I Love You, Mr G

By SaiRein

1.9M 50.1K 4.9K

Cody Handerson hanya mampu terbengong saat kekasihnya selama dua tahun, Edgar Carter, memutuskan untuk mengak... More

GOSIP SAIREIN
PENGUMUMAN PEMBACA
ILUMRG == 02 ==
ILUMRG == 03 ==
ILUMRG == 04 ==
ILUMRG == 05 ==
ILUMRG == 06 ==
ILUMRG == 07 ==
ILUMRG == 08 ==
ILUMRG == 09 ==
ILUMRG == 10 ==
ILUMRG == 11 ==
ILUMRG == 12 ==
ILUMRG == 13 ==
ILUMRG == 14 ==
ILUMRG == 15 ==
ILUMRG == 16 ==
ILUMRG == 17 ==
ILUMRG == 18 ==
ILUMRG == 19 ==
ILUMRG == 20 ==
ILUMRG == 21 ==
ILUMRG == 22 ==
ILUMRG == 23 ==
ILUMRG == 24 ==

ILUMRG == 01 ==

174K 4.3K 253
By SaiRein

BROKEN HEART

=========================

"Kita putus saja."

Cody Handerson mengerjap, memandang kekasihnya selama dua tahun terakhir yang duduk di seberang meja makan, mengenakan pakaian formal dengan dasi tergantung di leher.

Edgar Carter, dengan wajah tampan yang begitu serius dengan kedua mata cokelat tajam seperti elang, tengah memandang lurus-lurus padanya.

Dengan gugup, Cody membasahi bibir. "Kau pasti bercanda kan?" tanyanya.

"Aku tak bercanda," kata Edgar tegas.

"Tapi kenapa?" kata Cody lagi. "Kita tak punya masalah. Kita tak bertengkar. Kita juga baik-baik saja selama ini. Lalu, apa masalahnya?"

"Kupikir, kau tahu benar apa masalah kita," katanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.

Cody tak ingin membicarakan masalah ini. Tapi, bila Edgar ingin memunculkan topik ini, baiklah, Cody akan meladeni.

"Apa karena aku laki-laki?" tanyanya dengan rahang mengeras.

Edgar mengangguk kaku di seberang meja makan.

"Kupikir, kau tak mempermasalah ini karena kau bilang bahwa kau mencintaiku."

"Aku memang mencintaimu."

Omong kosong. "Lalu? Kenapa tiba-tiba kau ingin putus sekarang?" suara Cody meninggi, menancapkan garpu ke meja makan dengan geram. Edgar mengernyit sedikit. "Apa karena aku tak bisa memberikan anak? Maaf, aku tak bisa memberikan anak padamu karena aku laki-laki. Aku tak bisa hamil—begitu juga kau! Kupikir, kau pasti akan baik-baik saja bila kita mengadopsi anak, jika kau ingin punya anak. Atau mungkin aku bisa operasi transgender sehingga aku bisa punya anak!" katanya sarkastik.

"Cody—"

"Tidak. Jangan mengatakan apa pun. Aku tak ingin mendengar apa pun."

"Cody," kata Edgar lagi, kali ini lebih lembut sehingga Cody merasa bahwa dia luluh begitu saja hanya dengan suara Edgar.

Pada akhirnya, mereka diliputi oleh keheningan canggung luar biasa. Edgar membasahi bibir, meletakkan garpu. Cody tahu bahwa jika sudah bersikap begitu maka Edgar akan mengatakan sesuatu yang serius.

Dan Edgar melemparkannya bom itu.

"Cody, aku akan menikah minggu depan."

Jiwa Cody seakan keluar dari tubuh saat itu juga. Hatinya patah. Terbelah dua. Lalu hancur menjadi puing-puing kecil bebatuan. Yang lalu berubah menjadi butiran pasir. Kemudian ditiup angin lalu terbang dan menghilang begitu saja.

"Apa?" suara Cody nyaris tak terdengar. Ini tak mungkin.

"Orang tuaku menjodohkanku dengan seorang gadis dan aku tak bisa menolaknya. Gadis itu adalah anak dari sahabat Papaku. Aku mencoba memberitahumu. Tapi aku tak bisa. Tiap kali melihatmu aku tak mampu mengatakannya. Aku tak sanggup menyakitimu." Edgar berkata cepat-cepat.

Cody menatapnya dengan tak percaya. "Kau menyakitiku sekarang," gumamnya.

"Cody, please." Dia mengambil tangan Cody. "I'm sorry."

