Behind Every Laugh

Por plpurwatika

6.2K 457 111

#30DaysWritingChallenge Más

#1 Love Yourself
#2 Say Your Love!
#3 See you soon!
#5 My Olive
#6 (Judulnya Nyusul)
#7 Sorry
#8 One Day to Remember
#9 Selfie
#10 Ojek tak Bermesin
#11 Cinta
#12 Bukan Benci Biasa
#13 Surat Cinta?
#14 Sate Cinta-eh, Sate Ayam
#15 Bukan Benci Biasa (2)
#16 Trust Me
#17 Damn you, Arka.
#18 I Miss You.
#19 Kotak Cokelat
#20 Ongkos
KISS
#21 Dia yang Tidak Pernah Menangis

One Call Away

235 21 16
Por plpurwatika

SPECIAL THEME : One Call Away - Charlie Puth

"Kenapa aku?"

"Ya kamu lah." Tania menjawab jutek. Aku hanya menunduk. "Sekarang gini deh, yang pacar aku siapa? Kan kamu! Masa aku minta tolong orang lain buat ngelakuin hukuman aku? Terus apa gunanya kamu?"

Aku mengangkat pandanganku. Ingin protes, tapi raut wajah Tania yang sedikit kesal membuatku mengurungkan niat. "Yaudah iya, sayang. Aku yang bakal ngelakuin hukuman kamu buat ngeberesin gudang sekolah karena udah bolos sekolah."

"Nah gitu dong." Tania melebarkan senyumnya. Aku ikut terseyum melihatnya bahagia. "Oh iya, Van. Sekalian kerjain tugas kimia aku ya?"

Lagi-lagi dia memintaku mengerjakan tugasnya. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. "Emangnya kenapa kamu nggak bisa ngerjain? Kamu nggak ngerti? Mau belajar bareng?"

"Udahlah nggak usah banyak tanya." Tania mendecak sebal.

"Ya kan aku perlu tau." Aku berkata, lirih. Sial. Aku benci menjadi lembek di depan Tania.

Tania melirik jam tangannya. "Soalnya aku mau pergi sama gengnya Gary sampe malem. Jadi nggak sempet." Oh. "Yaudah aku tinggal ya, kayaknya mereka udah nunggu. Yang becus beresin gudangnya. Bye!"

Aku hanya bisa menatap tak berdaya Tania yang perlahan menjauh. "Tania!"

Dia berbalik, menatapku dengan sebal.

"Aku sayang kamu!"

Tanpa membalas kalimatku, Tania tetap melanjutkan perjalanannya dan menghilang di balik gerbang sekolah.

Aku memejamkan mata sebentar. Lelah. Kenapa selalu saja begini? Kenapa Tania selalu saja begini? Seakan aku bukanlah apa-apa baginya. Seakan... Aku hanyalah orang yang pantas ia suruh-suruh. Bukan pacarnya.

Aku tak keberatan jika sekali dua kali dia menyuruhku mengerjakan tugasnya, sungguh. Aku senang melihatnya bahagia. Aku senang melakukan sesuatu yang membuatnya tersenyum. Tapi mungkin dia tidak mengerti kalau aku bukan pembantunya.

Ah, apa yang baru saja aku pikirkan? Aku mencintainya. Karena itu aku rela melakukan apa pun yang dia ingin. Aku ingin dia selalu membutuhkanku. Aku mencintainya dengan sungguh-sungguh.

Jangan mengeluh, dan lakukan saja apa yang dia suruh.

Perlahan aku menghampiri bola basket yang terletak di sudut ruangan. Gudang ini terletak persis di depan lapangan sekolah karena semua alat-alat olahraga yang dimiliki sekolah disimpan di sini. Gudang peralatan olahraga tepatnya. Sekolah sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu.

Pertama yang aku lakukan adalah membereskan alat-alat yang ada di sini. Memasukan bola basket ke dalam tempat khusus bola basket, memasukkan kok ke dalam tabungnya, menggulung matras, dan lain sebagainya.

Setelah itu aku membersihkan debu-debu yang ada dengan kemoceng yang aku temukan di balik pintu. Debu yang terbang saat aku membersihkan ruangan sempat membuatku batuk-batuk sebentar. Tapi aku tetap melanjutkannya agar pekerjaan ini cepat beres dan selanjutnya tinggal mengerjakan PR kimia Tania.

