Guardian of Light [REMAKE]

By RedCherry98

342K 8.2K 1.3K

Apakah kau percaya pada sihir? Dunia yang mungkin tak pernah tergambar dalam anganmu? Ramalan yang menggambar... More

Prolog
Chapter 1 : Prince of Light?
Chapter 2 : Mysterious Girl
Chapter 3 : Out of Control
Chapter 4 : First Impression
Chapter 5 : Curiosity
Chapter 6 : Promise

Chapter 7 : Blood Rain

11.8K 847 211
By RedCherry98

Trangg!

Suara platina yang beradu terdengar seperti sebuah simfoni di dalam ruang latihan sore itu. Di tengah ruangan, tampak sepasang emerald milik Elena menatap tajam obsidian biru di hadapannya, sementara pemuda yang berhadapan dengannya tampak terengah-engah.

"Ayolah, Ciel. Jangan hanya menghindar, kau harus menyerang!" cetus Elena.

"Kau tahu ini bukan keahlianku," balas Ciel di sela napasnya yang masih memburu.

Pemuda itu mengangkat kembali pedangnya dan berlari ke arah gadis blonde yang masih berdiri di hadapannya dengan wajah serius. Namun tak sulit bagi Elena untuk menghindari serangan Ciel yang memang masih jauh di bawahnya itu.

Elena adalah gadis yang lembut dan manis. Namun di saat-saat tertentu, ia bisa menjadi sangat serius. Contohnya seperti saat ini. Dalam berpedang, kemampuannya hanya sedikit lebih rendah dibanding Azrael, Guardian terkuat di antara mereka.

"Anak itu sangat berbakat dalam sihir tapi benar-benar payah dalam beladiri," komentar Louie yang menonton di sisi ruangan bersama Azra dan Lynn, juga pelatih mereka, Eden.

"Bukankah sejak kecil fisiknya memang lemah? Jujur saja aku sedikit mencemaskannya soal ini," Lynn ikut berpendapat. "Akan sangat berbahaya jika dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri ketika di tengah pertarungan sungguhan."

Sementara itu, Eden, guru mereka tampak tak banyak berkomentar. Ia hanya sibuk menilai, sejauh mana kemampuan para didikannya itu. Meskipun yang saat ini memang tak begitu buruk, tetapi masih jauh dari yang diharapkan. Sementara waktu yang mereka miliki semakin tipis, bahkan tak lebih dari satu bulan lagi.

Azra juga tampak tak banyak bersuara, sepasang netra crimson-nya mengamati pergerakan Ciel yang mulai tak beraturan dengan cermat. Namun meski gerakannya tak lagi berirama, iris safir itu tampak masih menampakkan kilat semangat.

Bukan hal yang buruk sebenarnya, tetapi juga tak dapat dikatakan baik. Azra hapal benar watak pemuda bertubuh mungil itu sejak dulu.

Luciel itu ambisius. Dan dia tak suka kalah. Sebab itu ia seringkali memaksakan dirinya sendiri. Ia bersikap keras pada dirinya, lebih dari yang ia perlihatkan. Itu tentu akan membuat siapa pun cemas.

Azra sedikit tersentak ketika melihat Ciel nyaris jatuh karena salah pijak dan kehilangan keseimbangannya sementara Elema di saat yang sama juga tak dapat menghentikan serangannya yang hampir mengenai pemuda itu karena jarak yang terlalu dekat.

Ciel tak akan punya waktu untuk menghindar.

"BAHAYA!" teriak Azra panik, reaksi yang sama tampak terlihat di wajah tiga orang lain yang juga berada di dekatnya.

Sepintas cahaya yang muncul membutakan sepersekian detik.

"Gyaa!"

Dengan sigap Louie menangkap Elena yang mendadak terlempar ke sisi ruangan. Tubuhnya menghantam tembok bersamaan dengan gadis itu.

"Kalian baik-baik saja?" Lynn berlari menghampiri keduanya.