Cody menyingkirkan tangan Edgar, lalu bangkit dari kursi dan cepat-cepat keluar dari acara makan malam mereka yang berubah menjadi makan malam paling tragis bagi Cody. Makan malam terakhir kami, pikirnya.

"Cody." Edgar mengejar Cody. Tapi Cody seakan tak mendengarnya dan berhasil melewati ruang tengah untuk mengambil mantel. "Cody, maafkan aku," Edgar menggapai tangannya, yang ditepis Cody untuk memakai mantel.

Edgar bisa melihat bagaimana Cody tersakiti. Rahang pria itu mengeras, mengatupkan gigi dan berusaha menahan air mata yang nyaris keluar. Melihatnya seperti ini membuat Edgar merasa bersalah. Dia bisa merasakan kesakitan Cody.

Hanya saja, Edgar sudah memilih.

"Cody," kata Edgar lagi. Begitu Cody berbalik, Edgar justru terdiam. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan pada Cody.

"Aku bilang jangan ucapkan apa pun karena aku tak akan mendengar apa pun," katanya tegas. "Kau akan segera menikah. Tak ada gunanya bagiku berlama-lama di sini jika kau memutuskan untuk mencampakkanku."

Edgar justru mengatakan. "Cody, aku masih mencintaimu."

"Jika tiga menit lalu aku mendengar itu, aku akan percaya padamu dan dengan senang hati menyerahkan diri padamu. Tapi sekarang tidak." Cody mendorongnya minggir.

Sekarang Edgar putus asa. "Aku masih ingin bertemu denganmu. Sebagai teman," katanya lagi dengan nada memohon.

"Apa kau gila?" Cody menaikan suara—sesuatu yang jarang terjadi. "Perasaanku akan dipermainkan olehmu. Kau pikir aku bisa tenang-tenang saja melihatmu mengucapkan sumpah setia pada gadis itu? Aku tak akan melakukan hal itu, Ed. Kita sudah berakhir dan aku tak akan pernah menjadi temanmu. Selamat atas pernikahanmu dan semoga kau bahagia."

Lalu dengan menghapus air matanya yang sempat jatuh, Cody mengatupkan rahang, membuka pintu, keluar dari rumah Edgar, membanting pintu lebih keras dari seharusnya.

Dan tak kembali untuk selamanya.

*

Setelah seminggu penuh, Cody masih patah hati. Selama tujuh hari penuh, dia hanya menangis, ngumpet di rumah, mengunci diri dari segala macam gangguan dunia, bahkan tak berniat mengangkat telepon atau membalas pesan masuk dari siapa pun lalu depresi, tidak makan, dan akhirnya bosan sendiri.

Aku harus move on. Masih banyak cowok di jalanan. Cinta tak cuma nyangkut pada Edgar.

Maka dengan tekad menggebu-gebu, Cody pun bersiap meninggalkan rumah, menuju bar dan berniat untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Kali ini, dia bersumpah akan mencari orang yang lebih baik daripada Edgar.

Cody memutuskan ke bar bernama Efuro karena dia sudah bersumpah kalau dia tak akan pernah mendatangi tempat-tempat yang menjadi kenangannya dan Edgar. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi bila dia bertemu Edgar.

Menaikkan kacamata lebih tinggi, Cody melangkah masuk.

Suara musik menyambutnya dengan dentuman yang memekakkan telinga. Begitu menggila. Lampu-lampu temaram dan berwarna-warni menempel di atas dinding dan juga di lantai dansa, berkedip dengan cepat mengikuti alunan musik. Orang-orang yang ada di atas lantai dansa tak kalah riuh. Mereka melompat-lompat, berteriak seru, menggeliat penuh mesra dengan pasangan mereka saat berdansa, dan semakin puas tak kala sang DJ juga ikut menambah panasnya malam.

Tak jauh dari lantai dansa, dipisahkan oleh palang bulat mengkilap, ada sang DJ bermain di atas tangga. Di kiri-kanannya ada cewek-cewek yang ikut berdansa.

Beberapa langkah dari sana ada pole dance tempat di mana cewek-cewek bayaran berdansa. Tidak striptease tapi jelas membuat semua pria yang bukan gay akan ngiler dan tak akan berhenti melotot. Sayangnya, Cody tidak begitu tertarik.

Mendengus, dia melangkah mendekati bar. Sudah ada pria dan wanita duduk di sana—setelah Cody berhasil menyingkirkan para wanita yang berusaha menyentuhnya. Mereka berbisik-bisik dengan mesra dan tidak memperhatikan ataupun menyadari keberadaan Cody.

