Simple Past

By AleynaAlera

259K 5.3K 386

Kalau ada yang dibenci oleh seorang Tara dari masa kecilnya, itu pasti Reza. Anak laki-laki yang sayangnya ta... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 15

Chapter 14

13.2K 376 54
By AleynaAlera

“Sendirian aja kak?” mama menyipitkan matanya sambil mencari-cari Reza di belakang Tara.

Tara mengangguk sambil menaruh kerdus berisi martabak keju kesukaan nenek di atas meja pantry, lalu menarik kursi bar di hadapannya. “Reza masih di kantor kayaknya mam,” sahut Tara saat menyadari mama yang masih sibuk mencari-cari orang yang mungkin berada di belakangnya. “Masak apa Bi?” tanya Tara pada pembantu rumah tangga yang bahkan mungkin sudah bekerja untuk keluarganya dari sebelum dia lahir.

Bi Asih tersenyum sekilas. “Asem-asem daging kesukaan mas Aria non.”

Tara tersenyum sambil manggut-manggut. “Nenek mana mam?”

“Tadi dianter Reno ke rumah temennya. Katanya ada reuni gitu.”

Wow, reuni? Orang-orang dengan usia hampir 70an hampir 80? Tara melemparkan tatapan tidak percaya.

Mama tertawa sambil memasukan beberapa piring kedalam rak. “Nginep disini kak?”

“Kayaknya sih ia mam.”

“Reza?”

“Nggak tau.”

Mama menyipitkan matanya dan menatap Tara bingung. “Kalian bertengkar?”

Kalau dia saja terakhir ketemu Reza tadi pagi saat sarapan dan baik-baik saja, seharusnya mereka tidak sedang bertengkar kan? Well, tapi setelah apa yang Giovanni Moretti bilang tadi, Tara memutuskan untuk tidak bertemu dengan Reza dulu. Entah umpatan apa yang akan dia teriakan pada musuhnya yang sekarang adalah suaminya itu.

“Nggak mam,” jawab Tara akhirnya. “Aku malah terakhir ketemu dia jam setengah tujuh pagi waktu sarapan.”

Dan Thanks God! Kenapa seroang ibu punya feeling yang sangat kuat? Seperti sekarang, saat mamanya masih tetap menatapnya dengan tatapan tidak percaya dan penuh curiga.

“Yaudah mama telepon Reza suruh dia kesini-”

“Nggak!” teriak Tara cepat.

“Kalian bertengkar kan?” tanya mama lagi akhirnya. Sekarang, mama bahkan sudah menarik kursi di hadapannya dan menatapnya lurus.

“A.. aku nggak berantem sama dia kok mam. Aku cuma lagi pengen nginep sendiri disini.”

“Ada sesuatu?”

Tara menggeleng pelan. “Aku cuma butuh menjauh dulu dari dia mam, kalau nggak aku bisa teriak-teriak marahin dia.”

“Kamu yakin nggak ada apa-apa?”

Tara diam sejenak. Lalu menggeleng pasti. “Nggak ada masalah apa-apa antara aku sama Reza sekarang kok. Cuma..., yah nggak ada apa-apa.”

Lalu mama bangkit dan kembali dengan lap piring serta beberapa piring basahnya, kemudian menatap Tara. “Apapun itu, jangan lupa nasihat mama dulu. Kalau ada sesuatu lebih baik kamu bilang langsung sama dia atau nggak-”

“Nanti bakal jadi bom waktu,” sambung Tara sambil tersenyum menatap mama. “Aku tau kok mam.”

*****

“Nggak ada tamu pak?” tanya Reza begitu turun dari mobil.

Pak Asep menggeleng sambil menutup pintu pagar. “Nggak kok den, paling cuma pak pos ngasih beberapa surat kayak biasa. Memangnya ada apa den?”

Reza tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya. Dia pun berjalan menuju rumah kemudian berhenti saat ingat tidak melihat mobil Tara di carport tadi. Sudah jam delapan malam, apa dia lagi banyak kerjaan?

