Guardian of Light [REMAKE]

By RedCherry98

342K 8.2K 1.3K

Apakah kau percaya pada sihir? Dunia yang mungkin tak pernah tergambar dalam anganmu? Ramalan yang menggambar... More

Prolog
Chapter 1 : Prince of Light?
Chapter 2 : Mysterious Girl
Chapter 3 : Out of Control
Chapter 4 : First Impression
Chapter 5 : Curiosity
Chapter 7 : Blood Rain

Chapter 6 : Promise

10.8K 781 58
By RedCherry98

Ciel menghela napas dan menghembuskannya kembali perlahan. Udara pagi yang hangat di musim panas menyambutnya begitu ia keluar dari pintu belakang istana. Cerulean-nya menatap ke sekitar, mengamati seluruh sisi dataran yang bisa tertangkap oleh matanya.

Meskipun semalam, tepat sebelum ia tertidur ia masih dapat melihat salju kembali turun, kini segalanya terlihat biasa kembali di matanya. Pagi yang hangat di musim panas. Walaupun mungkin itu tergolong wajar mengingat tempat ini adalah dunia sihir, jujur saja ia sedikit heran. Bagaimana salju itu hilang hanya dalam satu malam?

Pemuda bersurai kelabu itu membiarkan kakinya membawa dirinya melangkah tanpa arah, sementara ia menikmati suasana tenang yang ada di sekitarnya. Pilihannya untuk sedikit berjalan-jalan pagi ini tampaknya adalah sesuatu yang baik.

Ia menghentikan langkah ketika menyadari akhirnya ia sampai di tepi danau di belakang istana. Yahh, memang ke mana lagi dia akan pergi? Hanya tempat inilah satu-satunya yang ia ketahui. Lagipula, ia menyukai tempat ini.

Sedikit lebih jauh, kali ini pemuda bertubuh mungil itu menuntun kakinya menyusuri tepi danau. Mambawanya memasuki hutan kecil yang sebelumnya tak pernah ia lewati.

Jujur saja, ia sedikit mengharapkan sesuatu.

Akankah ia bertemu lagi dengan gadis itu di sini?

Ciel masih penasaran akan eksistensi gadis itu. Semakin ia memikirkannya, semakin ia tenggelam dalam kebingungan.

Menghela napas, Ciel menghentikan langkahnya dan kini berjongkok di tepi danau, menatap riak air sejernih kaca yang memantulkan wajahnya di sana.

Jemarinya bergerak menyentuh permukaan air, sedikit memainkan air yang terasa dingin di kulitnya itu dengan gerakan kecil yang ia buat. Lebih dari seminggu sudah ia melatih pengendaliannya dan kini sihirnya telah berkembang dengan cepat.

Ciel bahkan telah sepenuhnya mengguasai pengendalian dasar. Sebentar lagi, mereka akan naik ke tahap 3.

"Ahh ...."

Gerakannya terhenti ketika ia menangkap suatu bayangan terpantul di permukaan air yang beriak tenang. Sesuatu yang berada tak jauh di sisi lain danau itu mengalihkan perhatiannya. Iris birunya menyipit, coba mengamati lebih jelas bangunan yang tampak samar oleh kabut pagi.

Itu sebuah paviliun.

Rasa penasaran menuntunnya untuk kembali menyusuri tepi danau demi mencapai bangunan yang menarik perhatiannya itu. Seolah tubuhnya bergerak dengan sendirinya, ia membiarkan langkahnya membawanya pergi. Hingga akhirnya ia sampai tepat di depan paviliun itu.

"Ciel, selamat datang."

Bayangan seorang gadis kecil dengan senyuman manis di wajahnya membuat Ciel tertegun sesaat, sebelum kemudian ia menggeleng cepat. Menyadari bahwa tak ada siapa pun selain dirinya seorang di sini.

Menghela napas, Ciel memilih untuk mendekati paviliun itu dan duduk di sana.