Begitu Cody duduk, seorang bartender segera menyapanya. "Selamat malam, Sir. Mau minum apa?"

Cody berusaha memberikan senyuman memikat. "Vodka."

Sayangnya, bartender itu bukan gay. "Akan segera datang, Sir," katanya cepat.

Menghela napas, Cody bertanya-tanya kepada diri sendiri mengapa dia justru mendatangi bar biasa. Padahal ada banyak bar untuk gay di sekitar tempat itu, tapi kakinya justru membawanya kemari.

"Ini vodka Anda, Sir," kata si Bartender, mendorong gelas kecil padanya.

Cody kembali memberikan senyuman secara otomatis. "Terima kasih."

Menyesap vodkanya pelan-pelan, Cody memerhatikan sekeliling dengan tak berminat: seorang gigolo bersama dengan tante-tante yang dua kali umurnya, seorang pria tua dengan tiga wanita muda, kumpulan pemuda yang sibuk minum bersama dengan cewek-cewek berpakaian mini, sekumpulan orang yang berdansa di lantai dansa dan saling menempel seperti lintah, para striptease yang mulai mendapat bayaran—

Tak adakah seseorang yang bisa kuajak ngobrol? Cody menghela napas. Dia semakin frustasi karena menghabiskan waktu sendirian di bar sambil memandang orang-orang yang bermesraan. Buang-buang uang saja.

"Hei, Tampan. Sendirian?"

Seseorang menepuk bahu Cody. Cody menoleh, mendapati seorang wanita seksi bergaun merah dengan potongan rok pendek sekali tengah tersenyum padanya. Mata wanita itu menatapnya dari atas sampai ke bawah, menilai penampilan Cody, lalu tersenyum.

"Mhm," Cody mengangguk, menyesap minumannya dan menyesal karena bukan pria yang datang menyapa. Pengharapan semu, Cody!

"Boleh bergabung?"

"Silakan?" Cody mengerutkan dahi. Mungkin, wanita itu memang tertarik padanya. Wanita itu, sayangnya, mengincar pohon yang salah. Tapi, daripada sendirian, Cody lebih baik ditemani wanita.

Wanita itu tersenyum lagi, duduk dengan gaya yang berlebihan dan dengan sengaja mengangkat kaki tinggi-tinggi untuk melipatnya dengan kaki yang satunya, memperlihatkan paha mulus dan putih. Mata pria biasa mungkin tidak akan beralih pada dua kaki jenjang itu. Pria mana yang tidak akan tergoda jika disodori dua kaki mulus? Tapi seperti dugaan tidak ada yang dirasakan Cody. Dia yang hanya menaikan alis, dan kembali menyesap vodka, lalu menatap lurus-lurus ke depan.

"Namaku Keyna," katanya sambil mendesah. "Kau?"

"Cody."

"Cody? Nama yang lucu."

"Kau bukan orang pertama yang mengatakan itu padaku." Edgar juga berpendapat seperti itu saat pertama kali mereka bertemu. Mengingat Edgar membuatnya kesal.

"Hmm, apa kau sedang patah hati?"

"Huh? Kok tahu?" Cody langsung menyesal begitu mengucapkannya karena wanita itu segera tertawa, memperbaiki rambut ikal panjang yang terurai indah di punggung yang terbuka.

"Aku bisa melihat matamu membengkak. Kasihan. Kau pasti mencintai wanita itu sepenuh hati sampai bersedia menangis untuknya."

"Urm, ya." Lagipula, Edgar bukan wanita.

"Wanita beruntung, tapi jelas-jelas juga bodoh," lanjut Keyna lagi. Salah satu alis Cody menaik penuh tanda tanya. "Karena kau terlalu tampan untuk dibuang, Cody."

"Ah, thanks," kata Cody, tersenyum kecil.

"Jadi kau single?" tanya Keyna, salah satu jarinya mengelus punggung tangan Cody.

"Sekarang? Kurasa ya." Cody mengangguk, sengaja mendorong gelas untuk menghindari jari Keyna.

"Aku juga single," kata Keyna. Walau dia tahu Cody tidak begitu tertarik padanya, Keyna tidak menunjukkannya.

Cody tahu maksud wanita ini, tapi dia pura-pura tak tahu. Para wanita jelas bukan incarannya. Mereka diliputi dalam diam ketika si Bartender mengisi kembali gelas Cody.

Merasa kalau Cody jual mahal, Keyna memutuskan untuk mengambil langkah. "Kita bisa berteman."

"Kenapa kau ingin berteman denganku?"

