Simple Past

By AleynaAlera

259K 5.3K 386

Kalau ada yang dibenci oleh seorang Tara dari masa kecilnya, itu pasti Reza. Anak laki-laki yang sayangnya ta... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15

Chapter 12

13.6K 359 41
By AleynaAlera

Tara tersenyum pelan sambil menahan tawanya. Senin pagi tercerah dalam hidupnya. Ketika  senin pagi tercerah dalam hidupnya. Ketika masih bisa bermalas-malasan tanpa menjadi anggota kemacetan senin pagi ibukota yang sangat terkenal itu.

Dia membalik lembar album foto di hadapannya sambil menyilakan kakinya di atas karpet dan menyesap cokelat panasnya. Well, awalnya dia sedang sibuk mencari majalah atau koran atau apapun itu untuk dibaca dan menemani sarapannya. Tapi, album bersampul hitam yang ada di bawah meja ruang tv membuat Tara merubah rencananya. Pagi-pagi ditemani album ini cukup bagus juga, pikir Tara.

Saat Tara membuka lembar berikutnya, matanya membelalak lebar. Siapa yang tidak akan kaget kalau menemukan wajah bulat berminyak dengan rambut dikucir satu serta beberapa corengan lumpur dimuka miliknya ada di album orang lain?? Oh, kenapa musuhnya itu bisa punya foto ini sih?

Dan tidak kalah heboh, di foto yang dia ingat diambil saat outbound itu Tara menyengir lebar –well, ada Reza dan beberapa temannya di kelas VI B sih disana, tapi tetap saja memalukan- dengan gigi kelinci berantakannya saat SD dulu. Tara pun membuka pelapis bening di lembar itu, berniat mencuri foto memalukannya itu ketika suara tangga berlapis kayu di belakangnya berbunyi.

Dengan cepat Tara menutup album itu dan mulai sibuk dengan roti dan cokelat panasnya.

“Mbok Sum masak apaan Tar?”

Tara menoleh cepat dan tersenyum kaku. Oh, calm down Tara! Lo nggak habis nyuri! Cuma ngambil barang lo aja dan nggak jadi. “Nggak tau gue, tadi pas gue bangun rumah sepi.”

Reza mengangguk-angguk sambil berbelok menuju dapur. “Mbooook, nggak masak nih mbook??” teriak Reza menggema keseluruh isi rumah.

Wo o ow, kalau-kalau gue lupa Reza Moretti itu anak cowok manja dulu, dan kayaknya masih belom berubah. Pikir Tara sambil mendelikan matanya dan tersenyum masam. Ya.. nasib..nasib..

*****

“Abis si mbok nggak enak mau masuk kedalem,” jelas Mbok Sum yang sekarang sedang memasak di dapur ditemani Reza dan Tara.

Tara pun mengangkat sebelah alisnya menatap Mbok Sum bingung, sedangkan my dearest hubby –ya ampun, gue nggak salah ngomong kan??- sedang sibuk dengan cofee maker di pojokan dapur.

“Kenapa mesti nggak enak coba, Mbok?” tanya Tara.

Mbok Sum tertawa pelan. “Ya... takut ganggu gitu mbak, kan... ehm masih pengantin baru gitu,”

Tara yang baru ngeh pun langsung merasakan pipinya memerah. Well, pertanyaan bodoh Tara Arsjad –ehm, Tara Moretti gitu sekarang?.

“Eh ia mbok, kotak p3k dimana yah?” tanya Tara mencoba mengalihkan topik yang sudah sukses membuat dia salting sendiri itu.

Mbok Sum yang sedang mangaduk sup kacang merahnya pun mengeritkan keningnya bingung. “Kenapa emang mbak?”

“Punggung aku sakit-sakit nih Mbok,”

Mbok Sum menunjuk laci disamping Reza sambil senyum-senyum yang semakin membuat Tara mengerutkan keningnya bingung. Dan begitu Tara sampai di laci samping Reza, dia juga melihat musuhnya itu tertawa puas melihat senyuman Mbok Sum.

“Ia nih mbok, Tara ‘nakal’ semalem,” sahut Reza. “Nggak mau nurut gitu sama saya.”

Well, great job Reza! Dan sekarang Mbok Sum bakal mikir yang nggak-nggak.

“Kenapa? Lo emang nggak nurutkan pas gue suruh pindah ke tempat tidur?” bisik Reza pelan saat Tara melemparkan tatapan tajam membunuhnya pada Reza. Salahkan Reza juga yang membuat punggungnya remuk karena tidur di kasur angin yang ternyata ‘sangat’ nyaman itu.

******

Ternyata nikah itu nggak semenyeramkan seperti yang gue bayangin, pikir Reza. Matanya masih belum pindah dari setumpuk e-mail di tabletnya. Setelah kenyang sarapan dan membantu istrinya –yah, kenyataannya teman masa kecilnya itu sekarang sudah sah menjadi nyonya Moretti- merapihkan semua barang-barangnya, Reza pun kembali harus berkutat dengan email-email penting yang harus dibelasnya cepat.

