Covenant Of Marriage

By LalunaKia

1.4M 6.5K 66

(Pindah ke Dreame) Anna hanya punya Ibunya didunia ini dan bekerja sebagai seorang Asisten pribadi dokter... More

DUA
TIGA

SATU

117K 2.7K 37
By LalunaKia

Udara siang itu sejuk. Suara deru mobil bersahutan bersamaan dengan beberapa mobil yang mengepulkan asap kotor. Suara klakson sempat memekik di perempatan jalan. Di pusat kota New York, berdiri kokoh sebuah rumah sakit setinggi tujuh belas lantai. Dikelilingi dinding kaca redup yang begitu mengkilat. Memantulkan cahaya matahari ke segala arah. Mobil-mobil terlihat masuk dan keluar dengan frekuensi yang hampir bersamaan. Beberapa pria berseragam berkumpul di beberapa pos satpam di depan gedung itu.

Anna masuk ke rumah sakit itu melalui pintu depan. Sebuah pintu kaca besar dengan sebuah sensor yang akan secara otomatis membuka ketika ia hendak masuk dan bau khas langsung menyusup ke hidungnya. Sebuah ranjang beroda dan empat orang yang mendorong di sekelilingnya mendahului. Seorang anak di atas ranjang itu terlihat memegangi dadanya karena kesulitan bernapas dan wanita tua yang Anna pikir adalah ibunya terlihat menangis dan berusaha menenangkan anaknya. Seorang resepsionis berdiri di balik sebuah meja besar berwarna cokelat dengan seragam berwarna krem. Anna tersenyum kepada Anastasia. Di belakang tubuh jangkungnya yang sedang berdiri, ia bisa melihat sebuah pintu dengan kaca di tengah bertuliskan 'staff only'.

Ia bergerak ke lorong sebelah kiri. Menuju sebuah kotak berpintu besi yang akan mengantarnya ke lantai tujuan. Ia berkerumun dengan beberapa orang, mencium berbagai parfum mahal dari tubuh orang di sampingnya. Ia menunduk, memperhatikan sepatunya yang tampak kontras dengan sepatu yang lain. Sepatunya berwarna hitam yang hampir menyerupai coklat karena luntur. Sepatu bertumit rendah itu cukup nyaman dan well, memang agak memalukan tapi lebih baik dibandingkan dengan sepatunya yang lain.

Anna masuk saat pintu lift itu terbuka dan sebelum memutuskan untuk berdiri di pojok, ia terlebih dulu menekan tombol dan getaran tanda pesan masuk membuatnya langsung merogoh saku rok-nya.

Kau bisa sampai di sini lebih cepat?
dr. Steve

Ia membalas pesan itu dengan singkat dan bilang bahwa ia sudah sampai di rumah sakit. Ia turun saat sebuah layar di atas pintu lift menunjukkan lantai yang menjadi tujuannya. Setelah mengucapkan permisi, kerumunan yang masih berada di dalam lift seakan membelah memberinya jalan.

Ruangan di lantai ini tidak terlalu padat, karena lantai ini adalah lantai khusus dokter spesialis. Beberapa orang terlihat duduk di depan pintu bernomor dan beberapa suster sibuk dengan map-map berwarna putih. Ia masih terus berjalan menuju ruangan paling pojok.

"Selamat siang Anna. Aku pikir kau tidak masuk hari ini." Suster Clara Bill menyapanya dari balik meja cokelat di depan sebuah pintu bernomor 505.

"Aku hanya punya sedikit keperluan." katanya sambil menatap sebuah pintu bernomor 505 dan bertuliskan 'dr. Steven Haynsworth.' "Apakah dr. Steve sedang ada pasien?" tanyanya lagi. Wanita itu membenarkan letak kacamatanya dan menjawab. 

"Iya, Mrs. Butler. Keluarga pasien yang sedang ditangani dr. Steve. Sebentar lagi juga selesai." Clara memberikan botol minuman kepada Anna. Ia mengambil dengan tatapan terima kasih. Ia dan Clara berbeda usia cukup jauh, yaahh... kurang lebih enam tahun. Tapi tubuh gadis itu bisa dibilang beberapa senti lebih pendek dari Anna. Warna rambut mereka juga sangat kontras, rambut Clara berwarna pirang sedangkan ia coklat lebat. Yang Anna sukai dari Clara adalah hidungnya yang mancung dan lehernya yang jenjang.

Wanita itu kembali sibuk dengan map-mapnya. Memeriksa data-data pasien hari ini. Anna hanya memperhatikkan Clara yang mulai mengetuk-ngetukan pulpennya di meja dengan pandangan seperti memikirkan sesuatu. Beberapa menit kemudian pintu terbuka, dr. Steve keluar bersama Mrs. Butler. Wanita berambut keriting berwarna merah terang itu terlihat sedih. Setelah mengucapkan terima kasih, ia tersenyum pada Anna dan Clara lalu mulai menjauh.

