Guardian of Light [REMAKE]

By RedCherry98

342K 8.2K 1.3K

Apakah kau percaya pada sihir? Dunia yang mungkin tak pernah tergambar dalam anganmu? Ramalan yang menggambar... More

Prolog
Chapter 1 : Prince of Light?
Chapter 3 : Out of Control
Chapter 4 : First Impression
Chapter 5 : Curiosity
Chapter 6 : Promise
Chapter 7 : Blood Rain

Chapter 2 : Mysterious Girl

16.1K 946 151
By RedCherry98

Ciel membolak-balik halaman demi halaman dari buku yang dibacanya dengan cepat. Menatap sekilas deret-deret kata yang merangkai paragraf di dalamnya. Raut wajahnya semakin lama tampak semakin absurd saja.

"Aish! Ini tak berguna!" cetusnya kesal kemudian. Ia menutup buku itu dan melemparnya sembarangan ke atas kasur.

Ia tak dapat memahami apa pun yang ia baca di sana. Deretan kalimat-kalimat itu bahkan menjadi lebih sulit baginya dibanding soal-soal yang biasa ia kerjakan di sekolah. Terlebih, ketika ia teringat kembali pembicaraannya dengan Raja dan Ratu sebelum ini.

Ciel melangkah mendekati singgasana, dengan Azrael dan Lynn yang mengapit, mengantarkan langkahnya menuju sang Raja. Mengikuti apa yang dilakukan oleh dua orang di sebelahnya, Ciel kemudian menunduk sekilas. Memberi penghormatan kepada sang Penguasa Negeri.

Ciel mengamati lekat wajah dua orang yang berada di hadapannya, lantas ia sedikit terpaku.

"Ayah ... Ibu...?" gumamnya tanpa sadar, membuat seluruh pasang mata menatapnya penuh harap kini.

"Kau mengingat mereka?" tegur Azrael yang segera dijawab Ciel dengan gelengan kecil.

"Mereka mirip sekali dengan orang tuaku di dunia nyata. Sesaat aku berpikir jika itu memang mereka ...." jawab Ciel, membuat sang iris ruby mendengus kecil.

"Kemarilah, Sayang," panggil Ratu dengan suara lembutnya.

"Pergilah," bisik Azra menyadari keraguan yang tergaris di raut wajah Ciel.

Dengan langkah ragu sedikit enggan, Ciel mendekati sosok yang memanggilnya itu, hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan mereka.

Ratu tersenyum, ia sedikit menggeser posisi duduknya demi memberi ruang untuk sang Pangeran.

"Duduklah di sini. Tak perlu sungkan," ucapnya lagi masih dengan senyum lembutnya.

"Lynn, Azra, kalian boleh pergi sekarang," ujar Raja yang segera dilaksanakan oleh keduanya.

Mereka pergi setelah menunduk dan pamit, menyisakan Ciel yang masih berdiri enggan di posisinya. Ciel benar-benar merasa canggung sekarang.

Melihat gelagat pemuda itu, sang Ratu tampak mendengus kecil. Ia tersenyum maklum, lantas meraih tangan pemuda itu dan sedikit menariknya untuk duduk.

"A-apa sungguh boleh bagiku untuk duduk di tempat ini, Yang Mulia?"

"Tentu saja boleh. Toh suatu saat nanti, kau memang akan menduduki singgasana ini," Ratu kembali terkekeh kecil, "Ohh, dan jangan memanggil kami dengan sebutan itu. Bukankah biasanya kau memanggil dengan sebutan ayah dan ibu?"

Ciel masih tak yakin, namun ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Ciel," Raja bersuara, membuat Ciel beralih menatapnya. "Aku sudah mendengarnya dari para Guardian. Ingatanmu masih tidak bisa kembali, hmm?"

"Aku tidak yakin, tapi kurasa ... begitulah."

"Walau begitu, penyegelan tetap harus sesegera mungkin dilakukan. Jadi, kau akan memulai latihanmu besok. Para Guardian akan membantumu."

"Lantas bagaimana? Aku saja tidak yakin jika aku benar-benar memiliki light apalah itu?" ujar Ciel lagi, nyaris melupakan formalitasnya beberapa saat yang lalu.