"Aku tak apa-apa, tapi Louie ...." Elena segera berdiri dari posisinya, kemudian menarik Louie untuk ikut berdiri.

"A-aku baik-baik saja," balas Louie kemudian. "Daripada itu, sebenarnya apa yang terjadi?"

"Aku tidak bisa menghentikan seranganku tadi, dan ketika aku nyaris melukai Ciel, sebuah aura pelindung menguar di sekitarnya dan melemparku. Mungkin itu sihir pelindung yang sama dengan tempo hari."

Elena melirik Ciel yang masih menatapnya kaget dari tengah ruangan, sedikit melambaikan tangannya, memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.

Ciel menghela napas, ia sendiri juga sempat kaget ketika aura pelindung itu tiba-tiba saja muncul di sekitarnya. Pemuda itu menatap telapak tangannya.

Sebenarnya siapa yang menanamkan sihir ini padaku? Kuat sekali ..., batinnya.

"Luciel."

Tatapan iris birunya teralih ketika mendengar namanya dipanggil, ia mendapati Azra dan Eden yang mendekat ketika ia menoleh.

"Yang tadi itu apa?" tanya Azra.

Ciel menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, aura itu tiba-tiba muncul di sekitarku," jawab pemuda itu seadanya.

"Bisakah aku melihat lambang di mata kananmu dengan lebih jelas, Pangeran?" pinta Eden yang tanpa banyak bicara segera diangguki oleh Ciel.

Ia mendekati Eden, membiarkan pria tua itu menatap sesuatu di matanya. Alisnya sedikit bertaut ketika melihat tiba-tiba saja sang guru tersentak kaget.

"Lambang ini ...."

"Kenapa?"

Ciel dan Azra menatap heran pembimbing mereka yang bergumam lirih, nyaris tak terdengar dengan wajah kaget.

"Tuan Eden?" Azra ikut bersuara, membuat Eden tersadar dari keterkejutannya.

"Ahh, tidak, tak apa-apa ...." Pria tua itu tersenyum kemudian, seolah tak pernah terjadi apa pun. "Kita akhiri latihan hari ini, kembalilah ke kamar kalian dan istirahatlah."

"Ehh? Tapi jadwal latihannya masih satu setengah jam lagi." Elena yang menghampiri mereka bersama Louie dan Lynn tampak sedikit terkejut ketika tak sengaja mendengar perkataan pembimbing mereka.

"Tidak apa, kalian perlu banyak istirahat." Eden kembali tersenyum. "Mulai besok kalian akan memulai latihan tingkat empat."

"Hah?!" Seruan kaget yang sama terdengar dari kelima Guardian.

"Tidakkah itu terlalu cepat, Tuan?" tanya Lynn mendahului yang lain.

"Waktu yang kita miliki kurang dari satu bulan lagi, kita harus menyelesaikan latihannya secepat mungkin. Apalagi Pangeran harus menyelesaikan latihan khususnya juga, dan itu tak akan selesai dalam waktu singkat."

Penjelasan Eden membuat beberapa anak didiknya mengangguk kecil.

"Aku harus pergi sekarang, ada sesuatu yang harus kulakukan. Sampai besok, anak-anak."

Eden bergegas melangkah pergi setelah berkata demikian, membuat kelima muridnya lagi-lagi hanya bisa menatap heran.

"Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba dia terburu-buru begitu?" celetuk Louie yang hanya ditanggapi dengan gelengan tak mengerti oleh yang lain.

"Sudahlah, aku mau mandi. Duluan ya," pamit Elena yang pertama kali menjauhi kerumunan kecil itu dan melangkah keluar dari ruangan, yang kemudian disusul oleh Louie juga Lynn.

Menyisakan Ciel dan Azra yang tampak masih berdiam di tempat mereka berdiri.

"hei, Luciel."

"Hm?"

"Memikirkan yang kupikirkan?"

"Reaksi Tuan Eden tadi ... sedikit aneh bukan? Simbol ini, sebenarnya apa?"