"Aahh... Anna, kau sudah datang rupanya. Aku hanya ingin memberitahukan sesuatu padamu. Mari ikut ke dalam." Pria bersetelan putih itu kembali masuk ke dalam ruangan dan Anna mengikutinya.

***

Anna duduk di sebuah kursi berwarna hitam, sangat kontras dengan warna cat dinding di ruangan yang serba putih itu. Pria paruh baya yang sudah beruban itu duduk di depannya, di sebuah kursi hitam empuk dengan sandaran tinggi. Ia meletakkan kacamatanya dan menatap Anna.

 "Kau tau aku punya seorang anak laki-laki? Dia akan datang ke sini dalam waktu dekat dan akan bertugas di klinik-ku." ujarnya lalu kembali melanjutkan. "Aku ingin kau membantunya selama di sini. Maksudku, aku pikir aku hanya disibukkan dengan rumah sakit dan klinik itu, aku mungkin tidak butuh asisten pribadi lagi." Wajah Anna seketika memucat. Menjadi asisten pribadi dr. Steve adalah pekerjaan terbaik yang bisa ia dapatkan. Bagaimana jadinya kalau ia diberhentikan? dr. Steve yang melihat air muka Anna berubah langsung melanjutkan. "Aku tidak akan memecatmu Anna. Aku hanya ingin kau bekerja untuk anakku. Kau gadis baik yang begitu periang dan anakku bisa dibilang mempunyai sikap dan sifat yang sangat buruk. Aku harap kau bisa tahan dengannya." seulas senyum muncul di bibir tipis dr. Steve dan Anna hanya bisa memasang wajah sedatar mungkin.

"Anakku akan sampai dalam minggu ini. Aku harap kau tidak keberatan dengan keputusanku." Anna tersenyum lalu berdehem pelan. 

"Tidak apa-apa dokter. Aku senang karena masih bisa bekerja untuk keluarga dokter." Anna bangkit dari duduknya, menghampiri gantungan baju di belakang dan kembali dengan sebuah jas ditangannya. Ia lalu membetulkan letak buku di rak kecil di samping meja tempatnya duduk tadi dan tersenyum kepada dr. Steve.

"Aku akan ke laundry dan akan kembali membawa makan siang untuk dokter."

"Terima kasih, Anna." Anna menyunggingkan senyum lalu keluar dari ruang praktik. Setelah berpamitan dengan Clara, ia pergi menuju basement rumah sakit. Sudah hampir dua tahun ia mengabdi kepada keluarga Haynsworth. Ia bekerja sebagai asisten pribadi dr. Steve atau lebih baik dibilang pelayan. Ia mengatur semua kegiatan dr. Steve. Jadwal praktik dan beberapa seminar yang masih sering ia ikuti atau sekadar undangan-undangan pribadi. Semua janji yang berhubungan dengan dr. Steve harus melewatinya dulu sehingga tidak mengganggu jadwal yang lain.

Ia keluar dari lift dan langsung disambut oleh bau pengap yang cukup menyengat. Debu dari kendaraan beroda seakan menguap di udara dan membuat hidungnya gatal. Ia menuju sebuah kotak kaca yang begitu terang di apit oleh dua buah kafeteria di kanan kirinya. Suara lonceng berbunyi saat Anna membuka pintu dan dalam hitungan detik, seorang wanita muda muncul dari balik pintu lainnya. 

"Selamat siang, Anna." Wanita itu menyapa Anna dari balik meja yang membentuk setengah dari segi empat, seakan memenjarakan gerak wanita itu.

"Selamat siang, Diane." Ia menaruh jas yang ia bawa di atas meja, tepat di depan Diane Rowflane. 

"Terlambat satu hari dari jadwal biasa." Diane mengambil jas itu dan menaruhnya di bawah meja, lalu ke dalam dan kembali dengan sebuah kantong kertas di tangannya dan memberikannya kepada Anna. Wangi harum langsung menyusup hidungnya saat ia melihat apa isinya. Setelan dr. Steve yang ia cuci minggu lalu. "Jangan bilang kau lupa." Diane terkekeh sambil mengetikkan jari-jarinya pada mesin kasir.

Anna mengeluarkan beberapa lembar uang dollar sesaat setelah Diane memberikan nota tagihan untuknya. Nota itu ia selipkan ke saku jaketnya. Bagaimanapun nota itu tidak boleh hilang karena akan dipertanggung jawabkan pada laporan pengeluarannya.

