaiku? Pemikiran dari mana itu? Memangnya siapa yang akan suka kalau dirantai?

"Bukan begitu Alec. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran seperti itu." Aku bingung hendak memulai dari mana. Sepertinya serigala ini punya sikap yang bertolak belakang dengan Lucian, dan aku belum tahu bagaimana cara menghadapinya. "Tadi itu, bukan maksudku untuk membentakmu. Aku hanya mencoba menghentikanmu agar tidak merantaiku."

Alec mendongak, memicing penuh penilaian ke arahku. "Tapi tetap saja kau membedakan aku dengan Lucian." Kepalanya kembali menunduk, tak mau menatapku.

Aku tergagap, heran sekaligus bingung kepada sikapnya. Akhirnya kuputuskan untuk mendekat ke arah Alec yang duduk di ujung ranjang, menarik sebelah tangannya, agar perhatiannya kembali padaku.

"Dengarkan aku." Ujarku saat mata bernetra emas itu menatap tepat ke mataku. "Kau harus percaya jika kukatakan aku tidak bermaksud seperti itu. Aku sama sekali tidak membedakanmu dengan Lucian. Aku ... aku hanya terkejut tadi. Karena tidak mengira jika kau yang ada di tubuh ini." Jelasku.

Alec itu adalah serigala yang menakutkan dan kuat jika menurut cerita Kaleela, tapi kenapa sekarang dia jadi seperti anak kecil begini? Kaleela bilang, Alec juga akan marah jika perintahnya tidak dituruti, tapi kenapa di hadapanku dia malah hanya protes dengan wajah merajuk seperti itu?

Apa mungkin Kaleela salah?

Sudahlah, pikirkan itu nanti. Lebih baik sekarang aku membujuknya dan memintanya untuk berganti shift dengan Lucian.

"Ehm  ... Alec, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Apa?" Matanya memicing curiga, masih terlihat kesal.

"Bisakah kau ... maksudku, bisakah kau berganti shift dengan Lucian? Ada yang ingin kukatakan padanya." Ujarku pelan, mengamati ekspresinya dengan hati-hati.

Alec lantas berdiri, membuatku tersentak ketika dia menendang tiang ranjang sampai roboh.

"Alec, apa yang kau lakukan?!" Pekikku saat melihat Alec melakukannya.

Serigala itu menoleh, napasnya terdengar berat dan terengah. "Kau memang tidak suka padaku!" Katanya, lagi.

"Aku tidak pernah bilang seperti itu."

"Tapi apa yang kau katakan, secara tidak langsung menunjukkannya. Pertama kau membentakku, sekarang kau meminta aku berganti shift dengan Lucian!" Alec melempar tiang yang barusan dipungutnya ke arah cermin yang langsung pecah berhamburan di lantai.

Aku berteriak kaget, dan menatap tak percaya ke arahnya. Astaga, serigala ini mengamuk. Jika bukan karena kamar ini kedap suara, aku yakin jika pintu itu telah didobrak oleh Zenas sedari tadi. Namun aku tak yakin mereka tidak mendengarnya, pendengaran werewolf  itu sensitif sekali. Kemungkinan, Dad-lah yang menahan mereka agar tidak masuk ke kamar ini.

"Ini pertemuan pertama kita. Dan kau tak sampai sepuluh menit bicara padaku tapi sudah menyuruhku memanggil Lucian. Seharusnya kau senang bertemu denganku. Seharusnya kau memelukku dan mengatakan jika kau rindu padaku!" Teriaknya sambil meremas rambut frustasi. "Aku tidak suka jika hanya aku saja yang merindukanmu, Chara!"

Aku terperangah atas pengakuan Alec yang tiba-tiba.

'Hmm ... lihatlah betapa frustasinya si seksi itu. Aku jadi kasihan melihatnya, kau sungguh keterlaluan Chara.'

Sebuah suara tiba-tiba terdengar di kepalaku. 'Jade, dari mana saja kau? Kau harus membantuku menenangkannya. Alec mengamuk, aku bahkan nyaris dirantai!'  Aduku yang ternyata hanya memancing tawa dari jade.

'Ah Chara, sepertinya aku tidak dapat melakukannya.' Jawab Jade dengan nada menyebalkan. 'Kau tahu, sebenarnya sejak tadi aku sudah memutuskan, jika aku hanya akan jadi penonton saja. Jadi, mari kita lihat apa yang akan kau lakukan untuk menenangkan serigala yang tengah mengamuk itu.'  Ujar Jade yang aku ketahui sedang melihat ke arah Alec yang kini tengah merobek bantal sampai bulu di dalamnya berterbangan keluar.

Ya Tuhan!

