Guardian of Light [REMAKE]

By RedCherry98

342K 8.2K 1.3K

Apakah kau percaya pada sihir? Dunia yang mungkin tak pernah tergambar dalam anganmu? Ramalan yang menggambar... More

Prolog
Chapter 1 : Prince of Light?
Chapter 2 : Mysterious Girl
Chapter 4 : First Impression
Chapter 5 : Curiosity
Chapter 6 : Promise
Chapter 7 : Blood Rain

Chapter 3 : Out of Control

13K 899 171
By RedCherry98

"Sekarang bagaimana?" lirih Elena menatap ketiga rekannya.

"Yang terpenting kita harus lebih dulu menemukan posisi mereka saat ini, sebelum hari gelap," saran Lynn yang tampaknya adalah satu-satunya orang yang saat ini masih dapat berpikir jernih di antara mereka.

"Lebih baik kita laporkan pada Yang Mulia Raja, beliau tahu apa yang harus kita lakukan," ucapnya lagi yang segera dipatuhi oleh yang lain tanpa banyak bicara.

Elena bersama Louie tampak lebih dulu berlari meninggalkan mereka. Lynn yang hendak menyusul menghentikan langkah ketika melihat Azra masih diam di tempatnya berdiri.

"Azrael?" tegurnya.

Tatapan sang pemilik iris ruby itu tampak menggelap. Ia menunduk dan jemarinya mengepal erat.

"Aku harus menyelamatkan Luciel ...," lirih Azra, "aku telah berjanji padanya."

Lynn menghela napas, "Aku tahu. Ayo cepat!" ucapnya kemudian ikut berlari di belakang Azra ketika pemuda itu mulai berbalik dan berlari.

Ia menatap nanar punggung pemuda yang berada tepat di hadapannya itu. Matanya memandang sayu.

Bahkan setelah sekian lama, kau masih merasa terikat olehnya? Bukankah itu menyiksamu ...? gumam Lynn dalam batinnya.

#

"Apa? Mereka ... menyerang sampai kemari?"

Raja tampak sedikit terkejut mendengar laporan para prajuritnya, terlebih ketika mendapati kabar bahwa putranya telah dibawa pergi.

"Benar. Dan lagi, kami tak tahu ke mana mereka pergi. Sebab itulah, kami memohon bantuan Anda, Yang Mulia," tutur Azra dalam tunduknya.

"Ratu?"

Sang Raja menoleh, menatap Ratu yang sejak tadi diam di sebelahnya dengan tatapan kosong. Mencoba menerawang dan menemukan posisi sang Pangeran.

"Black Forest ...," gumam Ratu, masih mencoba menerawang.

"Mereka berada di sana, tetapi aku tak dapat melihat apa pun. Mereka mungkin memasang sihir pelindung di sekitar tempat itu dan aku tak mampu menembusnya ...,

"Dan lagi ... aura milik Luciel benar-benar lemah. Ada sesuatu yang mungkin menutupinya. Aku tak tahu apa itu," tutupnya.

Ucapan sang Ratu tak ayal membuat semua orang yang berada di tempat itu bertatapan cemas.

"Kami akan segera berangkat," Azra berdiri dengan cepat dari posisinya. Segera setelah memberi penghormatan, ia melangkah cepat meninggalkan ruangan itu diikuti ketiga rekannya.

"Sayang ...," sang Ratu menoleh menatap Raja, "mengapa kau begitu tenang? Anakmu dalam bahaya saat ini," tegurnya lembut. Sedikit heran mendapati Sang Raja tampak tenang sekali meski keadaan saat ini tak dapat dikatakan baik.

"Dia akan baik-baik saja, percayalah. Dan anak-anak itu, mereka bisa menyelamatkannya. Kita tak perlu turun tangan," balas Raja tenang, membuat Sang Ratu hanya menghela napas.

"Jika kau berkata begitu, maka aku tak memiliki pilihan selain percaya," jawabnya sembari tersenyum tipis.