"Kau tampak murung?" Diane menaruh kedua sikunya di atas meja dan menopang wajah dengan telapak tangan. Mengamati wajah polos di depannya.

"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kurang tidur." Anna menarik napas panjang dan mencoba tersenyum. 

"Apakah dr. Steve tidak memberikanmu waktu yang cukup untuk tidur?" Anna buru-buru menggeleng. Ia bisa dibilang terbiasa tidur larut malam apalagi jika dr. Steve mendapat jadwal malam dan mau tak mau Anna juga harus berada tak jauh dari dr. Steve.

"Oia, kau mendapat salam dari si pria tampan itu." Diane mengisyaratkan seseorang bernama Logan Hamilton. Seorang staff keuangan rumah sakit yang memang pernah beberapa kali mengajak Anna jalan. Hanya sekadar makan ataupun mengobrol di taman. Pria itu berperawakan tinggi dengan pakaian yang selalu rapi. Kulitnya pucat dengan tulang pipi tinggi dan rahang keras. Dia lembut dan sangat baik, setidaknya itu yang bisa disimpulkan Anna setelah beberapa kali bertemu dengannya.

"Sudahlah, aku akan ke sebelah untuk membeli makan. Sampai jumpa." Anna keluar dan kembali menimbulkan suara lonceng dan bergerak ke kafe yang letaknya tepat berada di sebelah laundry. Kafe itu sepi karena masih satu jam sebelum jam makan siang. Ia menghampiri kasir untuk memesan beberapa salad buah untuk dr. Steve dan sementara menunggu, ia mendudukkan diri di sebuah sofa berwarna krem dan memesan segelas cokelat panas. Semilir angin yang keluar dari mesin pendingin menerpa kulitnya. Ia mengeluarkan buku kecil dan sebuah pulpen dari tas-nya. Memeriksa catatannya, dan mengingat bahwa sore ini dr. Steve harus pergi ke rumah sakit di pinggir kota untuk memberikan penyuluhan.

Seorang pelayan berseragam biru itu menghampiri dan memberikannya sebuah bungkusan berserta tagihannya. Ia mengeluarkan beberapa lembar dollar dari sakunya lalu kembali ke ruangan dr. Steve.

"Terima kasih." kata dr. Steve saat ia menaruh makan siang untuk pria itu.

"Oia, aku hanya ingin mengingatkan kalau sore ini dokter ada janji dengan kepala rumah sakit untuk memberikan penyuluhan." katanya sambil menyebutkan nama rumah sakit yang jauh lebih kecil dari rumah sakit tempat praktik tuannya.

"Kau sangat membantu Anna." Ia mengedipkan sebelah matanya. Membuat gadis itu tersenyum.

Anna menggantung setelan yang baru saja diambilnya dari laundry dan memasukkannya ke sebuah lemari kecil yang ada di belakang ruang praktik. Mengeluarkan beberapa butir kamper dari laci dan menaruhnya di lemari. Mengambil tisu basah dari laci yang sama dan mengelap tangannya yang berbau wangi. "Dokter, aku sudah memisahkan surat-surat minggu lalu. Aku akan membuangnya jika dokter sudah mengecek." Anna berkata agak keras lalu membuat pesan di atas sebuah post-it berwarna kuning di atas surat-surat itu.

"Tentu saja Anna. Aku tau aku tidak perlu mengecek. Kau pasti tau mana yang penting dan mana yang tidak.Tapi baiklah, aku akan mengeceknya besok."

Anna kembali menunjukkan batang hidungnya di depan dr. Steve tepat saat pria itu menghabiskan makan siangnya. "Bagaimana keadaan ibumu?" dr. Steve menyesap air putihnya hingga tandas.

"Lebih baik. Aku hanya berharap penyakitnya tidak kambuh." Tiba-tiba hatinya terasa nyeri kala mengingat kondisi ibunya. Lucia Carter, ibunya mempunyai kebiasaan yang sangat buruk. Semenjak suaminya Cole Carter pergi, lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah bagi Annabel Carter. Ibunya mulai mengenal obat-obatan terlarang dan hobi berjudi, sama seperti ayahnya. Ibunya sudah dua kali masuk ke panti rehabilitasi dan seminggu yang lalu ia keluar dan satu-satunya harapan Anna adalah ibunya tidak akan pernah menyentuh barang haram itu lagi dan menghilangkan kebiasaannya berjudi.