'Jade, kau tidak bisa meninggalkanku menyelesaikan ini semua sendirian!'  Pekikku kesal. "A-Alec, hei tenanglah. Aku-" Aku tak jadi berbicara saat kulihat Alec menoleh ke arahku dengan mata melotot. 'Jadeeeee!!!'  Teriakku ngeri.

Jade tertawa dengan keras di dalam sana, aku bahkan nyaris tuli mendengar suaranya. 'Bertanggungjawablah Chara, kau yang memulai kekacauan ini.'

Sial! Hanya itukah yang dapat diucapkannya di saat mencekam seperti ini?

Tapi walau bagaimana pun, Jade benar, akulah yang menyebabkan ini semua. Aku yang telah menunda penyempurnaan itu sampai menyebabkan Lucian hilang kendali, sehingga Alec mengamuk seperti ini.

Dan mau tidak mau memang akulah yang harus menyelesaikannya. Jika tidak ingin mansion ini hancur setengah jam lagi akibat amukan Alec, pikirku saat melihat Alec mengangkat kursi meja riasku dan hendak menghempaskannya ke jendela kaca yang ada di seberang ruangan.

"Alec! Alec, hentikan! Oke, aku tidak akan berbicara mengenai Lucian lagi," Ujarku setengah berteriak untuk menarik perhatiannya, Alec menoleh dengan pandangan tak yakin. "Turunkan kursi itu oke? Kau bilang kau merindukanku bukan?" Aku meneguk ludah. "Sebenarnya ... aku, aku juga merindukanmu."

"Benarkah?" Alec melempar kursi itu ke sudut ruangan.

Ya ampun, tidak bisakah dia hanya meletakkannya dengan pelan. Kini sama saja, kursi itu hancur juga nyatanya karena menghantam dinding.

"Tentu saja." Jawabku sambil mengangguk ke arahnya. "Karena itu tenanglah, jika kau mengamuk seperti itu bagaimana aku dapat mendekat ke arahmu?" Aku tersenyum, walau sebenarnya setengah takut.

Alec berjalan ke arahku, dengan penampilannya yang sangat mengenaskan. "Kalau begitu mengapa kau tidak mendekat dan memelukku?" Alec merentangkan tangannya.

Aku tertawa gugup. Dan Jade tertawa lebar di dalam sana. 'Kalau aku jadi kau, aku tidak akan ragu memeluk lelaki seseksi itu. Chara, kau terlalu menyia-nyiakannya selama ini. Tidakkah kau lihat dia begitu sangat menggiurkan.'

'Diam kau Jade. Jangan berbicara seperti serigala haus belaian seperti itu!"  Ujarku ketus sambil masih tersenyum ke arah Alec.

'Kau tahu pasti hal itu.'  Jawab Jade santai.

Aku mendekat dengan perlahan ke arah Alec, dan melingkarkan tanganku ke sekeliling tubuhnya. Alec langsung membalas pelukanku dengan rengkuhan yang sangat erat.

Tidak semengerikan yang aku bayangkan ternyata. Karena sebenarnya, ini terasa familiar bagiku. Pelukan Alec, senyaman pelukan Lucian.

"Aku sangat merindukanmu, sudah sejak dulu aku ingin bertemu denganmu." Sebuah suara berbisik di telingaku. "Aku ingin dapat berbicara langsung denganmu seperti ini, aku ingin kau juga dapat mendengar suaraku, bukan hanya suara Lucian." Tangannya semakin erat memelukku. "Tapi karena kau belum siap melakukan penyempurnaan itu, aku hanya dapat berbicara sendiri di dalam sana, berharap suatu saat nanti kau dapat mendengarku."

Aku tertegun mendengar ucapannya. Tersadar ketika ternyata aku egois sekali selama ini. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Tidak peduli jika ada bagian lain dari diri Lucian yang sebenarnya juga berhak atasku.

'Manis sekali.'  Jade berseru. 'Ternyata dia mengamuk hanya karena kesal kau abaikan Chara. Ah, kau ini memang perempuan jahat.'

Abaikan Chara. Aku memperingati diriku sendiri untuk tidak mamaki Jade.

Aku mendongak dan merengkuh sebelah wajahnya. "Alec, aku minta maaf karena telah berbuat tidak adil seperti itu padamu. Aku tidak bermaksud, sungguh." Ujarku tulus. "Mengenai kau mengatakan aku tidak menyukaimu, itu sungguh tidak benar. Tentu saja aku menyukaimu Alec. Kau dan Lucian adalah sosok yang sama, seseorang yang begitu berarti bagiku."

"Aku juga berarti bagimu?"

"Tentu saja." Jawabku cepat dan yakin. "Karena kau, adalah mate-ku."

Perlahan senyuman mulai terukir di bibirnya, "Kau tidak membenciku bukan?"