#

"Berhenti!" teriak Azra tiba-tiba, membuat Lynn dan Elena yang memacu kuda dengan kecepatan tinggi di belakangnya segera berhenti. Louie yang melayang cukup tinggi di atas perlahan menyamakan posisi mereka.

Di antara mereka, hanya Louie yang tak menunggang kuda. Dengan kekuatannya, ia mampu melayang ke sana kemari dengan leluasa sehingga lebih mudah baginya untuk menembus hutan. Dan kini, mereka telah berdiri tepat di perbatasan Black Forest.

Black Forest itu bukan nama kue lho.

Itu adalah bagian tergelap dari hutan terlarang. Tempat yang diyakini menjadi tempat tinggalnya makhluk-makhluk berbahaya yang mungkin bagi manusia hanya dianggap sebagai mitos atau bahkan mungkin hanya sebuah lelucon.

Makhluk seperti Werewolf, bahkan penyihir hitam yang berusaha mengasingkan diri dari dunia, dipercaya tinggal di tempat ini. Di hutan ini pula tempat Eternal Darkness disegel, sehingga hutan ini nyaris tak pernah didatangi siapa pun.

Beberapa mengatakan, kau tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini begitu kau menginjakkan kaki ke dalamnya. Meski tak pernah ada yang dapat membuktikan kebenaran tentang itu, cerita dan mitos yang berkembang membuat hutan ini menjadi lebih dari sekadar menakutkan.

Namun, di sinilah mereka sekarang. Tepat di perbatasan tempat terlarang itu.

"Ratu benar, mereka memasang sihir yang berbahaya di sini. Tembok pelindungnya, berada tepat di depan kita," ucap Azra yang memang paling peka terhadap sihir di antara yang lainnya.

Louie melayang perlahan ke tanah, mengambil sebuah batu sebesar genggaman dan melemparkannya. Batu yang ia lemparkan tampak menghantam sesuatu, kemudian hangus menjadi debu.

"Berbahaya sekali," gumam Elena. Ia bersyukur mereka tidak menabrak tembok yang tak terlihat itu.

"Sekarang bagaimana?" tanya Lynn, "Ini sihir tingkat tinggi. Temboknya tidak akan menghilang sebelum pemiliknya melepaskan mantera-nya."

"Lewat atas juga tak mungkin," tambah Louie sembari mendongak ke atas, coba memperkirakan berapa tinggi tembok itu.

"Kalau lewat bawah mungkin bisa," celetuk Elena tiba-tiba, membuat yang lain menatapnya.

"Lynn bisa membuat jalan di bawah tanah, mungkin cara itu akan berguna?" lanjut gadis pirang itu lagi.

"Akan kucoba." Lynn melompat dari kudanya.

Ia menghentak pelan kakinya ke tanah, dan retakan di tanah kering itu terbentuk tepat setelah ia melakukannya. Perlahan menjadi semakin lebar hingga akhirnya membuat sebuah lorong yang cukup dalam dan panjang.

Ketiga rekannya mengikutinya ketika gadis itu lebih dulu melangkah masuk. Elena menggunakan sihirnya untuk membuat akar-akar pohon menahan lorong itu agar tidak runtuh sementara Azra sedikit mengeluarkan apinya untuk menjadi sumber cahaya mereka.

"Kurasa ini sudah cukup jauh, mungkin kita bisa keluar sekarang," ucap Azra tak lama kemudian.

"Kalian merasakannya?" tanya Louie ketika akhirnya mereka sampai di permukaan.

"Merasakan apa?" tanya Lynn.

"Aura milik Luciel."

"Aku tak merasakan apa pun?" Kali ini Elena yang bersuara.

"Tepat. Aku juga. Apa mungkin dia sudah tak berada di sini lagi?"

"Tidak," ucap Azra tiba-tiba, "dia di sini. Aku merasakannya, tapi seperti yang Ratu katakan, auranya semakin lemah."

"Maksudmu dia hampir mati?" tanya Louie cemas.

"Itu kemungkinan terburuknya, atau mungkin ... sesuatu tengah menutupinya, membuat auranya menjadi buram."