Menjelang pukul tiga, Anna sudah duduk di belakang setir. Siap mengantarkan dr. Steve ke rumah sakit lain untuk memberikan penyuluhan. Sebenarnya ini tidak termasuk dalam tugasnya. Dulu keluarga Haynsworth mempunyai supir pribadi termasuk dr. Steve. Tapi beberapa bulan lalu supir itu mengundurkan diri dan akhirnya Anna yang mengajukan diri untuk membawa mobil ke manapun dr. Steve pergi. Awalnya, dr. Steve keberatan tapi ia akhirnya menyetujui dan memberikan sedikit lebih gaji untuk Anna yang dirasa akan dibutuhkan oleh gadis itu.

Dengan kecepatan rendah Anna menyusuri kota New York yang tampak ramai sore ini. Jalan raya tampak teratur, kafe dan restoran yang sepertinya tidak pernah sepi pembeli. Di sebuah perempatan ia memutar setirnya ke kanan, melewati kawasan yang agak sepi dari mobilitas dan berganti dengan sejuknya pohon-pohon rindang.

Mereka melewati sebuah florist dengan beraneka ragam bunga sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan mereka. Mobil berhenti di depan pintu masuk rumah sakit itu dan membiarkan dr. Steve keluar dari mobil. "Aku akan menghubungimu kalau sudah selesai." dr. Steve tersenyum dan Anna mengangguk cepat. Ia kembali menginjak gas menuju parkiran untuk memarkirkan mobilnya.

Ia keluar dari mobil dan menghampiri satpam untuk menanyakan kafe terdekat. Pria berseragam itu menujukkan lantai tiga sebagai pusat kosumsi di rumah sakit itu. Setelah mengucapkan terima kasih Anna pergi menuju lift. Sesampainya, setelah meneliti satu per satu ia akhirnya masuk ke sebuah coffe shop dan memesan secangkir latte.

Anna memperhatikan kafe itu. Kafe yang ada di sini bisa dibilang jauh lebih sederhana dibanding café di rumah sakit tempat dr. Steve praktik. Biarpun menu yang ditawarkan tidak jauh berbeda tapi harga menu di sini bisa dua kali lipat lebih murah. Ia menyesap lattenya dan merasakan tenggorokkannya menghangat.

***

"Kau boleh membawa mobil kalau kau mau." dr. Steve menawarkan mobilnya untuk dibawa Anna karena melihat hari sudah mulai gelap, tapi gadis itu menolak. 

"Tidak usah, dokter. Aku akan naik bus saja." Anna memberikan kunci itu ke dr. Steve lalu melambai pada Mrs. Haynsworth yang sedang berdiri di depan pintu menanti suaminya.

 "Apa kau tidak ingin makan malam dulu nak?" Mrs. Haynsworth mendekat dan kini berdiri di depannya.

"Aku masih punya beberapa makanan di kulkas. Aku tidak akan kelaparan." Anna terkekeh, menampakkan deretan gigi putihnya. Mrs. Haynsworth adalah wanita paruh baya yang masih begitu menawan di usianya yang mungkin akan menginjak setengah abad. Kulitnya putih dengan beberapa bintik merah yang akan terlihat kalau ia tersipu. Setahu Anna, pasangan Haynsworth hanya memiliki dua anak laki-laki yang kini tinggal berjauhan. Itulah mengapa keluarga ini amat menyayangi Anna. Selain karena tinggal berjauhan dengan kedua anaknya yang sedang menyelesaikan sekolah, mereka juga tidak mempunyai anak perempuan.

Saat mendengar kabar kalau ibunya masuk panti rehabilitasi, keluarga Haynsworth pernah mengajak Anna tinggal di rumah mereka. Tapi Anna secara halus menolak dan akhirnya keluarga itu membelikan Anna sebuah rumah sederhana yang ia tempati sampai saat ini.

***

Anna menunggu bus di halte terdekat. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam, tapi kota New York tidak pernah tidur. Sejauh matanya memandang masih banyak manusia-manusia hilir mudik. Semilir angin dingin menyapu kulitnya. Lampu-lampu saling berlomba untuk memancarkan cahayanya. Ia naik bus menuju istana kecilnya. Setelah turun dari bus ia menyempatkan diri pergi ke minimarket dekat rumahnya untuk membeli beberapa gelas soda dan aspirin untuk ibunya.

Ia membuka pintu dan langsung disergap oleh gelap yang pekat. Ia mencari stop kontak dan langsung membuat cahaya bertebaran. "Mom..." Ia berteriak menyusuri ruangan sambil terus menekan "on" pada stop kontak dan berakhir di kamar ibunya. 

"Mom." Ia mendekat dan melihat ibunya masih bergelung di ranjang. Sekali lagi ia menyalakan lampu yang langsung diantisipasi oleh gerak ibunya. 

"Anna." katanya dengan nada rendah. Memastikan bahwa yang baru saja mengganggu tidurnya adalah anak semata wayangnya.