Tenanglah, debu-debu ini tidak akan membuat asmaku kambuh kan?

Tapi ternyata, dugaanku salah. Tiba-tiba saja aku jadi susah bernapas. Sial. Keringat dingin sudah mengalir di dahiku. Aku coba bernapas pelan-pelan, tapi gagal.

Sial lagi, sekarang aku sudah terduduk di lantai dan rasanya seperti hampir mati karena susah bernapas. Sial. Sial. Sial. Susah sekali rasanya bergerak ke arah tasku yang ada di luar gudang.

Aku menundukkan kepalaku sambil berusaha bernapas dengan susah payah. Sial. Apa semuanya harus berakhir di sini?

"Astaga Ivan, lo kenapa?"

Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam gudang dan langsung menghampiriku. Dari suaranya, aku tau itu milik Gaby. Di balik tirai-tirai rambut sebahunya yang berjatuhan saat duduk dan menunduk untuk melihat wajahku, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang berubah pucat.

"Are you okay?"

Aku ingin menjawab. Tapi rasanya susah sekali. Tuhan, haruskah aku menangis di depan cewek ini? "In... Ha... Ler. To... Long. Tas..." Aku berusaha menjelaskan. Semoga Gaby mengerti.

"Hah?" Gaby mengerutkan keningnya. Ayolah Gaby. Cepat. "Tas lo dimana?"

"Pin... tu. Lu... Ar. In... Ha... Ler. To... long. Gab."

Secepat kilat Gaby langsung bergerak ke luar dan mencari-cari tasku. Setelah menemukannya dia langsung membawa tas itu ke hadapanku dan mencari inhaler di depanku dengan tangan gemetar, panik.

Saat menemukannya, dia tidak langsung memberikannya padaku. Tapi Gaby membantuku duduk tegak dan menganggkat daguku. Membuka tutup inhaler, mengocoknya sebentar lalu memberiku perintah untuk menarik napas panjang. Setelah itu baru ia menyerahkan inhaler-ku.

Gaby juga membantuku memasang inhaler. Aku merapatkan bibirku dan berusaha bernapas melalui inhaler sambil menekan tombol untuk menyemprotkan obat.

Bisa kurasakan obat tadi menyentuh paru-paruku. Aku menahan napas beberapa detik lalu menghembuskannya. Setelah kurasa semuanya sudah baik-baik saja, aku melepas inhaler-ku.

Gaby langsung menerimanya dengan hati-hati lalu menutupnya. "Are you okay now?"

Aku berusaha tersenyum. Cewek itu langsung memasang tampang lega. Dan menaruh kembali inhaler-ku ke tempat semula. "Gue nggak nyangka lo ngerti cara make inhaler."

"Haha, kecil lah begitu doang," katanya lalu tertawa.

"Thanks, Gaby."

"Iya." Dia lalu mengacungkan jempolnya. "Lagian lo ngapain sih di sini?"

Ya ampun kenapa aku bisa lupa tugas Tania dan malah asyik ngobrol dengan Gaby?

Aku langsung berdiri dan mengambil kemocengku lagi. Saat tanganku sudah siap membersihkan alat-alat olahraga di depanku lagi, saat itu juga tangan Gaby menghalangiku. Apa-apaan dia?

"Lo gila ya?!" Matanya berkilat marah. "Lo barusan udah kayak orang pengen mati gitu terus sekarang lo tetep lanjutin perintahnya Tania? You stupid!"

"Apaan sih?!" Aku membentaknya "Nggak usah ikut campur! Bukan karena lo udah bantuin gue lo bisa ikut campur ya!"

Gaby merebut kemoceng di tanganku dengan kasar. Aku menatapnya marah. "Lo duduk. Biar gue yang lanjutin."

"Ap—"

"Lo milih gue rapiin atau gue acak-acak ruangan ini?" Aku bergeming. Dia menunjuk matras dengan kemoceng di tangannya. "Duduk."

Akhirnya aku menuruti permintaannya dan segera duduk di atas matras. Gaby mengambil masker hijau di saku roknya dan memakainya. Dengan cekatan dia membersihkan seluruh ruangan, menyapu, dan mengepelnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya tak percaya saat gudang ini akhirnya rapi dan bersih.