"Dia disembunyikan?" Elena kembali berasumsi.

"Aku tidak yakin soal itu."

"Baiklah, yang penting kita coba mencarinya lebih dulu. Hari sudah mulai gelap," cetus Lynn yang segera diangguki oleh yang lain.

#

Ciel membuka matanya perlahan, ia mengerjapkan matanya beberapa kali guna memperjelas tatapannya. Dan sedikit tercekat ketika akhirnya sadar dan sepenuhnya mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu.

Di mana aku ...? pikirnya, menatap sekitar.

Ia merasa melayang di tempat yang cukup tinggi. Sebuah cahaya berwarna soft pink tampak menyelimuti sekitarnya. Membuatnya meringkuk dalam sebuah lingkaran cahaya.

"Ohh. Kau sudah sadar?"

Suara itu membuat Ciel menoleh cepat, menatap dingin sepasang iris keemasan yang sama dengan ia lihat sebelum ia berada di tempat ini. Obsidian milik pemuda bersurai nila yang tampak bertengger santai di salah satu dahan pohon tak jauh darinya.

"Kau beruntung. Cahaya itu melindungimu. Ketika aku mencoba membunuhmu seperti yang diperintahkan Master, aku justru terlontar dan tak dapat menyentuhmu lagi."

Ciel tak menjawab ataupun bereaksi atas kalimat itu. Namun, ia sedikit bingung sekarang. Cahaya? Maksudnya yang berwarna pink itu? Apakah itu juga sebuah sihir? Tapi ... siapa yang melakukannya?

Berbagai pertanyaan memenuhi pikirannya.

"Yahh, aku memang tak bisa menyentuhmu untuk saat ini. Tapi masalah kematianmu, hanya akan tinggal menunggu waktu. Sampai Master tiba dan menghancurkan pelindungmu itu.

"Dan lagi, apa kau hanya akan diam di sana? Di bawah sana, teman-temanmu sedang kesulitan lho ...?"

Ciel tersentak, ia menatap ke bawah dan lebih terkejut lagi ketika mendapati teman-temannya sedang bertarung dengan seorang pria yang ia ketahui bernama Haven. Sejak kapan mereka berada di sana?

Dapat dilihatnya, Louie dan Lynn tampak kesulitan menyerang pria bersurai silver itu. Elena yang baru saja terkena serangan, dan kemudian ... tatapannya bertemu dengan Azra.

"Azra? Ada apa?" tegur Elena yang mendekatinya, "jangan kehilangan fokusmu. Lawan kita berbahaya."

"Luciel, dia sudah sadar."

Kalimat itu membuat Elena dengan cepat mengikuti arah tatap Azra, dan benar saja, ia mendapati sepasang cerulean milik Ciel menatap mereka kini.

"CIEL!!" teriak Elena, coba memanggil pemuda kelabu itu.

Brukhh!!

Keduanya tersentak ketika Louie terlontar menubruk batang pohon di dekat mereka.

"Kau baik-baik saja?" Azra menghampiri pemuda bersurai pirang itu.

Louie meludahkan darah dari mulutnya, ia terluka.

"Tak apa, aku baik-baik saja," ucapnya kemudian, "kalian berdua cobalah untuk mendekati Ciel. Aku dan Lynn akau mengalihkan perhatian pria bermata hitam itu," lanjutnya kemudian kembali mendekati Lynn yang melawan Haven seorang diri.

Elena dan Azra saling pandang, kemudian mengangguk bersamaan. Elena menggenggam kembali dua pedangnya, sementara Azra mengubah api di sela jemarinya menjadi pisau.

"Aku akan menyerang pemuda itu," Azra menatap Alvis yang sejak tadi hanya duduk santai mengamati mereka dari atas, "Kau selamatkan Ciel."

"Aku mengerti."

Segera, keduanya melesat mendekati posisi Ciel dan Alvis yang memang berposisi lebih tinggi. Di antara dahan pohon.

"Ahh, mereka kemari. Merepotkan sekali," decih Alvis, "Hei Pangeran, kudengar kau belum bisa menggunakan sihirmu bukan? Diam dan lihatlah bagaimana aku membunuh mereka."