Ciel meraba kelopak mata kanannya, sementara Azra yang tampaknya tak dapat memberikan jawaban hanya bisa menatap Ciel penuh tanya.

"Yahh, kuharap bukan sesuatu yang berbahaya," gumam Azra kemudian.

#

Suara langkah pria tua itu menggema di seluruh ruangan, sepasang mata yang telah sayu menatap dua orang di hadapannya yang duduk di singgasana. Ia lantas berlutut dan memberi salam pada keduanya.

"Maaf, saya menemui Anda tanpa pemberitahuan sebelumnya, Yang Mulia," tutur pria itu dengan sopan.

"Ada yang ingin kau sampaikan, Eden?" tanya Raja, dengan gayanya yang penuh wibawa.

"Ini soal Pangeran," Eden berdiri dari posisinya, "hari ini saya memeriksa simbol sihir yang ada di matanya dan saya mendapati sesuatu yang mengejutkan."

"Lanjutkan."

"Simbol itu bukankah--"

"Aku tahu. Kau tidak perlu mengungkitnya lagi, Tuan Eden," sela Ratu tiba-tiba sebelum pria tua itu menyelesaikan ucapannya.

"Tapi, Ratu--"

"Berhentilah membicarakan itu!"

Baik Raja maupun Eden sedikit tersentak ketika tiba-tiba suara sang Ratu sedikit meninggi. Tak biasanya wanita itu kehilangan kendali emosinya.

"Maaf sebelumnya, Yang Mulia. Tetapi jika ini dibiarkan, bisa membahayakan keadaan yang lain. Tadi saja ketika di ruang latihan salah satu Guardian diserang oleh sihir itu, meskipun tak ada yang terluka."

"Kami juga sudah membicarakannya. Untuk sementara, yang bisa kita lakukan hanyalah mengawasi. Meskipun sedikit berbahaya, tak ada yang bisa kita lakukan. Sihir yang ditanamkan pada Ciel tak akan bisa dilepas kecuali oleh orang yang menanamkannya. Melepasnya paksa hanya akan memperburuk keadaan, kau tahu itu," balas Raja tenang.

"Dan lagi, orang yang kuyakini telah menanamkan sihir itu ... sudah meninggal," lanjut sang Raja kemudian. Ucapannya lirih, nyaris tak terdengar.

Ada kesedihan di wajahnya ketika kalimat itu terlontar dari mulutnya, ekspresi yang tak jauh berbeda tampak pula di wajah sang Ratu.

"Saya mengerti," Eden menunduk patuh, "saya akan mengawasinya dengan lebih hati-hati."

Brakk!!

"Yang Mulia!"

Suara pintu yang terbuka dengan keras bersamaan dengan seorang pria paruh baya yang masuk dengan keadaan yang tak dapat dikatakan baik membuat semua orang menoleh.

Pria itu berusaha melangkah secepat mungkin ke hadapan sang Raja dan tersungkur kemudian. Sang Raja berdiri dari singgasananya dan melangkah cepat menghampiri pria itu.

"Ada apa ini?" tanya Raja sedikit panik melihat bagaimana keadaan pria itu yang memang tak dapat dikatakan baik. Seluruh tubuhnya penuh dengan luka.

"Mo-mohon tolong kami. Desa kami diserang," pinta pria itu lemah.

"Eden."

"Baik, Yang Mulia."

Pria tua itu segera melangkah cepat keluar dari ruangan.

#

Ciel membuka pintu kamarnya tepat sebelum Azra hendak mengetuk pintu. Keduanya tampak terkejut di saat yang bersamaan ketika mendapati satu sama lain.

"Ada apa?" tanya Ciel sedikit heran.

"Cepat ikut aku. Ada monster yang menyerang desa Shiree!" ucap Azra terburu-buru.

"Apa?!"