Gaby melepas maskernya, menaruhnya di saku lagi, lalu duduk di sampingku. Saat aku ingin mengucapkan terimakasih dan langsung pergi, bisa kudengar saat ini Gaby sedang berusaha mengatur napasnya.

"Lo... Kenapa?"

Gaby tetap diam dan mengatur napasnya dalam-dalam. Setelah merasa napasnya kembali teratur, dia menyeka peluh di dahinya. "It's okay."

Aku mengangguk.

"Lo tau nggak sih?" Dia mendecak kesal. "Kadang lo harus kayak gitu juga ke Tania."

Hah? "Kayak gimana?"

"Kayak yang lo lakuin tadi ke gue. Bentak gue." Dia menatapku sungguh-sungguh. "Gue benci ngeliat lo yang iya-iya aja setiap kali disuruh-suruh Tania."

Aku membuang muka. "Lo nggak bakal bisa marah ke orang yang lo cinta."

"Ya terserah lo sih kalo tetep mau jadi babunya dia buat selamanya." Gaby masih menatapku kesal. "Lo liat dong sekarang, emangnya dia nggak tau apa kalo lo punya asma? Tega banget dia.

"Kerjaannya cabut mulu. Tugas tinggal minta ke elo. Gampang banget lagi kalo nyuruh elo. Heran gue, lo masih aja tahan. Padahal jelas-jelas dia sama Gary—"

"Berhenti jelek-jelekin dia di depan gue!" Sial. Aku kelepasan membentaknya lagi. "Sorry."

Gaby lalu bangkit. "Lo tuh harusnya buka mata lo. Nggak cuman Tania cewek di dunia ini. Lo cinta dia, gue tau. Tapi apa lo yakin dia cinta lo?"

Setidaknya Tania masih membutuhkanku.

"Lo nggak bakal rugi ngelepasin orang yang nggak sayang lo. Dia yang bakal rugi karena udah nyia-nyiain lo. Sekarang, terserah lo."

Aku tidak membalas kata-kata Gaby sampai cewek itu mulai berjalan keluar. Ketika sampai di depan pintu, dia berbalik, menghembuskan napas panjang, lalu berkata, "Kalo lo mau tau, gue bisa pake inhaler karena gue punya asma juga."

Ap... Apa?

Setelah mengatakan hal tadi, Gaby berbalik lagi dan mengilang di balik pintu.

Bisa kurasakan rasa bersalah langsung menghujam ke hatiku. Dia... Kenapa dia sebaik itu?

Kalau dipikir-pikir, dia memang selalu baik padaku. Gaby, pemain gitar akustik terbaik di sekolah yang entah kenapa selalu ada setiap aku membutuhkannya. Walaupun aku selalu membentaknya, tapi dia tetap memasang senyum lebarnya yang seperti biasa.

Waktu itu saat Tania menyuruhku membuatkannya makalah, saat aku sedang mencari sumber dari perpustakaan sekolah, tiba-tiba saja Gaby muncul dari balik rak dan berkata riang, "lagi cari apa sih? Gue bantu ya?"

"Nggak perlu."

"Tentang sejarah sistem periodik kan?" Katanya lalu mengacungkan sebuah buku ke hadapanku. "Nih gue ambilin. Mau gue rangkumin nggak? Gue tau lo harus ngerjain makalah Tania yang lainnya juga kan abis ini."

"Apaan sih lo?" Tanpa menerima buku yang disodorkan olehnya, aku langsung berlalu. Bisa kulihat Gaby hanya menunduk sebentar lalu mengembalikkan buku tadi ke rak.

Atau waktu ketika aku kesusahan mengerjakan hukuman milik Tania; membawa setumpuk buku tulis milik entah kelas berapa ke meja bu Ratna—guru kimia—lagi-lagi, Gaby muncul di depanku dengan senyumnya yang biasa.

"Biar gue bantu, Van." Gaby langsung mencoba mengambil sekitar sepuluh buku tulis yang aku bawa.

"Nggak usah!" Kesal, sebelah tanganku bereaksi untuk menghalangi tangan Gaby yang sedang mengambil buku, membuat semua buku tulis itu akhirnya jatuh ke lantai. Sial.