"Aku membawakanmu aspirin." Anna tersenyum dan memberikan apa yang diminta ibunya. 

"Oohh... terima kasih. Aku benar-benar tidak menyangka akan sesulit ini keluar dari jerat obat-obatan itu." Ibunya mengangkat tubuhnya sedikit dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

"Oohh ayolah, mom, kau harus benar-benar bersih. Demi aku." Anna memberikan secangkir air kepada ibunya dan untuk kesekian kalinya meminta agar ibunya bersungguh-sungguh. Pasalnya, ini bukan kali pertama ibunya memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan itu. Sebelumnya, ibunya pernah berjanji untuk berhenti menjadi pemakai namun kembali terjerat karena merasa tidak mudah untuk berhenti.

"Sayang, kau tahu kalau aku selalu mencoba yang terbaik untukmu." Ia menelan aspirinnya dan menenggak air putihnya hingga tersisa setengah.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" Wanita itu menaruh bantal di perutnya dan menopang kedua tangannya pada bantal itu.

 "Baik." Anna berdiri dan menutup tirai yang berwarna hijau tua di kamar itu. 

"Ada pasta di kulkas, kau bisa menghangatkannya. Mommy tidak punya banyak waktu untuk memasak karena sakit kepala sialan ini." Ia meruntuk dan sekali lagi menandaskan isi gelasnya. Setelah mengucapkan selamat malam pada ibunya, ia mematikan lampu dan menghidupkan lampu tidur lalu menutup pintu kamar ibunya. Ia melangkah menuju dapur untuk membuat teh dan mengambil makanan yang dimaksud ibunya. Setelah merasakan perutnya kenyang ia kembali kamarnya. Membasuh diri dalam kamar mandi mungil di dalam kamarnya lalu dengan sebuah gaun tidur berwarna biru muda, ia menjatuhkan diri di ranjangnya. Merasakan ranjang empuk itu seakan memijit punggungnya hingga ia terlelap.

***

Pagi-pagi sekali Mrs. Carter sudah sibuk di dapur. Menyiapkan beberapa potong roti isi untuk Anna. "Kau bangun lebih cepat." Anna masuk ke dapur dengan setelan kemeja dan jaket lengkap dengan scarf dan jeans berwarna coklat tua. 

"Aku terlalu banyak tidur kemarin. kemarilah, aku membuatkan susu hangat kesukaanmu." Anna duduk dan langsung disodorkan sepiring roti isi dan susu hangat dalam cangkir dengan orrnamen bunga-bunga yang asapnya masih mengepul. Anna meminta sendok kepada ibunya yang masih berdiri untuk mengaduk susunya dan menyesapnya pelan. "Bagaimana kabar keluarga Hayn... Hayn apa sayang?" Ibunya sudah duduk di depannya dan mulai mengunyah roti isi buatannya.

"Hanysworth mom."

"Entah aku yang terlalu bodoh atau nama keluarga itu memang susah dihapal."

Anna tersenyum. Dari dulu ibunya memang tidak pernah bisa menyebutkan nama keluarga Haynsworth dengan sempurna.

"Mereka baik. Dan dr. Steve menyuruhku untuk berhenti berkerja untuknya." Kalau Mrs. Carter sedang minum mungkin ia sudah menyemburkannya ke arah Anna karena kaget.

 "Maksudmu? mereka memecatmu?" Ia menghentikan kegiatan makannya dan kini menatap Anna baik-baik.

"Tidak... tidak seperti itu. Dalam waktu dekat anaknya akan datang dan akan bertugas di klinik. dr. Steve menyuruhku untuk menjadi asisten pribadi anaknya."

"Oohh... bagus sekali kalau begitu. Aku pikir itu lebih bagus daripada harus menjadi asisten pak tua itu."

"MOM." Annabel melotot ke arah ibunya dan bilang. "Ingat apa yang sudah diperbuat keluarga Haynsworth kepada kita." Anna mulai memeriksa tasnya, mengecek agar tidak ada yang ketinggalan.

 "Aahh yaa... kau mengingatkanku lagi sayang. Uang, rumah dan pekerjaan untukmu. Sampaikan ucapan terima kasihku kepada keluarga itu." Mrs. Carter berbicara dengan nada lembut yang dibuat-buat seakan tidak benar-benar tulus.

"Aku harap mommy baik-baik saja hari ini. Aku sepertinya akan pulang larut. Sampai jumpa." Anna mencium pipi kanan ibunya dan melenggang keluar rumah.