Ciel menatap tajam Alvis yang menyeringai mengerikan setelah berkata demikian. Ia melihat pemuda itu beranjak dari tempatnya dan menyerang Azra yang berusaha mendekati mereka.

"Azrael!" pekik Ciel tertahan ketika melihat pemuda beriris ruby itu terluka dan terkapar di tanah setelah diserang berkali-kali.

"Ciel!" suara lain membuatnya menoleh.

"Elena?" Dan ia mendapati gadis beriris emerald itu berdiri di atas dahan pohon tak jauh darinya.

"Tunggu, aku akan menolongmu."

"Tidak secepat itu, Nona manis."

"Ukhhh...!"

Ciel tercekat ketika entah sejak kapan, Alvis telah berdiri tepat di belakang gadis itu dan menusukkan sebuah pedang menembus punggungnya.

"ELENA!!!" pekiknya keras ketika dilihatnya tubuh gadis itu jatuh ke tanah setelah Alvis menarik pedangnya. Untunglah Azra menangkap tubuhnya sebelum ia menghantam tanah.

"Bagaimana? Kau tak bisa melakukan apa pun dan hanya menyaksikan mereka semua mati pada akhirnya. Menyedihkan!" ejek Alvis di sela tawa sinisnya.

Ciel menunduk, jemarinya mengepal erat. Tatapannya yang masih menatap ke bawah menggelap dan perlahan menjadi kosong. Bersamaan dengan itu, suhu udara mulai turun. Perlahan-lahan hawa di sekitar hutan itu menjadi lebih dingin, lantas salju pun mulai berjatuhan.

"Apa ini?" gumam Louie ketika mendapati salju yang turun semakin banyak, ia merasakan ada sesuatu yang janggal.

"Ci-Ciel ... dia...," Elena menatap sayup ke atas. Ia mulai merasakan firasat buruk.

"Tuan Muda ...." Lynn ikut menatap Ciel. Salju yang mulai terasa tak wajar itu membuat mereka semua, termasuk Haven yang tadi terus menyerang mereka terdiam beberapa saat.

"Jangan sentuh mereka ...," gumam Ciel lirih, suaranya rendah dan terdengar menyeramkan.

Pandangannya yang tadi tertunduk kini menatap lurus. Semua orang di sana tercekat ketika menyadari warna iris pemuda itu berubah menjadi biru menyala. Air mata tampak mengalir pelan dari obsidian yang menatap kosong itu. Tatapan dingin Ciel tampak menusuk dan menakutkan.

"JANGAN SENTUH MEREKA!!" teriak Ciel tiba-tiba.

"CIEL! TIDAK!!" Azra yang lebih dulu sadar apa yang akan terjadi mencoba menghentikan pemuda bertubuh mungil itu.

Bersamaan dengan itu, salju yang tadinya melayang lembut di udara mendadak berputar dengan cepat. Butiran-butiran es itu tiba-tiba saja menjadi lebih tajam dibanding serpih pecahan kaca, merobek apa pun yang mengenainya.

Alvis yang berposisi paling dekat dengan Ciel terdengar memekik keras sebelum terlempar dari posisinya dengan luka di sekujur tubuh. Haven segera menghampirinya ketika tubuhnya berdebum menghantam tanah.

"A-ada apa dengan anak itu?!" pekik Alvis kaget. Luka yang didapatkannya membuatnya tak dapat banyak bergerak.

"Kita harus pergi dari sini! Dia akan membunuh semuanya."

"Baik." Dan tepat setelah itu, Haven dan Alvis menghilang entah ke mana. Menyisakan Ciel dan teman-temannya.

"Apa yang terjadi?!" pekik Elena panik.

"Ciel hilang kendali! Cepat hentikan dia! Dia bisa mati!" pekik Azra tak kalah panik.

Mereka mencoba menghentikan pemuda kelabu itu, tetapi tak satu pun dari mereka bisa mendekat. Louie yang nekat memperpendek jarak bahkan berakhir dengan luka di sekujur tubuh.