"Tentu saja kau punya," Raja terkekeh, "masalahnya adalah, kekuatanmu sudah bertahun-tahun terkunci di alam bawah sadarmu, jadi kau harus mulai melakukan latihan agar kunci itu terlepas dan kau bisa menggunakan sihirmu lagi."

"Meski begitu...." Ciel tampak kembali meragu. Ia menoleh ketika Ratu menepuk lembut pundaknya.

"Kau pasti bisa melakukannya, Sayang," ujar Ratu dengan senyum lembutnya, "sekarang kau kembalilah ke kamarmu dan beristirahatlah. Kau memiliki hari yang sibuk mulai besok."

Tanpa banyak membantah, Ciel bangkit dari posisinya dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu sebelum lebih dulu menunduk dan memberi salam pada keduanya.

Sepeninggal Ciel, Raja menatap lekat sang Ratu yang ekspresinya tampak berubah. Wajah cantik itu tampak muram dan sedih, membuat sang Raja sedikit bertanya-tanya.

"Bagaimana? Anak itu?"

"Aku tidak yakin, tapi aku merasakan ada sebuah sihir yang ditanamkan padanya...."

"Apa?"

Memang, Ratu meminta Ciel untuk duduk di sisinya bukan tanpa alasan. Dengan sihir yang dimilikinya, sang Ratu tengah mencoba untuk membaca putranya itu melalui kontak fisik yang dia lakukan. Dan ia mendapatkan jawaban yang agaknya cukup mengejutkan.

"Tidak, itu bukanlah sebuah sihir yang jahat. Dan lagi, auranya terasa tipis sekali. Aku rasa tak akan banyak berpengaruh, jadi tak perlu khawatir. Yang menjadi masalah adalah ingatannya...."

Ratu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya kembali.

"Ingatannya tidak kembali bukan karena pengaruh sihir atau semacamnya, tetapi ... karena ialah yang tidak ingin mengingatnya." Sorot mata Ratu tampak semakin muram.

"Apa maksudmu, Ratu-ku?"

"Alam bawah sadarnya menolak untuk mendapatkan ingatan itu kembali. Kemungkinan, ini berkaitan dengan apa yang terjadi ketika terjadi kekacauan dulu. Kau tentu ingat bukan ... peristiwa itu?"

Raja tercekat, terlebih ketika dilihatnya sang Ratu mulai menangis.

"Anak itu terbunuh di depan matanya ... saat ... hiks."

"Sudah, hentikan itu. Mengingat hal itu hanya akan menyakitimu, Ratu...." tegur Raja, meski raut yang sarat akan kesedihan pun tampak jelas tergaris di wajahnya.

"Kita tak punya banyak pilihan ... sekarang, harapan kita satu-satunya hanyalah anak ini."

Sementara itu, Ciel yang ternyata masih berada di luar ruangan itu dapat mendengar percakapan keduanya meskipun samar. Ini bukanlah kebiasaan Ciel. Ayolah, ia tahu bahwa mencuri dengar itu tidak sopan. Tapi dia pikir, jika itu memang bisa membantunya saat ini, tak ada salahnya, bukan?

Namun sekarang pemuda berobsidian biru itu hanya bisa mengerutkan dahinya bingung. Ribuan pertanyaan yang menari-nari di benaknya membuatnya kian bingung kini.

Apa yang sudah terjadi? Hal apa yang tak ingin kuingat? Dan lagi ... siapa yang mati?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih saja menghantui pikirannya hingga sekarang. Membuatnya bingung dan semakin bingung.

Untuk yang ke sekian kalinya, Ciel menghela napas berat. Berbagai pemikiran konyol yang tak masuk akal masih saja menari-nari di kepalanya hingga akhirnya ia jatuh tertidur karena lelah.

#

Bruukk.

"Sudah, aku menyerah! Aku menyerah!"

Ciel merebahkan tubuhnya di atas lantai yang dingin dengan kasar. Ia sudah menyerah melakukan pengendalian diri yang entah apa gunanya. Ia hanya disuruh untuk duduk bersila di atas lantai selama berjam-jam dan berkonsentrasi untuk menemukan kekuatannya kembali.