***

Anna masuk ke rumah berukuran besar itu seperti biasa. Rumah dengan tingkat kemewahan yang bahkan tidak pernah ia impikan akan menjadi miliknya. Keluarga Haynsworth bisa dibilang keluarga yang cukup terpandang. Profesi kepala keluarganya yang seorang dokter tentu saja begitu mudah mengalirkan pundi-pundi uang yang kini terlihat jelas hanya dari pagar rumah mereka. Selain menjadi dokter di beberapa rumah sakit besar, keluarga Hanynsworth juga memiliki sebuah klinik umum. Klinik itu buka selama dua puluh empat jam selama tujuh hari penuh yang dikelola bersama saudaranya, dr. Raymond. Anna memberikan salam yang langsung disambut dengan senyuman hangat oleh pasangan Haynsworth. 

"Selamat pagi Anna, kau terlihat cantik hari ini." Mrs. Haynsworth langsung mengisyaratkan agar Anna mendekat. "Apa kau sudah sarapan? aku membuat pancake hari ini." Anna duduk di depan Liana dan langsung dihadapkan oleh pancake yang menggugah air liurnya.

 "Sepertinya enak."

"Tentu saja. Ayo coba." Anna mulai mencicipinya. Dan rasanya seperti bayangannya, sangat enak dan masakan Liana memang selalu enak. Liana seperti bayangan seorang istri yang begitu sempurna dan dr. Steve pasti beruntung memilikinya.

"Apakah suamiku sudah membicarakan mengenai kedatangan anakku?" Anna tiba-tiba tersentak mendengar Mrs. Haynsworth merubah topik pembicaraan dan Anna hanya bisa mengangguk karena rasa manis masih mendominasi mulutnya. "Kau pasti akan menyukainya Anna. Dia pria yang sangat tampan." Anna mencoba tersenyum setelah berhasil meminum air putihnya. "Aku harap kau tidak keberatan bekerja untuknya." Wajahnya terlihat berseri-seri seakan kedatangan anaknya adalah kebahagiaan terbesarnya.

"Jangan terlalu memuji Jullian. Anna akan kecewa saat bertemu kalau kau terus memujinya seperti itu." dr. Steve melihat semburat kekecewaan dalam wajah istrinya.

"Kenapa? anak kita memang tampan kan? Apa aku salah?" dr. Steve akhirnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya pelan, mengalah pada istrinya.

Anna mulai berfikir seperti apa kiranya anak dr. Steve. Liana selalu memuji anaknya tapi dr. Steve seakan menyangkal. Tapi, buat apa ia memikirkan rupa laki-laki itu. Toh, ia tetap harus menjadi asisten pribadinya seperti apapun wajahnya.

Anna mengeluarkan agendanya dan memberitahu jadwal dr. Steve sampai nanti sore. Harus sampai rumah sakit sebelum jam sepuluh karena ada janji dengan Mr. Fanks, salah seorang kerabat pasien yang ditanganinya. "Simpan yang lainnya Anna. Aku yakin aku akan tetap bertanya walaupun kau sudah membeberkan semua agendaku hari ini." dr. Steve memakai jasnya dan bersiap untuk berangkat.

***

Rumah sakit hari ini sepertinya ramai karena parkiran tampak padat. Setelah Anna menurunkan dr. Steve di pintu utama, ia memarkirkan mobilnya di tempat biasa dan masuk melalui lift karyawan.

 "Lama tidak melihatmu." Anna menoleh dan tidak menyangka Logan berdiri di belakangnya saat lift mulai sepi dan hanya menyisakan mereka berdua. Ia memakai seragam berwarna krem seperti biasa dengan dasi berwarna merah marun, celana bahan dan pantofel. Rambutnya di sisir rapi ke belakang dan penampilannya tampak sempurna hari ini.

"Apa kau keberatan kalau aku mengajakmu makan siang nanti." Logan maju selangkah, mensejajarkan diri dengan Anna saat lift mulai merangkak naik hingga Anna bisa mencium aroma maskulin pada tubuh Logan.

"Nanti siang? Boleh, aku ada di sini sampai nanti siang."

"Bagus, aku akan menjemputmu di ruang praktik dr. Steve. Sampai nanti." katanya saat pintu lift terbuka dan ia menghilang saat pintu lift tertutup.

Anna kembali ke orientasinya dan dalam sekejap pesona Logan hilang dalam pandangan dan pikirannya. Ia keluar dari lift dan langsung menuju ruang praktik. Clara sudah ada di meja kerjanya. Sibuk dengan map-map plastik yang bertebaran di atas mejanya.

"Ada setumpuk surat untuk dr. Steve yang perlu kau cek. Dan tadi pagi Mr. Drake menelpon. Hanya memastikan bahwa undangan untuk pesta-nya sudah sampai. Mungkin ada di antara setumpuk surat-surat itu." Clara melirik ke atas meja kecil tak jauh dari tempatnya duduk. Anna mendekati dan meliriknya sebentar.

