Peka Banget! 「END」

By andhyrama

1.2M 57.3K 14.7K

Ketika Cantika dan Karlita-dua cewek pengidap kesehatan mental-bertemu dengan sosok cowok yang peka banget. M... More

PREVIEW
PENGANTAR
PROLOG: CANTIKA
PROLOG: KARLITA
02. KARLITA: AKU SAMPAH!
03. CANTIKA: DIA DATANG!
04. KARLITA : AKU SENDIRI!
05. CANTIKA: LIHATLAH DIRIMU!
06. KARLITA: BUANG WAJAHMU!
07. CANTIKA: DIA MENGERTI!
08. KARLITA: TIDAK AKAN ADA LAGI!
09. CANTIKA: MEMBUATKU LUPA!
10. KARLITA: MEMBERI JANJI!
11. CANTIKA: TERIMA TANTANGAN!
12. KARLITA: BUKAN URUSANKU!
13. CANTIKA: INGIN MENYERAH!
14. KARLITA: TAK KUMAAFKAN!
15. CANTIKA: DIA MENGERIKAN!
16. KARLITA: RASANYA DAMAI!
17. CANTIKA: MAHKOTA BUNGAKU!
18. KARLITA: DIBUNGKUS PLASTIK!
19. CANTIKA: KENDALIKAN EMOSI!
20. KARLITA: JADILAH PEMAAF!
21. CANTIKA: TEPATI JANJI!
22. KARLITA: ADA MASALAH!
23. CANTIKA: ALASAN KLASIK!
24. KARLITA: AKU BERGUNA!
25. CANTIKA: JATUHKAN LUTUT!
26. KARLITA: TIDAK MUNGKIN!
27. CANTIKA: BERLARI PERGI!
28. KARLITA: PECAHKAN KACA!
29. CANTIKA: AKU BAHAGIA!
30. KARLITA: HIDUP KEMBALI!
EPILOG: CANTIKA
EPILOG: KARLITA

01. CANTIKA: AKU ISTIMEWA!

155K 5.2K 2.4K
By andhyrama

Aku bangun dan memperhatikan tanganku, masing-masing masih punya lima jari. Aku buka jemariku dan menutupnya, semuanya tampak normal. Aku bangkit dan melihat kamarku. Empat pigura berurutan dari paling kecil ke besar, barisan buku di rak sudah sesuai dari paling pendek ke paling tinggi, sepatu di pinggir tembok sudah sempurna dari paling cerah ke paling gelap. Semuanya masih rapi.

Tanganku membuka selimut dengan hati-hati, lalu mencari sandal di dekat ranjang. Sandal putihku ada dalam posisinya yang lurus dan simetris, sempurna! Kalkulator di meja belajarku kenapa tidak lurus dengan ponsel di sampingnya? Aku mendekat dan membenarkan posisi kalkulatorku, sempurna!

Astaga! Ini benar-benar gawat! Aku begitu panik saat melihat rambut di lantai. Aku memungutnya dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di dekat pintu kamar mandi. Rambutku tidak boleh rontok! Bagaimana jika aku terkena kanker? Bagaimana jika aku botak? Aku mengatur napas agar berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak. Tika, kamu tidak akan mati hanya karena satu rambut terjatuh ke lantai.

Kini, aku mencuci tangan di wastafel. Aku perhatikan wajahku di cermin. Aku tidak ingin melihat wajahku lama-lama setelah bangun tidur, itu membuatku takut. Aku takut jika melihat satu bintik hitam, satu jerawat, atau area gelap di bawah mata. Akan tetapi, tetap saja aku memandangi cukup lama sembari menyisir rambut dengan jemari secara perlahan.

Bayangan seseorang dalam cermin itu memiliki gigi yang putih dan rapi, mata yang besar dengan bulu mata lentik, hidung mancung nan simetris, bibir tipis yang manis, semuanya tampak sempurna. Tika, wajahmu sudah sangat cantik, jangan khawatir. Tidak akan pernah ada yang mengataimu jelek. Jika ada, bawa dia ke klinik mata!

Aku melangkah keluar dari kamar mandi yang bergabung dengan kamar tidur di apartemenku ini. Di depan ranjang king size-ku, aku melihat ke jam dinding yang posisinya satu meter lurus di atas sandaran ranjang. Aku amati jarum jam dengan saksama sampai jam menunjukkan pukul enam tepat. Ini saatnya mandi!

Di kamar mandi, aku menyediakan jam beker yang aku set agar pukul tujuh berbunyi. Jadi, aku harus mandi selama satu jam saja, tidak kurang dan tidak lebih. Setelah mandi dan memakai pakaian, aku menuju ke meja rias. Aku memandang wajah di cermin besar. Aku tersenyum sembari mengeringkan rambut dengan hair dryer. Setelah dikeringkan, aku menyisir rambut sembari mengukur tingkat kelurusannya dengan penggaris. Tidak boleh ada lekukan sedikit pun!