Ciel benar-benar tidak tahan, ia tidak bisa hanya duduk diam dan fokus akan sesuatu yang menurutnya membosankan. Lagipula, ia bahkan tak tahu hal apa yang seharusnya ia fokuskan.

Alhasil, justru berbagai pemikiran-pemikiran ngawurlah yang menari-nari di kepalanya. Dari wajah sangar gurunya fisikanya, kucing tetangganya yang sedang kawin, sampai penyebab mengapa demam batu akik dan musim begal kini tak lagi melanda Indonesia.

Gak penting banget 'kan?

Ahh, sudahlah, lupakan itu.

Sudah tiga hari ia melakukan hal ini bersama dengan Azrael yang hanya menatap dan mengawasinya dalam diam. Apa maunya coba?

Tiba-tiba Ciel merasa seperti tahanan yang tengah dijaga oleh sipir agar tidak melarikan diri. Itu menyebalkan, kau tahu?

"Ayolah, Ciel. Kau masih belum fokus. Cobalah untuk fokus sedikit saja," ucap Azrael yang sendirinya juga mulai lelah.

"Bagaimana aku bisa fokus? Aku saja tidak tahu untuk apa aku melakukan semua ini," decih Ciel pelan, membuat Azrael kembali menghela napas. "Apa kau tak punya cara lain? Ini sungguh membosankan," keluhnya lagi, menatap sosok di hadapannya dengan wajah memelas.

Dan kini ganti pemuda kelabu itu yang mendengus ketika dilihatnya Azrael menggeleng.

Terdiam.

Kini keduanya tampak tak lagi bersuara selama beberapa saat.

"Azra...."

"Ya?"

"Mengapa aku harus melakukan ini?"

"Sebab sebelum kau dapat menggunakan sihir, kau harus bisa mengendalikan auramu lebih dulu. Dan untuk itulah kau berlatih ini."

"...."

"Kau harus bisa mengendalikan auramu, Luciel. Atau itu akan membunuhmu."

"Aku ingin pulang."

Azrael tertegun sesaat ketika mendengar ucapan bernada lirih itu, kembali ia hanya bisa menghela napas maklum.

"Aku mengerti perasaanmu, bersabarlah ya...."

"Bagaimana kau mengerti?" potong Ciel cepat, "Aku tidak suka tempat ini. Aku tidak mengerti mengapa semua orang begitu mengharapkanku tentang sesuatu yang bahkan tak kumengerti. Bukan berarti aku ingin bersikap egois, hanya saja, semua ini membuatku tak nyaman, kau tahu?"

"Ya, tentu aku tahu. Dan lagi, kau tidak bisa fokus sebab kau belum menemukan alasan untuk itu bukan? Kau merasa ini sia-sia dan tak ada gunanya," sahut Azrael kalem, tepat sasaran. Membuat Ciel entah mengapa merasa sedikit merasa bersalah sekarang.

"Tapi aku yakin kau sendiri pun mengerti, kau tak punya pilihan."

"...."

"Lebih jauh dari apa yang kaupikirkan, kami membutuhkanmu, Luciel. Sangat membutuhkanmu."

"Lantas, bagaimana jika sampai saat terakhir aku tetap tak dapat menggunakan sihirku? Apa yang akan kalian lakukan?"

"Kau pasti bisa."

"Mengapa kau begitu yakin?"

"Sebab aku percaya padamu," balas Azrael dengan senyum simpulnya, "kami semua percaya padamu."

Ciel tertegun, wajahnya nampak semakin muram kemudian.

"Dan itu justru semakin membuatku tak nyaman. Entah mengapa aku jadi merasa bertanggung jawab."

"Aduh, aku salah bicara ya?" gumam Azrael tanpa sadar, wajah bingungnya membuat Ciel tersenyum kecil.

"Hei, kenapa aku merasa semua orang di tempat ini bisa membaca apa yang kupikirkan, ya?" celetuk Ciel tiba-tiba, membuat Azrael kembali menatapnya.