Ponselnya bergetar, sambil mengetik pesan balasan, Reza meraih ponselnya di meja dan mengangkat teleponnya.

“Réza?”

Mendengar namanya diucapkan dengan dialek italia yang kental, Reza pun meninggalkan pekerjaannya dan terduduk kaku. Dia jauhkan ponselnya dan menatap layar ponselnya, memastikan siapa yang meneleponnya.

“Ya ada apa?” jawabnya dingin.

Terdengar hembusan nafas berat di ujung telepon. “Kau benar-benar serius dengan keputusanmu?”

Well George, kenyataannya sudah terjadi kan? Berarti aku serius.”

“Ayahmu....,” dia terdiam sejenak. “Kenapa kau bahkan tidak mengundangnya?”

Reza tertawa masam. “Aku lupa alamatnya, lagipula aku tidak punya waktu untuk mengirim undangan pernikahanku lewat DHL.”

George adalah tangan kanan ayahnya, walaupun begitu dia masih lebih menghargai laki-laki yang seumuran ayahnya itu di bandingkan dengan ayahnya sendiri. Setidaknya George lebih bergarga menurutnya di bandingkan dengan tuan besar Moretti itu.

“Reza, walau bagaimanapun juga di tetap ayahmu. Masa la-”

“George, kau tidak sedang berniat merusak moodku di saat aku sedang berbahagia menghabiskan waktuku dengan istriku kan?” potong Reza cepat. Dia tahu jelas apa yang akan George bilang.

George diam. “Baiklah, aku selalu berharap yang terbaik. Sampaikan salamku pada istri barumu. Semoga pernikahan kalian selalu diberkati.”

Reza memijat pelipisnya. “Ya, terimakasih George.”

Dan dia pun menaruh ponselnya di atas meja. Menyelonjorkan kakinya dan menyender dalam di sofa teras rumahnya. Setidaknya satu masalah untuk sementara ini sudah selesai, batin Reza sambil mengusap wajahnya.

“Lo liat loose tee gue yang gambar mukanya Jim Morisson nggak?” suara Tara tiba-tiba di belakangnya membuat Reza menoleh kaget.

Dan perempuan itu balas menatapnya bingung. “Lo kenapa Za? Muka lo kayak abis dapet kabar di pecat tanpa hormat aja?” Tara mengerutkan keningnya sejenak lalu matanya menatap Reza sangsi. “Lo nggak di pecat kan?? Jangan bilang lo di pecat dan jadi pengangguran?? Ya ampun! Gue belom siap hidup berkeluarga dan hanya bergantung sama profit dari design shop!”

Dan racauan Tara kemudian membuat Reza tertawa heboh. Hidup berkeluarga?? Apa teman masa kecilnya ini berfikir mereka memang sedang benar-benar mendirikan sebuah keluarga? Come on Tara..., you must be kidding me.

*****

“Ew, mam ini minuman apaan sih? Katanya jus tapi kok ngga karuan gini?” sahut Tara lalu mengambil gelas berisi air putih dan menenggaknya cepat.

Yah, setelah kegiatan merapihkan barang-barangnya siang tadi yang sangat hectic itu, dia dan musuhnya itu pun harus datang kerumah orangtuanya malamnya. Satu lagi kebiasaan wajib keluarga Arsjad selain sarapan bersama yang baru Tara tahu: berkunjung kerumah orangtua setelah menikah. Ya.. ya... jangan tanya apa lagi kebiasaan wajib keluarganya ini, karena dia sendiri bahkan tidak bisa mengulang satupun wejangan nenek yang berisi kutipan-kutipan singkat mengenaik kebiasaan wajib itu yang baru saja disampaikan kurang dari lima menit yang lalu.

“Temen arisan mama yang kasih, katanya biar bisa cepet dapet anak gitu,” jelas mama yang membuat mata Tara seolah-olah sedang bersiap melompat dari tempatnya.

“Ih mam, nggak ah.” Sahut Tara sambil menyodorkan gelas yang baru habis seperempatnya itu. “mending mama suruh si Reza aja deh yang minum.” Sahut Tara sambil menunjuk kamar Arya tempat suami –oh oh oh, ini masih terdengar seperti khayalan- dan adik-adiknya berkumpul dan sibuk dengan PES.

“Terus nanti yang hamil Reza dong?”

Tara melemparkan tatapan kesal pada mamanya. “Mam.”

Mama tertawa pelan. “Yaudah, nanti lagi aja minumnya,” jawab mama mengalah. “Kak, akhirnya kamu nikah juga ya..,” sahut mama tiba-tiba.

Tara menyipitkan matanya dan menatap mama penuh tanya.

“Mama kira kamu masih trauma sama Andre itu dan mutusin buat menjomblo seumur hidup.”

Tara tersenyum kaku. Yah, memang yang namanya feeling seorang ibu tidak pernah meleset. “Nggak lah ma.” Jawab Tara sambil tersenyum singkat.