Saatnya untuk sarapan! Aku menuju ke dapur dengan langkah yang teratur, itu artinya aku harus berjalan lurus, tidak boleh menginjak perbatasan ubin, dan langkahnya pun harus sama panjang.

Apartemenku ini punya beberapa bagian, di depan ada ruang tamu kecil, di sana hanya ada dua kursi kayu panjang dan meja kaca yang rendah. Dibatasi sekat, selanjutnya ada ruang tengah di mana ada sofa besar yang di depannya ada meja kayu rendah, lemari pendek dengan televisi LED enam puluh inci. Di bagian tepi yang ada pintu ke kamarku, meja panjang setinggi satu meter berada menempel dinding memajang vas-vas bunga.

Tak sampai di situ, ruang tengah juga dihiasi delapan bingkai lukisan bunga yang sangat indah. Di bagian belakang, ada dapur minimalis dengan meja makan dan empat kursi mengelilinginya. Di samping dapur, ada ruang untuk mencuci, lalu bagian terakhir ada balkon untuk menjemur pakaian. Di dekat jemuran pink, itu ada rak untukku menaruh pot-pot bunga.

Di dapur, apa yang aku lakukan pertama adalah mengecek kulkas. Aku menghitung jumlah persediaan makanan. Ada buah-buahan, telur, susu, roti tawar, dan sayuran. Semua makanan harus fresh, tidak ada bahan pengawet, pemanis buatan, dan pewarna makanan. Seratus persen sehat! Aku membuat roti telur goreng, itu menghabiskan tiga kali percobaan karena aku ingin bentuknya sempurna. Biasanya, sampai puluhan kali percobaan. Syukurlah sudah ada perkembangan.

Tentu, saat yang paling krusial di aktivitas pagiku adalah dandan. Aku merias wajahku secara perlahan, jika ada satu titik saja yang salah, aku akan menghapusnya dengan tisu dan mengulanginya dari awal. Aku harus tampil sempurna, tidak boleh ada cela sedikit pun. Lipstik tidak boleh terlalu mencolok, tetapi harus membuat bibirku tampak segar. Bedak dan blush on tidak boleh terlalu tebal, tetapi harus mampu membuat wajahku tampak flawless. Maskara, eyeshadow, dan eyeliner pun sama, harus pada takaran yang tepat.

Aku habiskan waktu dua jam untuk berdandan hingga aku puas dengan hasilnya. Aku panik saat melihat tisuku sudah hampir habis, aku harus segera membeli tisu lagi. Aku harus beli banyak! Aku tidak mau besok menderita!

***

Aku berangkat kuliah menaiki taksi, aku selalu membawa botol pewangi ruangan beraroma lavender. Aku akan suruh sopir taksi memakai antiseptik sebelum memegang botol pewangi ruanganku, kemudian aku suruh dia menyemprotkan pewangi itu selama lima detik ke dalam taksi. Aku tidak akan tenang tanpa aroma lavender di dalam kendaraan. Aku sangat membenci kemacetan, sehingga di dalam kendaraan, aku akan mengalihkan fokus dengan memainkan game 2048 di iPhone 6s dengan case berwarna pink milikku.

Kampusku ini punya tata bangunan yang cukup rapi. Masuk gerbang utama, aku akan langsung melihat kantor pusat dengan posisi memanjang dengan gedung-gedung lain yang menghadap ke selatan, yaitu langsung berhadapan dengan lapangan besar untuk upacara. Di belakang gedung-gedung rendah itu, ada taman luas yang cukup panjang. Di depan taman yang dikelilingi jalan itu, ada gedung-gedung tinggi yang mewakili setiap fakultas.

Dari barat ada Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Matematika dan IPA, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Hukum, dan gedung untuk Progam Pascasarjana. Semua gedung bentuknya sama, hanya warna catnya saja yang beda. Yang membuatku senang adalah warnanya dari barat ke timur adalah warna pelangi; merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Hanya gedung untuk Progam Pascasarjana saja yang bercat putih. Di belakang gedung-gedung itu, hanya dibatasi jalan beraspal, masih banyak tempat lagi seperti; gedung perpustakaan, gedung kesenian, gedung olahraga, lapangan tenis, lapangan basket, kantin, dan parkiran belakang.

Sebenarnya aku bisa masuk lewat gerbang timur, lalu berjalan dari samping lapangan tenis sampai gedung kesenian, dan menyeberang ke gedung Fakultas Bahasa dan Seni. Namun, aku harus berjalan sepuluh ribu langkah setiap hari. Jadi, aku memilih jalur yang lebih panjang lewat gerbang utama–gerbang yang menghadap selatan.