"Kau tidak tahu, ya? Semua pengguna sihir bisa membaca pikiran, dan kau yang saat ini begitu mudah ditembus karena kau sama sekali tak dapat menggunakan sihir dan tak dapat memproteksi dirimu."

"A--apa?!" pekik Ciel kaget. Oke, ia baru tahu soal yang satu ini.

"Kupikir hanya Ratu yang bisa melakukannya?!"

"Ahh, Yang Mulia sudah membacamu, ya? Beliau itu berbeda, yang bisa kami lakukan hanya membaca apa yang sedang kau pikirkan, tetapi dia bisa membaca segalanya tentangmu."

"Ra-ratu ternyata menyeramkan...." Ciel memucat.

"Jangan bicara begitu, lho...." Azrael terkekeh.

"Sepertinya aku harus berhati-hati dengan kalian semua." Pemuda kelabu itu menatap tajam sosok di hadapannya kini.

"Aish, jangan begitu. Lagipula percuma saja, mau kau sembunyikan serapat apa pun, tetap dapat terbaca kecuali pikiranmu sedang benar-benar kosong."

"Itu terdengar menyebalkan."

"Makanya, jika kau tak ingin dibaca, segeralah dapatkan kekuatan dan ingatanmu kembali." Sang pemuda beriris scarlet kembali terkekeh.

"Hei...."

"Apa?"

"Kita sudahi latihannya sekarang, ya? Aku lelah."

"Tapi...."

"Sudah ya?"

Azrael hendak membantah, namun tatapan memelas bak anak kucing terbuang itu entah mengapa membuatnya menjadi sedikit tidak tega.

"Sudahlah, Azra. Jangan terlalu keras padanya. Toh ini juga masih awal." Sebuah suara membuat keduanya menoleh.

"Louie, hentikan kebiasaanmu yang selalu muncul tiba-tiba seperti hantu. Itu sedikit mengganggu," tegur Azrael, membuat sosok yang ternyata Louie itu terkekeh kecil.

"Aku tidak muncul tiba-tiba, kalian saja yang tidak menyadari kedatanganku," elak Louie santai.

"Jadi, mau apa kau ke sini?"

"Aku ingin mengajak Ciel main," jawab Louie cepat, ia meraih lengan Ciel dan menariknya. "Ayo, Lucy sudah menunggu! Sampai jumpa, Azra," lanjutnya lagi, kemudian menarik Ciel pergi dari tempat itu.

"Gyaaaaaaaa!!!"

Dan teriakan histeris Ciel menyertai 'pelarian' mereka. Bukannya apa, masalahnya mereka sekarang tengah berada di ruang latihan yang ada di lantai tertinggi istana, dan Louie menarik Ciel melompat dari jendela. Siapa yang tidak takut coba?

Azrael hanya bisa mendengus pasrah.

#

Ciel bersandar lemas di bawah pohon Oak yang ada di tepi danau, tempat yang ia kunjungi ketika pertama kali datang ke tempat ini. Di hadapannya, Elena tampak menatap dengan raut heran sementara Louie hanya bisa menyunggingkan cengirannya.

"Apa yang kaulakukan padanya?"

"Aku? Membawanya kemari."

"Kenapa dia sampai seperti itu?"

"Aku membawanya melompat dari ruang latihan."

Plokk!

"Aduh!" Louie melayangkan tatapan protes ketika Elena mencatuk kepalanya.

"Sudahlah," ucapan Ciel menginterupsi mereka, "jadi mau apa kalian membawaku kemari."

Keduanya kembali terfokus pada sepasang cerulean yang menatap mereka bergantian. Mereka saling pandang sejenak.

"Kami sudah mendengarnya dari Azra, kau tak semangat menjalani latihanmu. Jadi kami pikir, kami mungkin bisa memberimu sedikit motivasi."

"Ohh, ya?" Ciel menatap datar keduanya.

"Kau pasti sudah tahu tentang elemen yang kami kuasai, 'kan?"

"Lantas?"

"Aku akan menunjukkan bagaimana cara kerjanya," ucap Elena santai, "coba kau lihat pohon ini."

Memilih untuk menurut, Ciel bangkit dari posisinya mendekati dua orang itu, menatap pohon yang tadi ia sandari.