Pertanyaan itu jelas membuat Keyna mengerutkan dahi. Selama ini tak ada yang memberikan pertanyaan. Para pria biasanya dengan senang hati menerima tawarannya tanpa banyak bertanya, tapi Cody tidak.

Sejak Cody masuk ke bar, mata Keyna tak lepas darinya. Pria itu jelas memesona. Keyna langsung tertarik padanya karena dia terus-terusan menoleh pada Cody. Teman-temannya bahkan sempat menggodanya karena tidak berkonsentrasi pada obrolan mereka. Keyna bisa melihat bagaimana dirinya terhipnotis dengan cara Cody memegang gelas, menyesap vodka dengan tidak terburu-buru, meletakkan gelas dengan elegan, tersenyum ramah pada si Bartender, dan caranya memberikan pandangan penuh kerinduan pada para pasangan yang berpelukan.

Keyna terpesona, apalagi setelah dia tahu bahwa Cody tak tertarik padanya seperti pria lain.

Semakin didekati, pria itu justru tampak lebih memikat. Wajahnya tampan dengan mata lembut. Rambutnya agak berantakan dan memberi kesan seksi. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak pendek. Dia jelas memiliki tubuh rata-rata dengan bahu kecil, pinggang kecil dan kulit yang halus. Meski begitu, Keyna merasa dia sempurna. Apalagi dengan rip jeans yang dia kenakan memberi kesan liar.

Ada sesuatu dalam diri Cody yang membuatnya penasaran.

"Karena kau sangat menarik, sopan, tampan dan cute."

"Cute?" desah pria itu tak percaya. "Aku tak bangga dibilang cute."

"Ups, sorry. Aku lupa pria punya harga diri yang tinggi meski para wanita memuji. Kau termasuk salah satunya ya?"

Dengan enteng dia mengangkat bahu. "Mungkin," katanya sambil menyesap vodka.

Keyna memperhatikan paras pria itu. Dia bisa melihat ketegangan di bahu Cody. Saat Cody menurunkan gelas, Keyna menarik tangannya.

"Ayo berdansa!"

Cody tak bisa melawan begitu wanita itu menariknya ke lantai dansa. Lampu warna-warni dan hingar bingar suara musik membuat suaranya tak terdengar. Para pedansa yang menggila berteriak-teriak seru.

Keyna memulai aksinya dengan menggerakkan pinggul dengan menggoda pada Cody, menyuruh Cody untuk ikut berdansa dengannya karena sedari tadi pria itu hanya berdiri diam. Cody akhirnya tersenyum begitu Keyna menjerit bersama dengan pedansa lain, membuatnya tertawa dan, mau tak mau, Cody juga ikut berdansa.

Hanya saja itu tak bertahan lama. Lima belas menit setelah mereka berdansa, seorang pria mencoba mencari perhatian Keyna. Pria itu berdansa di belakang Keyna, menarik tangannya dengan paksa. Pria itu cukup mabuk untuk sadar bahwa Keyna sama sekali tak ingin berdansa dengannya karena begitu Keyna menjerit, Cody langsung naik darah dan meninju pria itu.

Pria itu menyingkir beberapa meter, menabrak para pedansa. Cody menyayangkan kalau wajah pria itu tak akan lagi tampan karena tinjunya. Tapi, pria itu bangkit lagi, berusaha menerjang Cody.

Keyna menutup mulut, menjerit kecil. Cody menangkap tangan pria mabuk itu, dan menghantamkan kepalanya ke lantai terlebih dahulu. Sekarang, para pedansa malah menonton mereka.

Keamanan segera datang, menarik keluar pria mabuk itu dan meminta maaf pada Cody karena mengganggunya.

Keyna masih takjub. Dia tak menyangka orang seperti Cody mampu melawan pria sebesar itu sendirian. "Kau keren!"

Dengan santai, Cody mengangkat bahu. "Kurasa aku tak mau berdansa lagi. Resikonya berat."

"Maksudmu?" Keyna mengikuti Cody menuju bar untuk duduk kembali.

"Aku tak ingin jadi tameng dari para pria penggemarmu," katanya dan hal itu membuat Keyna tertawa.

"Terima kasih atas bantuanmu. Aku tak pernah tahu bagaimana menghadapi pria seperti tadi."

"Kurasa kau tahu bagaimana caranya bila tak terlalu tampil mencolok."

Keyna tertawa lagi. "Dan kau tak merasa bahwa aku menarik."

"Kau menarik," ucap Cody sungguh-sungguh.

"Tapi tak cukup menarik untukmu ya kan?"