"Sama sekali tidak."

"Sekali pun tadi aku hampir merantaimu?"

Aku tergagap, dan Jade bersorak di dalam sana mentertawakan ekspresiku. "Yah ... wa-walaupun tadi aku cukup terkejut, tapi aku tidak masalah dengan itu" Jawabku akhirnya.

"Kalau begitu, bolehkah aku menandaimu sekarang juga?" Tanya Alec antusias.

"Ehm ... Alec, mengenai hal itu, bolehkah aku berbicara dengan Lucian?" Aku bertanya hati-hati.

"Kenapa? Kau tidak mau?"

"Bukan begitu maksudku." Aku bingung harus bagaimana mengatakannya, terlebih dengan Alec yang menatapku begitu tajam. "Alec, tidakkah seharusnya Lucian yang melakukannya? Maksudku, menandaiku?"

Cengkeraman tangan Alec yang ada di pinggangku mendadak mengencang. "Benar bukan kataku? Kau tidak menyu-"

"Tidak-tidak!" Aku menyelanya. Tahu apa yang akan Alec ucapakan. "Aku memintamu bertukar shift dengan Lucian bukan karena aku tidak menyukaimu. Dan aku berkata jika yang seharusnya melakukan itu adalah Lucian juga bukan karena aku membencimu." Berbicara dengan Alec sepertinya harus menyiapkan kesabaran ekstra, karena satu hal yang kutahu sekarang.

Alec mudah sekali terpancing emosi.

'Dan juga cemburuan. Bahkan pada dirinya sendiri.'  Sambung Jade di dalam kepalaku.

'Ya, itu juga.'  Ujarku setuju.

"Lalu?"

"Kau tahu bukan bagaimana proses itu terjadi?" Tanyaku yang diangguki Alec. "Kau juga tahu bukan bagaimana ketentuan dan peraturannya?" Tanyaku lagi, Alec kembali mengangguk. "Jadi, apakah menurutmu adil jika kau yang melakukannya, maksudku menandaiku, sementara Lucian tidak sadar di dalam sana?"

Alec termenung sejenak, dan perlahan kepalanya menggeleng.

"Apakah jika kau yang berada di posisi Lucian, kau akan senang jika dia menandaiku sedangkan kau sendiri tidak sadar dan tidak dapat merasakannya?" Tanyaku lagi.

Alec kembali menggeleng, wajahnya mengeras. "Aku akan menghajarnya jika dia berani melakukan itu." Jawab Alec.

Aku tersenyum, sepertinya akan mudah membujuknya setelah ini. "Itulah maksduku Alec. Kau sangat kuat, bahkan melebihi Lucian. Lihat saja bagaimana sekarang kau membuatnya tidak sadar sementara kau berada di tubuhnya, dia pasti tidak akan senang dan kecewa ketika mendapati aku telah kau tandai sementara dia tidak ingat apa pun." Aku berhenti sejenak untuk menilai ekspresi Alec yang sepertinya mulai mengerti. "Lucian pasti akan salah paham. Bisa saja dia menduga jika kau memaksaku walau sebenarnya tidak. Lucian pasti akan membenci dirinya sendiri ketika mengira dia telah menyakitiku."

Lama terdiam untuk mencerna apa yang aku ucapkan, Alec akhirnya menjawab. "Ya, kau benar Chara." Ujarnya sambil tersenyum kecil. "Si bodoh itu sudah cukup menderita karena dirimu selama beberapa hari ini, aku tidak tega jika harus membuatnya semakin menderita seperti yang kau katakan tadi."

Aku meringis mendengar apa yang Alec katakan. Si bodoh?  Dia mengatai Lucian bodoh? Bukankah itu artinya, dia juga mengatai dirinya sendiri?

'Seperti kau tidak pernah mengataiku saja.'

'Oh, diamlah Jade.'  Kataku. 'Jangan katakan apapun, karena kau tidak membantuku sama sekali sedari tadi.'  Ucapku yang memancing dengusan darinya.

"Jadi?"

Alec menatap mataku, "Aku akan berhanti shift dengan Lucian." Jawabnya yang seketika membuatku menarik napas lega. "Tapi, bolehkah aku meminta sesuatu darimu Chara?" Ucap Alec lagi dengan tiba-tiba sambil menatap ragu ke arahku.

"Apa yang kau inginkan Alec?" Tanyaku.

"Ehm ... aku, bolehkah aku menciummu?"

'Katakan boleh, cepat!'  Jade memekik. 'Kau gadis bodoh tidak tahu diuntung karena mengabaikan makhluk yang begini indah jika berani-beraninya kau menolak permintaannya Chara!'