Elena mengarahkan telapak tangannya ke arah pohon, sebuah cahaya berwarna hijau menguar dari tangannya dan bersamaan dengan itu, Ciel dapat melihat daun-daun hijau yang tadinya melekat di pohon itu mulai berguguran. Dan kemudian gadis itu menghijaukan kembali tumbuhan itu secepat ia menggugurkan daun-daunnya.

Ciel menatap gadis itu takjub.

"Itu hanya sihir kecil." Elena tersenyum ketika mendapati tatapan Ciel padanya.

"Yosh! Sekarang aku!" pekik Louie tiba-tiba. "Lihat ini."

Wuuuushh!!

"Huwaaa!!"

Byurr!!

"Louie!!"

Elena memekik kaget ketika angin yang dihembuskan Louie dengan kekuatannya membuat Ciel terlempar ke tengah danau.

"Maaf, maaf. Aku hanya ingin mengerjainya sedikit. Sudah lama aku tidak mendengar teriakan cemprengnya itu." Louie terkekeh geli.

"Kau bisa membuatnya mati."

"Tidak akan, kok. Tenang saja."

"Ngomong-ngomong ... kenapa dia tidak muncul juga ya?" tatapan sepasang iris emerald itu beralih ke arah danau.

"Mungkin dia tidak bisa berenang?" Louie kembali terkekeh, tetapi itu tak berlangsung lama. Mendadak ia teringat sesuatu yang dirasanya janggal.

"...."

"...."

"...."

"Astaga! Dia benar-benar tidak bisa berenang!"

"Dia bisa mati bodoh!" pekik Elena sembari menendang Louie hingga ikut tercebur ke dalam danau.

Sesak....

Ciel yang nyaris mencapai dasar danau tak dapat banyak melakukan apa pun lagi.

Aku ... akan mati ... sekarang?

Ia mencoba membuka kelopak mata meskipun air membuatnya merasa perih. Di ambang kesadarannya, samar-samar ia dapat melihat sosok seseorang yang mendekatinya. Semakin lama tampak semakin jelas, meskipun wajah sosok itu masih tak dapat tertangkap sepenuhnya oleh tatapnya yang nyaris buram.

Ciel merasakan tangannya digenggam, dan saat itu pula ia merasakan nafasnya menjadi lebih ringan, entah karena apa.

Kembali, ia mencoba membuka matanya guna menatap sosok yang meraih tangannya. Dan sepasang iris biru sewarna miliknya tertangkap oleh matanya.

Iris biru milik seorang gadis bersurai panjang kelabu.

Siapa ....?

Namun Ciel tersentak ketika merasakan tangan lain milik orang yang berbeda meraihnya dan kemudian menariknya ke permukaan. Itu Louie.

Mereka berdua terengah ketika akhirnya mencapai permukaan danau. Louie menarik Ciel ke pinggir dan segera disambut oleh Elena yang berwajah cemas.

"Kau baik-baik saja, Ciel?"

Ciel mengangguk kecil, kemudian menoleh kesal ketika Louie mendadak menjitak kepalanya pelan.

"Bodoh! Mana ada penguasa elemen air yang tidak bisa berenang?!"

"Kau sedang melihatnya sekarang." balas Ciel cuek, membuat Louie mendengus kecil.

"Ciel, ada apa?" tegur Elena ketika Ciel kembali menatap lekat ke arah danau, tampak sedang mencari, ahh bukan, lebih terlihat seperti menunggu sesuatu sepertinya.

"Aku yakin sekali, tadi ada seorang anak perempuan yang menolongku sebelum Louie datang," gumam Ciel, membuat sepasang pemilik surai pirang kini bertukar tatap.

"Ci-Ciel ... jangan bercanda. Itu tidak lucu. Tak ada seorang pun kecuali kita bertiga di sini." Louie menanggapi takut-takut.

Tidak mungkin sekali jika yang Ciel maksud adalah hantu penunggu danau bukan? Ini kan bukan film horror Indonesia, yang setannya kurang kerjaan, suka menarik-narik orang ke dasar danau.