Ciel tersentak, ia ingat desa itu. Itu nama desa yang pernah dikunjunginya beberapa hari yang lalu. Tanpa berkata apa pun lagi, Ciel kemudian berlari diikuti Azra di belakangnya.

"Mana yang lain?"

"Mereka sudah di sana lebih dulu. Kita juga harus cepat."

"Aku mengerti."

Langkah keduanya terhenti ketika akhirnya mereka sampai di gerbang desa. Ciel terdiam, desa yang ada di hadapannya kini tak lagi seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Senyum ramah warga desa, aktivitas-aktivitas yang menjadikan tempat ini terlihat hangat, tak ada lagi. Semuanya hilang.

Menyisakan tempat yang terlihat berantakan dengan beberapa mayat di sisi jalan.

Azra mundur selangkah ketika tiba-tiba, tak jauh di depannya muncul sesosok makhluk sihir yang ia tahu cukup berbahaya. Monster berwarna kehijauan dengan taring panjang dan wajah buas itu tampak dengan rakusnya mengunyah sepotong lengan.

"Orc?" gumam Azra, lirih. "Bagaimana bisa makhluk ini sampai kemari?"

Menyadari keberadaan manusia lain di sekitarnya, monster itu lantas menoleh. Menatap tajam Azra yang kini memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.

"Ciel! Berhati-hatilah, makhluk ini berbahaya," Azra memperingatkan, "dan jika melihat dari kondisi saat ini, sepertinya mereka tak hanya satu."

Bersamaan dengan itu, aura berwarna kemerahan menguar di tubuh Azra. Kobaran api kemudian terlihat di sekitar lengannya. Pemuda beriris merah itu memperkuat kuda-kudanya dan bersiap menyerang makhluk ganas itu.

"Aku akan mengurus yang ini. Kau coba carilah warga desa yang mungkin masih bisa kau selamatkan," komando Azra yang kemudian diangguki oleh Ciel.

Tanpa banyak bicara Ciel segera berlari menjauhi Azra dan monster itu.

Monster itu melempar potongan lengan yang sedari tadi ia bawa, lantas menyerang tepat ketika Ciel hampir melewatinya, tetapi Azra lebih dulu berdiri di hadapannya. Membuat makhluk itu diam sejenak di tempatnya berdiri, menatap tajam iris ruby yang tampak sedikit menyala.

"Lawanmu adalah aku," desis Azra yang kemudian tanpa aba-aba menyerang makhluk yang dua kali lebih besar dari dirinya itu.

Api di tangannya berubah menjadi beberapa belati yang kemudian ia lemparkan ke arah monster di hadapannya, membuat makhluk itu mengerang akibat serangan yang ia lakukan. Melihat makhluk itu lengah, Azra berlari mendekat dan menendang kuat tepat di kepala, meski tampaknya itu tak cukup kuat untuk merubuhkan makhluk itu.

Melihat usahanya tak begitu berefek, ia mencoba menyerang lagi. Namun kali ini dengan kuat monster Orc itu menepis serangan Azra. Membuat tubuh pemuda itu terlempar sejauh beberapa meter dan berakhir menghantam tembok salah satu bangunan hingga dinding itu pecah saking kuatnya.

"Ukh!"

Darah kental mengalir keluar dari mulut, Azra terluka. Namun pemuda itu mencoba berdiri kembali, bersiap menerima serangan makhluk ganas yang kini berlari cepat ke arahnya. Tepat sebelum serangan makhluk itu mengenainya, angin yang kuat berembus dan melempar monster itu menjauh.

Azra menoleh, dan mendapati Louie berdiri tak jauh di belakangnya, di salah satu atap bangunan yang tak begitu tinggi. Penampilan pemuda beriris aquamarine itu tampak berantakan, sepertinya ia juga baru saja bertarung.

"Sepertinya kau sedikit kerepotan, Azrael?" ucap Louie sembari melompat turun memosisikan dirinya di sebelah Azra.

"Begitulah," balas pemuda itu seadanya. "Mana yang lain?"