Aku kembali mengabaikan kalimat makian Jade yang panjang itu, dan fokus ke arah Alec yang melihat penuh harap ke arahku. "Tentu saja boleh, Alec." Jawabku dalam senyum.

Sebenarnya aku sedikit bingung karena sikap Alec yang mendadak berubah. Sedari tadi dia mengamuk hanya karena salah paham, dan untuk hal seperti ini dia ingat untuk meminta izin? Lalu, apa yang terjadi dengan keinginannya untuk merantaiku tadi?

"Kau boleh menciumku kapan saja." Sambungku lagi. "Karena kau juga berhak atasku. Seperti yang kukatakan tadi Alec, kau adalah mate-ku."

Alec tersenyum senang mendengar jawabanku. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke arahku dengan perlahan. Alec ... menciumku. Yang kubalas dengan mengalungkan tanganku di lehernya dan menarik kepalanya agar lebih dekat. Memperdalam ciuman kami.

Tubuhku sedikit didorong olehnya, dan tersentak ketika kami berdua jatuh ke atas ranjang dengan Alec yang menindih tubuhku. Pekikanku sendiri tertahan karena ciumannya, begitu memabukkan, dan juga penuh akan hasrat kerinduan.

Aku tentu saja membalas ciumannya dengan senang hati, dan sepertinya itu membuat Alec juga turut senang karena selanjutkan aku dapat merasakan bibirnya tertarik membentuk senyuman.

Alec menggeram, dan menggigit bibir bawahku pelan, saat dia akhirnya berpamitan, "Sampai jumpa lagi ... sayangku." Ucapnya di sela ciuman kami.

Sampai jumpa lagi ... Alec. Jawabku dalam hati.

'Sampai jumpa lagi, seksi.'  Jade ikut mengimbuhi walau sebenarnya dia tahu Alec tidak akan dapat mendengarnya.

Dan saat itu aku sadar jika Alec sudah berganti shift dengan Lucian. Tapi bukannya berhenti menciumku, Lucian malah semakin memperdalam ciumannya. Lucian bahkan baru menarik dirinya saat merasakan kalau paru-paru kami membutuhkan oksigen segera.

Lucian menyandarkan dahinya ke dahiku, aku melihat wajahnya yang tersenyum bahagia. "Selamat datang kembali." Sambutku dengan suara pelan.

Lucian mengecup bibirku sekilas dan menarikku untuk bangkit. Saat ini posisiku ada di atas pangkuannya dengan kedua kakiku yang mengangkanginya.

Sejenak ia melirik sekitar, dan tampak kerutan dalam menyapa dahinya. "Apa yang terjadi? Kenapa kamar kita jadi berantakan seperti habis diserang badai?" Tanya Lucian yang mau tidak mau membuatku tertawa.

Kau yang membuatnya seperti ini, dasar!

"Ada seseorang yang mengamuk tadinya, dan dialah yang menghancurkan kamar ini. Aku mengira, dia bahkan berniat menghancurkan mansion ini." Ujarku bercanda sambil tertawa.

Aku tahu Alec pasti mendengarnya di dalam sana, karena tak lama kemudian kudengar Lucian berdecak kesal. Pastilah mereka tengah ribut di dalam sana karena mungkin saja Alec mengakui perbuatannya.

"Kau yakin jika kau sudah siap?" Tanya Lucian tiba-tiba.

Aku tersentak, bagaimana dia tahu? Bukankah saat kehilangan kendali dirinya tadi, Lucian sedang tidak sadar?

"Alec yang memberitahuku." Ujarnya, mungkin mengerti kebingunganku. "Jadi?" Tanya Lucian lagi sambil mengecupi rahangku.

Aku berusaha menahan geli dan kuputuskan menjawabnya hanya dengan menganggukkan kepala. Aku dapat merasakan bibir Lucian yang saat ini ada di leherku tersenyum. Dan satu desahan lolos dari mulutku saat Lucian mulai menciumi dan menjilati leherku.

Ciumannya semakin turun, dan berhenti di antara leher dan bahuku. Lucian mencium dan menjilati bagian ceruk leherku cukup lama, mungkin sudah menemukan area yang tepat di mana dia dapat menandaiku.

"Ini akan sedikit sakit." Bisiknya pelan yang kembali kujawab dengan anggukan.

"Akhhh ... " Aku berteriak sakit saat merasakan taring tajam itu menembus kulitku. Aku mencengkeram bahu Lucian kuat. Rasanya sakit sekali, bahkan air mataku sampai mengalir keluar.

Lucian menarik taringnya keluar dan itu kembali membuatku meringis, sampai kemudian sesuatu terasa mengalir menuruni bahuku. Aku merasakan Lucian menjilati sesuatu yang mengalir hangat itu, sepertinya darahku.