Iris birunya mengamati sekitar. Tampaknya tempat ini tak pernah didatangi oleh siapa pun, mengingat lokasinya yang cukup jauh dari lingkungan istana. Namun meski begitu, tempat ini sama sekali tak terlihat berantakan. Seolah ada yang merawat tempat ini.

Dan lagi-lagi, Ciel merasa tempat ini familier baginya.

Ia menutup mata, coba mengingat, atau setidaknya berusaha mencari bayangan-bayangan samar yang lagi terbesit sekilas di benaknya. Ingatannya yang hilang itu benar-benar membuatnya merasa terganggu. Membuatnya merasa penasaran akan banyak hal dan itu menyebalkan.

Ciel menghela napas pelan, membiarkan kilasan memori yang terlintas di pikirnya itu mengalir begitu saja. Ia melihat bayangan seorang gadis kecil yang samar, di tempat yang sama dengan tempatnya berada kini.

"Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?"

"Firasat."

"Hmm ... firasatmu hebat juga, Ciel."

"Aku ingin menemuimu ... rasanya sakit jika tidak bisa bertemu. Aku ... tidak suka ...."

Sosok itu tertegun mendengar ucapannya, lantas kemudian tersenyum sayu.

"Aku juga. Hujan, angin dan matahari ... kamulah yang membawakan semua itu padaku. Kau membawakan seluruh dunia itu untukku. Dan aku berterima kasih ...."

Di saat itu, Ciel tidak mengerti apa yang gadis itu coba sampaikan. Entahlah, ucapannya terdengar begitu dewasa, juga sulit untuk gadis seusianya dan Ciel yang saat itu juga masih kecil sama sekali tak dapat menangkap apa maksudnya.

Namun karena dia mengucapkan terima kasih, maka Ciel membalasnya.

"Ahh?" Ciel tersentak.

Lagi-lagi kilasan memori yang aneh terlintas di kepalanya. Seperti mimpi, bayangan itu hilang secepat ia datang. Membuat Ciel hanya bisa bertanya-tanya sendiri.

Akhir-akhir ini Ciel sering mengalaminya. Potongan-potongan ingatannya seakan muncul satu persatu. Ratu memang mengatakan bahwa ingatannya akan kembali secara bertahap, jadi Ciel tak begitu ambil pusing soal ini.

Mencoba mengabaikannya, tatapan dari sepasang sapphire-nya itu kemudian menatap ke arah lain. Coba mencari sosok yang sebenarnya sejak tadi ia tunggu, tetapi setelah berapa lama ia berdiam, sosok itu tak kunjung datang.

"Dia ... tidak datang, ya?" gumamnya pelan, terselip sedikit nada kecewa di sana.

Kembali menghela napas, ia kemudian menyadari bahwa matahari sudah semakin tinggi. Ia harus kembali sebelum semua orang kembali panik karena ia tak dapat ditemukan. Aahh, orang-orang yang merepotkan.

Ciel beranjak pergi dari tempat itu. Mengabaikan sepasang netra yang menatapnya dingin dari tempat yang mungkin luput dari pandangannya sejak tadi.

#

"Tuan Muda, Anda dari mana saja? Saya mencari Anda ke mana-mana," tegur Lynn ketika ia berpapasan dengan maid muda itu tepat sebelum ia membuka pintu istana.

Ciel menoleh dengan tatapan malas
"Harus berapa kali kukatakan, jangan panggil aku Tuan Muda, Lynn?"

Ucapan Ciel itu membuat Lynn refleks menutup mulutnya. Aihh, dia kelepasan lagi.

"Aku hanya sedikit jalan-jalan. Kenapa mencariku?"

"Kau harus mengganti pakaianmu dan bersiap. Raja dan Ratu menunggu untuk sarapan di ruang makan, Ciel," jawab Lynm kemudian, coba menggunakan bahasa yang lebih informal.

"Ohh ...," gumam Ciel sembari terus melangkah tanpa menoleh. "Hei, Lynn ...."

"Ya?"