Cody tersenyum kecil, dalam hati mengiyakan perkataan Keyna. Untuk beberapa saat, Cody melihat wanita itu dalam cara yang berbeda dari sebelumnya. "Kau juga patah hati."

Keyna tersenyum sedih. "Aku baru putus."

"Itu menjelaskan segalanya."

"Dia pria brengsek!"

"Semua wanita mengatakan hal yang sama pada setiap pria."

"Apakah itu artinya kau juga brengsek?"

Alis Cody menaik. "Well, aku pengecualian."

Keyna tertawa. "Aku benar-benar menyukaimu. Kau sangat menyenangkan."

"Kalau boleh aku tahu, kenapa kalian putus?" Cody bertanya penasaran.

"Dia punya selingkuhan."

"Aaw, kasihan."

"Kau sendiri, kenapa patah hati? Ditolak?"

"Tidak. Dia akan segera menikah dengan orang lain minggu depan." Lalu tiba-tiba Cody ingat. "Tidak. Yang benar itu dia menikah hari ini. "

Mungkin sekarang Edgar sedang menikmati malam pengantinnya, pikir Cody masam.

Cody menatap gelasnya dan minum lagi. Dia tak ingin mengingat Edgar. Setelah segala hal yang mereka lakukan bersama, Edgar malah memutuskan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya yang mungkin baru dia temui. Pria bodoh. Dia sama sekali tak tahu apa yang dia inginkan!

*

Pandangan Cody tak fokus. Setiap benda di depannya kini kembar tiga. Kepalanya berdenyut menyakitkan. Tubuhnya berat. Dan seluruh alam rasanya begetar hebat.

"Cody." Seseorang memanggil namanya. "Cody, kau bisa mendengarku?"

Suara itu terdengar tak asing.

Menggerakkan kepala dengan susah payah, dia melihat sosok kabur di depan. Cody menyipitkan mata, berusaha melihat siapa objek di sana.

Edgar.

"Huh? Apa yang kau lakukan di sini?" katanya tak jelas.

"Mengantarmu pulang. Kau terlalu mabuk untuk menyetir sendiri."

Cody berulang kali menggosok-gosok mata. Edgar ada di sini. Bagaimana mungkin? Dia pasti mabuk berat!

Edgar membantunya keluar dari mobil dengan susah payah. Cody menumpukan seluruh tubuhnya pada Edgar. Langkah mereka tersandung-sandung begitu mencoba masuk ke dalam apartemen Cody yang ada di lantai paling atas.

Cody tak bisa mengatakan apa pun. Jantungnya memompa darah dengan cepat ke kepala.

Edgar ada di sini. Dia bersama Cody.

Cody tak tahu bagaimana cara mereka bisa sampai ke kamar. Yang dia tahu, dia sudah terkapar di tempat tidur dengan Edgar berusaha melepas sepatunya.

"Kau seharusnya tak ada di sini," kata Cody, memijit dahi. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

"Dengar." Edgar mendesah lelah dan duduk di samping tempat tidur. "Tidurlah. Aku yakin kau pasti lupa dengan apa yang terjadi."

Bagaimana mungkin aku bisa lupa bahwa dia lebih memilihku daripada istrinya di malam pengantinnya?

"Aku mencintaimu," kata Cody pelan, membuat Edgar menegang. "Aku menginginkanmu untukku seorang."

"Cody—"

"Aku tak mau orang lain," Cody memegang tangannya. Tangan itu terasa lebih lembut daripada sebelumnya. Meski rasanya berbeda, Cody menepis jauh-jauh pikiran itu. "Aku tak bersedia membagimu dengan orang lain."

Cody tak tahu apa yang hendak dikatakan Edgar atau protesan apa yang akan keluar dari mulut pria itu. Yang dia tahu dia mencium Edgar, memeluknya dan tak melepasnya malam itu. Dia menumpahkan seluruh frustasi dan kehilangannya. Desakan primitif dari hormon sialan.

Tapi, yang membuatnya shock keesokan hari adalah ketika mendapati dirinya tengah memeluk Keyna.

Bukan Edgar.

*

Continue Reading

You'll Also Like

5.7M 300K 57
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1M 8.2K 21
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
579K 19.5K 23
Cerita ini tentang CEO Tampan bernama Elvano Satya Mahendra(23) yang sudah lama menahan hasratnya agar tidak berhubungan kepada wanita siapapun. Kecu...
490K 31.2K 46
[PROSES REVISI] 21+ "tidak pernah terpikir olehku akan mencintaimu dengan amat sangat,pesonamu membuatku jatuh dikakimu" -Gulf "mencintaimu adalah su...