Lucian mencium tanda yang barusan dibuatnya sekali lagi, kemudian menarik kepalanya dan menatapku. Aku masih berusaha menormalkan napas dan detak jantungku. Jadi, seperti itukah rasanya ditandai?

Tanganku terulur ke arah wajahnya, menyeka sudut bibir Lucian yang masih ada sisa darahku. Dia tersenyum sumringah dan merengkuh wajahku. Napasnya sama terengahnya denganku. Aku juga dapat mendengar suara detak jantungnya yang sangat cepat.

"Chara ... aku, aku tidak ingin kau merasakan kesakitan lagi setelah proses ini." Ujarnya sedikit gugup dengan wajah yang serius.

Aku menaikkan kedua alisku. Bertanya apa maksudnya.

"Jadi, aku ingin kita melakukan penyatuan malam ini." Ucapnya pelan, dan juga sedikit malu-malu saat menatapku.

Tubuhku menegang seketika. Wajah Lucian yang terlihat tersipu setelah mengatakan keinginannya barusan seharusnya membuatku tertawa, tapi bahkan hal itu tidak mengurangi kegugupanku saat ini.

Aku mengerti apa maksud Lucian. Setiap shewolf  yang telah ditandai akan mengalami masa heat. Masa di mana kami akan mengalami panas pada seluruh tubuh karena gairah. Aku dengar itu sangat menyakitkan dan menyiksa. Satu-satunya cara agar tidak merasakan sakit itu adalah dengan melakukan penyatuan secepatnya.

Dan ... yang menjadi masalah saat ini adalah, apakah aku siap untuk itu?

"Kalau kau belum siap, tidak masalah Chara. Aku bisa menunggu." Kata Lucian sambil tersenyum. Tapi aku tahu dia akan sedih dan kecewa jika aku menolaknya.

"Aku ... aku, siap." Kataku pelan sambil menunduk.

Kali ini tubuh Lucian yang terasa kaku. Dia mengangkat daguku dengan tangannya agar aku melihat ke arahnya. "Kau yakin?" Tanya Lucian memastikan.

Aku mengangguk pasti walau pelan.

Lucian tersenyum dan mengarahkan bibirnya ke dahiku. Menciumku lama di sana. "Aku mencintaimu, my Mina." Ucapnya dengan lembut.

"Aku juga mencintaimu." Balasku yang membuat Lucian langsung memundurkan kepalanya, menatap ke mataku. Tanganku mengelus sebelah wajahnya. Tubuh Lucian terasa menegang, aku bahkan dapat mendengar suara detak jantungnya yang sangat keras. "Lucian ... aku seperti sekarang ini, itu karena dirimu. Setiap harapan yang mulai saat ini dapat aku ucapkan tanpa ragu, semua adalah karenamu. Tidak peduli apa yang akan terjadi esok hari, karena setiap hari adalah hal yang luar biasa bagi hidupku jika itu bersamamu. Aku ... akan selalu menjadi milikmu."

Lucian memejamkan matanya saat mendengar aku mengucapkan hal itu. Seolah dia menyerap semua yang aku katakan. Tubuhnya masih terasa kaku. Reaksi Lucian sangat aneh jika terkejut. Aku mengecup matanya, dan hal itu berhasil membuat mata tajam itu terbuka.

"Aku mencintaimu, my Alfa. Maaf karena telah membuatmu menunggu lama untuk mendengarnya." Ungkapku sekali lagi sambil tersenyum ke arahnya. "Dan katakan pada Alec, aku juga mencintainya." Tambahku cepat mengingat sikap Alec yang sangat cemburan.

Lucian tersenyum sangat lebar. Matanya menatap dalam dan haru ke arahku. Dan tentu saja itu membuatnya menjadi lebih tampan. Tuhan, aku tidak akan pernah berhenti mengagumi keindahan dari sosok di hadapanku ini.

Lucian ... ah, aku tidak bisa menggambarkan bagaimana dirinya. Dia yang sabar menungguku membuka hati untuknya, dia yang memahami masa laluku, dia yang mengerti akan diriku bahkan lebih dari pada aku sendiri. Dan dia yang telah memberikan cintanya padaku. Apa lagi yang perlu kupertanyakan dari dirinya? Dia, adalah suatu anugrah untukku.

Lucian ... bukankah dia sungguh luar biasa?

Dia adalah mate-ku. Dia juga adalah Alpha-ku. Dan untuk yang satu ini aku sangat senang saat mengucapkannya. Dia ... adalah takdirku, suamiku.

Sesaat kemudian entah kenapa Lucian tiba-tiba terkekeh sendiri, mungkin sedang berbicara dengan Alec. Alec dan Lucian benar-benar sangat berbeda, sama seperti aku dan Jade. Tapi tetap saja aku mencintai kedua sisi dari dirinya itu.