"Aku penasaran, bagaimana salju-salju di luar sana bisa menghilang dalam satu malam?" tanya Ciel mengungkapkan hal yang sedari awal sedikit mengusik pikirannya itu.

"Ohh, itu Yang Mulia Raja yang melakukannya. Sekarang musim panas, warga sedang dalam masa bercocok tanam. Jika salju dibiarkan terus menerus, kemungkinan gagal panen semakin besar. Jadi, setiap kali salju turun, Raja akan menghilangkan salju itu agar tidak mengganggu kegiatan warga desa," jelas Lynm panjang lebar.

"Di sekitar sini ada desa?"

"Tentu saja ada, bahkan banyak," Lynm terkekeh, "kau tahunya hanya yang berada di sekitar istana saja sih."

"Mau bagaimana lagi? Aku tak punya kesempatan untuk melakukan apa yang kuinginkan. Baru hilang sebentar saja seluruh istana sudah panik. Merepotkan," keluh Ciel membuat Lynn lagi-lagi terkekeh.

"Saat ini, di desa sudah hampir memasuki musim panen. Kau mau kutemani untuk melihat-lihat sore ini?" tawar Lynn membuat Ciel menoleh menatapnya.

"Apa boleh?"

"Mengingat belakangan ini kau sudah berlatih cukup keras, kurasa tak ada salahnya jika meminta libur barang sehari. Aku akan bicara pada Tuan Eden nanti." Gadis maid itu kembali tersenyum manis.

#

Ciel memandang sekelilingnya dengan tatapan penuh minat, membuat Lynn yang menemaninya saat itu terkekeh kecil. Lucu baginya melihat sang Pangeran yang biasanya selalu berekspresi datar kini menampakkan raut wajah seperti anak kecil.

Ciel sendiri sebenarnya terkagum, sejak Lynn mengatakan sesuatu tentang desa, ia sudah dapat membayangkan tempat seperti apa yang akan ia kunjungi. Namun melihatnya sendiri saat ini benar-benar menakjubkan.

Pemandangan dan suasana desa yang cukup ramai, kesibukan warga desa yang ia lihat, rasanya seperti berada di dalam dongeng yang selalu ia baca ketika kecil dulu.

Sebuah tempat seperti desa-desa yang ada di Eropa jaman dahulu. Kereta kuda masih menjadi transportasi utama warga desa. Bangunan berdinding batu yang berjajar apik di sepanjang jalan, beberapa kios kecil yang tampak tradisional. Sungguh pemandangan klasik yang menyenangkan untuk dilihat.

Bugh.

Pemuda itu sedikit tersentak ketika tiba-tiba ada sesuatu yang menabraknya dari belakang. Dan ia mendapati seorang gadis kecil terduduk di jalan ketika ia berbalik, tengah mengutip beberapa butir apel yang jatuh dari keranjangnya.

Ciel sedikit berjongkok, mengambil sebutir apel merah yang menggelinding di dekat kakinya, lantas menyodorkannya pada si gadis kecil.

Gadis itu mendongak, menatap cerulean milik Ciel dengan iris hijau gelapnya. Ia tampak kaget. Lantas dengan cepat ia berdiri, kemudian menunduk di hadapan Ciel.

"Ma-maaf, Tuan. Aku tidak memperhatikan jalanku!" ucap gadis itu sembari menunduk berkali-kali.

Ciel tersenyum tipis. "Tak masalah," balasnya sembari meletakkan apel merah itu ke dalam keranjang sang gadis.

"Ini."

Ciel berkedip beberapa kali ketika gadis itu menyodorkan sebuah apel lain yang masih bersih dari dalam keranjangnya ke hadapan Ciel.

"Sebagai permintaan maafku," lanjut gadis itu lagi.

"Kau tidak perlu melakukan itu," balas Ciel tanpa ada maksud untuk menolak.

"Kumohon terimalah, Tuan."

Merasa tak enak jika menolak, akhirnya Ciel menerima apel merah yang disodorkan gadis itu. "Kalau begitu, terima kasih."

"Namaku Sulli. Boleh aku tahu namamu, Tuan?"