"Oke, terima kasih Clara." Anna mengambil setumpuk surat itu dan menumpukkannya di lengan kanannya. Sebagian surat-surat berukuran kecil dan sisanya adalah amplop-amplop coklat besar tapi tidak terlalu berat. Ia membawa surat-surat itu ke dalam dan menaruhnya di mejanya. Ia mempunyai sebuah meja dan kursi kecil di belakang ruang praktik dr. Steve, bersama dengan beberapa lemari yang berisi pakaian dokter dan sebuah pot di sudut ruangan juga rak sepatu yang selalu tampak bersih.

Ia duduk di mejanya dan mulai membuka surat-surat itu. Beberapa surat berasal dari bank dan sisanya adalah undangan, salah satunya adalah undangan yang dimaksud Clara. Ia mulai menekan telepon yang ada di atas mejanya untuk menghubungi Mr. Drake, sekadar memberitahu bahwa undangannya sudah sampai dan akan segera disampaikan kepada dr. Steve. Ia lalu menuliskan 'undangan dari Mr. Drake.' Beserta tanggal dan jamnya ke buku agendanya.

Ia kembali meneliti surat-surat itu dan menghancurkan beberapa ke mesin penghancur kertas yang sekiranya tidak penting. Sedangkan yang penting ia masukkan ke sebuah map putih transparan dan ia taruh di atas meja dr. Steve. Ia keluar dan melihat Clara duduk membelakanginya. Terlihat sibuk dengan pulpen yang dipegangnya dan sebuah kertas yang ada di depannya. 

"Ada yang bisa kubantu?" Anna mendekat dan Clara menoleh, Menatap Anna yang menjulang tinggi di sampingnya. 

"Apa tidak ada yang bisa kau kerjakan di dalam?" Clara berpindah duduk dan Anna menjatuhkan diri di kursi Clara. 

"Tidak, jadi biarkan aku membantumu."

"Kau yang memaksa ya, baiklah." Clara tertawa dan memberikan beberapa form kepada Anna. Menyuruhnya menyalin data-data pasien dr. Steve. Selama beberapa menit mereka hanya diam. Sama-sama sibuk. Tapi akhirnya Anna membuka suaranya.

"Clara, apa kau tau mengenai anak dr. Steve?" Clara menoleh sedangkan Anna masih merasa pertanyaannya tidak penting.

"Anak dr. Steve?" Clara mengulangi pertanyaan Anna dan kali ini membuat Anna ikut menoleh ke arahnya. "Aku hanya tau kalau dr. Steve mempunyai dua anak laki-laki yang tinggal berjauhan. Lalu, kenapa kau menanyakannya?"

"Salah satu dari anaknya akan datang ke sini dan bertugas di klinik. Dokter menyuruhku menjadi asisten pribadinya. Kalau tidak salah Jullian yaa..." Anna mulai menatap Clara dengan tatapan tajam. 

"Jullian Peter Haynsworth. Tidak salah lagi, tentu saja dia karena salah satu anak masih sekolah di sekolah menengah."

"Kau pernah bertemu dengannya?"

"Sudah lama sekali. Aku bertemu dengannya beberapa hari sebelum libur musim dingin. Ia sempat ke sini dan menjemput dr. Steve."

"Oya, bagaimana orangnya?" Anna mulai terlihat antusias.

"Tampan dan sedikit berbicara." Hanya itu informasi yang bisa Clara berikan. Bagaimanapun ia hanya mengenal Jullian sekilas dan dalam pandangannya pria itu begitu dingin. Tapi sepertinya untuk informasi yang ini tidak perlu diberitahukan pada Anna. Biarlah Anna menilai sendiri.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Anna. Sebuah panggilan dari dr. Steve. "Yaa dok, oohh begitu... baiklah... oia, sebelum jam dua kita sudah harus berada di klinik. Aku mengerti... hati-hati..." Anna tertawa lalu mematikan panggilannya.

"Apa kau mau makan siang keluar?" Anna menyimpan ponsel dalam sakunya.

"Tidak, ibuku membawakan grilled cheese untukku."

"Baik sekali. Kau beruntung Clara."

"Tapi sepertinya kalau urusan cinta kau lebih beruntung Anna." Clara melirik Logan yang berjalan mendekati mereka, dengan pesona yang bahkan tidak akan pernah bisa ia tutupi. Langkahnya begitu mantap dan teratur.

"Aku dan Logan hanya berteman." Anna berbisik tepat saat Logan sudah berdiri di depan mereka.

"Suster Clara, boleh aku meminjam sahabatmu sebentar."