Jika berada di luar ruangan, seperti sekarang, aku harus menyiapkan segalanya. Walau aku sudah memakai baju lengan panjang, celana panjang, kaus kaki di dalam sepatu kets hitamku, masker, kaus tangan, tetapi aku masih harus memakai payung untuk melindungi rambutku yang lurus sempurna ini. Itu semua karena aku tidak mau ada bagian kulitku yang terkena sinar matahari secara langsung. Aku juga harus berjalan dengan hati-hati karena aku tidak mau menginjak sampah. Aku harus selalu tersenyum karena aku takut dikatakan jutek oleh orang lain. Sayangnya, tidak ada orang yang melihat senyumku karena aku pakai masker.

Di kelas, aku membersihkan bangkuku terlebih dahulu sebelum duduk. Walaupun dosen kali ini tidak masuk dan hanya memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah, aku tetap mengeluarkan buku binder, pensil, dan penghapus yang serba pink dari tas gendong hitamku yang besar. Aku tidak mau memakai bolpoin karena akan sulit dihilangkan jika aku salah menulis. Namun, di saat tertentu aku dituntut menggunakannya. Ketika itu, aku akan menyobek kertas jika ada kesalahan di tulisanku. Aku benci memakai tipe-x untuk menghapus kesalahan saat menulis dengan bolpoin. Tipe-x tetap saja meninggalkan jejak yang buruk di kertas, sangat tidak enak dipandang oleh mataku yang ingin segalanya sempurna.

"Tika, kamu sudah tahu jadwal latihan, kan?" tanya Dista yang duduk di sampingku.

Dista adalah temanku. Dia punya wajah yang cantik seperti aktris, kalau aku lebih seperti bidadari. Dia punya selera berpakaian yang sok mengikuti tren, kadang dia memakai pakaian yang memperlihatkan bahunya, memakai kaus ketat yang dilapisi kemeja kotak-kotak kebesaran, jaket kulit dengan celana panjang ketat dan sepatu bot yang semuanya hitam. Bahkan, dia juga menyemir rambutnya. Total sudah 23 kali dia mengganti warna rambut selama hampir empat semester ini, untungnya sekarang rambutnya sedang hitam. Walau begitu, dia mahasiswa yang cukup pintar, dia suka sekali membaca novel. Sehari bisa dua sampai tiga novel dia baca, makanya dia punya kantung mata yang agak gelap karena sering begadang. Kami berdua sama-sama satu jurusan, yaitu Sastra Indonesia. Ekskul kami pun sama, teater.

"Tidak perlu mengingatkanku, aku sudah menyusun jadwal kegiatanku dengan sangat terperinci, dan aku tidak akan lupa," kataku dengan berbangga diri.

"Kapan kita latihan?" tanya dia seakan mengecekku.

"Hari ini jam lima."

"Diundur, jadi besok," jawabnya yang tampak senang karena aku salah.

"Tidak ada yang mengatakannya padaku!" kataku yang mulai agak panik. "Bagaimana, sih? Masa jadwal latihan diubah seenaknya. Kita semua kan sudah sepakat setiap Selasa dan Sabtu kita latihan. Aku harus menyusun jadwal kegiatanku dari awal lagi dong," keluhku dengan kesal.

"Cek grup WhatsApp, dong!"

"Aku tidak suka membuka grup itu, kebanyakan isinya tidak berfaedah. Lagi pula, kalian mengetik dengan bahasa yang tidak baku dan suka disingkat, dibalik, bahasa Inggris yang dicampur-campur bahasa daerah. Aku benci ketidakaturan!" ungkapku yang sebal.

"Alasan yang selalu sama," jawab Dista singkat sembari membuka bungkus permen karet dan langsung memasukkannya ke mulut.

"Jangan makan permen karet," suruhku kepadanya.

"Pasti kamu mau bilang kalau permen karet ini bisa termakan olehku lalu menggelembung di lambung dan perutku bisa meledak karenanya, bukan?" jawab Dista seakan menakutiku.

"Hentikan, jangan menakutiku!" pekikku kepadanya sembari mengatur napas dan memaksakan diriku untuk tidak membayangkan apa yang Dista katakan.

Dia tertawa singkat. "Santai, itu tidak akan terjadi," ujarnya seraya menepuk punggungku.

"Aku harus segera pergi," kataku yang berdiri dengan menahan-nahan emosi.

"Kenapa?" tanya dia yang seakan tanpa dosa.

"Kamu menyentuhku," jawabku. "Aku harus segera mengganti baju."

Dista memandangku dengan wajah bingung. Seharusnya dia tahu kalau aku tidak suka disentuh, aku takut ada bakteri, aku takut sakit, aku takut mati. Tika tenang, Tika jangan khawatir, kamu tidak akan mati hanya karena orang lain menyentuh bajumu. Aku menggeleng dengan cepat. Aku harus tetap ganti baju.

Continue Reading

You'll Also Like

Dewantara By N.A.

General Fiction

1.5M 36.1K 20
kisah Dewantara dan Sekar
2.3M 19.3K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1M 47.7K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
42.9K 2K 61
DILARANG MENG-COPY CERITA! Mempunyai perasaan yang sama. Hanya bisa mengungkapkan lewat tulisan.