Mama pun merangkul bahunya. “Nanti kalau ada bertengkar sama Reza harus di selesain saat itu juga, jangan dibiarin dan akhirnya jadi bom waktu.” Ujar mama. “Kalian udah janji buat bersatu dalam pernikahan, terima semua konsekuensinya dan jangan mainin janji kalian sama tuhan itu.”

Tara menoleh dan menatap mamanya. “Thanks Mam...”

*****

“Gue jadi inget waktu jaman dulu tuh, kalau lagi nggak ada kerjaan gue main CS sama anak-anak kantor,” suara Reza terdengar di tangga yang diikuti dengan suara adik-adiknya.

“Enak banget ya kerja lo Mas?”

‘Mas?’ radar di telinga Tara langsung aktif begitu mendengar panggilan adiknya pada Reza. Bahkan dia aja yang udah dua puluh tujuh tahun jadi kakanya cuma mereka panggil pake nama.

“Gue mau kuliah tekhnik juga deh, kayaknya keren gitu kerjaannya kaya lo gitu mas,”

Dan Arya juga manggil tuan-super-menyebalkan itu dengan mas???

“Yang keren kerjaannya apa main gamenya?”

Reno tertawa. “Kerjaannya lah.”

Dan begitu ketiga manusia berkelamin jantan itu turun, Tara semakin menekukan wajahnya dan membaca majalah desain di hadapannya.

“Tar, balik yuk,” sahut Reza yang kemudian membuat Tara mau tidak mau mendongak.

Nenek berjalan menuju ruang tv dan bergabung dengan mama, Tara, Papa, Reza dan kedua adiknya. “Ngapain pulang cepet-cepet. Tidur aja disini, lah orang kamarnya Tara juga masih kosong.”

“Ia tidur sini aja deh, gue masih kangen rumah.” Sahut Tara sambil kembali pada artikel desain interior di majalahnya.

*****

Dan kebesokan paginya, untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, tidak ada yang menganggunya saat sedang tidur di kamar ini untuk ritual sarapan pagi. Yah.. mungkin kayak pikirannya Mbok Sum kali yah? Pikir Tara. Dia pun menggeliat malas di tempat tidurnya, membuka matany dan menatap Reza yang sedang memperhatikan deretan foto yang digantung memenuhi sisi tembok di samping meja gambarnya.

“Ngapain lo liatin foto gue? Mau nyolong ya? Terus melet gue??” ujar Tara dengan nada menuduh.

Reza terkekeh pelan. “Itu foto si Alisa kan??” tanya Reza sambil menunjuk salah satu foto di hadapanya. Tara pun bangkit, keningnya berkerut melihat foto cewek super nyebelin itu bisa ada disana tanpa sepengetahuan Tara.

Dia pun mencibir pelan. “Kalau muka mantan sih jelas aja ya?” komentar Tara.

Reza pun menoleh dan menatap Tara bingung.

“Ia, si Alisa, mantan lo jaman SD. Lo tau nggak kalau tuh anak pernah gencet gue bareng temen-temennya cuma gara-gara gue ke kantin bareng sama lo jaman SD??”

Reza tertawa. “Seinget gue, pacar pertama gue itu Elle. Temen SMA gue waktu di Italy. Lo serius si Alisa sampe ngegencet lo gitu? Ya ampun, anak SD??”

Tara hanya tersenyum kecut. Kenapa musuhnya ini jadi senyum-senyum seneng sih? Bangga gitu di perebutin dari jaman SD?

“Intinya, masa kecil gue itu suram karena ada lo disana.” Tambah Tara. “Mana teh buat gue?” protes Tara begitu melihat cangkit teh yang sedang di pegang Reza.

Reza mengendikan bahunya. “Gue kan nggak tahu kalau lo bakal bangun jam berapa,”

“Mau,” Tara pun menyambar cangkir Reza menenggak teh keluarga Arsjad yang merupakan favoritnya lalu menghirup aromanya. Dan..

“Lo kenapa Tar??” sahut Reza bingung sambil mengikuti Tara yang langsung berlari ke kamar mandi, sibuk memegangi perutnya dan mengeluarkan teh yang sudah hampir habis di tenggaknya tadi.

“Uh.. enek gue,” sahut Tara sambil berkumur. Dia pun melirik jam di kamar mandi. “Kayaknya gara-gara belom makan deh padahal udah jam sepuluh. Maag gue kambuh nih kayaknya,” sahutnya sambil kembali menunduk di wastafel kamar mandinya yang serba cokelat.

*****

Thanks buat yang ngikutin terus cerita ini terus buat komen dan vote-nya juga semuaaa :) gue baca semuanya walaupun seperti biasa, suka  bingung sendiri mau bales apa :)) makasih juga buat @DestieAnanta dan @AtikaAlison atas masukannya yang akhirnya bikin nggak stuck waktu ngerjain chapt. ini.... 

Continue Reading