“Tara belom pulang pak?”

“Non Tara tadi siang ke rumah sih pak, terus belom pulang lagi.”

Reza mengerutkan keningnya, lalu mengangguk sambil berjalan masuk. Aneh, biasanya dia bilang kalau pulang telat, batin Reza.

Kemudian teringat dengan jawaban Pak Asep tentang ‘tidak ada tamu’ yang datang, Reza pun terdiam. Untuk apa dia ke Indonesia kalau begitu?

Ponselnya bergetar. Reza melirik layarnya dan melihat caller id-nya. Arya. Sambil mengerutkan keningnya bingung, dia pun mengangkat ponselnya.

“Eh mas, kesini jam berapa?”

Reza mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa emangnya Ya? Gue sih nggak ada rencana kerumah lo.”

“Nah? Tara nginep sendirian doang disini? Yah.. gue kira lo juga nginep disini mas. Tadinya kalau lo mau kesini gue mau minta tolong tugas sih. Lo tau kan si Tara galak banget kalo ngajarin.”

“Tara nginep disana??”

“Lo nggak tau emangnya mas?”

“Sekarang dia disana?”

“Dari tadi sore juga dia udah disini kali mas, gue kira lo tau. Bertengkar?” tanya Arya bingung.

Bertengkar? Seingetnya tadi pagi mereka masih ngobrol kayak biasa, dan bahkan semalem dia nggak mempermasalahin tempat tidur dan kita tidur seranjang. Terus?

“Emang dia bilangnya bertengkar ama gue?”

“Nggak sih, cuman kesimpulan gue aja. Yaudah lo kesini deh mas. Sekalian tolongin tugas gue.”

“Yaudah tunggu aja, gue kesana ya.”

*****

“Udah ke dokter kak?”

Tara yang sedang mengunyah apel sambil menemani mama memotong buah-buahan di dapur mendongak dan mengerutkan keningnya bingung. “Buat apa mam?”

“Kamu kan muntah-muntah waktu itu. Terakhir dapet kapan?”

Tara menggeleng. “Aku kan nggak pernah teratur mam.” Kemudian Tara pun sadar, dan menghentikan kegiatan mengunyah apelnya sambil tersenyum tipis. “Aku nggak hamil kok mam. Kemaren udah aku cek, dan hasilnya negatif.”

“Testpack kan nggak ada yang 100% kak, siapa tau aja salah. Mama kan lebih pengalaman, mending di periksa ke dokter kak.”

Kalau aja mama tau dia dan Reza baru sekali-kalinya melakukan ‘itu’ –lagipula dia juga tidak ingat bagaimana itu karena dia mabuk- dan itu juga dua bulan yang lalu. Selain itu tiga testpack juga udah sama-sama teriak negatif, pikir Tara.

“Udah tiga merek kok mam, nggak mungkin salah.”

“Ya.. apa salahnya ke dokter kan kak.”

Tara tertawa. “Udah deh mam, nanti aku jadi ngarep nggak jelas lagi deh.” Dan Tara pun kembali dengan apelnya.

“Reza?” sahut mama yang membuat Tara kembali menghentikan kegiatan makan apelnya dan pelan-pelan menoleh ke belakangnya.

*****

“Ada apa?” tanya Reza sambil menutup pintu kamarnya.

Tara membuka pintu teras kamarnya. “Nggak ada apa-apa.” Kemudian duduk.

“Lo nggak bilang sama gue kalau lo nginep disini?”

“Gue nggak harus bilangin semuanya ke elo kan? Kalau aja lo lupa, kita juga nikah bukan gara-gara saling suka kayak yang orang-orang kira.”

Reza memasukan tangannya kedalam saku celananya. “Dan kalau aja lo lupa, kita udah sepakat kan buat jalanin ini semua senormal mungkin?”

Tara diam.

“Ada apa sih Tar?”

“Gue udah bilang nggak ada apa-apa kan? Gue cuma lagi pengen nginep disini aja. Sendirian. Dan gue lupa aja bilang sama elo.”

“Lo yakin?”