"Sial, aku tidak bisa mendekat!" decih Louie.

"I-ini ... sihir level empat?" gumam Lynn, "Dia belum bisa mengendalikan kekuatannya. Ini bisa membuatnya terbunuh! Kita harus bagaimana?"

"Serang dia! Lakukan apa pun untuk mengembalikan kesadarannya!" pekik Azra yang akhirnya bergerak maju lebih dulu. Telapak tangannya mengeluarkan api berwarna kebiruan, ia coba menyerang Ciel dengan sisa kekuataannya.

Louie juga mencoba mendekati Ciel dan menyerangnya dari jarak dekat sementara Lynn melontarkan batu dari bawah.

"CIEL! BERHENTI!" pekik Elena, coba mengembalikan kesadaran pemuda kelabu itu meski ia tahu suaraya tak akan terdengar.

Elena kembali menggunakan sihirnya, mencoba menghentikan pergerakan Ciel dengan cabang-cabang pohon yang ia kendalikan.

Nyeri yang terasa menusuk setiap kali ia bergerak diabaikannya begitu saja. Air matanya sudah tak lagi dapat ia tahan. Elena benar-benar takut. Terlebih ketika dilihatnya Ciel tampak seperti orang lain kini.

"Hentikan ... kumohon ...."

Ciel yang nyaris benar-benar kehilangan dirinya mendadak terdiam. Ada sesuatu entah apa yang membuatnya terhenti begitu saja, ia bisa merasakan sesuatu tengah menahan dirinya. Matan yang semula menatap kosong perlahan-lahan kembali binarnya. Iris mata yang tadi terlihat menyala perlahan berubah kembali menjadi deep blue seperti sediakala.

"Kau bisa terluka ...."

Suara sayup yang lembut itu perlahan menarik kesadaran Ciel kembali. Ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang, tetapi ia tak dapat melihat siapa sosok itu. Meski begitu, Ciel merasa hangat dan itu membuatnya tenang.

"Lihat!" Lynn menunjuk ke atas.

"Di-dia sudah mulai tenang," ucap Louie, mengamati Ciel tanpa berusaha menyerangnya lagi.

Entah apa yang sedang terjadi, tetapi Ciel juga tak lagi menyerang mereka.

"A-apa yang terjadi?" gumam Elena menatap Ciel yang perlahan menjadi lebih tenang, hingga akhirnya kekuatan itu benar-benar lenyap bersamaan dengan tubuh Ciel yang melayang jatuh.

Azra dengan sigap menangkapnya, sementara ketiga rekannya menghampiri mereka.

"Maaf ...," ucap Ciel lirih sebelum akhirnya benar-benar kembali hilang kesadaran.

#

Sepasang iris sapphire itu perlahan terlihat ketika kedua kelopak mata yang menutupinya pelan-pelan terbuka.

"Ahh! Dia sudah sadar."

Sebuah suara membuat perhatiannya teralih, di sebelahnya, ia melihat Lynn yang tersenyum cerah ketika mereka bertemu tatap.

Ciel mengamati sekitarnya, dan ia mendapati tempat yang sama ketika ia pertama kali berada di tempat ini. Ruangan yang mereka katakan sebagai kamarnya.

"Syukurlah. Kau membuatku cemas, bocah pendek!" cetus Louie yang ternyata juga berada di ruangan itu.

"Aku akan mengabarkannya pada Raja dan Ratu!" ucap Lynn lagi sembari bergegas meninggalkan ruangan, masih dengan senyum semringahnya.

"Apa yang terjadi?"

"Sejak saat itu, sudah dua hari kau tertidur. Kau benar-benar membuat semua orang cemas," jelas Azra, menghampirinya dan duduk di tempat yang tadi Lynn duduki sebelum ia pergi.

"Dua hari?" Ciel cukup terkejut mendengarnya.

"Ya. Dua hari. Untungnya mereka tak sempat melukaimu saat itu, jadi tubuhmu bisa pulih lebih cepat. Yang kaulakukan saat itu berbahaya sekali tahu?!