Kembali, Ciel tersenyum kecil. "Namaku Ciel. Tidak perlu memanggilku dengan sebutan Tuan, cukup Ciel saja."

"Ciel, ya?" Gadis bernama Sulli itu menatap Ciel beberapa lama, lantas kembali tersenyum manis. "Kau orang yang baik, ya?"

"Begitukah?"

"Tentu saja. Aku bisa merasakannya," Sulli mengangguk antusias. "Ahh, sudah sore, aku harus pulang sekarang. Wolf pasti menungguku," gumamnya tiba-tiba.

"Wolf?"

"Dia temanku. Baiklah Ciel, aku harus pergi. Sampai jumpa lagi," pamit Sulli sembari berlari kecil. "Makan apelnya yaa!" ucapnya melambaikan tangan pada Ciel.

"Dia siapa ya? Aku tidak pernah melihatnya?" gumam Lynn ketika ia menghampiri Ciel tak lama setelah gadis kecil itu pergi.

"Entahlah? Mungkin bukan warga desa ini?" balas Ciel seadanya. Ia memainkan apel merah yang ada di tangannya. "Hei, bukankah itu Azrael?"

Lynn mengikuti arah tatapan Ciel, dan mengangguk kecil ketika mendapati sosok yang melangkah tak begitu jauh dari mereka.

"Sepertinya itu memang dia. Sedang apa dia di sini?"

"Kalau ingin tahu ya datangi saja," jawab Ciel, lantas melangkah cepat menyusul sosok yang ia yakini sebagai salah satu rekannya itu.

"Azrael?"

Sosok itu menoleh ketika Ciel menyebutkan sebuah nama, dan dugaan mereka jika dia adalah Azra ternyata benar.

"Ciel? Sedang apa kau di sini? Lynn juga?" Ia menatap Ciel kemudian Lynn yang menghampiri mereka.

"Kau sendiri?" Bukan menjawab, Ciel justru balik bertanya.

"Karena kudengar hari ini tidak latihan, aku memutuskan untuk melihat-lihat desa. Ada suatu tempat yang ingin ku kunjungi. Kalian mau ikut?"

"Ke mana?"

"Sudahlah ikut saja. Ayo," ucap Azra sembari meneruskan langkahnya diikuti Ciel juga Lynn.

"Panti asuhan?" gumam Ciel ketika akhirnya langkah mereka berhenti di depan sebuah bangunan yang berdiri di belakang bukit, tak jauh dari pinggiran desa.

"Aku sering ke sini ketika ada waktu luang," jelas Azra tanpa diminta.

Err, jujur saja biasanya Ciel tak begitu cocok dengan anak kecil. Kenapa? Mungkin karena dia juga masih anak kecil? Yahh, siapa yang tahu?

Dilihatnya banyak anak-anak dengan beragam usia tengah bermain-main di halaman bangunan itu. Salah satunya menoleh ketika mereka melangkah sedikit lebih jauh ke dalam pagar yang membatasi wilayah panti dengan jalan raya.

"Ahh! Kak Azra!"

Suaranya yang cukup keras membuat anak-anak lain ikut menoleh dan menatap mereka. Terjadi kericuhan kecil ketika anak-anak itu berombong-rombong berlari menghampiri Azra. Pemuda itu hanya bisa terkekeh kecil ketika anak-anak mengerubunginya.

"Kau akrab dengan mereka, ya?" Lynn tersenyum kecil menatap pemandangan di sekitarnya itu.

"Kakak siapa?" Suara anak kecil lain yang menarik-narik rok yang dikenakannya membuat Lynn menoleh, lantas berjongkok menyamakan posisinya dengan bocah yang dia perkirakan berusia sekitar 6-7 tahun itu.

"Namaku Lynn, dan yang ini Ciel. Kami temannya Azra," jawab Lynn masih dengan senyumnya. "Namamu siapa?"