Tara mengangguk sambil menatap lurus jalan di hadapan rumahnya yang terlihat dengan jelas dari teras di kamarnya.

“Lo nggak ketemu sama ayah gue kan?”

Tara menolehkan kepalanya pelan. “Emangnya kalau gue ketemu sama ayah lo kenapa?”

“Dia nggak ngomong macem-macem kan?”

“Macem-macem kayak gimana?”

Reza terdiam sejanak, lalu meghembuskan nafas panjang. “Masalah Elle.”

“Elle mantan pacar lo jaman SMA dulu?”

“Ya, pacar gue sampe gue kuliah. Lima tahun. Gue pacaran sama dia lima tahun.”

Tara kembali menatap jalan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya. “Kenapa lo nggak nikah sama dia aja? Kenapa lo mau aja tanggung jawab sama gue padahal belum tent-”

“Gue tau ada sesuatu yang terjadi malam itu Tar. Malam itu ada apa-apa diantara kita,”

Tara mendelik menatap Reza. “Jadi lo sadar malam itu? Lo nggak mabuk?? Lo SENGAJA??!”

“Gue juga mabuk Tar. Lo inget itu.”

“Lo seharusnya nggak usah tanggung jawab. Toh gue juga nggak hamil atau apa-apa kan?”

“Gue yang pertama. Gue yang udah rampas-”

“Cukup.” Potong Tara cepat. “Harusnya lo nikah sama Elle.”

Reza tertawa dingin. Membuat Tara kembali menoleh menatap Reza bingung.  “Nikah sama bekas ibu tiri gue??”

“Kalau lo masih suka sama dia, kenapa nggak?”

“Dan ngehancurin harga diri gue?”

“Harga diri pria Italy.” Komentar Tara dingin.

“Dia bilang apa aja sama lo?” tanya Reza langsung.

“Nggak banyak. Ayah lo cuma jelasin salah paham antara dia dan lo dulu. Dan dia bahkan nggak cerita banyak tentang Elle. Dia cuma bilang kalau Elle itu mantan isterinya.”

“terus?”

Tara menggelengkan kepalanya. “Gue sebenernya kecewa, tau semuanya bukan dari lo sendiri. Bahkan gue nggak tau kalau di saat yang bersamaan ada dua orang perempuan yang bisa aja nikah sama lo selain gue. Elle dan anak rekan bisnis ayah lo.” Ujar Tara. “Gue bahkan nggak tau kalau sebenernya ayah lo benci sama perempuan indonesia karena ibu lo.”

Reza menyipitkan matanya. “Lo nggak mikir kalau gue sengaja bikin kita harus nikah buat bales dendam sama Giovanni Moretti kan? Lo nggak nuduh gue sepicik itu kan?”

Tara diam, lalu bangkir dari kursinya. “Gue mau ambil minum ke bawah,”

“Tar,” sahut Reza sambil menahan lengan Tara, dan menariknya kedalam pelukannya. “Memang pernah kepikir sama gue hal itu. Tapi lo tau kan kalau yang terjadi waktu itu di luar kendali gue. Gue nggak pernah ngerencanain itu semua. Apalagi buat bikin lo jadi terikat sama gue. Lo tau itu....”

Tara terdiam di dalam pelukan Reza. Ya... sebagai orang yang sudah kenal Reza hampir seumur hidup, gue tau kalau hal itu nggak mungkin. Tapi tetep, denger itu semua bukan dari mulut orang yang berstatus sebagai suami..

“Maaf kalau gue nggak pernah cerita.” Lanjut Reza.

Tara melepas pelukan Reza, lalu tersenyum. “Gue capek. Kita bahas ini nanti ya,” sahut Tara sambil tetap pergi meninggalkan Reza.

*****

Reza diam sambil tertawa lirih pelan saat melihat post it di cermin kamar mandi Tara.

Gue pergi duluan. Ayah lo nunggu di cafe deket kantor lo. Tentang Elle dan pernikahan kita semalem, itu semua bukan gara-gara ayah lo. Lebih baik lo selesain salah paham kalian dulu.