"Ooohh... tentu saja Mr. Hamilton. Kau hanya perlu memastikan ia kembali dan tidak kekurangan satu apapun." Mereka tertawa. Sebelum pergi Anna menanyakan Clara apakah ia ingin menitip sesuatu, tapi wanita itu menggeleng sambil tersenyum dan akhirnya menatap Anna dan Logan yang semakin menjauh.

Mereka keluar dari hiruk-pikuk rumah sakit menuju sebuah restoran di depan rumah sakit. Menyebrang melalui zebra cross saat lampu lalu lintas menunjukkan gambar manusia berwarna hijau. Lalu masuk ke dalam resto itu dan berdiam beberapa detik untuk menemukan meja yang kosong. Setelah menemukan di pojok ruangan, mereka langsung memesan makan dan minum.

Seorang pelayan bertopi dan celemek menuliskan pesanan mereka di selembar kertas. Setelah mengulangi pesanannya untuk memastikan tidak ada yang salah, pelayan itu menyuruh mereka menunggu sebentar.

Anna menumpukkan kedua tangannya di atas meja melirik ke sekeliling. Memandang para pelayan yang sibuk hilir mudik. Menatap kasir yang sibuk dengan uang di laci mejanya. Di pojok ruangan terdapat sebuah lemari kaca yang menyediakan berbagai macam kue dan sebuah lemari es yang menyimpan berkaleng-kaleng soda.

"Bagaimana kabar Emily?" Anna bertanya tepat saat pesanannya datang. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan, Logan menjawab. 

"Baik, ia akan lulus tahun ini." Anna terlihat mengangguk. Ia ingat bagaimana pertama kali ia mengenal adik Logan, Emilia Hamilton. Gadis cantik yang begitu kurus dan tinggi. Anna tidak mengerti apa saja yang dimakan gadis itu sehingga bisa menghasilkan tubuh selangsing itu. Gadis itu bahkan terlihat jauh lebih dewasa dibanding umurnya yang baru menginjak remaja. Kulitnya coklat keemasan, sangat berbanding terbalik dengan Logan yang berkulit Pucat. Sepertinya gadis itu menghabiskan banyak waktu di pantai tropis untuk berjemur. Anna juga pernah mendengar bahwa di usianya yang masih remaja Emily sudah melakukan berbagai macam operasi plastik untuk tampil jauh lebih cantik.

Mereka mengalihkan pembicaraan ke sesuatu yang lebih menarik. Membicarakan pekerjaan mereka, bahkan gosip-gosip yang sedang beredar di rumah sakit tempat mereka bekerja.

"Terima kasih sudah menemaniku makan siang." Mereka hampir sampai di ruang praktik dr. Steve.

 "Sama-sama." Anna masih berdiri di depan pintu ruang praktik dan Clara tidak terlihat di mejanya. Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Logan Menjauh dan Anna masuk ke ruangan. dr. Steve masih belum nampak padahal seharusnya mereka sudah dalam perjalanan menuju klinik.

Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat untuk dr. Steve. Tidak lama pesan balasan masuk.

Lima menit lagi aku menunggumu di lobi.
dr. Steve

A

nna langsung menyambar tas-nya dan mulai berjalan menuju parkiran. Tidak lupa ia menenteng mantel dr. Steve yang masih tergantung di wooden hanger.

Ia membunyikan klakson dan membuat dr. Steve yang sedang mengobrol menoleh seketika. Setelah mengucapkan salam kepada sahabatnya. Ia melesak ke dalam mobil. Anna langsung menginjak gas dan roda mobil mulai berputar.

"Dokter, anda mendapat undangan dari Mr. Drake." katanya sambil menyebut tanggal dan jamnya. "Beritahu aku kalau waktunya sudah dekat." katanya sambil mengerling pada Anna.

TBC
LalunaKia
03 Desember 2017

Ada yang masih nyimpen cerita ini di library?

Continue Reading

You'll Also Like

11.8K 1.8K 12
Rumpang Project #1 Awalnya, Hara dijodohkan dengan Jefin. Namun Javas menyuruhnya untuk menolak. Sikap pria itu terlihat seperti seseorang yang tidak...
13.3K 2K 36
"Just Don't Know" Revised Version C A M P U S S T O R Y Mathematics X Chemical Engineering [General Fiction, Romance] Ada yang perlu disertakan...
700K 27.2K 28
Judul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Hanya saja, walau kedekatan mereka semakin...
27.9K 2.8K 17
Indira, 30 tahun. Masih menyimpan nomor ponsel sang mantan, dengan nama "Dear". Hubungan mereka kandas hampir dua tahun yang lalu. Tidak jelas apa al...