"Sudah kubilang, kan? Kau harus bisa mengendalikan auramu, atau itu akan membunuhmu! Aku tidak mau tahu, kau harus mengulang latihanmu dari awal begitu kau sembuh! Tidak ada penolakan!"

Ciel yang baru saja hendak membuka mulutnya dan protes, menutupnya kembali dengan wajah cemberut.

Aish, baru juga sadar, sudah dapat siraman rohani seperti ini. Ia baru tahu jika Azra itu orangnya cerewet.

"Aku bukannya cerewet, ini demi kebaikanmu juga."

Ups.

Ciel menutup mulutnya. Ia lupa jika mereka bisa melihat apa yang ia pikirkan. Iihh, itu menyebalkan.

Elena dan Louie yang sejak tadi hanya diam melihat Ciel diomeli tampak terkekeh geli.

Tatapan Ciel beralih pada Elena, "Kau baik-baik saja?" tanyanya kemudian.

Ia ingat, saat itu, Elena-lah yang mendapat luka paling parah.

Mendengar pertanyaan itu, Elena tersenyum menatap Ciel.

"Aku baik-baik saja. Kau ingat, elemenku adalah alam. Di antara yang lain, penyembuhan tubuhku adalah yang paling cepat. Jadi tak perlu khawatir," jelas Elena, ia senang karena perhatian Ciel.

"Hei, seharusnya kau menanyakan itu padaku! Aku juga terluka, lho!" sela Louie, membuat Ciel beralih menatapnya datar.

"Kalau kau, mati juga tak apa," jawab Ciel seenak jidat, membuat Louie tak tahan untuk mendaratkan 'elusan sayang' di pucuk kepalanya.

Ciel menatap pemuda pirang itu sembari mengusap kepalanya yang berdenyut.

"Sudah, sudah, jangan bertengkar," Azra menengahi, "sekarang kau istriahatlah. Jadi besok atau lusa, kita sudah bisa memulai latihan bersama."

"Latihan bersama?" Ciel memiringkan kepalanya bingung.

"Kau kan sudah mendapatkan kekuatanmu kembali, jadi kita akan kembali memulai latihannya dari awal. Hanya saja dengan level yang berbeda. Tenang saja, ini tak akan membosankan seperti latihan dasarmu beberapa hari lalu," Louie menjelaskan.

"Anu ...," sela Elena tiba-tiba, membuat ketiga orang lain menatapnya, "Aku ingin tanya ... sejak kapan lambang itu ada di mata kananmu, Ciel?"

Pertanyaan itu membuat Louie dan Azra juga menatap mata kanan Ciel, dan menyadari adanya sebuah simbol sihir di sana. Obsidiannya yang berwarna biru berubah menjadi keunguan. Bagaimana bisa mereka tak menyadarinya sejak tadi?

"Itu ... segel sihir? Sejak kapan?" gumam Louie, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Sementara Azra hanya menatapnya heran, diam dalam kebingungannya.

To be continued.

Catatan penulis.

Yosh, chapter 3 update.^^

Terima kasih sudah membaca, dan sampai jumpa di chapter selanjutnya.^^ #deepbow.

Best regards, Cherry.

Continue Reading

You'll Also Like

26.6K 2.4K 143
[Novel Terjemahan] Buku 1 Dalam hidupnya, Putra Mahkota Han Ye dari Da Jing pernah mengajukan dua pertanyaan- "Ren An Le, apakah kamu ingin bergabun...
55.1K 4.9K 36
Agar mengerti tokoh dan jalan cerita, mohon baca season 1, yang terpilih : babak pertama. Bian menjalani hidupnya sebagai Lena Smith dan tinggal ber...
2.2K 364 21
silahkan lewati perkenalan jika anda kenal trio William Arden tertulis di bukudedo.com Foto: bukalapak.com
13.9K 1K 16
Sebuah pengamatan dan ungkapan. Sebuah teriakan melalui tulisan. Sebuah tangisan melalui diksi. Sebuah tawa melalui kata. Sebuah cinta melalui rasa. ...