"Aku serius."

"Hha-haha ... sudahlah, biar kukeringkan dulu tubuhmu." Louie tertawa garing.

Dengan kekuatannya, ia mengembuskan angin yang cukup kuat ke arah Ciel, membuat tubuh pemuda kelabu yang tadinya kuyup itu menjadi kering seketika.

"Praktis sekali," gumam Ciel lirih.

Mendadak ia berpikir, jika ia memiliki kekuatan semacam itu, mungkin ia dapat menghemat lebih banyak waktu dan listrik untuk mengeringkan pakaian-pakaiannya. Aish, Ciel, tampaknya otakmu terlalu lelah. Mikirnya ngawur melulu.

Obsidian safirnya melebar ketika tanpa sengaja mendapati sosok seorang gadis mengamatinya dari kejauhan. Gadis bersurai kelabu yang ia yakini sama dengan yang tadi ia lihat di dasar danau.

"Ciel?!" pekik Elena dan Louie bersamaan ketika tanpa banyak bicara, Ciel berlari meninggalkan mereka.

Mereka berdua kembali saling pandang.

"Mau ke mana dia?"

"Ayo ikuti!" Louie lebih dulu berinisiatif untuk menyusul sebelum mereka tertinggal semakin jauh.

Sementara itu, Ciel mengerutkan dahinya bingung. Seakan menghindar, semakin ia mengejar, sosok itu justru semakin menjauhinya. Membuatnya tanpa sadar terus berlari hingga mulai jauh memasuki hutan di belakang istana.

"Tunggu. Hei, kau!" Ciel sedikit memekik, tetapi sosok yang semakin jauh berlari di depannya sama sekali tak merespon. Hingga akhirnya ia diam di tempatnya berdiri ketika siluet gadis itu tak lagi dapat tertangkap oleh matanya.

Beberapa lama Ciel hanya diam terengah, berusaha menetralkan nafasnya yang satu-dua. Sampai tiba-tiba sebuah suara yang didengarnya asing membuatnya menoleh kaget.

"Oh, apa yang kaulakukan di sini sendirian, pangeran?"

Ciel berbalik cepat, ia memasang sikap waspada, matanya menatap liar ke sana dan ke mari berusaha menemukan sosok sang pemilik suara. Dan ia menemukan seseorang yang duduk santai di salah satu dahan pohon ketika tanpa sengaja menatap ke atas.

Sosok itu melempar seringai kecil ketika mata mereka bertemu tatap.

"Halo," sapanya sembari melambaikan tangan sementara cerulean milik Ciel menatapnya tajam.

"Siapa kau?" balas Ciel dingin.

"Hmm ... siapa yaa?" iris keemasannya menyipit sinis, "Aku hanyalah orang yang diminta untuk mengawasimu, tapi ... kurasa ini kesempatan yang baik untuk membawamu kepada Master."

"Apa maksudmu?"

"Agni!"

Ciel tercekat ketika tiba-tiba saja seseorang berdiri di belakangnya dan mengunci pergerakannya sebelum ia sempat menghindar.

Se-sejak kapan?

"Sejak kapan? Sejak awal kami sudah mengawasimu, kalian saja yang tidak sadar," ucap pemuda yang masih duduk santai di atas pohon, membuat Ciel seketika bungkam.

Ahh, ia lupa, semua orang di sini dapat membaca apa yang ia pikirkan.

"Namaku Alvis," ucap pemuda itu lagi, "Ikut kami, yuk? Kami tak akan membunuhmu kok."

Wuuuuusshh!!

Angin yang tiba-tiba berhembus kencang membuat mereka terdiam sesaat.

"Lepaskan dia." Suara lain yang Ciel kenali sebagai Louie terdengar di belakangnya.

Di belakang pria yang mengunci Ciel lebih tepatnya.

Sementara itu, pemuda yang mengaku bernama Alvis melompat dari atas pohon ketika dahan tempatnya bertengger nyaris menangkap pergelangan kakinya. Tepat saat ia mencapai tanah, Ia mendapati sosok seorang gadis beriris emerald menatapnya garang.

"Aihh, orang-orang yang merepotkan sudah datang," decih Alvis sinis.