"Aku Joanne. Ayo, aku akan menemani kakak melihat-lihat rumah kami," ujar anak itu cepat sembari jari mungilnya meraih tangan Lynn dan menyeretnya pergi.

Sementara Ciel masih hanya berdiri di tempatnya tanpa berniat mendekati kerumunan. Sudah dikatakan bukan? Ia tak begitu cocok dengan anak kecil. Bukan berarti ia tak menyukai mereka, hanya saja anak kecil itu terlalu berisik.

Ceruleannya beralih kemudian, menatap sekitar halaman panti yang cukup luas itu sampai akhirnya tatapannya terhenti ketika bertemu dengan obsidian lain milik seorang gadis kecil yang tampak menyendiri di ayunan yang berada di bawah sebuah pohon.

Tatapan mereka beradu selama beberapa saat, baik Ciel maupun gadis kecil itu tampaknya sama-sama tak berniat untuk memberi reaksi lebih dulu, sampai akhirnya Ciel menghela napas dan menghampiri gadis kecil yang masih berayun pelan di bawah pohon itu.

"Kenapa kau tidak bergabung dengan yang lain?" Ciel membuka suara lebih dulu, sedikit berusaha mengurangi kecanggungan di antara mereka.

"Mereka berisik. Aku tidak suka." Suara gadis kecil itu terdengar dingin namun manis.

"Kalau kau bersikap seperti itu, nanti tidak punya teman lho?"

"Aku tidak peduli. Lagipula, Kakak mendatangiku juga karena tidak ingin bergabung dengan kerumunan itu, 'kan?"

Jleb.

Tepat sasaran.

Ciel menaikkan sebelah alisnya tanpa sadar. Bocah ini menyebalkan.

"Berapa usiamu?" Ciel kembali bertanya.

"Dua bulan tujuh hari hari lagi, usiaku tujuh tahun."

Dan kerutan di dahi Ciel makin dalam.

Dia menghitungnya?

Anak ini bicara lebih tua dari usianya.

Ciel menatap gadis kecil itu ketika menyadari tatapan matanya tertuju pada sesuatu berwarna merah yang sedari tadi berada di genggamannya. Tatapannya teralih sesaat pada apel itu, lantas kembali menatap si gadis kecil.

Ia sedikit menunduk kemudian, menyejajarkan pandangannya dengan gadis itu.

"Kau mau ini?"

Gadis kecil itu sedikit tersentak. "Ti-tidak."

"Sudah, ambil saja. Kau ingin 'kan? Anggap saja ini simbol persahabatan dariku." Ciel tersenyum kecil. Ahh, ia tak terbiasa bersikap manis seperti ini, jika boleh jujur.

Dengan ragu, gadis itu meraih apel merah yang disodorkan Ciel padanya. Kemudian ia berdiri dari posisinya, lantas meraih telapak tangan Ciel dan menuntun pemuda kelabu itu untuk duduk di ayunan yang sedari tadi ia duduki sementara ia berdiri di dekatnya.

"Aku tidak suka hutang budi. Kakak boleh ambil tempatku,"

Dan untuk yang kesekian kalinya, Ciel kembali tak tahu harus berekspresi bagaimana. Hei, hei, kenapa anak ini bersikap sok dewasa sekali? Benar-benar tidak cocok untuk bocah seuisanya, kau tahu?

Berdecak gemas, Ciel menarik gadis kecil itu untuk duduk di pangkuannya.

"Hei!" teriakan protes terdengar dari si gadis kecil.

"Sudah menurut saja. Kakimu akan sakit kalau terlalu lama berdiri," balas Ciel cuek.

Gadis itu diam kemudian, memilih mengunyah apel di tangannya dan membiarkan Ciel berayun kecil memangkunya.

"Nama Kakak siapa?" Suaranya kembali terdengar setelah beberapa lama mereka berdua diam.

"Namaku Ciel."

"Hmm ... nama yang bagus," gadis itu menjeda ucapannya sejenak, "... aku suka Kakak."

Kalimat itu membuat gerakan Ciel terhenti sesaat, tetapi kemudian ia hanya terkekeh kecil.