Aku masih terpaku di tempatku saat Gaby sudah berjongkok dan mulai memunguti buku-buku itu. Tak kusangka, dia mengambil semuanya dan mulai berjalan ke arah ruang guru dengan sedikit oleng. Aku mendecak dan langsung mengambil lebih dari separuh buku di tangannya lalu mendahuluinya pergi ke ruang guru.

"Thanks-nya mana?"

"Thanks, tapi gue nggak minta."

Pernah juga, waktu itu ketika Tania meninggalkanku sendiri di tempat parkir dan memilih pulang bersama Gary ketika mengetahui kondisi ban mobilku yang kempes, Gaby muncul lagi di tempat parkir.

"Mau... Gue bantu dorong?" Dia bertanya gugup. "Mogok atau kenapa?"

"Kempes."

"Oh, bilang aja kalo lo perlu bantuan."

"Nggak usah, gue udah telepon bengkel."

"Oke." Dia lalu ikut-ikutan berjongkok di sampingku. "Kalo gitu gue temenin nunggu tukang bengkelnya, ya?"

Aku hanya meliriknya heran, lalu mengangkat bahu cuek yang diartikan Gaby sebagai ucapan 'ya'. Jadi cewek itu mulai bercerita tentang apa pun lalu tertawa. Anehnya, suara tawanya membuatku ingin ikut tertawa juga.

Dan tadi, dia menggatikanku membersihkan gudang, dengan mempertaruhkan resiko asmanya bakalan kambuh juga. Dia rela mempertaruhkan nyawanya demi aku? 

Gaby yang baik. Gaby yang selalu ada saat aku membutuhkannya. Dan aku selalu membentak-bentaknya.

Tania yang selalu memerintahku melakukan ini-itu. Tania yang memperlakukanku seperti pembantu. Dan aku selalu berkorban untuknya.

Sial.

Dengan tergesa aku langsung bergegas keluar dan mengejar Gaby. Mengedarkan pandanganku ke koridor sekolah dan akhirnya menemukannya sedang berdiri diam di tengah-tengah lapangan. Aku langsung menghampirinya.

Lagi-lagi Gaby tampak sedang mengatur napasnya. Perasaan bersalah langsung menghampiriku lagi. Dengan hati-hati aku menepuk pundaknya. Dia melirikku sebentar, lalu memejamkan mata. "Lo nggak papa?"

Gaby tersenyum. Entah kenapa, reflek tubuhku meminta aku langsung menggenggam tangannya. Hangat. Dia membuka matanya, lalu melirik tanganku yang menggenggamnya sebentar, tapi tidak bereaksi apa-apa.

"Lain kali kalo Tania nyuruh lo, bilang gue ya. Biar gue bantu." Gaby menatapku dalam-dalam. "Gue tau, karena sesama penderita asma nggak boleh kecapekan kan?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kenapa, Gab? Kenapa lo mau repot-repot bantu gue?"

"Karena katanya, yang selalu ada bisa menggantikan yang teristimewa."

Sekarang giliranku yang menatapnya dalam-dalam. Mencari kesungguhan kata-katanya. Dan tiba-tiba sensasi aneh langsung menghampiriku saat mata kami akhirnya bertemu.

"Janji ya?" Dia melepaskan genggamanku, lalu megacungkan kelingkingnya.

"Janji apa?"

"Janji panggil gue kalo lo lagi susah, kalo lo perlu bantuan, kalo lo perlu dihibur, kalo lo sedih, kalo lo kecewa, kalo lo marah." Aku terpana. "Panggil gue ya? Jangan yang lain."

Dengan mantap aku mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya.

Dia tertawa renyah. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa mendengar suara tawaku yang lepas. Tawa lepas yang hanya bisa kulakukan ketika bersamanya.

(´−`) ンー THE ENDヾ(´▽`;)ゝ

Btw, masih ada yang add ini ke library kan ya?:')

Kalo ada yang req.... Gue buatin... Lanjutannya... Kalo gaada... << pesimis:(

Seguir leyendo

También te gustarán

1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
377K 1.3K 3
Warning! 21+ Fantasi belaka Bocil minggir! Ga suka? Skip!
531K 87.6K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
13.2M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...