Lucian ... dan Alec.

Lucian mendekatkan wajahnya ke arahku dengan tiba-tiba. Mencium bibirku dengan lembut, kemudian menarik bibirnya sebentar. "Malam ini akan menjadi milik kita." Bisiknya parau dan kembali menciumku.

'Ya. Nikmatilah malam kalian Chara.'  Kata Jade sambil tersenyum dan memutuskan mindlink kami.

'Malam kita, Jade.'  Balasku yang pasti masih bisa di dengarnya.

Bersama dengan Lucian, membuat aku merasa lengkap dan utuh. Aku merasa dibutuhkan, diinginkan, dipuja, dan sekaligus dicintai dengan perlakuan Lucian yang sangat lembut. Dia bahkan sangat berhati-hati dalam menyentuhku.

Dan ketika penyatuan itu terjadi, aku dapat mendengar suara auman Jade yang menggema penuh pengagungan. Seolah ada sesuatu yang membuat aku dan Jade semakin dekat. Sesuatu yang memberi jarak di antara aku dan Jade selama ini seperti terlepas dari tubuh kami.

Hal terakhir yang aku ingat adalah ucapan terima kasihku pada Moon Goddess dan bisikan penuh cinta dari Lucian di telingaku. Sebelum saat semuanya menjadi gelap, dan aku terlelap dalam pelukan hangat Lucian.

_______


Author's POV

Di tempat lain, pada waktu yang sama.

Laki-laki itu tersentak bangun dari tidurnya. Tubuhnya setengah terduduk dengan keringat dingin yang terus mengalir dari dahinya. Napasnya masih tersengal, bayangan dari mimpi yang barusan dialaminya membuat dia sulit bernapas. Tenggorokannya terasa kering, dan itu sama sekali tidak membantu.

Laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Matanya hanya bisa menangkap beberapa objek di tengah penerangan yang sangat minim. Saat memijat pelipisnya, dia baru sadar jika ada yang melekat di punggung tangannya.

Dia mendongak, dan sebuah tabung infus menggantung di tiang dekat sisi ranjangnya. Sekali lagi dia mengedarkan pandangan. Atau sisi ranjang rumah sakit, pikirnya kemudian.

"Aradi?" Panggil sebuah suara.

Laki-laki yang dipanggil Aradi itu refleks memejamkan matanya saat tiba-tiba lampu di ruangan itu menyala dengan terang. Sedikit mengerang karena cahaya itu seakan menyakiti matanya.

"Astaga, Aradi kau sudah sadar." Ucap suara itu lagi.

Aradi menoleh, dan mendapati Ibunya sedang menatapnya dengan sedih dan juga lega.

"Aku ... dadaku sesak." Bisik Aradi parau. Entah kenapa dia merasa lemah saat ini, bahkan untuk sekedar mengeluarkan suaranya pun dia merasa sulit.

"Kau mau minum?" Tanya ibunya, dan Aradi mengeleng.

Aradi menekan dadanya, perasaan sesak itu semakin kuat. Napasnya masih tersengal. Aradi mengangkat tangannya, dan melihat jika kedua tangannya gemetar.

Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa seolah-olah ada yang mengambil sebagian diriku? Aku merasa sebagian diriku menjadi kosong, dan rasa kosong itu membuatku lemah. Tanya Aradi pada dirinya sendiri.

Aradi memejamkan matanya saat bayangan mimpi barusan kembali terbayang. Mimpi di mana dia melihat tubuh Chara terbaring kaku di hadapannya, dengan darah yang menggenang. Dan sebuah belati di tangan kanannya.

Aradi kembali mengangkat tangan kanannya, tangan yang dalam mimpinya tadi telah menusukkan sebuah belati tajam ke jantung Chara. Dan tangan itu masih gemetaran saat ini. Sebenarnya ada apa dengan tubuhnya? Kenapa dia jadi aneh seperti ini?

"Kenapa aku bisa berada di sini?" Tanya Aradi pelan.

"Kau tidak ingat? Kau ditemukan pingsan di rumah Chara kemarin siang, Amanda yang menemukanmu. Dia menelepon Adam, dan mereka membawamu ke sini." Jelas Ibunya. Wajah Miranti saat mengatakan itu tampak menyesal dan penuh dengan kesedihan.

Aradi teringat. Benar, kemarin dia memang sedang berada di rumah Chara. Entah apa yang terjadi, tapi dia merasa kepalanya tiba-tiba sakit, dan dia tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Mungkin karena dia memang sudah tidak pernah lagi memperhatikan kesehatannya.