"Perlukah saya habisi mereka?" tanya pria bernama Haven yang masih mengunci Ciel, mengabaikan belati milik Louie yang kini menyentuh kulit lehernya.

"Tidak, tidak. Kita tidak seharusnya membuat keributan di wilayah musuh. Itu bisa membawa masalah. Cukup bawa anak ini ke hadapan Master."

"Baik," jawabnya patuh, ia menggunakan sedikit sihirnya dan membuat pemuda kelabu yang ditahannya itu tak sadar kini.

"Luciel!" pekik Elena mencoba mengembalikan kesadaran Ciel.

"Takkan kubiarkan!" sela Louie. Ia tanpa ragu menyerang pria beriris arang itu dengan belati di tangannya, sementara Elena tampak mengambil beberapa patahan ranting pohon dan mengubahnya menjadi pedang dengan sihir.

Elena maju dan menyerang Alvis dengan dua pedang di tangannya, yang dihindari sang pemuda bersurai nila tanpa kesulitan yang berarti.

"Wow, kau pengguna dua pedang? Keren!" komentarnya.

Alvis melompat ke atas pohon menghindari serangan Elena, tetapi lagi-lagi ia nyaris tertangkap oleh dahan tumbuhan yang dikendalikan oleh gadis itu.

"Ahh, nyaris saja. Pengguna elemen alam, heh? Ini merepotkan," gumamnya, "Haven, ayo pergi. Mereka berbahaya."

Louie kembali mengembuskan angin kuatnya hingga Haven terlontar dan menabrak batang pohon cukup keras, Elena kembali coba menangkap dengan sihirnya tetapi sebelum itu terjadi, pria itu lebih dulu menghindar.

Ia berbalik dan menendang kuat Louie yang kembali coba menyerangnya, membuat tubuh pemuda beriris light blue itu terlempar dan menabrak Elena hingga keduanya tersungkur di tanah. Dan tepat saat itulah, dua orang itu menghilang dalam bayangan dengan membawa sang Pangeran Cahaya.

#

"Ada apa dengan kalian?" tegur Azra ketika melihat Elena dan Louie kembali dengan penampilan acak-acakan dan wajah murung.

Elena bahkan nyaris menangis.

Lynn yang juga berada di sana ikut menatap heran keduanya.

"Kami diserang," Elena bersuara, "Ciel ... Ciel, dia ...."

"Ada apa dengan Ciel?" sela Lynn yang mulai mendapati firasat tak baik.

"A-aku gagal melindunginya ...." Kini ganti Louie yang bersuara, membuat Lynn dan Azra semakin menatap tak mengerti.

"Ciel menghilang."

"Apa? Hilang?!" pekik Lynn dan Azra nyaris bersamaan.

"Mereka menyerang kami dan membawanya ... anak buah Shadow Master."

Lynn dan Azra kembali bertatapan cemas. Ciel masih belum bisa menggunakan kekuatannya, ia pasti akan dibunuh dengan cepat jika mereka terlambat.

"Bagaimana ini?" gumam Elena lirih.

To be continued.

Catatan penulis.

Guardian of Light akan ku-update rutin mulai bulan depan. Tergantung kesibukan sih, kuusahakan minimal 1-2 kali seminggu.

Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di chapter selanjutnyaa.^^

Best regards, Cherry.

Continue Reading

You'll Also Like

Bloody Bell By Ines Dian

Mystery / Thriller

47.7K 5.9K 31
Lonceng itu berbunyi lagi. Satu orang menghilang lagi. Sebagai OSIS, mereka mengantar seluruh murid baru sekolahnya ke pintu gerbang yang gelap. Mer...
12.2K 1K 23
" Dimana ini? " Seorang gadis berjalan di dalam kegelapan itu. Ketika dia membuka pintu itu. Langit biru di atas menunjukkan sebuah bulan dengan lu...
55.1K 4.9K 36
Agar mengerti tokoh dan jalan cerita, mohon baca season 1, yang terpilih : babak pertama. Bian menjalani hidupnya sebagai Lena Smith dan tinggal ber...
597K 37.6K 64
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...