"Elena dan Lynn sedang mengevakuasi penduduk desa, dan aku belum bertemu dengan Ciel--ehh ... dia juga kemari, 'kan?"

"Ya, tadi dia datang bersamaku."

Keduanya kembali memasang sikap waspada ketika monster yang sempat terkapar tadi kembali berdiri.

"Ini melelahkan sekali," keluh Louie, "yang sebelumnya juga cukup merepotkan."

"Yang sebelumnya?"

"Menurut laporan warga desa, Orc yang menyerang mereka ada tiga ekor. Aku sudah membunuh salah satunya, ini yang kedua."

"Sisanya?"

"Entahlah? Ahh, dia datang!"

Keduanya semakin waspada ketika monster itu semakin dekat. Azra menyerang dengan api di tangannya disertai angin yang dihembuskan oleh Louie ketika mereka merasa berada dalam jarak yang tepat.

Makhluk itu mengerang dengan suara yang mengerikan ketika api kemerahan membakar seluruh tubuh.

"Sekarang!" komando Azra.

Ia mengubah apinya menjadi sebuah pedang dan menusuk perut makhluk itu menembus punggung sementara Louie memenggal kepalanya. Membuat darah kental kehitaman memercik mengenai tubub mereka.

Tubuh Orc rubuh bersamaan dengan Louie dan Azra yang melompat mundur. Keduanya terengah.

"Masih ada satu lagi, kita harus mencarinya," ucap Azra cepat. Ia segera menjauh diikuti Louie di belakangnya.

#

Ciel melangkah pelan menyusuri jalan kecil. Desa tampak lengang, kelihatannya semua orang telah dievakuasi. Ia menatap miris beberapa mayat yang tergeletak di tengah jalan.

"Aku akan melindungi semuanya. Aku janji."

Pemuda kelabu itu tersentak. Ia teringat janji yang perah diucapkannya pada gadis kecil yang ia temui beberapa hari lalu. Dan sekarang? Ia bahkan belum melakukan apa pun.

Ciel menggigit bibirnya kesal.

Langkah tanpa arah membawanya ke belakang bukit, ke panti asuhan di pinggiran desa yang tempo hari didatanginya. Pupilnya melebar ketika mendapati betapa mengenaskannya tempat itu. Merah darah dari mayat yang tak lagi utuh memercik dan membasahi rerumputan. Embusan angin semilir membawa bau amis yang membuatnya mual.

"Grrr ...."

Suara geraman, dan tangis yang terdengar lirih tertangkap oleh telinganya. Suara yang ia yakini berasal dari sisi lain bangunan itu. Ciel berlari menghampiri asal suara, dan lagi-lagi apa yang ada di hadapannya membuatnya tersentak.

Makhluk yang sama dengan yang ia lihat ketika di gerbang desa, terlihat di depan matanya. Tengah mencekik seorang gadis kecil yang sangat Ciel kenali.

"Alicia!"

Suara Ciel membuat Orc dan gadis kecil itu menoleh.

"Ka ... kak?" Suara gadis itu tercekat, bahkan tak melewati kerongkongannya.

Ciel kalap, ia berlari mendekati makhluk itu, hendak menyerangnya. Namun--

Crakk!

--pemuda itu terdiam sesaat ketika dilihatnya lengan makhluk itu mengoyak tubuh gadis kecil yang ia coba lindungi. Matanya terbelalak sementara tangannya gemetar. Napas pemuda itu mulai memburu tak teratur. Air mata jatuh dari sepasang netra safirnya yang kemudian berubah menjadi biru menyala.

Monster itu melempar tubuh gadis kecil yang tak lagi bernapas ke arah Ciel. Membuat Ciel tersentak kemudian menangkap tubuh itu. Wajah pucat gadis kecil itu membuat Ciel nyaris kehilangan akal.

"Kau percaya padaku, 'kan?"

"Umh! Tentu saja. Janji, ya!"

"Aku janji."