Aradi bangkit dari posisinya. Dia butuh udara segar. Ibunya yang melihat itu berusaha menahan Aradi agar tidak bangun dari tidurnya.

"Kau mau kemana Aradi?"

Aradi menepis tangan Miranti. Dengan kasar dia menarik jarum yang masih menancap di punggung tangannya, membuat ibunya berteriak panik. Teriakan panik Ibunya semakin keras saat Aradi berjalan dengan oleng dan menabrak meja di dekat pintu kaca menuju balkon. Vas bunga kaca itu pecah, dan Aradi jatuh terduduk di dekatnya.

Arya masuk dengan dua orang pengawal di belakangnya saat mendengar teriakan Miranti. Wajahnya terlihat panik, dia buru-buru menghampiri Aradi yang masih terduduk lemah.

"Pergi ... " Aradi berkata dengan pelan saat tangan Arya hendak membantunya. "Pergi!!" Kali ini Aradi berteriak. Ia menatap marah ke arah ayahnya yang masih tidak mau pergi. Dia kesal, dia benci, kenapa dia menjadi lemah seperti ini?

Aradi hendak berteriak sekali lagi, tapi tiba-tiba dadanya kembali sesak. Kali ini lebih sakit dari yang sebelumnya. Arya yang melihat Aradi memukul dadanya sendiri dengan kuat beberapa kali langsung menahan tangannya. Aradi memberontak, memaki dan berteriak keras.

"Aradi. Aradi sadarlah!" Teriak Arya di depan wajahnya. Tangan Arya mengguncang tubuh Aradi dengan kuat.

Miranti yang melihat keadaan anaknya seperti itu hanya mampu menangis. Bayangan akan keadaan Arya yang dulu ditinggal mate-nya kembali memasuki pikirannya.

Terjadi lagi. Ini kembali terjadi, bisiknya penuh penyesalan.

Kenapa dia terus saja harus menyaksikan orang-orang yang dia sayangi mengalami penderitaan seperti ini? Dulu Arya, dan sekarang ... Aradi.

Vanessa ... apakah ini hukuman dari kesalahanku padamu dulu? Maafkan aku ... aku mohon maafkan aku. Ucapnya dengan air mata yang menggenang.

"Aku ... dadaku sesak. Sakit." Ucap Aradi pelan setelah dia kembali dipindahkan ke atas ranjang. "Ada apa denganku? Kenapa rasa sesaknya seolah merenggut jiwaku?" Tanya Aradi dengan tatapan kosong ke arah Ayahnya.

Arya menatap sedih ke arah anaknya. Bayangan masa lalunya seperti diputar ulang di hadapannya saat ini. Dia tahu betul apa yang dirasakan Aradi. Dia pernah mengalaminya, dan rasa sakitnya ... jika Arya bisa memilih, dia lebih baik mati saja.

Rasa sakit itu membuat kita lemah. Terasa seperti mengosongkan jiwa. Hampa dan mati. Arya merasakannya saat dulu dia tahu jika Vanesaa ...

"Dia sudah bukan milikmu lagi." Ucap Arya pelan. Sangat pelan, sampai dia tidak yakin jika Aradi dapat mendengarnya.

Aradi mendongak dengan wajah bingung. "Apa maksud Ayah?"

Arya menggeleng. "Rasa sakit yang kau rasakan itu bukan tanpa alasan Aradi. Itu adalah rasa sakit yang kau alami saat mate-mu meninggalkanmu."

Ucapan ayahnya membuat tubuh Aradi menegang. Kepalanya terasa panas. "Apa maksud Ayah?!" Suara geraman terdengar saat Aradi kembali bertanya.

"Dia ... sudah meninggalkanmu. Chara, dia sudah bukan takdirmu lagi." Arya mengucapkannya dengan singkat. Karena dia tahu, jika dia menjelaskan secara panjang kepada Aradi, anaknya itu tidak akan mampu mendengarnya.

Tubuh Aradi tersentak, begitu juga dengan Miranti. Walaupun ada banyak arti dari kata-kata Arya, tapi satu hal yang Miranti tahu. Jika Aradi memang telah kehilangan mate-nya. Baik itu dalam artian yang dimaksud Arya, atau dalam arti yang sesungguhnya.

Kemarahan begitu saja menghampiri Aradi. Dia berteriak dengan keras. Suaranya sarat akan rasa sedih dan perasaan terluka. Miranti berlari keluar, tidak sanggup melihat keadaan anaknya yang sangat mengenaskan.

Dia terduduk di depan pintu ruangan itu. Tangannya menarik rambutnya sendiri. Miranti yakin jika Moon Goddess telah menghukumnya sekarang, menghukumnya karena apa yang telah dilakukannya di masa lalu.