Tara :)

Tara memang sudah tidak semarah sebelumnya. Bahkan semalam dia sudah tertawa seperti biasa. Tapi tetap saja, karena dia tidak mau memperpanjang –mendengar penjelasannya lebih tepatnya- tentang pernikahan mereka ini, Reza tetap merasa ada yang ‘ganjil’.

Setelah mengenakan setelan jasnya kemarin, Reza melangkah turun dan bergabung dengan rutinitas wajib keluarga arsjad. Well, entah karena dia memang sudah lama tidak merasakan ‘keluarga’ yang seperti ini, berkumpul dengan keluarga Tara yang cukup banyak ini selalu membuatnya senang. Seperti memang disini tempatnya.

“Tara pergi buru-buru tadi pagi, ada apa Za?”

Reza menarik kursinya, dan bergabung dengan keluarga besar Arsjad di meja makan. “Katanya ada urusan mendadak di toko.” Jawab Reza bohong. Dan sesuai permintaan Tara, dia akan tetap menyimpan rahasia kalau pernikahan ini bukan di bangun dari cinta seperti yang keluarga Tara dan tante Marinka kira.

“Makannya yang banyak. Gimana mau nyari uang yang banyak kalau makannya dikit gitu, to?” sahut nenek sambil menyendok nasi lagi ke piring Reza.

Reza tertawa, bersamaan dengan itu ponselnya bergetar. Tanpa melihat caller id Reza permisi dan mengangkat teleponnya.

“Elle ke Indonesia, seharusnya dia sudah sampai dari kemarin. Kau tau?” suara Jarred terdengar panik. Tidak aneh memang, karena temannya ini memang tau semuanya tentang keluarga besarnya yang berantakan.

“Kau yakin?”

“Kau tau aku punya banyak link di kantor-kantor imigrasi di berbagai negara. Sebutkan semua nama agen-agen di film-film hollywood, mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan aku.”

*****

Tara terdiam. Cat kukunya yang berwarna kuning sudah terkelupas ujungnya. Dia belum sempat sarapan tadi pagi dan dia juga sepertinya tidak akan sempat makan siang. Bagaimana tidak, selera makannya hilang begitu saja saat tau siapa yang ingin menemuinya siang ini.

Sambil menggigit bibir bagian dalamnya, Tara mengedarkan pandangannya. Sudah lima belas menit dia duduk di samping jendela besar di cafe yang sama dengan tempat dia bertemu Giovanni Moretti kemarin. Dan sudah selama itu juga dia menunggu dengan cemas.

“Tara Moretti, Right?”

*****

“Pemerintah setempat mengeluarkan peraturan daerah baru, dan sampai sekarang orang-orang tekhnik belum memutuskan apa-apa sedangkan penjualan sejak launching tiga hari yang lalu sudah hampir 90%,” jelas Tim sambil mengikuti langkah Reza menuju ruang rapat.

Dan seperti biasa, semua pegawai perempuan sudah siap dengan dandanan terbaik mereka di balik kubikel sambil tersenyum dan mengangguk manis. Dan seperti biasa juga, Reza berjalan tanpa memperhatikan apapun di sekitarnya.

“Ah, Rey bilang dia akan datang kesini setelah rapat.”

Reza mengangguk.

“Dan..,”

“Tunggu,” sahut Reza sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan iPhone hitamnya. Keningnya berkerut sebentar. Siapa orang tidak dikenal yang meneleponnya ke nomer ini? Seingatnya selain keluarganya –termasuk keluarga Tara juga- tidak ada yang tau nomernya yang ini?

“Ya saya sendiri, ini siapa dan ada apa?” tanya Reza sambil menghentikan langkahnya. Kemudian matanya membelalak lebar. “APA?? Dimana? Di rumah sakit mana??” Sahut Reza kaget. Kemudian tanpa pikir panjang, Reza berbalik dan menatap Tim panik. “Batalkan rapat dan semua agenda hari ini.” Sambil berlari menuju lift.

*****

Continue Reading