"Terima kasih. Kau sendiri? Siapa namamu?" Ciel balik bertanya.

"Aku Alicia."

Dan untuk yang kedua kalinya, Ciel kembali terdiam. Kali ini cukup lama, membuat gadis kecil itu menoleh menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Kenapa? Apa namaku aneh?" tanyanya, menyadarkan Ciel.

"Tidak. Namamu manis. Kamu juga manis," balas Ciel kemudian, membuat gadis kecil itu kembali mengalihkan tatapannya dengan pipi sedikit memerah ketika mendengar kata manis.

Sejenak, Ciel merasa, nama gadis ini mengingatkannya pada sesuatu. Namun ia tak dapat memastikan apa itu. Ingatannya terlalu samar.

Sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, membuat Ciel lagi-lagi tersadar dari lamunan.

"Turun salju lagi," suara gadis kecil itu kembali terdengar. "Akhir-akhir ini saljunya semakin sering turun."

"Hmm ...." Ciel hanya membalasnya dengan gumaman. Matanya menerawang menatap langit.

"Aku pernah bertanya pada Ibu panti, katanya salju turun karena ada sihir jahat yang lepas. Kalau sihir itu membuat kegelapan di seluruh dunia sihir ... apa kita semua juga akan mati, Kak?"

Ciel tersentak mendengar pertanyaan itu, tetapi ia tersenyum kemudian.

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi ...," ucap Ciel lirih. "Aku akan melindungi semuanya. Aku janji."

"Memangnya Kakak siapa?"

"Hmm ... bisakah kau jadikan ini rahasia?"

"Iya?"

"Aku ...," Ciel membisikkan sesuatu pada gadis kecil itu, dan seketika pula gadis itu melompat dari pangkuannya. Menatap Ciel dengan tatapan tak percaya.

"Kakak ini Pa--"

"Ssstt ...," Ciel memberi isyarat dengan meletakkan telunjuknya di bibir, dan gadis itu ikut menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.

"Maaf." Gadis kecil itu terkekeh menyadari ia hampir kelepasan berteriak.

"Kau percaya padaku, 'kan?"

"Umh! Tentu saja. Janji, ya!" Gadis itu menunjukkan kelingkingnya, membuat Ciel terkekeh kecil sebelum akhirnya menautkan kelingkingnya dengan gadis itu.

"Aku janji."

Well, tampaknya kini Ciel memiliki alasan lain baginya untuk berusaha lebih keras. Sebab ia berjanji. Keputusannya mengekori Azrael sampai ke tempat ini tak begitu buruk.

To be continued.

Catatan penulis.

Chapter 6 update.^^
Aku pikir ada baiknya sedikit mengurangi konflik. Konflik yang muncul di setiap satu chapter itu bakal bikin story ini jadi terasa berat. Bacaan yang terlalu berat itu tidak sehat. :v

Jadi, chapter ini sengaja kubuat sedikit lebih ringan. Yahh, aku cuma berharap semoga ini gak membosankan.-__- Ckckck.

Oke, terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di chapter selanjutnya.^^ #bow.

Best regards, Cherry.

Continue Reading

You'll Also Like

16K 1.2K 8
Di Indonesia masa depan, sekelompok anak remaja dididik khusus oleh pemerintah untuk melawan ancaman dari makhluk-makhluk yang menyeberang dari fenom...
1K 168 8
Ayolah, Vader menargetkan misi baru? Lebih konyolnya monster tua itu memerintahkan Lima Leanders Bersaudara yang beringas dan berotak encer untuk men...
308K 12.8K 11
Di masa depan, jika seorang anak sudah berumur 13 tahun mereka harus dipindahkan ke distrik yang sesuai dengan tahun, bulan, dan tanggal kelahiran me...
1.7K 528 5
[FANTASY X ACTION] Serafim terjerembab ke dalam dunia buku! Serafim Cinzelee tidak menyangka bahwa dunia buku milik Penulis SirΓ© itu berbahaya! Tidak...