Miranti pernah melihat suaminya menderita seperti ini, dan sekarang ... dia juga telah membuat anaknya menderita dengan rasa sakit yang sama.

Di dalam ruangan, Arya masih berusaha menenangkan Aradi. Ia menatap miris ke arah anaknya yang juga mengalami hal yang sama dengannya. Andai dulu ia mengatakan semua kebenarannya lebih cepat, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.

Vanessa ... ucap Arya dalam hatinya. Dia masih tetap mengingat Vanessa, sampai sekarang. Semakin dia berusaha melupakannya, semakin membuat kenangan itu lebih jelas dan nyata.

Dan itulah yang dia takutkan sekarang, dia takut jika Aradi akan mengalami hal yang sama. Terjebak tanpa cinta dengan orang yang tidak tepat. Tidakkah cukup hanya dirinya saja yang merasakannya? Jangan keturunannya lagi.

"Chara ... Chara!" Panggil Aradi histeris. Kata-kata Ayahnya barusan seolah menghujam jantungnya. Chara pergi dari hidupnya? Ah ... alangkah lebih baik Tuhan mencabut nyawanya saja sekarang.

Aradi meremas rambutnya, dan berteriak sekali lagi. Rasa bersalah, marah, terluka dan menyesal menghampinya bersamaan. Kenapa dia harus menjalani takdir semengerikan ini? Dia memang bersalah pada Chara, karena itulah dia berusaha untuk menebusnya. Tapi kenapa seolah kesempatan itu direnggut darinya sebelum dia mendapat kesempatan sama sekali?

Seorang perempuan muda tiba-tiba masuk ke ruangan itu. "Pegangi dia!" Perintahnya pada dua orang perawat laki-laki yang ada di belakangnya.

Perempuan itu mendekat dan mulai mengeluarkan peralatan medisnya. Aradi memberontak dari pegangan kedua perawat itu. Matanya menatap nanar ke arah perempuan berwajah dingin yang saat ini tengah menyuntikkan cairan yang entah apa ke dalam tubuhnya.

"Kau benar ... kau benar!" Kata Aradi gusar, suaranya terdengar parau.

Gadis itu mendongak sejenak, dan kembali melanjutkan apa yang dilakukannya.

"Aku memang menyesal. Kutukanmu saat itu benar-benar terjadi." Aradi berbicara di sela kesadarannya.

Semua orang menoleh saat pintu ruangan itu terbuka, Miranti masuk dengan penampilan yang tidak kalah kacau dari anaknya. Dia mendekati ranjang Aradi dengan wajah tertekan, karena dia juga turut merasakan luka yang sama dengan anaknya.

"Benar-benar terjadi! Dan kau boleh tertawa sekarang ... " Aradi melanjutkan ucapannya dengan mata yang hampir tertutup. "Amanda." Sebut Aradi dengan pelan. Matanya telah terpejam sempurna. Obat bius yang barusan disuntikkan ke tubuhnya telah bereaksi.

Gadis yang disapa Amanda itu sedikit menegang. Dia memang tampak puas dengan melihat penderitaan Aradi saat ini. Tapi, hati kecilnya berkata bukan inilah yang dia mau. Dia tidak ingin melihat rasa sakit lagi. Sudah cukup.

Amanda memejamkan matanya sejenak. Semua yang terjadi belakangan ini benar-benar tidak mampu dipikirkannya.

Takdir ini kau yang menentukannya Moon Goddess, ucap Amanda dalam hati. Amanda berpamitan pada orangtua Aradi, dan langsung pergi diikuti dua perawat yang sebelumnya masuk bersamanya. Amanda meninggalkan ruangan itu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Hanya tinggal Arya dan Miranti di ruangan itu. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Tapi satu hal ... mereka tahu satu hal. Jika masa lalu bisa saja terulang saat ini.


***


TBC


Ini versi setelah direvisi ya :D
Semoga tidak mengecewakan, :)


By

Skia








Continue Reading

You'll Also Like

146K 18.7K 27
Seri #2 Humaniorama Ada pepatah Jepang yang mengatakan bahwa setiap manusia itu memiliki tiga wajah. Wajah pertama adalah wajah yang ditunjukkan ke s...
64.6K 7.1K 48
bukan kami yang hendak memilih memiliki takdir seperti apa, sudah ketentuan moon goddess yang sudah menulis jalan kehidupan.... andai kami bisa di...
33.8K 5.5K 40
rumah tangga mereka selalu harmonis Mew sangat mencintai istrinya begitu pun sebaliknya
4.4K 633 41
Anastasya James Aliandra. Cewek jurusan hukum. Dia memiliki syarat untuk pria yang akan menjadi pacarnya. Diary hitam logo hati merah pekat, buku yan...