Lagi-lagi air mata jatuh dari obsidiannya yang kini menyala, pertanda bahwa emosi tengah menguasainya. Perlahan, tubuh pemuda itu merosot bersama tubuh kecil yang tak lagi bernapas.

Ciel berusaha mengendalikan dirinya sendiri agar tak lepas kendali. Ia meletakkan tubuh gadis itu di pangkuannya. Masih tertunduk di tempat yang sama, mengabaikan Orc yang kini bersiap menyerang.

"CIEL!" Suara itu terdengar tanpa mampu membuat sang empunya nama memberikan reaksi.

Dari kejauhan, Azra dan Louie yang melihatnya berusaha berlari secepat mungkin mendekati Ciel. Mencoba menyelamatkan anak itu.

Ciel mendongak ketika monster itu berada tepat di hadapannya, tatapan dari iris birunya yang menyala tampak tajam dan menakutkan.

Dengan satu gerakan, Ciel menarik cairan yang berasal dari tubuh Alicia. Menggunakan darah gadis itu sebagai senjata dan memenggal leher makhluk itu, membuat kepalanya terpisah dari tubuh dalam sepersekian detik.

Cipratan darah kental berwarna kehitaman menyembur dan membasahi Ciel yang kini menatap kosong, terduduk putus asa di antara rerumputan.

Louie terdiam ketika melihat bagaimana Ciel membunuh makhluk itu dalam satu serangan. Sementara fokus Azra teralihkan ke arah lain. Ia menatap mayat gadis kecil yang ada di pangkuan Ciel dan seketika itu pula ia menyadari bahwa sosok itu adalah anak yang ditemani Ciel beberapa waktu yang lalu.

Saat itu Azra sempat memperhatikan interaksi keduanya dan mereka tampak akrab. Ciel pasti sangat terpukul.

"Luciel ...," tegur Azra ketika akhirnya berdiri di dekat pemuda bersurai kelabu itu.

Ia menepuk pelan pundak Ciel dan sedikit tercekat ketika Ciel menoleh dengan tatapan kosong yang dingin. Ekspresi terkejut yang sama tampak pula di wajah Louie ketika melihat sahabatnya itu tampak begitu mengenaskan.

"Akan kubunuh ...," gumam Ciel lirih. "Makhluk-makhluk itu ... aku bersumpah akan membunuh semuanya!"

Gumaman itu membuat Louie dan Azra hanya bisa terdiam.

To be continued.

Catatan penulis.

Chapter 7 update.^^
Ahh, membayangkan adegan berdarah-darah di chapter ini biasa banget, rasanya gemes juga. Ku butuh yang lebih seram. -__-

Kkk ... well, ini tidak begitu menyeramkan sih ... kurasa? :/
Oke, terima kasih sudah membaca, juga untuk vote dan komentarnya. Itu sangat berharga.

Ohh, dan aku bukan orang yang teliti, jadi silakan koreksi kalau-kalau ada yang luput dari editanku. Aku akan sangat berterimakasih. :3

Sampai jumpa di chapter depan.^^

Best regards, Cherry.

Continue Reading

You'll Also Like

17K 566 18
⚠️🔞⚠️ On Going Lelaki seniman yang manis milik si mafia tampan yang sebelumnya tak sengaja bertemu karna suatu insiden yang tak di duga. ▪︎▪︎▪︎ "Iya...
3K 744 16
Aku menemukan sebuah buku dari perpustakaan yang memiliki nama penulis di bagian sampul belakangnya, yang membuatku terkejut begitu membaca isinya; "...
1K 168 8
Ayolah, Vader menargetkan misi baru? Lebih konyolnya monster tua itu memerintahkan Lima Leanders Bersaudara yang beringas dan berotak encer untuk men...
308K 12.8K 11
Di masa depan, jika seorang anak sudah berumur 13 tahun mereka harus dipindahkan ke distrik yang sesuai dengan tahun, bulan, dan tanggal kelahiran me...